Selepas salat aku berjalan di sekitar rumahnya Reza. Kulihat Brayen dan pengasuhnya sedang jalan-jalan juga. Sifatnya yang suka menjahili masih saja bikin elus dada.
"Eh, Bro. Pagi amat bangunnya."
"Biasa aja kali, Miss. Brayen yang manis ini memang bangunnya selalu pagi, selain tampan, cool, dia juga rajin menabung." Idiih ini bocah benar-benar copy pastenya si Reza.
"Emang anak Daddy Reza ini manis banget," sambungku.
"Biasa aja, miss. Aku mah dah biasa dipuji ama semua orang." Ya sallam, benar-benar ini bocah. Sabar, Nin.
Pengasuhnya justru tak bisa menahan tawa melihat tingkah tuan kecilnya yang seperti orang dewasa. Meski demikian kami berlari dengan happy sambil main bola kasti. Sesekali ku acak rambutnya yang sok cool. Entahlah si Brayen ini anak siapa sebenarnya dan dengan wanita yang mana karena sampai sekarang aku tidak tahu bagaimanq asal usulnya. Brayen meski tingkahnya persis sama dengan Reza, tapi wajahnya tak ada kesamaan sedik
Pov PriciliaNamaku adalah Pricilia Nugroho. Keluarga kalangan terpandang di kota ini. Semenjak pertemuanku dengan sahabat kakakku, ambisiku semakin menjadi ingin menaklukan Reza Adytama. Pemilik perusahaan terbesar di kota ini, meski dulu dia pernah memiliki skandal. Namun, tidak mengurangi rasa cinta di hatiku. Wajah menawan dan kaya raya siapa yang tidak tertarik, kemana-mana selalu ditemani para asistennya. Laki-laki sempurna yang pernah kulihat, siapa lagi kalau bukan Reza Adytama.Rasa cinta yang kumiliki semakin dalam ketika abangku Roy Nugoho menceritakan jika Reza tetap setia menjaga ibu tirinya sepeninggal ayahnya. Belum lagi anak kecil yang dia asuh hingga besar sampai saat ini. Aku tidak terlalu peduli dengan skandal keluarga Adytama, bagiku yang jelas ingin mendapatkan Reza, menjadi istrinya dan tentunya bisa menguasai hartanya.
Sorenya kuhubungi Rania. Aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan Reza sebagai kekasihku atau suamiku kelak."Rania segera cari tahu siapa Nina itu, aku tidak mau tahu." kuhubungi Rania kembali agar dia melakukan plan B untuk mencari tahu siapa Nina sebenarnya."Baik, nyonya."Rania melancarkan aksinya, tanpa sepengetahuan Reza. Hingga satu hal yang tidak kami sadari adalah wanita itu adalah gadis yang spesial di hati Reza. Gadis yang sudah Reza nikahi. Padahal hari ini kami akan ke luar kota karena proyek kerjasama disetujui di luar daerah. Aku bahkan menyusun rencana agar Reza satu kamar denganku melalui asistennya. Namun, kenyataan yang terjadi Reza balik arah kembali ke rumahnya karena dia melihat aksi Rania yang berani membenturkan kening istrinya hingga berdarah dan tak sadarkan diri. Reza begitu panik hingga tanpa sadar keluar dari mulutnya bahwa gadis itu istrinya. Kabarnya dia mengamuk ke semua ART bahk
Reza ke kamar mandi, aku langsung melancarkan aksiku. Aku berteriak agar dia paham posisinya. Selain itu aku sudah siap untuk dianggap sebagai pelakor, toh juga kami sepadan dan Mall ini adalah milikku. Ternyata aku salah besar, dia jauh lebih berani. Pesona gadis desa ini mampu membuat pengunjung menjadikan kami tontonan, tak ingin kalah kulihat Reza mendekat dan sengaja kubenturkan keningku hingga berdarah agar Reza iba kepadaku. Gayung pun disambut aku mampu membuat istrinya patah hati, dengan spontan Reza meneriaki istrinya dan langsung menggendongku. Aku berpura meringis kesakitan. Puas, satu kata yang aku rasakan ketika melihat wajah istrinya yang hampir menangis.Aku bahkan yakin Reza masih menyimpan rasa kepadaku.****Meski Reza tak mengantarku sampai rumah sakit hanya sampai di mobil Farhan. Namun, aku puas melihat pasangan suami istri itu semakin renggang. Plan berikutnya adalah membuat dia semakin dekat denganku di pesta ulang tahunku hari ini.
Aku menangis tersedu-sedu di pojokan kamar. Bajuku sudah entah kemana rimbanya. Dengan kasar dan brutal Reza menggauliku. Aku bahkan mengingat jelas dia merobek bajuku dengan sangat kasar. Aku merasa dinodai dengan cara tidak terhormat. Aku tidak menyangka Reza datang dengan bau alkohol yang begitu menyengat. Apakah Reza sebenarnya orang yang memiliki dua kepribadian? Ini benar-benar tak bisa aku biarkan lagi. Setelah menggauliku dengan kasar dan berkali-kali dia terlihat sangat kecapean dan tidak berdaya. Aku segera berkemas tak peduli larut malam, rasa sesak yang kurasa sudah sampai ke ubun-ubun. Reza membuatku benar-benar seperti wanita murahan, wanita yang bukan seperti istrinya. Apa begini cara orang yang terpandang membuat kalangan di bawahnya merasa hina seperti diriku ini. Sungguh aku trauma. Kuambil beberapa potong pakaianku lalu kumasukkan ke dalam tas ransel yang kupunya. Malam ini aku harus kabur tidak peduli bagaimana caranya yang jelas aku harus pergi d
Bus pun datang, tak ingin meninggalkan jejak aku langsung ikut naik. Tak ada kenalan yang bisa kuandalkan di kota besar ini, bahkan aku tak membawa gawai ditanganku. Saat ini yang ingin kulakukan adalah pergi jauh, sejauh- jauhnya. Sebelumnya di dekat stasiun ada ATM yang kumasuki. Dengan tangan gemetar aku membuka isi ATM itu yang ternyata isinya membuat alisku terangkat. Entah sejak kapan ATM ini diisi oleh Reza, setahuku sebelumnya hanya berisi satu juta uang yang kudapatkan dari transport sukarelawan. Aku hanya mengambil satu juta tak ingin membuat hutang dengan uang yang tidak kutahu keberadaannnya itu. Ternyata selain memberiku kartu-kartu di rumahnya, dia juga mengisi di ATM yang kumiliki. ****Bus berhenti di terminal berikutnya. Kali ini aku semakin bingung mau kemana. Ditengah kebingunganku, suara tidak asing terdengar di telingaku. "Non ...." "Fatia ...." Aku tidak mampu berkata-kata. "Nona mau kemana?" Fatia bertan
***Waktu terus berlalu aku semakin betah disini. Bahkan aku sudah mengenal warga satu demi satu. Aku sudah memiliki planing kedepan membuka klinik psikologi dan beberapa toko agar warga tidak jauh untuk berbelanja. Sesekali beberapa pemuda melirikku. Namun, Fatia selalu sigap menjagaku dan tegas mengatakan bahwa aku memiliki suami yang sedang tugas dinas di kota. Ah, Fatia kau memang orang yang luar biasa bagiku.Belakangan ini aku merasa tak enak badan. Perutku terasa mual, kepalaku sering pusing. Aku bahkan tak kuat mencium bau atau harum-harum yang sejenis parfum. Aku bahkan meminta Fatia kerokan hari ini."Mbak, satu pintaku jangan sampai keluarga Adytama mengetahui keberadaanku disini. Aku tidak tahu mau percaya sama siapa. Namun, aku yakin mbak dapat dipercaya.""Iya, Non. Aku sudah berjanji untuk setia kepada Nona terlepas dari masalah apa. Tapi ....""Tapi apa mbak?""Sebenarnya ada apa? Sampai nona kabur dan rumah Adytama gempar. Bah
"Nona hamil?" tanya Fatia, bahkan aku lupa jika aku hamil saking fokusnya mendengar suara di seberang sana yang mengatakan Reza akan segera menikah. "Nona ...." Dengan sigap Fatia mengambil tespack yang tiba-tiba terjatuh olehku. "Nona, ini benarkah?" Fatia memelukku terharu, aku justru tidak percaya hal ini terjadi menimpaku. Menikah dan dicampakkan begitu saja oleh suami sendiri. "Mbak, kenapa masih berhubungan dengan mereka," ucapku serak. Ingin marah, tapi apa hakku, bahkan Fatia yang lebih banyak membantuku selama ini. "Pengasuhnya Brayen menelponku, Nona. Maafkan aku, apa nona mendengar ...." ucapan Fatia terhenti, ada rasa bersa
**** Waktu terus berlalu, siang berganti malam. Tak terasa usia kehamilan sudah menginjak tujuh bulan. Fatia bahkan sibuk menyiapkan tujuh bulananku padahal aku sudah katakan tidak perlu. Toh juga tak ada suami yang mendampingi , tapi keikhlasan Fatia dan warga di kampung ini acara itu terlaksana dengan lancar. Aku sangat bersyukur bertemu dengan orang yang ikhlas menemaniku disaat aku terpuruk seperti ini. Toko dan apotek yang kami bangun berjalan sangat lancar. Apotek yang masih terbilang belum ada disini paling laris penjualannya karena kami menjual dengan harga yang tidak terlalu mahal, itu yang membuat warga lebih memilih toko dan apotek yang kami punya. Selama di kampung ini aku hanya keluar ketika check kandungan dan ambil uang di bank waktu itu. Fatia sampai kaget melihat uang yang begitu banyak kupunya. Aku juga lebih kaget melihat uang itu justru semakin bertambah, bukan semakin berkurang. Entahlah, apa aku berdosa atau tidak mema
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat