Kakak sekalian, jangan lupa tinggalkan komentar kalian, ya. Mamacii
“Kenapa wajahmu pucat seperti itu?”Mirza sedang mengikat dasi ketika bertanya. Dia menatap Sasmita yang duduk di tepian ranjang dan hanya melamun.Mirza melihat istrinya itu menoleh lalu menggeleng pelan. Dia menghampiri Sasmita kemudian menyentuhkan punggung tangan di kening Sasmita, tetapi istrinya tidak panas.“Semalam kamu juga terus mengigau, sedang memikirkan apa?” tanya Mirza sambil memperhatikan wajah Sasmita.Sasmita masih diam, lalu menghela napas kasar.“Tidak memikirkan apa-apa. Mungkin karena tekanan darah sedang tidak stabil saja,” balas Sasmita.Mirza mengangguk-angguk percaya. Dia akhirnya memilih segera bersiap-siap karena harus ke perusahaan.**Saat siang hari. Alina di ruang keluarga sedang membuat sketsa gaun seraya menikmati potongan buah.Saat masih larut dalam keheningan karena fokus menggambar. Alina mendapat panggilan dari Kaira. Dia segera menjawab panggilan itu.“Halo, Kai.”“Al, Ilham bilang kalau kamu hamil. Apa itu benar?”Alina mendengar suara Kaira ya
“Tuhan sepertinya berpihak padaku. Lihat saja, mereka bersama dan ini kesempatanku.”Seringai jahat muncul di wajah.“Kalian sudah membuat bisnisku hancur. Aku yakin ini karena ulahnya. Lihat saja, ini akibat kalian main-main denganku!”Jefri menginjak pedal gas semakin dalam. Seringai jahat masih terpajang di wajah. Dia berniat menabrak Alina dan Kaira yang sedang menyeberang jalan. Bukankah ini keberuntungan baginya karena melihat keduanya bersama.Mobil yang dikemudikan Jefri melaju semakin kencang mengarah dengan sengaja ke Kaira dan Alina.“Mati kalian!” teriak Jefri diikuti tawa menggema di kabin mobil.Bams melihat mobil SUV melaju sangat kencang. Dia langsung berteriak, lalu mendorong Alina dan Kaira secara bersamaan agar segera menepi. Namun, karena prioritasnya melindungi Alina. Bams hanya bisa melindungi Alina dengan memegang kedua lengan Alina lalu menjadikan tubuhnya sebagai alas untuk memastikan Alina tidak jatuh dan terluka, sedangkan Kaira terdorong dan jatuh di sisi ba
“Maaf, Pak. Saya kurang hati-hati,” ucap Bams ketika menemui Aksa yang baru saja memastikan kondisi Alina.Aksa memang sedang begitu emosi karena istrinya hampir celaka. Namun, mendengar Alina yang mengatakan kalau Bams sampai terluka demi melindungi Alina, membuat Aksa memberikan pengecualian untuk kali ini.“Yang terpenting Alina tidak terluka,” ucap Aksa.Bams mengangguk.“Di mana pria brengsek itu?!” Aksa mencari keberadaan Jefri. Kali ini dia tidak akan membiarkan Jefri lepas begitu saja.Bams menunjuk ke salah satu ruang pemeriksaan yang tertutup tirai. Jefri mengalami luka di kening dan beberapa goresan di wajah karena terkena pecahan kaca mobil, sehingga butuh penanganan dokter.“Kamu mau apa?” tanya Alina sambil menahan tangan Aksa.“Kamu tunggu sini. Akan kupastikan dia mendapat hukuman yang setimpal,” ujar Aksa lalu melepas tangan Alina.Aksa pergi ke ruang pemeriksaan Jefri berada.Alina cemas, tetapi Kaira menahan agar tetap di sana bersamanya, sedangkan Bams dan Ilham la
Kaira sudah sampai di apartemen bersama Ilham. Dia langsung duduk di sofa karena lututnya sakit. Ilham mengambilkan minum, lalu memberikan untuk Kaira. “Terima kasih,” ucap Kaira lalu meneguk air putih pemberian Ilham. “Aku masih tidak menyangka Jefri senekat itu. Ya, meski dia memang kayak psikopat, tapi aku tidak menduga dia sangat kejam hingga tega berniat menabrak kami,” ujar Kaira lalu mengembuskan napas kasar. “Mungkin karena sudah sangat dendam. Bisa saja dia mengira kalau Pak Aksa jadi penyebab kebakaran perusahaannya, karena itu dia berusaha mencelakai Alina juga,” ujar Ilham. “Memangnya bukan Aksa yang melakukannya?” tanya Kaira karena tidak tahu. “Untuk apa Pak Aksa melakukannya? Jika memang ingin menjatuhkan, dia biasanya akan memilih cara halus. Contohlah perusahaan Pak Rudi, dia membuat banyak klien hengkang dari perusahaan pria itu. Ya, salah satu shock terapi agar pria itu tidak main-main pada Pak Aksa atau Bu Alina,” ujar Ilham menjelaskan panjang lebar. Kaira
Sasmita ikut Nenek Agni ke rumah Aksa. Saat mereka sampai di sana, ternyata bersamaan dengan dokter dan seorang perawat yang baru saja datang.Tentu saja Nenek Agni cemas. Dia langsung turun dan memanggil dokter itu lebih dulu.“Apa terjadi sesuatu dengan cucuku?” tanya Nenek Agni dengan air muka panik.Dokter itu mengangguk menyapa, lalu kemudian menjawab, “Pak Aksa bilang Bu Alina mengalami kram perut, jadi saya segera ke sini untuk memeriksanya.”Nenek Agni sangat terkejut, begitu juga dengan Sasmita. Mereka segera masuk untuk melihat apa yang terjadi.Saat masuk ke kamar Aksa. Mereka melihat Aksa yang sangat panik sambil terus menggenggam telapak tangan Alina, sedangkan Alina hanya berbaring.Aksa menoleh saat mendengar suara orang masuk kamar. Dia langsung berdiri ketika melihat dokter datang.“Tolong cek kondisinya, Dok. Tadi tidak apa-apa, kenapa sekarang begini?” tanya Aksa tidak bisa menyembunyikan kecemasannya.“Biar saya periksa dulu,” kata dokter.Aksa berdiri untuk member
Aksa dam Alina masih di kamar setelah Nenek Agni dan Sasmita pulang. Aksa menemani Alina makan buah sambil duduk di atas ranjang menyaksikan film dari televisi yang terpajang di dinding.“Apa kamu lihat tadi? Sikap mamamu agak beda,” ujar Alina tidak tahan untuk membahas hal itu pada Aksa.“Kalau memang berubah, bukankah bagus?” Aksa menoleh dan menatap lekat wajah Alina.Alina ikut menoleh sehingga mereka kini saling pandang.“Aku lega kalau Mama sudah mau berubah dan baik padamu, aku tidak perlu mencemaskan apa pun lagi,” balas Aksa lalu mengecup kening Alina.Alina mengangguk-angguk. Dia berusaha berpikir positif, mungkin sikap Sasmita berubah karena tahu akan punya cucu darinya dan tidak mau menyakiti calon cucu yang dikandung Alina.“Setelah ini, kamu jangan pergi-pergi apalagi tanpa izinku. Ingat pesan dokter, kamu harus bedrest sampai kondisimu benar-benar baik dan tidak mengalami kram lagi.” Aksa menegaskan karena takut terjadi sesuatu pada Alina.Alina mengangguk meski raut w
“Aku bosan di rumah,” kata Alina sambil menekan remote televisi tanpa tahu apa yang ingin ditonton.“Kondisimu belum stabil. Ingat kata dokter, kamu harus bedrest sampai usia kandunganmu masuk trimester kedua.” Aksa mengingatkan pesan dokter.Alina cemberut. Dia benar-benar tidak bisa hanya duduk di kasur atau berbaring sepanjang hari.“Buka mulutmu!” perintah Aksa.Aksa menyuapi Alina dengan potongan buah, istrinya itu terlihat lucu saat sedang merajuk.Saat keduanya masih duduk sambil menonton acara televisi, terdengar ketukan pintu kamar. Aksa berjalan menuju pintu lalu membukanya. Dia melihat Dani ada di depan pintu.“Di mana Kak Alina?” tanya Dani menjenguk sang kakak mumpung libur.“Masuklah.” Aksa melebarkan pintu.Dani berjalan masuk sambil membawa sesuatu di tangan kanannya.Alina langsung melebarkan senyum melihat kedatangan sang adik.“Senangnya kamu datang ke sini. Aku sudah bosan terus di kamar,” keluh Alina begitu manja.“Kak Alina diminta istirahat juga demi kesehatan,
“Bagaimana perutmu? Masih nyeri?” tanya Aksa dengan ekspresi cemas.Dani sudah pulang, sekarang Alina kembali berdua di kamar bersama Aksa.“Kamu baru tanya itu beberapa menit lalu,” ujar Alina sampai pusing karena suaminya bertanya akan kondisinya tiap menit.“Aku hanya memastikan. Siapa tahu kamu nyeri lagi jadi kita bisa cepat-cepat mengatasinya,” balas Aksa tidak ingin lengah jika menyangkut kesehatan Alina.“Sudah tidak kram lagi. Aku juga merasa sudah sehat,” jawab Alina sekali lagi. Jawaban sama dengan pertanyaan sebelumnya.“Meski sudah membaik, tetap ingat pesan dokter,” ujar Aksa lagi.“Iya.” Alina bosan dengan sikap posesif Aksa, tetapi sikap itu juga menunjukkan betapa sayang Aksa padanya.**Dani baru saja sampai apartemen. Dia berjalan dari area parkir menuju lobby. Saat akan masuk lobby, tiba-tiba ada yang memanggil namanya, membuat Dani menoleh.“Benar kamu tinggal di sini,” ucap bibi Dani yang tiba-tiba muncul di sana.Dani sangat terkejut. Kenapa bibinya bisa sampai
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.