Sera benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Anggoro menariknya, lalu menatap dengan sangat dekat. Tubuhnya masih sangat terasa panas. Hal ini tidak bisa Sera biarkan. Dia harus mencegah Anggoro marah, karena tidak baik untuk kesehatannya."Tuan lebih baik beristirahat dulu. Jangan berkata apa pun," ucapnya kemudian menarik selimut itu karena kembali terlepas dari tubuh Anggoro."Jadi kau tidak mau membahasnya? Kamu tidak membenarkan ucapanku? Sera, aku melihatmu dengan mata kepalaku sendiri. Kau berada di jalanan bersama dengan Bima. Apa yang sebenarnya kau rencanakan?" balas Anggoro masih dengan suara yang sangat serak."Kau merencanakan sesuatu untuk membunuhku bukan? Kau memberikan racun itu di dalam gelas ku. Kenapa kau melakukan itu?"Spontan Sera melepaskan tangannya yang semula mencengkeram selimut. Dia menggelengkan kepala. Jelas-jelas akan membantah apa yang sudah dituduhkan oleh Anggoro kepadanya."Untuk apa saya melakukan itu, Tuan? Berada di rumah ini dan menikahi Tuan ..
Sungguh biadab! Itulah rencana Pamela. Apa pun akan dia lakukan untuk memuaskan dirinya. Padahal dia sudah jelas-jelas meninggalkan Anggoro begitu saja dengan lelaki lain. Tapi karena dia merasa tersaingi, dia memutuskan untuk kembali dan melawan. Pamela selalu ingin menjadi wanita satu-satunya yang akan mendampingi Anggoro. Sera hanya bisa menahan napas karena bubuk itu sudah masuk ke dalam tubuhnya. Rasa mual itu semakin hebat dia rasakan. Hingga akhirnya dia memuntahkan semua yang berada dalam perutnya, sampai mengenai tubuh Pamela. "Apa-apaan ini? Kau dasar tidak tahu malu. Wanita miskin pasti selalu seperti ini. Gara-gara kau aku sangat kotor. Kurang ajar!" teriak Pamela segera menjauh dari Sera yang semakin lemah. "Kau ..." Pandangannya pun kabur. "Aku sangat ..." Sera tidak kuat lagi menahan tubuhnya. Mendadak dia terjatuh bersama dengan kursi yang didudukinya. "Hentikan! Sudah hentikan, Nyonya Pamela. Aku mohon hentikan." Tukang kebun itu pun iba melihat Sera. Wajahnya sem
Mbok semakin terguncang. Pamela tentu saja akan mengetahui semua yang berada di sana. Walaupun dengan sangat manis dia menyembunyikan hal itu, apa yang tidak bisa dilakukan Pamela? Dulu ketika Mbok diam-diam tidak melakukan perintah Pamela yang tidak sesuai hatinya, wanita itu segera mengetahuinya. Bahkan tidak segan-segan untuk menampar Mbok. Sejak saat itu Mbok sangat membenci Pamela. Berharap wanita itu pergi dari sana. Seketika Mbok sangat senang melihat kepergian Pamela. Namun, ternyata dia sekarang harus bersedih kembali. Pamela mendadak datang dan membuat keributan untuk kesekian kalinya."Aku melihatmu bersama dengan lelaki Belanda itu. Ah ... tentu saja namanya Willem bukan?" ucapnya membuat Anggoro kini menolehkan pandangan ke arahnya dan memandang tajam. "Apa?" Anggoro sangat terkejut. Sang sahabat yang sudah putus dengannya sejak pertemuan bersama Sera ketika itu, muncul diam-diam di rumahnya? Sebenarnya ada apa ini?"Apa yang kau katakan Pamela? Ingatlah, kedatanganmu
"Aku tidak akan pernah memaafkanmu jika kau membuat wanita ini sangat menderita. Camkan itu, Anggoro."Willem masih saja membenarkan posisi Sera dengan sangat baik. Tidak peduli Anggoro berdiri di belakangnya dan siap untuk mencabik-cabiknya karena marah!"Bahkan kau memarahi istrimu saat dia sangat lemah seperti itu?!" teriak Willem dengan keras sambil menunjuk Sera yang sudah terbaring dengan sangat lemah. "Kau ini sebenarnya binatang atau manusia? Tingkah lakumu tidak seperti seorang Bupati!""Willem, kalau kau dengan nekat membawanya, aku akan menghubungi polisi!" Anggoro mendorong tubuh Willem dengan sangat keras. Untung saja lelaki itu dengan kuat menahan. Tubuhnya terkena tubuh mobilnya. Jika tidak, pasti dia sudah tersungkur ke tanah. Anggoro segera masuk ke dalam mobil itu dan kembali mengangkat tubuh Sera."Bagaimanapun juga dia adalah istriku. Sedangkan kau, bukan siapa-siapa!" Lelaki Belanda itu ingin sekali menarik Sera dan kembali membawanya. "Sialan!" Willem menghenti
Satria mendekati ayahnya yang masih terpaku mendengar perkataannya barusan. Dia berkata, "Ayah, aku bersungguh-sungguh. Jika kau ingin dia selamat, dia sebaiknya segera pergi dari sini saja. Ayah kembali saja kepada Ibu Pamela.""Kau tidur saja dan jangan mengurusi masalah orang dewasa.""Aku harus mengurusi masalah ini. Aku tidak ingin hal apa pun terjadi dengan Ibu keduaku. Aku sudah mengusirnya. Dia harus pergi."Anggoro kemudian mendekati sang istri yang masih terlelap dengan wajah yang pucat. Dia juga tidak pernah menyangka Sera akan menelan obat terlarang itu."Ayah sebaiknya istirahat saja. Bukankah Ayah juga terkena racun? Kira-kira siapa yang sudah meracuni Ayah? sebaiknya Ayah pikirkan semuanya.""Satria," ucap Anggoro sambil menolehkan pandangan ke anaknya. "Biarkan Ayah sendiri dan memikirkan ini semua. Ayah besok banyak pekerjaan. Kau tahu sendiri. Ayah harus menemui Gubernur.""Gubernur yang menginginkan bertemu dengan istri ayah?""Satria jaga ucapanmu. Cepat pergi saja
Anggoro merasakan sesuatu yang sangat sensasional dalam tubuhnya. Bagaimanapun juga, dia lelaki yang sangat normal. Terkadang membutuhkan sesuatu yang sangat liar untuk memuaskan hasratnya yang sudah dia pendam selama ini."Ah ...," desah Pamela.Kedua matanya melirik ke bawah, melihat Pamela dengan sangat liar melakukan aksinya. Membuat dia akhirnya tidak bisa menahan itu semua. Namun, Anggoro berusaha untuk kuat menahan. Bukan ini yang dia mau. Tapi ... Pamela memang memuaskan dirinya."Sangat ... nikmat. Aku sangat ... merindukanmu, sayang."Pamela kini melepaskan bibirnya yang sebelumnya sudah menikmati milik Anggoro di bawah. Dia kembali berdiri, meraba wajah Anggoro yang sedikit berkeringat, lalu tersenyum dengan menggoda."Hanya aku yang bisa memuaskan kamu. Bahkan saat bersamaku, kau selalu saja memintanya setiap hari bukan?" Dia kembali tersenyum, lalu melumat bibir Anggoro dengan sangat liar. Tidak lupa, jemarinya pun merayapi semua tubuh kekar Anggoro."Jangan pernah menola
Anggoro masih saja terpaku melihat sang ibu dengan sangat marah meninggalkannya begitu saja. Dia kembali terkejut saat seseorang menepuk pundaknya sebelah kanan dari belakang."Apa yang kau inginkan, Pamela? Kau sudah menjebakku," ucapnya lalu pergi meninggalkan wanita itu.Tentu saja Pamela tidak akan pernah menyerah. Kakinya melangkah dengan cepat mendahului Anggoro saat akan masuk ke dalam kamarnya."Apa yang harus aku lakukan di sini? Sayang, aku benar-benar merindukanmu," balas Pamela dengan sangat manja."Tidak usah bersandiwara. Aku tidak menyukainya. Kau pergi saja. Kita lupakan kejadian tadi.""Hahaha, melupakan?" Pamela kembali mendekat Bupati, memeluknya erat. Kemudian menyandarkan kepalanya di dada kekar Anggoro."Tolong jangan lepaskan. Anggoro, aku sangat kesepian. Bukankah aku sudah memuaskanmu tadi?"Anggoro menarik napas dengan panjang. Dia berusaha untuk tidak mengingat kejadian itu. Benar-benar sangat memalukan sekali. Bagaimana mungkin dia dengan liar melayani Pame
"Tuan Bupati. Sudah saatnya Anda masuk ke dalam." Parman kembali memberanikan diri untuk membuat Anggoro sadar dengan lamunannya. "Aku ...""Apakah Tuan membutuhkan obat atau sesuatu?" lanjutnya kini mendapatkan perhatian dari Anggoro. Parman segera menundukkan kepalanya. "Tuan, apa Anda baik-baik saja?""Kau juga mendengar bukan? Itu suara budakku. Sangat terdengar sekali kalau dia sudah berada di dalam. Aku menikahi wanita itu karena sebuah perjanjian dan dia sudah menyetujui itu untuk menjadi budakku. Tapi ... dia sudah berani melangkahiku.""Mungkin Tuan bisa memikirkannya nanti. Hari ini adalah hal penting yang harus Tuan lakukan. Pasti ada hal yang sangat serius hingga Gubernur memanggil Anda untuk pergi ke kediamannya." Parman berusaha untuk membuat Anggoro melupakan apa pun yang bisa memicu kemarahannya terhadap Sera. Dia sendiri juga tidak tega melihat Sera selalu mendapat kemarahan Anggoro yang sangat luar biasa."Baiklah, katakan kepada Gubernur jika aku datang."Parman se
Mereka berdua masih saling bertatapan. Selang beberapa detik Willem mengalihkan pandangannya. Dia tidak mau Sera membahas tentang apa pun. "Hanya masalah pekerjaan biasa yang selalu membuatku pusing. Sudah kita lebih baik kembali saja. Kau ingin bertemu dengan Satria kan?" Lelaki Belanda itu menarik tangan kanan Sera dan menggenggamnya dengan erat. Wanita itu berjalan dengan sangat pelan karena perutnya yang terasa sangat nyeri. Sesekali dia memegangnya. "Aduh Pak. Maafkan saya. Tadi saya mencari Nyonya kemana-mana. Syukurlah dia sudah bersama Bapak," ucap sang sopir sambil menarik nafas lega. "Jadi kau membiarkan dia masuk ke sana sendirian?" Willem dengan tegas menatap lelaki itu yang hanya menundukkan kepala. "Sudahlah. Ngapain dia ikut masuk ke dalam? Itu kan khusus untuk wanita. Lagi pula aku sudah bertemu denganmu. Ayo kita masuk ke dalam mobil." Sera bergegas masuk ke sana. Willem masih saja berusaha mengatasi emosinya. Dia tidak mau terlihat panik dan cemas. "Menca
Anggoro tidak mengerti kenapa Pamela pergi dari hadapannya begitu saja seperti orang ketakutan. "Pamela! Kenapa kamu pergi Pamela? Kita belum selesai bicara Pamela!" Padahal sebelumnya dia tidak mau bertemu dengan Pamela. Tapi karena gelagat Pamela yang mencurigakan seperti itu membuat Anggoro tertarik untuk menemui wanita itu. Anggoro berjalan cepat keluar dari ruangan itu. Sebenarnya dia tidak boleh melakukannya. Melihat Anggoro yang hendak meninggalkan ruangan, beberapa polisi yang terduduk spontan berdiri dan menarik lengan sang Bupati. "Pak! Sudah ku katakan kalau Bapak itu tidak boleh keluar tanpa seizin kita. Kenapa? Jangan-jangan Bapak melakukan kekerasan lagi kepada Nyonya Pamela. Ayo ngaku!" teriak polisi sambil menunjuk Anggoro yang terus menatap Pamela sampai keluar dari kantor kepolisian. "Pasti anda melakukan sesuatu dengan Nyonya Pamela. Aduh seharusnya Nyonya Pamela itu bersama dengan pengacaranya. Lihatlah dia keluar ke jalan cepat seperti itu." Polisi lainn
Oh tidak. Ada apa ini sebenarnya? Kenapa Sera tiba-tiba memberikan tugas itu kepada Willem? Jelas-jelas tugas itu adalah suatu hal yang tidak akan pernah dia lakukan. Pamela sangat kesal ketika Satria mengancamnya. Dia masih saja setengah mabuk saat itu. Apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada yang bisa dia minta bantuan kecuali Willem. Tanpa basa-basi Pamela menelepon lelaki Belanda itu dan mengatakan semuanya. "Satria bisa mengancam hidupku. Jika aku tertangkap, aku akan membawamu juga." Ucapan Pamela saat itu membuat Willem sangat emosi. "Apa kau tidak memiliki perasaan apapun terhadap anakmu? Dia adalah anak kandungmu dan kenapa kau tidak bisa mengatasinya?" Willem masih saja meminta Pamela untuk tidak berbuat bodoh. Apalagi itu adalah anaknya sendiri. Tapi apa hasilnya? Pamela hanya menginginkan kemenangan. "Bawa dia pergi. Tapi jangan pernah kau sakiti dia," balas Pamela kemudian menutup panggilan. "Sialan. Dia selalu memberiku pekerjaan yang sangat bodoh seperti ini. A
Willem tersenyum sambil melebarkan kedua matanya. Dia masih belum bisa menjawab apa yang menjadi permintaan Sera. "Kenapa?" tanya Sera dengan suara pelan. "Aku sangat merindukan anak itu dan aku memiliki janji yang belum aku lakukan. Entah kenapa aku ingin sekali bertemu dengannya. Bukankah kau bisa melakukan apa pun yang aku inginkan? Pertemukanlah aku dengan Satria." Willem menarik nafas panjang untuk mengatasi rasa gelisah di dalam dirinya. Dia sudah berjanji kepada Sera. Mempertemukan Sera dengan Satria adalah hal yang bisa dia lakukan dengan sangat mudah. "Jika kau tidak bisa melakukannya, baiklah. Aku tidak akan memaksa. Mungkin aku akan meminta bantuan Bima. Dia adalah paman dari Satria. Pasti dia bisa mengabulkan keinginanku," lanjut Sera tidak menyerah. "Tidak," sela Willem. "Akan aku lakukan apa pun yang kau inginkan." Lelaki Belanda itu menatap sang sopir dari kaca spion dan lanjut berkata, "Kita akan menuju ke rumah Anggoro. Kita akan bertemu Satria di sana." Sa
Maya mendekati Bima, berusaha untuk menjaga lelaki itu agar tidak mengejar Sera yang sekarang sudah dibawa oleh Willem keluar dari kantor persidangan. "Aku tahu kau ingin mengetahui sesuatu bukan? Kau sudah menyelidiki semuanya. Tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Aku akan tetap menjagamu untuk menikahi Sera karena itu merupakan pembalasan dendam yang harus aku lakukan untuk membuatmu menderita." "Sudah jelas-jelas aku salah memilihmu. Bahkan Ibuku sekarang tidak menyukaimu. Untuk apa kau mempertahankan diriku sementara aku sama sekali tidak tertarik padamu?" balas Bima sambil mengawasi Maya dari atas sampai bawah. "Kau sama sekali tidak memiliki apa pun untuk menarik perhatianku. Jadi lebih baik kau berkaca sebelum kau mencari yang lain, karena aku yakin tidak akan ada lelaki yang tertarik kepadamu." Bima akan melewati Maya begitu saja. "Oh ya. Aku memang tidak akan pernah melepaskanmu dan melampiaskan diriku pada lelaki lain." Maya mendekati Bima kemudian tertawa dengan s
"Bupati tidak ada di ruangan!" teriak salah satu polisi. "Ke mana dia? Tadi dia bertemu dengan Nyonya Maya tapi sekarang dia menghilang begitu saja," lanjutnya dengan sangat panik, membuat beberapa anggota polisi lainnya berlari berhamburan dan memeriksa semua ruangan. Ketika ada salah satu yang akan memeriksa ruangan sebelah, mendadak anggota polisi lainnya menahan gerakannya. "Bukankah kita sudah memeriksa ruangan itu dan mengembalikan kursi yang dilempar itu? Tidak ada siapa-siapa di dalam. Ayo jangan buang waktu. Pasti dia kabur tidak jauh dari sini." Mereka akhirnya pergi dari sana. Sera yang semula mendorong tubuh Anggoro agar bibirnya bisa lepas itu tidak jadi ketika Anggoro menggelengkan kepala. Mereka berdua masih saja dimabuk asmara. Tidak peduli mereka mendengar keributan terjadi di luar. Anggoro pun tidak peduli jika dia nantinya akan mendapatkan hukuman tambahan karena menghilang begitu saja dan membuat semua orang panik. Ketika Anggoro sudah melakukannya dengan san
Anggoro masih terdiam mendengar apa yang dikatakan Maya. Wajah mereka memang sangat mirip. Awalnya Anggoro tidak mencurigai apa pun. Kebanyakan orang yang berasal dari luar Indonesia memiliki fisik yang sama. Kedua mata mereka memiliki warna yang khas. Anggoro tidak pernah memusingkan hal itu. "Tentu saja mereka sangat mirip. Seharusnya kita paham dari awal. Sera itu bukan orang Indonesia. Walaupun dia memiliki orang tua dari Indonesia. Tapi ... ibunya adalah seorang wanita penghibur. Yang aku dengar, dia pernah menjalin hubungan dengan orang Belanda," lanjut Maya sambil terus bersedekap disertai senyuman sinis ke arah Anggoro yang masih terdiam kaku. "Kau tidak boleh menikahkan mereka sebelum mereka melakukan tes DNA," imbuh Maya dengan jari telunjuk tepat ke arah wajah Anggoro. "Omong kosong apa ini? Aku tidak akan pernah melakukannya. Umur mereka sangat jauh." Anggoro kini berdiri dan mendekati pintu kemudian lanjut berkata,"Aku dan Willem memang satu kampus. Tapi aku jauh leb
Pamela semakin mengangkat kertas itu. Simbah berdiri dan menatap mantan menantunya itu. Dia sudah tidak menganggap Pamela sebagai menantunya lagi. Tersirat rasa marah di sana. "Keberatan yang mulia. Sebuah bukti bisa dikeluarkan jika memang diperlukan. Ini sama saja menghina persidangan," teriak salah satu pengacara Anggoro sambil menunjuk Pamela. "Keberatan diterima. Seharusnya kita bisa melakukan prosedur dengan baik di persidangan ini," ucap hakim. Pengacara Pamela mendekati wanita itu dan berusaha untuk menenangkan Pamela. Pamela pun kembali duduk sambil memperlihatkan senyuman sinis. Anggoro sangat paham dengan Pamela. Wanita itu sangat pintar berakting. Namun, dari mana dia bisa mendapatkan surat itu? Pasti ada orang dalam yang membantunya dan ini sangat tidak baik. Persidangan terjadi dengan sangat menegangkan dan runyam. Anggoro semakin terpojok. Sampai setelah 2 jam berlalu, persidangan itu pun selesai dan akan dilanjutkan 2 hari lagi. Di dalam ruangan Anggoro ter
Sera kemudian masuk begitu saja ke dalam kamarnya. Maya yang seketika itu berdiri dan akan mengikuti, segera menghentikan langkah ketika Sobar menggelengkan kepala. "Biarkan dia sendiri dulu. Masalahnya sangat rumit. Mungkin jika dia tidak mencintai Anggoro, semua tidak akan terjadi seperti ini." "Ya ... tapi jujur. Aku memang melihat Anggoro mencintainya," balas Maya sambil berkacak pinggang, menatap pintu kamar Sera yang kini tertutup rapat. Sobar semakin menatap Maya. Lelaki itu mengernyitkan kedua alisnya dan berkata, "Kenapa tiba-tiba kau berubah menjadi seperti ini? Padahal dulu, kau menertawakan dia saat Bu Broto dan suaminya, serta Bima menginjak-injak harga dirinya." Sobar menarik Maya untuk menjauh dari kamar Sera. "Aku tidak mau Sera mendengar apa yang kita omongkan. Dia itu sangat menderita ketika kau melakukan itu. Kau kan tahu juga, gara-gara Bima dia akhirnya menjadi seperti orang gangguan jiwa. Apalagi menyebabkan kecelakaan yang membuat anak bupati menjadi lu