Kakak-Kakak yang baik hatinya selangit, jangan lupa komentarnya biar aku makin semangat, ya. Mamaciii. Sayang kalian semua
Di unit apartemen Restu. Pria itu ada di ruang tamu bersama Rizki yang juga tinggal di sana menemani dirinya.“Apa semuanya dijalankan dengan lancar?” tanya Restu sambil menatap Rizki yang berdiri di samping sofa.“Sudah, Pak. Semua dilakukan dengan rapi dan lancar, bahkan orang suruhan kita dijamin profesional. Semua beres dan aman,” jawab Rizki langsung paham ke mana arah pertanyaan atasannya itu.Restu mengangguk-angguk. Kebakaran di perusahaan dan pabrik Jefri memang bukan sebuah ketidaksengajaan, semua direncanakan oleh Restu. Pria itu menyuruh orang untuk membuat insiden kebakaran di perusahaan dan pabrik Jefri, dia ingin memberi pelajaran pada pria yang berani menyakiti keponakannya. Apalagi tidak sekali Jefri bersikap kasar pada Alina.“Lalu, apa rencana Anda pada Dani?” tanya Rizki penasaran. “Bayar orang mengawasinya, pastikan Dani aman dan tidak ada yang menyakitinya,” jawab Restu memberi perintah.“Baik, Pak.” Rizki mengangguk.**Di rumah Aksa. Alina sedang membongkar k
Aksa sangat cemas. Dia langsung berdiri menyusul Alina yang pergi ke kamar mandi.Restu ikut menyusul. Dia berdiri di depan kamar mandi sampai Alina dan Aksa keluar.“Kamu yakin tidak apa-apa?” tanya Aksa seraya berjalan keluar kamar mandi bersama Alina.“Iya, aku baik-baik saja,” jawab Alina.Alina melihat Restu berdiri di depan kamar mandi sampai membuatnya sungkan.“Saya minta maaf sudah mengacaukan acara makan malamnya,” kata Alina.“Tidak apa-apa. Jika kamu tidak enak badan, istirahatlah,” balas Restu.Alina memulas senyum, lalu membalas, “Saya hanya kecapean dan masuk angin. Kita bisa lanjut makan malam jika Anda tidak keberatan.”Restu mengangguk. Mereka kembali melanjutkan makan malam meski Alina terlihat tidak berselera.Setelah makan malam usai, Restu pamit karena melihat Alina seperti orang sakit dan butuh istirahat, dia tidak mau mengganggu Alina jika terlalu lama berada di sana.“Terima kasih makan malamnya. Rasanya sedikit menjadi obat rindu karena jauh dari rumah,” ucap
Alina terkejut Aksa tidak mau berangkat bekerja, apalagi dia tahu kalau Aksa ada rapat penting pagi ini.“Aku baik-baik saja, kamu jangan terlalu cemas,” kata Alina meyakinkan Aksa.“Apanya baik-baik saja? Kamu terus muntah, bahkan setelah meminum obat pun masih muntah, kamu bilang baik-baik saja?” Aksa tidak percaya begitu saja.Alina tersenyum agar Aksa tidak cemas, lalu membalas, “Kamu ada rapat penting, Aksa. Aku benar-benar tidak terlalu sakit.”Aksa menatap datar. Alina tidak tahu, seberapa cemas Aksa jika melihat Alina sakit.“Aku hanya sakit biasa, kamu jangan cemas begitu. Pergilah ke kantor, aku janji akan ke dokter,” kata Alina meyakinkan.“Tidak!” tolak Aksa, “aku akan menemani untuk memastikan kondisimu,” ujar Aksa.Alina gemas karena suaminya sangat keras kepala. Dia menangkup kedua pipi Aksa, lalu sedikit membungkuk sampai kening mereka bersentuhan.“Kamu ada rapat penting dan harus datang. Aku akan ke dokter sendiri dan akan segera memberimu kabar jika sudah selesai pe
Alina terkejut sampai menatap tak percaya pada orang yang ada di hadapannya. Dia diam mematung memandang pada wanita di hadapannya saat ini. “Kamu memang tidak tahu terima kasih!” Alina tidak terkejut mendengar makian wanita itu. Dia masih memandang pada wanita berumur 60 tahunan itu. “Setelah kami merawat, membesarkan, memberikan kalian tempat tinggal, kalian kabur begitu saja tidak tahu terima kasih! Bahkan kamu sekarang menikah dengan orang kaya, kan? Kamu sangat sombong sampai lupa siapa yang dulu membesarkanmu!” Alina hanya diam. Dia malas menanggapi semua ocehan bibinya itu. “Beri aku uang. Pamanmu dirawat di sini karena stroke dan kami butuh biaya banyak!” Sang bibi dengan tidak tahu malu menengadahkan tangan pada Alina. Alina tidak menyukai semua sikap sang bibi, tetapi karena dia juga tidak tega, membuat Alina membuka tas lalu memberikan uang cash yang dimilikinya. “Ini untuk sedikit biaya kalian selama di rumah sakit,” kata Alina sambil mengulurkan lembaran uang merah
Aksa pulang dengan panik karena Alina tidak menjawab panggilan darinya. Meskipun Bams sudah memberitahu kalau Alina sudah pulang sejak tadi dan ada di rumah, tetap saja hal itu tidak bisa meredam kecemasannya.Saat sampai di rumah. Aksa langsung mencari keberadaan Alina. Dia ke kamar dan mendapati sang istri tidur. Aksa bernapas lega, lalu berjalan menuju ranjang.Aksa duduk di tepian ranjang, memandang wajah Alina sambil memastikan kalau istrinya baik-baik saja. Dia juga mengecek ponsel Alina yang ada di atas nakas, pantas saja panggilannya tidak dijawab, ponsel Alina mode silent.“Kenapa kamu sudah pulang? Apa ini sudah sore?”Aksa mendengar suara berat Alina, dia menoleh dan melihat istrinya bangun.“Kenapa kamu tidak memberiku kabar?” tanya Aksa balik.Alina menghela napas berat, kelopak matanya juga belum terbuka sempurna.“Apa kata dokter?” tanya Aksa lagi.“Aku belum jadi periksa,” jawab Alina.Dahi Aksa berkerut.“Bukannya tadi dari rumah sakit?” tanya Aksa keheranan.“Iya, ta
Sasmita berada di rumah sakit untuk melakukan cek kesehatan. Dia sudah berada di ruang pemeriksaan dan menunggu dokter menyampaikan kondisinya.“Tekanan darah Anda sedikit tinggi, jadi kontrol pola makan dengan tidak memakan makanan yang bisa menjadi pemicu tekanan darah naik juga hindari stres berlebih,” ucap dokter menjelaskan.Sasmita mengangguk. Dia pusing karena memikirkan Aksa. ‘Jika bukan karena Alina, aku tidak akan stres,’ batin Sasmita.Setelah mendapat resep dan menebusnya di apotek. Sasmita berjalan menuju pintu keluar sambil menghubungi sopirnya agar membawa mobil ke depan lobby rumah sakit.Saat Sasmita hampir sampai di pintu lobby, dia berpapasan dengan wanita yang tak lain bibi Alina. Bibi Alina berjalan dari luar, saat berpapasan dengan Sasmita, Bibi Alina menghentikan langkah. Dia menoleh pada Sasmita yang berjalan keluar dari lobby, lalu beberapa detik kemudian dia mengejar Sasmita.“Kamu, benar ini kamu!” Bibi Alina menghadang jalan Sasmita, lalu menunjuk wajah wa
Alina memandang Aksa yang baru saja mengakhiri panggilan. Dia bisa melihat kebahagiaan di wajah suaminya, bahkan Alina tidak pernah melihat ekspresi wajah Aksa yang seperti sekarang. “Nenek akan datang,” kata Aksa sambil berjalan mendekat ke ranjang.“Apa tidak terlalu terburu-buru mengabari Nenek?” tanya Alina agar ragu. Apalagi mereka belum benar-benar memastikan kondisi dan usia kandungan Alina.Aksa duduk di tepian ranjang, menatap lekat wajah Alina, lalu menggenggam erat telapak tangan sang istri.“Lebih cepat memberitahu, itu lebih baik,” balas Aksa, “Nenek sangat bahagia, siapa tahu dengan begini dia lebih semangat menjalani hari karena ingin menyambut cicitnya lahir,” ujar Aksa lalu meraih tangan Alina dan mengecup punggung tangan Alina dengan lembut.Alina memulas senyum. Dia bahagia jika kehamilannya bisa membuat semua orang senang.“Besok kita ke rumah sakit lagi untuk memastikan usianya,” ujar Aksa lagi.Senyum Alina memudar mendengar ucapan Aksa. Jika ke rumah sakit, apa
Di rumah sakit. Bibi Alina melamun sambil memandang suaminya yang terbaring lemah karena terkena stroke. Dia bingung karena butuh biaya banyak tapi tidak punya tabungan.“Apa aku bisa memanfaatkan wanita itu?” Bibi Alina berpikir.“Aku yakin tidak salah lihat. Aku ingat wanita itu.” Bibi Alina bermonolog, bicara sendiri sambil terus berpikir.“Tapi ….” Bibi Alina terlihat ragu.“Sepertinya tidak mudah memanfaatkannya, apalagi aku tidak punya bukti. Belum dia itu kaya, pasti bisa melakukan sesuatu untuk membungkamku.” Bibi Alina tiba-tiba cemas.Dia tidak tahu kalau wanita yang tadi ditemuinya adalah mertua dari keponakannya.Wanita itu pusing. Satu-satunya cara mendapat uang secara instan adalah dengan meminta pada Alina. Ya, dia harus minta pada Alina.**“Makan pelan-pelan, yang penting ada makanan masuk lambung,” ucap Nenek Agni menemani Alina makan.Aksa berkata kalau sejak pagi Alina susah sekali makan, sehingga Nenek Agni memaksa agar Alina makan demi kesehatan.Alina mencoba ma
Aksa baru saja sampai rumah sore itu. Dia keheranan, kenapa rumahnya sangat sepi, biasanya Arlo berlarian ke sana-kemari atau bermain di depan.“Alina sudah pulang?” tanya Aksa pada pelayan.“Sudah, Tuan.”Aksa mengangguk dan tidak bertanya lagi. Dia pergi ke lantai atas untuk mencari sang istri.Ternyata benar jika Alina ada di kamar.“Arlo di mana? Tumben sekali sepi, tidak mungkin dia tidur di sore hari, kan?” tanya Aksa seraya melepas jas dan dasinya.Alina sedang duduk di sofa ketika mendengar suara Aksa. Dia segera berdiri untuk menyambut suaminya itu.“Tadi Papa telepon, bilang katanya mau pergi memancing di laut, jadi mau mengajak Arlo. Berhubung Arlo juga mau ikut, jadi tadi aku antar ke sana setelah selesai mengurus apartemen Dani,” jawab Alina.Aksa langsung menatap penuh arti. Ada rasa senang, bahagia, dan seperti bebas.“Jadi, di rumah ini hanya ada kita berdua?” tanya Aksa dengan senyum yang sulit dideskripsikan.Alina mengerutkan alis.“Ada pelayan, sopir, tukang kebun,
Siang itu Alina membantu Daniel pindah ke apartemen. Alina juga membantu Daniel memilih perabot untuk mengisi apartemen, disesuaikan dengan kebutuhan Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.“Aku tidak perlu banyak barang, ini sudah cukup.” Daniel sampai menggaruk kepala. Padahal bisa saja tinggal pesan dan kirim, tetapi Alina memaksa untuk tetap memilih sendiri.Alina masih mengecek barang-barang yang dibutuhkan Daniel, baru kemudian merasa tenang jika semua sudah terbeli.“Bagaimana dengan pakaianmu?” tanya Alina setelah selesai melakukan pembayaran dan menggunakan jasa toko untuk mengangkut barang yang dibelinya ke apartemen.“Aku minta tolong sopirnya Bibi untuk mengemas dan mengantar ke sini. Jadi tidak usah boros dengan beli pakaian baru,” jawab Daniel.Alina mengangguk-angguk.“Mama, Alo lapal.” Arlo sejak tadi ikut Alina ke sana-kemari, membuat bocah kecil itu sekarang kelelahan.Alina dan Daniel menoleh bersamaan pada Arlo, mereka sibuk sampai lupa kalau bocah kecil itu ikut d
Naya melihat wanita itu seperti gemetar. Apa wanita itu tidak menerima kedatangan mereka, atau ada hal lain sehingga respon wanita itu seperti ini?Bams mendekat pada sang ibu. Dia lalu memeluknya.Dalam sekejap, Naya melihat wanita itu menangis begitu kencang sambil mengusap punggung Bams.“Kamu akhirnya mau pulang. Ibu pikir kamu membenci ibu dan hina jika menemui ibumu ini.”Naya melihat wanita itu meraung. Dia menatap Bams yang memeluk erat tubuh wanita tua itu.“Yang penting aku pulang sekarang.”Bams melepas pelukan. Dia menatap sang ibu yang masih menangis.“Aku hanya tidak mau menjadi masalah buat Ibu. Kalau aku membencimu, untuk apa aku memintamu pindah ke sini?”Wanita itu masih menangis meski Bams sudah menjelaskan.“Aku datang karena ingin mengenalkan Ibu dengan seseorang,” ucap Bams.Wanita itu menghentikan tangisnya. Dia menatap Bams dengan wajah masih penuh air mata.Bams menggeser posisi berdiri, lalu menunjuk pada Naya.Wanita tua itu menatap ke arah Bams menunjuk. Di
“Nona, ini sudah saya buat rincian pesanan desain. Ini juga jadwal undangan Anda untuk acara fashion show tema spring.” Naya memberikan tablet pintar berisi jadwal Alina.“Terima kasih, Nay.” Alina menerima tablet itu, lalu mengecek data di dalamnya.Naya menunggu Alina merespon, lalu atasannya itu memandang ke arahnya.“Kalian jadi pergi hari ini, kan?” tanya Alina.“Jadi, makanya saya berikan dulu rincian ini agar Anda bisa menyiapkan desainnya. Anda tahu ‘kan, Anda terkenal tepat waktu, jadi jangan sampai terhambat sehari dua hari karena saya pergi,” balas Naya.Alina melebarkan senyum.“Iya, kamu memang paling mengerti aku,” ucap Alina, “jika ada apa-apa hubungi aku, ya.” Alina bicara sambil mengusap lengan Naya.Naya tiba-tiba memeluk Alina, membuat wanita itu terkejut.“Terima kasih, Nona. Anda selalu ada untuk saya dan menjadi satu-satunya keluarga untuk saya selama dua tahun ini,” ucap Naya.Alina terkesiap. Dia tersenyum lalu membalas pelukan Naya.“Kalau aku ini keluargamu,
“Dani bilang masih ada urusan di luar, jadi kita tidak perlu menunggunya makan malam,” ujar Alina setelah membaca pesan dari Daniel.Aksa baru saja berganti pakaian. Dia kemudian mendekat pada Alina yang masih duduk di tepian ranjang.“Bagaimana kondisi Anya? Dia sudah lebih baik?” tanya Aksa.Aksa juga bersimpati pada kondisi mental Anya karena selama dua tahun harus melihat sang ayah yang melakukan kekerasan pada sang ibu.“Jika dilihat dari luar, ya dia baik-baik saja. Dia bermain bersama Arlo dengan riang, bukankah itu bagus? Hanya saja, Jia tetap akan membawa Anya ke psikolog, hanya untuk memastikan saja, apa benar Anya baik-baik saja atau ada gangguan mental,” ujar Alina panjang lebar menjawab pertanyaan Aksa.Aksa mengangguk-angguk paham.Mereka pergi ke ruang makan untuk makan malam bersama. Sudah ada Naya, Bams, dan Arlo di sana.“Mama.” Arlo berlari menghampiri Alina yang baru saja datang.Aksa menghela napas, dia harus pasrah jika Alina diambil alih Arlo.Alina menggandeng
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc