Anggoro menatap sang sepupu. Sudah pasti apa yang dia rasakan benar. Bima ada hubungannya dengan Sera.Kakinya melangkah mendekati Bima yang masih memandangnya tajam."Katakan dan jangan berbelit," ucapnya pelan. Nadanya sangat dingin, memperlihatkan amarah. Anggoro tidak akan pernah memaafkan siapapun yang sudah mempermainkan dirinya. Bima tersenyum ketika melihat hal itu. Dia menatap Sera yang masih tak sadarkan diri. Dalam batinnya, 'kau akan segera menjadi mainanku lagi.'"Kak, ini terjadi beberapa hari lalu. Kau harus mengerti dan menerimanya. Mungkin, ini akan sulit kau terima. Tapi aku memiliki bukti kuat.""Jangan menahan apa yang akan kau katakan. Aku tidak memiliki waktu."Anggoro semakin menatap Bima yang malah tersenyum puas. Dia akan menghancurkan Anggoro dalam sekejap dan mempermalukannya. Membalas rasa sakitnya di masa lalu."Kak, kau harus percaya kalau istrimu itu sudah pernah--""Tuan Anggoro ...," lirih Sera membuat sang suami meninggalkan Bima begitu saja.Anggor
Simbah berjalan mendekati Sera. Dia menatap tak seperti biasanya. Lebih tajam dan sangat dingin. Kelima jemari kanannya meremas kuat ujung tongkat. Bahkan pandangan itu bisa diartikan siap menerkam Sera saat ini juga."Aku dari tadi mengamati kalian. Hmm ... jadi kau sudah kenal menantuku?" ucapnya kini menatap Bu Broto yang biasa dipanggil Jeng Wuri."Katakan apa yang harus aku ketahui.""Mbakyu," balas Jeng Wuri kini duduk di sebelah Sera. Dia mengambil selembar tisu dan menyodorkan tepat ke wajah Sera sambil berkata, "bersihkan mulutmu itu. Sangat tidak pantas istri Bupati kotor. Makan saja urakan. Tapi, gadis desa memang selalu seperti itu. Kam-pu-ngan.""Kamu sudah mengabaikan aku, Wuri," sela Simbah lalu duduk tepat di hadapan mereka. Simbah kini memicingkan kedua mata ke arah Maya yang sangat senang melihat Sera masih bergeming kaku. "Apa yang kalian berdua ingin katakan? Aku tidak suka berbelit.""Mbakyu, maafkan," balas Jeng Wuri sambil menggelengkan kepala, "Mbak tahu sendi
Satria menekan tombol di kursi rodanya. Menggerakkan roda itu hingga tepat di hadapan Sera yang masih bergeming kaku. "Kenapa diam? Apa benar kau meniduri Om Bima?"Seperti biasanya, Sera meremas ke -10 jemarinya ketika dia sangat gugup. Tak dia sangka pertanyaan Satria benar-benar di luar dugaannya."Jadi benar. Diam artinya kau memang melakukannya," ucap Satria kini terkekeh pelan."Seharusnya aku tidak perlu menjawab pertanyaan konyol itu. Kenal saja tidak. Lagi pula, menikahi ayahmu syarat utamanya adalah suci."Dengan santai Sera akhirnya menjawab. Dia kini bersujud di hadapan anak itu. Memberikan senyuman sangat cantik seperti biasanya."Anak seumuran dirimu seharusnya belajar rajin agar menjadi apa pun yang kau inginkan.""Aku ingin menjadi pemain bola dunia. Tapi ... apakah kau bisa bertanggung jawab? Ingatlah, ibu tiriku. Aku lumpuh karena dirimu," balasnya dengan nada dingin.Hati Sera benar-benar lemas seketika. Memang dia yang menyebabkan Satria seperti ini. Namun, berpur
Leher Bupati semakin tergelitik. Sesuatu di antara pangkal pahanya semakin menegang. Siap menusuk apa pun di hadapannya. Menyerupai gairah liar, apalagi tubuh Sera mengeliat keras, berusaha melawan. Namun, terlihat semakin seksi.Bibir Anggoro menelusuri leher Sera. Panas dalam dirinya bergejolak bagaikan kembang api yang siap meledak sewaktu-waktu.Pahanya terasa hangat ketika bersentuhan dengan kulit mulus wanita di hadapannya. Dada kekar itu berdenyut-denyut ketika menempel dengan sesuatu yang sangat kenyal dan bulat sempurna milik Sera.Namun, alih-alih melanjutkan, Anggoro bengong memandangi wanita di hadapannya yang mulai meneteskan air matanya.Anggoro bergegas melepaskan dekapannya. Napasnya yang masih terengah-engah dia atur dengan baik."Berdiri!" pintanya tegas. Mata pria itu masih tertumbuk pada rambut hitam si wanita yang sangat berantakan. "Aku bilang pergi!"Seharusnya ia tidak boleh menikmatinya. Seharusnya ia menghindar dan marah. Atau setidaknya, tersinggung. Seharus
Entah apa yang terjadi. Kenapa tiba-tiba mereka semua menyerang Sera? Bahkan pelayan pun tersenyum saat Anggoro mulai berjalan mendekati Sera dan menyeretnya. Lelaki itu menunjukkan kotak perhiasan yang diberikan pelayan tepat di wajah Sera. Sebuah perhiasan kesayangan Anggoro yang dia simpan rapat. Bahkan siapa pun yang berani menyentuhnya, akan mendapat kemarahan sang bupati."Sudah aku katakan. Kau jangan membuat masalah di rumah ini. Aku sudah sangat bodoh menyentuh tubuh pencuri seperti dirimu!" bentaknya tegas. "Aku tidak mencurinya. Bagaimana mungkin aku berani melakukannya?!" teriak Sera.Anggoro tidak mendengarkan itu. Dia menyeret tubuhnya keluar kamar."Ini fitnah. Tuan, percayalah."ARGH!!Sera tak percaya tubuhnya terhempas begitu keras akibat dorongan Anggoro. Wanita itu kali ini tak mau menyerah dan terlihat lemah. Dia segera berdiri. Menegakkan tubuhnya dengan sangat anggun."Tuan, bagaimana bisa aku mencurinya? Ini tidak benar."Anggoro mulai berpikir. Tiba-tiba saj
Anggoro masih menatap Sera. Sebuah pertanyaan yang dia sendiri tak mengerti jawabannya. Dia ingin sekali bercerai dan jelas-jelas menolak pernikahan itu. Namun, kenapa sekarang malah mau mempertahankan?"Tuan, maafkan. Saya seharusnya tidak menanyakan hal itu."Membalas tatapan mata Anggoro yang tak berkedip, untuk pertama kalinya Sera merasa seorang pria benar-benar melihatnya. Bukan melihat reputasinya, bukan memandang statusnya yang tidak jelas. Namun, benar-benar memandangnya sebagai Sera, wanita yang menjadi istrinya. Sedikit senyuman terpampang di wajah Sera."Habiskan saja makanan itu. Besok jangan terlambat." Nada berwibawa dalam suara itu membuat Sera semakin terpaku.Anggoro melirik tangan istrinya yang masih mencengkeram lengannya dan perlahan melepaskan. Mendadak Anggoro berbalik, kala sadar sedang diperhatikan. Dia begidik, menyadari dirinya memang merasakan hal yang sangat berbahaya."Jangan pernah berpikiran apa pun. Aku hanya ingin mempertahankan jabatanku saja."Sera
Sera masuk ke dalam dengan sangat anggun. Tubuhnya tegak, pandangannya tajam. Sambil mententeng tas bermerk terkenal yang sudah disiapkan ketika dia akan melakukan kegiatan.Semua terpaku melihat istri Bupati menutup sebagian wajahnya. Hanya kedua mata abu bercahaya yang terlihat dan kedua alis tebal.Sera duduk di tengah kursi sofa. Menyilangkan kaki jenjangnya, kemudian mengedarkan pandangan ke semua orang."Aku memang anak wanita panggilan. Lalu kenapa? Ada masalah?" tanyanya sembari memicingkan mata kepada Maya yang sangat terlihat kesal."Sudahlah, kalian harus menghormati istri pemimpin. Kita tidak boleh seperti ini," balas istri wakil Bupati kemudian berdiri, dan mengambil satu gelas minuman. Dia mengangkat gelasnya tinggi, diikuti semua wanita."Kita tidak bisa melawan istri pemimpin bukan? Kita harus menghormatinya," lanjutnya kemudian tersenyum ke arah Sera dan menyodorkan gelas itu. "Terimalah, kita akan bersulang bersama."Sera akhirnya berdiri. Sejenak dia menatap wanita
Simbah mendekati Anggoro. Semakin meremas ujung tongkatnya sebelum berteriak, "pengawal! Bawa budak itu ke kamarnya!""Ibu! Dokter meminta aku menjaga dia. Apa yang akan terjadi kalau dia sakit dan tidak bisa mendampingiku?"Anggoro semakin mengeratkan gendongannya. Pengawal pun segera menunduk kala kedua mata hitam Bupati memberikan pelototan tajam."Hahaha, sangat lucu sekali," tawa Simbah. Wanita itu semakin mendekati anaknya, "dia budak dan kau tidak bisa memperlakukan itu kepadanya. Ingat perjanjian kita.""Pengawal, lakukan!" "Simbah, biar saya yang membawa, Nyonya," sela Parman yang akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke dalam. Dia mengamati semuanya di luar sejak tadi. Lelaki itu hanya ingin Bupati bisa selamat dari ibunya. Parman segera menganggukkan kepala kepada Anggoro dan perlahan menarik tubuh Sera. Sang bupati pun akhirnya melepaskan."Jadi kau mencintainya?" tanya Simbah kembali."Ibu, ini tidak ada hubungannya dengan itu.""Lalu apa?"Anggoro mengangkat salah satu
Mereka berdua masih saling bertatapan. Selang beberapa detik Willem mengalihkan pandangannya. Dia tidak mau Sera membahas tentang apa pun. "Hanya masalah pekerjaan biasa yang selalu membuatku pusing. Sudah kita lebih baik kembali saja. Kau ingin bertemu dengan Satria kan?" Lelaki Belanda itu menarik tangan kanan Sera dan menggenggamnya dengan erat. Wanita itu berjalan dengan sangat pelan karena perutnya yang terasa sangat nyeri. Sesekali dia memegangnya. "Aduh Pak. Maafkan saya. Tadi saya mencari Nyonya kemana-mana. Syukurlah dia sudah bersama Bapak," ucap sang sopir sambil menarik nafas lega. "Jadi kau membiarkan dia masuk ke sana sendirian?" Willem dengan tegas menatap lelaki itu yang hanya menundukkan kepala. "Sudahlah. Ngapain dia ikut masuk ke dalam? Itu kan khusus untuk wanita. Lagi pula aku sudah bertemu denganmu. Ayo kita masuk ke dalam mobil." Sera bergegas masuk ke sana. Willem masih saja berusaha mengatasi emosinya. Dia tidak mau terlihat panik dan cemas. "Menca
Anggoro tidak mengerti kenapa Pamela pergi dari hadapannya begitu saja seperti orang ketakutan. "Pamela! Kenapa kamu pergi Pamela? Kita belum selesai bicara Pamela!" Padahal sebelumnya dia tidak mau bertemu dengan Pamela. Tapi karena gelagat Pamela yang mencurigakan seperti itu membuat Anggoro tertarik untuk menemui wanita itu. Anggoro berjalan cepat keluar dari ruangan itu. Sebenarnya dia tidak boleh melakukannya. Melihat Anggoro yang hendak meninggalkan ruangan, beberapa polisi yang terduduk spontan berdiri dan menarik lengan sang Bupati. "Pak! Sudah ku katakan kalau Bapak itu tidak boleh keluar tanpa seizin kita. Kenapa? Jangan-jangan Bapak melakukan kekerasan lagi kepada Nyonya Pamela. Ayo ngaku!" teriak polisi sambil menunjuk Anggoro yang terus menatap Pamela sampai keluar dari kantor kepolisian. "Pasti anda melakukan sesuatu dengan Nyonya Pamela. Aduh seharusnya Nyonya Pamela itu bersama dengan pengacaranya. Lihatlah dia keluar ke jalan cepat seperti itu." Polisi lainn
Oh tidak. Ada apa ini sebenarnya? Kenapa Sera tiba-tiba memberikan tugas itu kepada Willem? Jelas-jelas tugas itu adalah suatu hal yang tidak akan pernah dia lakukan. Pamela sangat kesal ketika Satria mengancamnya. Dia masih saja setengah mabuk saat itu. Apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada yang bisa dia minta bantuan kecuali Willem. Tanpa basa-basi Pamela menelepon lelaki Belanda itu dan mengatakan semuanya. "Satria bisa mengancam hidupku. Jika aku tertangkap, aku akan membawamu juga." Ucapan Pamela saat itu membuat Willem sangat emosi. "Apa kau tidak memiliki perasaan apapun terhadap anakmu? Dia adalah anak kandungmu dan kenapa kau tidak bisa mengatasinya?" Willem masih saja meminta Pamela untuk tidak berbuat bodoh. Apalagi itu adalah anaknya sendiri. Tapi apa hasilnya? Pamela hanya menginginkan kemenangan. "Bawa dia pergi. Tapi jangan pernah kau sakiti dia," balas Pamela kemudian menutup panggilan. "Sialan. Dia selalu memberiku pekerjaan yang sangat bodoh seperti ini. A
Willem tersenyum sambil melebarkan kedua matanya. Dia masih belum bisa menjawab apa yang menjadi permintaan Sera. "Kenapa?" tanya Sera dengan suara pelan. "Aku sangat merindukan anak itu dan aku memiliki janji yang belum aku lakukan. Entah kenapa aku ingin sekali bertemu dengannya. Bukankah kau bisa melakukan apa pun yang aku inginkan? Pertemukanlah aku dengan Satria." Willem menarik nafas panjang untuk mengatasi rasa gelisah di dalam dirinya. Dia sudah berjanji kepada Sera. Mempertemukan Sera dengan Satria adalah hal yang bisa dia lakukan dengan sangat mudah. "Jika kau tidak bisa melakukannya, baiklah. Aku tidak akan memaksa. Mungkin aku akan meminta bantuan Bima. Dia adalah paman dari Satria. Pasti dia bisa mengabulkan keinginanku," lanjut Sera tidak menyerah. "Tidak," sela Willem. "Akan aku lakukan apa pun yang kau inginkan." Lelaki Belanda itu menatap sang sopir dari kaca spion dan lanjut berkata, "Kita akan menuju ke rumah Anggoro. Kita akan bertemu Satria di sana." Sa
Maya mendekati Bima, berusaha untuk menjaga lelaki itu agar tidak mengejar Sera yang sekarang sudah dibawa oleh Willem keluar dari kantor persidangan. "Aku tahu kau ingin mengetahui sesuatu bukan? Kau sudah menyelidiki semuanya. Tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Aku akan tetap menjagamu untuk menikahi Sera karena itu merupakan pembalasan dendam yang harus aku lakukan untuk membuatmu menderita." "Sudah jelas-jelas aku salah memilihmu. Bahkan Ibuku sekarang tidak menyukaimu. Untuk apa kau mempertahankan diriku sementara aku sama sekali tidak tertarik padamu?" balas Bima sambil mengawasi Maya dari atas sampai bawah. "Kau sama sekali tidak memiliki apa pun untuk menarik perhatianku. Jadi lebih baik kau berkaca sebelum kau mencari yang lain, karena aku yakin tidak akan ada lelaki yang tertarik kepadamu." Bima akan melewati Maya begitu saja. "Oh ya. Aku memang tidak akan pernah melepaskanmu dan melampiaskan diriku pada lelaki lain." Maya mendekati Bima kemudian tertawa dengan s
"Bupati tidak ada di ruangan!" teriak salah satu polisi. "Ke mana dia? Tadi dia bertemu dengan Nyonya Maya tapi sekarang dia menghilang begitu saja," lanjutnya dengan sangat panik, membuat beberapa anggota polisi lainnya berlari berhamburan dan memeriksa semua ruangan. Ketika ada salah satu yang akan memeriksa ruangan sebelah, mendadak anggota polisi lainnya menahan gerakannya. "Bukankah kita sudah memeriksa ruangan itu dan mengembalikan kursi yang dilempar itu? Tidak ada siapa-siapa di dalam. Ayo jangan buang waktu. Pasti dia kabur tidak jauh dari sini." Mereka akhirnya pergi dari sana. Sera yang semula mendorong tubuh Anggoro agar bibirnya bisa lepas itu tidak jadi ketika Anggoro menggelengkan kepala. Mereka berdua masih saja dimabuk asmara. Tidak peduli mereka mendengar keributan terjadi di luar. Anggoro pun tidak peduli jika dia nantinya akan mendapatkan hukuman tambahan karena menghilang begitu saja dan membuat semua orang panik. Ketika Anggoro sudah melakukannya dengan san
Anggoro masih terdiam mendengar apa yang dikatakan Maya. Wajah mereka memang sangat mirip. Awalnya Anggoro tidak mencurigai apa pun. Kebanyakan orang yang berasal dari luar Indonesia memiliki fisik yang sama. Kedua mata mereka memiliki warna yang khas. Anggoro tidak pernah memusingkan hal itu. "Tentu saja mereka sangat mirip. Seharusnya kita paham dari awal. Sera itu bukan orang Indonesia. Walaupun dia memiliki orang tua dari Indonesia. Tapi ... ibunya adalah seorang wanita penghibur. Yang aku dengar, dia pernah menjalin hubungan dengan orang Belanda," lanjut Maya sambil terus bersedekap disertai senyuman sinis ke arah Anggoro yang masih terdiam kaku. "Kau tidak boleh menikahkan mereka sebelum mereka melakukan tes DNA," imbuh Maya dengan jari telunjuk tepat ke arah wajah Anggoro. "Omong kosong apa ini? Aku tidak akan pernah melakukannya. Umur mereka sangat jauh." Anggoro kini berdiri dan mendekati pintu kemudian lanjut berkata,"Aku dan Willem memang satu kampus. Tapi aku jauh leb
Pamela semakin mengangkat kertas itu. Simbah berdiri dan menatap mantan menantunya itu. Dia sudah tidak menganggap Pamela sebagai menantunya lagi. Tersirat rasa marah di sana. "Keberatan yang mulia. Sebuah bukti bisa dikeluarkan jika memang diperlukan. Ini sama saja menghina persidangan," teriak salah satu pengacara Anggoro sambil menunjuk Pamela. "Keberatan diterima. Seharusnya kita bisa melakukan prosedur dengan baik di persidangan ini," ucap hakim. Pengacara Pamela mendekati wanita itu dan berusaha untuk menenangkan Pamela. Pamela pun kembali duduk sambil memperlihatkan senyuman sinis. Anggoro sangat paham dengan Pamela. Wanita itu sangat pintar berakting. Namun, dari mana dia bisa mendapatkan surat itu? Pasti ada orang dalam yang membantunya dan ini sangat tidak baik. Persidangan terjadi dengan sangat menegangkan dan runyam. Anggoro semakin terpojok. Sampai setelah 2 jam berlalu, persidangan itu pun selesai dan akan dilanjutkan 2 hari lagi. Di dalam ruangan Anggoro ter
Sera kemudian masuk begitu saja ke dalam kamarnya. Maya yang seketika itu berdiri dan akan mengikuti, segera menghentikan langkah ketika Sobar menggelengkan kepala. "Biarkan dia sendiri dulu. Masalahnya sangat rumit. Mungkin jika dia tidak mencintai Anggoro, semua tidak akan terjadi seperti ini." "Ya ... tapi jujur. Aku memang melihat Anggoro mencintainya," balas Maya sambil berkacak pinggang, menatap pintu kamar Sera yang kini tertutup rapat. Sobar semakin menatap Maya. Lelaki itu mengernyitkan kedua alisnya dan berkata, "Kenapa tiba-tiba kau berubah menjadi seperti ini? Padahal dulu, kau menertawakan dia saat Bu Broto dan suaminya, serta Bima menginjak-injak harga dirinya." Sobar menarik Maya untuk menjauh dari kamar Sera. "Aku tidak mau Sera mendengar apa yang kita omongkan. Dia itu sangat menderita ketika kau melakukan itu. Kau kan tahu juga, gara-gara Bima dia akhirnya menjadi seperti orang gangguan jiwa. Apalagi menyebabkan kecelakaan yang membuat anak bupati menjadi lu