“Bagaimana bisa Sera menikahi seorang Anggoro Wicaksoro?”Salah seorang kerabat dekat membuka gosip di tengah pesta pernikahan kala pengantin wanita muncul. Meski parasnya cantik, tetapi mereka tahu sekali asal-usul gadis itu.“Benar! Bukankah dia hanya anak seorang lelaki yang menikahi wanita hina? Kok, Simbah mau menerimanya sebagai menantu?” balas yang lain, “mana bapaknya lagi dirawat di rumah sakit,” sinis yang lain.“Tunggu … apa mungkin Simbah ingin menghukumnya karena telah membuat cucunya kecelakaan?”Para hadirin yang berasal dari kerabat dekat saja, masih berbisik satu sama lain kala melihat Sera Arabella menjadi pengantin dari ahli waris perusahaan multinasional nomor satu di negeri mereka. Apalagi Simbah adalah orang yang sangat terhormat dan disegani.Bila disandingkan, status keduanya bahkan bagai langit dan bumi.Tak ada yang dapat menahan gosip menyebar di sana tentang orang paling kaya di daerah mereka yang bahkan sedang mencalonkan diri sebagai Bupati.Sementara itu, Anggoro Wicaksoro sedang menahan amarah. Ahli waris perusahaan multinasional itu menatap Sera dengan tajam.Seperti para tamu yang hadir, Anggoro masih tak habis pikir; mengapa Simbah–ibunya–justru menyuruhnya menikah dengan Sera. Bahkan, wanita yang tak jelas asal-usulnya itulah yang menyebabkan anak Anggoro lumpuh beberapa hari yang lalu!Jika saja Sera berhati-hati saat menyebrang, Anggoro tak perlu membanting kemudi untuk menghindarinya.Sayangnya, Anggoro tak bisa menolak karena ibunya yang masih menguasai perusahaan keluarga mereka–mengancam pada pria itu.Diliriknya Sera yang masih menunduk. Bahkan saat Anggoro setelah selesai mengucapkan janji pernikahan dan memasangkan cincin emas di jari manisnya, Sera tampak gemetar.Anggoro sontak tersenyum sinis. "Berhentilah berdrama,” bisiknya, “kupastikan pernikahan ini menjadi neraka bagi wanita terkutuk, sepertimu."Mendengar itu, Sera spontan mendongak. Mata beningnya bertatapan dengan suami yang baru dinikahinya, hingga membuat Anggoro tertegun beberapa saat.Bagaimana bisa mata sejernih itu dimiliki Sera yang mengakibatkan kemalangan putranya?‘Sial! Tahan dirimu Anggoro,’ batin pria itu mengingatkan. Segera saja, Anggoro memutus kontak mata dari Sera.Begitu prosesi selesai, pria dingin itu pun berlalu–meninggalkan Sera begitu saja. Membuat keadaan sontak menjadi sunyi seperti di pemakaman. Tidak ada ucapan selamat ataupun tepuk tangan di sana.Beberapa hadirin bahkan tampak sekali ingin menggosipkan kejadian ini, tetapi mereka menahannya karena segan pada Simbah yang tampak memperhatikan dari jauh dengan tatapan tajam. **** "Sera, Pakde sudah selesai menjadi walimu. Sekarang, Pakde mau pulang dengan Bude. Ingat, kau harus menerima takdir ini dengan legowo!”Sera tertegun kala paman dan bibinya tiba-tiba menghampiri.Saat ini, para tamu memang sudah pulang dan suasana sudah sangat sepi. Hanya ada pegawai-pegawai Simbah di sana. Sera pun hanya bisa mengangguk pasrah–membalas ucapan Pakdenya. “Baik, Pakde.”“Oh, iya. Soal Bapakmu, tenang saja! Dia sudah menjalankan operasi jantung. Tadi pagi, Pakde sendiri yang mengurus semuanya setelah utusan Simbah, mertuamu itu datang," tambah pria tua itu lagi tanpa perlu ditanyakan Sera.Pakdenya itu tersenyum lebar sekali. Namun, Sera tak berani berkata apa pun. Hanya saja, dia mencoba menenangkan diri melihat pria tua yang biasanya menghina dirinya dan bapaknya itu berubah 180 derajat setelah mendapat segepok uang dari Simbah untuk jadi wali nikahnya."Terima kasih Pakde. Tolong jaga, Bapak, ya," balasnya pelan.Setelah mereka berlalu, Sera kembali menunduk.Hanya saja … semakin Sera berusaha menguatkan diri, semakin dia ketakutan. Dia berusaha mengatur napasnya yang semakin sesak. Terlebih, saat Simbah tiba-tiba berjalan mendekatinya dengan pandangan dingin."Setelah ini, lakukan tugasmu dengan baik sebagai istri bayangan. Jangan pernah menanyakan atau bertingkah yang tak masuk akal. Ingat, aku tidak mau mengotori tanganku karena ulahmu," ucapnya pada Sera sambil meremas tongkatnya yang berlapis emas.“Baik, Simbah.”"Oh, iya. Aku ingin kamu juga segera pergi ke kamar anakku dan layani dia," lanjutnya kemudian meninggalkan Sera yang masih saja menundukkan kepala dan pasrah.Tak lama, beberapa pelayan mengarahkan dirinya menuju ruangan inti.Kini Sera berjalan masuk ke dalam ruangan megah dipenuhi bunga mawar putih segar.Ranjang mewah berbahan kayu jati Jepara berada di tengah ruangan menyambutnya.Ada banyak barang antik yang sangat mahal di sana."Kau datang juga ke sini rupanya."Ucapan Anggoro menyadarkan Sera dari lamunan. Suaranya menggema dalam keheningan."Iya, Tuan. Maafkan saya … seharusnya malam itu, saya tidak menyebrang sembarangan," balas Sera gelagapan.Namun, tanpa diduga, tangan kekar Anggoro justru mendorong Sera, hingga tubuh wanita itu terhempas ke lantai."Berlutut!"Nada suara pria itu begitu dalam membuat Sera lantas bersujud."Anakku tidak bisa berjalan. Dia lumpuh!" Anggoro kini menarik wajah Sera dan meremas dagunya. "Semua tidak akan terjadi jika kamu tidak muncul!"Anggoro melepaskan cengkeramannya dengan kasar.Spontan, pria itu membuang semua yang berada di hadapannya.Serpihan kaca pun berserakan di lantai dan mengenai kaki Sera.Meski berdarah, tetapi wanita itu hanya bisa menunduk dan bergetar."Tuan, mohon maaf. Aku …."Hanya saja, ucapannya terhenti saat suara teriakan bocah laki-laki terdengar keras dari kamar sebelah."AAA! Lepaskan! Aku ingin mati. Aku benci kalian semua!"
Mendengar suara sang anak, Anggoro segera berlari meninggalkan Sera.Pria itu sangat terkejut melihat kamar Satria sangat berantakan. Tubuh bocah 13 tahun itu terjatuh dari kursi roda dan tergeletak di lantai. Wajahnya tampak pucat pasi. "Satria!" teriak Anggoro kemudian memapah Satria dan membantu untuk duduk kembali. Tuan Besar yang selama ini terlihat perkasa dan dihormati, berlutut di hadapan sang anak. Dia berusaha menahan tubuh Satria yang terus meronta."Aku tidak bisa berjalan. Aku tidak berguna!" teriak Satria sambil menangis keras. Tanpa disadari keduanya, Sera ikut menyusul.Wanita itu merasa semakin bersalah kala melihat pemandangan di depannya."Satria, Ayah mohon tenang," balas Anggoro masih saja menahan tubuh anak kesayangannya yang terus meronta dan berteriak."Lepaskan!"Beberapa suster yang ditugaskan di sana untuk mengamati kesehatan Satria dari kamar sebelah segera datang. Mereka memberikan suntikan penenang seperti biasanya.Tiba-tiba saja, Anggoro mendekat ke
Sera melangkah mundur kala menyadari tatapan aneh sang tuan. Dia sendiri tidak percaya dengan pandangan itu. Ia pun jatuh berlutut sambil menundukkan wajah. "Saya tahu ini semua salah saya. Tolong, berikan saya waktu untuk memperbaikinya. Saya akan bertanggung jawab." Tangis Sera menetes hingga membasahi lantai.Anggoro kembali mengusap wajahnya. Dia berkali-kali menarik napas panjang untuk mengatasi dirinya yang semakin tidak jelas."Diam!" balas Anggoro lalu memalingkan wajah. Entah mengapa, dia tak sanggup melihat Sera menangis."Tuan ...""Aku bilang diam!" teriak Anggoro masih membelakangi Sera dengan penuh amarah. Sera tidak ingin membuat suaminya semakin meluapkan amarah. Ia bangkit, lalu menunduk, dan mengambil sandal yang sudah terlepas dari kaki lelaki itu. Kemudian memungut kemeja yang sebelumnya berada di lantai. Masih sambil menunduk, Sera kembali mendekati almari. 'Aku tidak boleh ceroboh lagi. Aku akan berusaha.'Diamatinya dengan seksama semua baju itu karena tidak m
Sera sontak mengalihkan pandangannya. 'Dia ... tidak boleh berbicara denganku.'Sera harus melakukan apa pun untuk membuat dirinya selamat dari pandangan tajam pria yang sudah menghancurkan dirinya itu. Sudah cukup penderitaan yang dia alami sampai saat ini. Dia tidak akan pernah menambah masalah. Semuanya akan dia tutup dengan rapat!Hanya saja, lamunan Sera teralihkan saat lelaki di sebelah suaminya mendadak mendekat."Kedua matanya indah sekali. Sangat bening, seperti air sungai mengalir. Bahkan, aku bisa melihat diriku seolah-olah berada di dalam kedua mata itu," ucap Willem, sahabat Anggoro dari Belanda. Mereka sudah berteman sejak Anggoro berkuliah di Negara kincir angin itu dan terus berlanjut. Willem bahkan sempat bekerja dua tahun di Indonesia untuk mempelajari bahasa sang sahabat dan membangun bisnis di sini."Belum pernah aku melihat ini pada wanita mana pun," lanjut lelaki itu tak mengalihkan pandangannya sama sekali.Sementara itu, Sera tampak bingung. Terlebih, Willem
Di sisi lain, Sera menghentikan langkahnya. Karena emosi, dia tidak sadar jika berjalan tanpa arah, hingga menuju ke halaman belakang. "Apa yang aku lakukan? Aku seharusnya tidak berbuat itu. Tapi, Bima datang. Dia bisa membuatku dihabisi suamiku sendiri, jika tahu aku–” ucapnya terhenti saat seseorang menariknya dari belakang. Kedua mata Sera melotot tak percaya ketika Bima mendekapnya erat. Pria itu memang diam-diam keluar kala Anggoro tengah ribut dengan Willem melalui pintu samping."Hentikan Bima!" teriak Sera sembari mendorong kuat tubuh Bima. Namun, dia kalah kuat. Bima kembali mendekapnya erat. "Oh, jadi kau menolakku gara-gara akan menikahi kakakku yang lebih kaya. Dan ... ingin menjadi istri Bupati? Haha, tidak aku percaya. Ternyata kau ... licik juga." Bima semakin menarik Sera ke balik pohon yang cukup besar menutupi tubuh mereka berdua. Pria itu langsung mendekap kuat tubuh Sera dan mulai merayapi leher wanita itu dengan bibirnya."Hentikan Bima!" Sera meronta, ingi
Anggoro masih saja tidak percaya. Bagaimana mungkin, Satria akan meminta hal itu kepada wanita yang jelas-jelas sudah merusak masa depannya!"Satria! Dia yang menyebabkanmu lumpuh," ucapnya pelan dengan pandangan tajam."Hahaha," tawa Satria mendadak kencang, semakin mengejutkan Anggoro. Tawa itu terhenti ketika Sera kembali menatap dan menggelengkan kepala.Sera mengusap wajah anak itu dan semakin tersenyum. "Satria, kau anak yang sangat baik. Aku akan menemani ayahmu. Itu tanggung jawab seorang istri. Hmm, besok aku akan menemanimu seharian. Bagaimana?"Sera mencium kening Satria, seperti seorang Ibu pada anaknya.Dan … putranya itu tak memberontak?Melihat itu, Anggoro semakin tak percaya karena Sera berhasil “mengendalikan” Satria.Terlebih, kala melihat Satria kembali tertidur sembari tersenyum. Anggoro lantas meninggalkan kamar Satria begitu saja. Dia tak bisa berkata apa pun dengan drama mengejutkan barusan.Tentu saja, Sera mengikuti suaminya itu.Anehnya, Anggoro mendadak b
Sera terkejut akan tindakan Anggoro. Bagaimana bisa, lelaki yang sangat membencinya itu melakukan suatu hal yang bisa dikatakan, peduli?Keduanya sempat bertatapan beberapa detik, sebelum tatapan Anggoro berubah tajam. "Cepat! Waktumu hanya satu menit," lanjutnya.Sera sontak mengangguk. Tanpa berpikir lagi, dimasukkannya roti bulat berisi selai kacang ke dalam mulutnya, lalu mengunyahnya cepat. Hanya saja, dia tiba-tiba tersedak. “Uhuk!”"Apa kau tidak bisa memakan roti?" sela Anggoro sembari mengernyitkan kedua alisnya. Spontan Sera menghentikan giginya. "Ma–maafkan, saya," balas Sera sambil menepuk-nepuk dadanya."Jangan membuatku menunggu." Tanpa kata, Anggoro membuka pintu mobil dan keluar.Hanya saja, yang membuat Sera tak percaya adalah Anggoro meletakkan satu botol minum di dekatnya. Dia kembali terpaku."Mungkin dia tidak mau aku pingsan saat di sana dan membuatnya malu," gumam Sera pelan lalu meneguk pelan minuman itu. Tok tok tok!Tak lama, seorang pengawal mengetuk jend
Tubuh Sera menegang. Jantungnya berdetak lebih hebat dari sebelumnya. Dia khawatir dengan apa yang akan dikatakan Maya barusan. Bisa-bisa, Anggoro dan Simbah menghabisinya hari ini.Namun, Maya justru tak menjawab sama sekali dan hanya tersenyum. “Selamat pagi, Pak Bupati.”Anggoro pun mengangguk. Tanpa banyak kata, dia pun menjemput Sera dari sana dan “mengenalkannya” pada para warga. Sera bisa menarik napas lega mengetahui sang suami tidak membahasnya. Dia mengikuti langkah Anggoro yang sangat cepat."Ada apa ini?" Hanya saja, Anggoro tiba-tiba merasakan jantungnya berdebar cepat. Dia rasanya ingin marah kala menyadari mata para lelaki memandang Sera tanpa berkedip. Tanpa sadar, dia menarik lengan Sera dengan sangat kasar–mendekat padanya.Maya yang masih memperhatikan keduanya pun terkekeh pelan. Sangat senang melihat Sera diperlakukan kasar. "Itulah yang pantas didapatkan oleh anak wanita panggilan," gumamnya masih tersenyum puas."Kenapa anak dari wanita panggilan bisa sangat can
Mendengar pembelaan Anggoro, Sera tercengang.Yang lain, juga sama. Maya bahkan sampai bergeming kaku. Bayangannya, Sera akan mendapat tamparan keras dari suaminya. Namun, ada apa ini? "Sialan!" umpatnya. Tak mungkin dia ke sana dan ikut campur lebih dalam. Bisa-bisa, Anggoro membalasnya berkali lipat. Kadi, Maya pun segera meninggalkan tempat. Di sisi lain, lelaki biang onar yang dibayar Maya itu tidak menyerah. Dia menunjuk Sera dengan tegas. Kedua matanya melotot. "Kamu tidak pantas! Bupati harus turun!""Bupati, kami memilih Bapak. Jadi, tolong jelaskan saja masalah ini," sela warga lainnya yang diikuti sorak semua warga. "Ya, kami ingin penjelasan!"Suasana memanas dan lelaki pembuat masalah itu tersenyum, sampai Willem tiba-tiba datang. Perawakannya yang berbeda dari warga kebanyakan, jelas membuat atensi warga tertuju padanya. "Istri Bupati tidak hanya cantik. Dia cerdas dan jago berbahasa asing," ucap Willem tiba-tiba sembari tersenyum menatap Anggoro. Dia kini men
Mereka berdua masih saling bertatapan. Selang beberapa detik Willem mengalihkan pandangannya. Dia tidak mau Sera membahas tentang apa pun. "Hanya masalah pekerjaan biasa yang selalu membuatku pusing. Sudah kita lebih baik kembali saja. Kau ingin bertemu dengan Satria kan?" Lelaki Belanda itu menarik tangan kanan Sera dan menggenggamnya dengan erat. Wanita itu berjalan dengan sangat pelan karena perutnya yang terasa sangat nyeri. Sesekali dia memegangnya. "Aduh Pak. Maafkan saya. Tadi saya mencari Nyonya kemana-mana. Syukurlah dia sudah bersama Bapak," ucap sang sopir sambil menarik nafas lega. "Jadi kau membiarkan dia masuk ke sana sendirian?" Willem dengan tegas menatap lelaki itu yang hanya menundukkan kepala. "Sudahlah. Ngapain dia ikut masuk ke dalam? Itu kan khusus untuk wanita. Lagi pula aku sudah bertemu denganmu. Ayo kita masuk ke dalam mobil." Sera bergegas masuk ke sana. Willem masih saja berusaha mengatasi emosinya. Dia tidak mau terlihat panik dan cemas. "Menca
Anggoro tidak mengerti kenapa Pamela pergi dari hadapannya begitu saja seperti orang ketakutan. "Pamela! Kenapa kamu pergi Pamela? Kita belum selesai bicara Pamela!" Padahal sebelumnya dia tidak mau bertemu dengan Pamela. Tapi karena gelagat Pamela yang mencurigakan seperti itu membuat Anggoro tertarik untuk menemui wanita itu. Anggoro berjalan cepat keluar dari ruangan itu. Sebenarnya dia tidak boleh melakukannya. Melihat Anggoro yang hendak meninggalkan ruangan, beberapa polisi yang terduduk spontan berdiri dan menarik lengan sang Bupati. "Pak! Sudah ku katakan kalau Bapak itu tidak boleh keluar tanpa seizin kita. Kenapa? Jangan-jangan Bapak melakukan kekerasan lagi kepada Nyonya Pamela. Ayo ngaku!" teriak polisi sambil menunjuk Anggoro yang terus menatap Pamela sampai keluar dari kantor kepolisian. "Pasti anda melakukan sesuatu dengan Nyonya Pamela. Aduh seharusnya Nyonya Pamela itu bersama dengan pengacaranya. Lihatlah dia keluar ke jalan cepat seperti itu." Polisi lainn
Oh tidak. Ada apa ini sebenarnya? Kenapa Sera tiba-tiba memberikan tugas itu kepada Willem? Jelas-jelas tugas itu adalah suatu hal yang tidak akan pernah dia lakukan. Pamela sangat kesal ketika Satria mengancamnya. Dia masih saja setengah mabuk saat itu. Apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada yang bisa dia minta bantuan kecuali Willem. Tanpa basa-basi Pamela menelepon lelaki Belanda itu dan mengatakan semuanya. "Satria bisa mengancam hidupku. Jika aku tertangkap, aku akan membawamu juga." Ucapan Pamela saat itu membuat Willem sangat emosi. "Apa kau tidak memiliki perasaan apapun terhadap anakmu? Dia adalah anak kandungmu dan kenapa kau tidak bisa mengatasinya?" Willem masih saja meminta Pamela untuk tidak berbuat bodoh. Apalagi itu adalah anaknya sendiri. Tapi apa hasilnya? Pamela hanya menginginkan kemenangan. "Bawa dia pergi. Tapi jangan pernah kau sakiti dia," balas Pamela kemudian menutup panggilan. "Sialan. Dia selalu memberiku pekerjaan yang sangat bodoh seperti ini. A
Willem tersenyum sambil melebarkan kedua matanya. Dia masih belum bisa menjawab apa yang menjadi permintaan Sera. "Kenapa?" tanya Sera dengan suara pelan. "Aku sangat merindukan anak itu dan aku memiliki janji yang belum aku lakukan. Entah kenapa aku ingin sekali bertemu dengannya. Bukankah kau bisa melakukan apa pun yang aku inginkan? Pertemukanlah aku dengan Satria." Willem menarik nafas panjang untuk mengatasi rasa gelisah di dalam dirinya. Dia sudah berjanji kepada Sera. Mempertemukan Sera dengan Satria adalah hal yang bisa dia lakukan dengan sangat mudah. "Jika kau tidak bisa melakukannya, baiklah. Aku tidak akan memaksa. Mungkin aku akan meminta bantuan Bima. Dia adalah paman dari Satria. Pasti dia bisa mengabulkan keinginanku," lanjut Sera tidak menyerah. "Tidak," sela Willem. "Akan aku lakukan apa pun yang kau inginkan." Lelaki Belanda itu menatap sang sopir dari kaca spion dan lanjut berkata, "Kita akan menuju ke rumah Anggoro. Kita akan bertemu Satria di sana." Sa
Maya mendekati Bima, berusaha untuk menjaga lelaki itu agar tidak mengejar Sera yang sekarang sudah dibawa oleh Willem keluar dari kantor persidangan. "Aku tahu kau ingin mengetahui sesuatu bukan? Kau sudah menyelidiki semuanya. Tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Aku akan tetap menjagamu untuk menikahi Sera karena itu merupakan pembalasan dendam yang harus aku lakukan untuk membuatmu menderita." "Sudah jelas-jelas aku salah memilihmu. Bahkan Ibuku sekarang tidak menyukaimu. Untuk apa kau mempertahankan diriku sementara aku sama sekali tidak tertarik padamu?" balas Bima sambil mengawasi Maya dari atas sampai bawah. "Kau sama sekali tidak memiliki apa pun untuk menarik perhatianku. Jadi lebih baik kau berkaca sebelum kau mencari yang lain, karena aku yakin tidak akan ada lelaki yang tertarik kepadamu." Bima akan melewati Maya begitu saja. "Oh ya. Aku memang tidak akan pernah melepaskanmu dan melampiaskan diriku pada lelaki lain." Maya mendekati Bima kemudian tertawa dengan s
"Bupati tidak ada di ruangan!" teriak salah satu polisi. "Ke mana dia? Tadi dia bertemu dengan Nyonya Maya tapi sekarang dia menghilang begitu saja," lanjutnya dengan sangat panik, membuat beberapa anggota polisi lainnya berlari berhamburan dan memeriksa semua ruangan. Ketika ada salah satu yang akan memeriksa ruangan sebelah, mendadak anggota polisi lainnya menahan gerakannya. "Bukankah kita sudah memeriksa ruangan itu dan mengembalikan kursi yang dilempar itu? Tidak ada siapa-siapa di dalam. Ayo jangan buang waktu. Pasti dia kabur tidak jauh dari sini." Mereka akhirnya pergi dari sana. Sera yang semula mendorong tubuh Anggoro agar bibirnya bisa lepas itu tidak jadi ketika Anggoro menggelengkan kepala. Mereka berdua masih saja dimabuk asmara. Tidak peduli mereka mendengar keributan terjadi di luar. Anggoro pun tidak peduli jika dia nantinya akan mendapatkan hukuman tambahan karena menghilang begitu saja dan membuat semua orang panik. Ketika Anggoro sudah melakukannya dengan san
Anggoro masih terdiam mendengar apa yang dikatakan Maya. Wajah mereka memang sangat mirip. Awalnya Anggoro tidak mencurigai apa pun. Kebanyakan orang yang berasal dari luar Indonesia memiliki fisik yang sama. Kedua mata mereka memiliki warna yang khas. Anggoro tidak pernah memusingkan hal itu. "Tentu saja mereka sangat mirip. Seharusnya kita paham dari awal. Sera itu bukan orang Indonesia. Walaupun dia memiliki orang tua dari Indonesia. Tapi ... ibunya adalah seorang wanita penghibur. Yang aku dengar, dia pernah menjalin hubungan dengan orang Belanda," lanjut Maya sambil terus bersedekap disertai senyuman sinis ke arah Anggoro yang masih terdiam kaku. "Kau tidak boleh menikahkan mereka sebelum mereka melakukan tes DNA," imbuh Maya dengan jari telunjuk tepat ke arah wajah Anggoro. "Omong kosong apa ini? Aku tidak akan pernah melakukannya. Umur mereka sangat jauh." Anggoro kini berdiri dan mendekati pintu kemudian lanjut berkata,"Aku dan Willem memang satu kampus. Tapi aku jauh leb
Pamela semakin mengangkat kertas itu. Simbah berdiri dan menatap mantan menantunya itu. Dia sudah tidak menganggap Pamela sebagai menantunya lagi. Tersirat rasa marah di sana. "Keberatan yang mulia. Sebuah bukti bisa dikeluarkan jika memang diperlukan. Ini sama saja menghina persidangan," teriak salah satu pengacara Anggoro sambil menunjuk Pamela. "Keberatan diterima. Seharusnya kita bisa melakukan prosedur dengan baik di persidangan ini," ucap hakim. Pengacara Pamela mendekati wanita itu dan berusaha untuk menenangkan Pamela. Pamela pun kembali duduk sambil memperlihatkan senyuman sinis. Anggoro sangat paham dengan Pamela. Wanita itu sangat pintar berakting. Namun, dari mana dia bisa mendapatkan surat itu? Pasti ada orang dalam yang membantunya dan ini sangat tidak baik. Persidangan terjadi dengan sangat menegangkan dan runyam. Anggoro semakin terpojok. Sampai setelah 2 jam berlalu, persidangan itu pun selesai dan akan dilanjutkan 2 hari lagi. Di dalam ruangan Anggoro ter
Sera kemudian masuk begitu saja ke dalam kamarnya. Maya yang seketika itu berdiri dan akan mengikuti, segera menghentikan langkah ketika Sobar menggelengkan kepala. "Biarkan dia sendiri dulu. Masalahnya sangat rumit. Mungkin jika dia tidak mencintai Anggoro, semua tidak akan terjadi seperti ini." "Ya ... tapi jujur. Aku memang melihat Anggoro mencintainya," balas Maya sambil berkacak pinggang, menatap pintu kamar Sera yang kini tertutup rapat. Sobar semakin menatap Maya. Lelaki itu mengernyitkan kedua alisnya dan berkata, "Kenapa tiba-tiba kau berubah menjadi seperti ini? Padahal dulu, kau menertawakan dia saat Bu Broto dan suaminya, serta Bima menginjak-injak harga dirinya." Sobar menarik Maya untuk menjauh dari kamar Sera. "Aku tidak mau Sera mendengar apa yang kita omongkan. Dia itu sangat menderita ketika kau melakukan itu. Kau kan tahu juga, gara-gara Bima dia akhirnya menjadi seperti orang gangguan jiwa. Apalagi menyebabkan kecelakaan yang membuat anak bupati menjadi lu