Jia berada di mobil yang berhenti di bahu jalan bersama Daniel dan dua pengawal lain. Mereka sedang menunggu, sampai beberapa saat kemudian ada mobil lain yang berhenti di belakang mobil mereka.Alina turun dari mobil yang baru saja berhenti lalu segera masuk mobil milik Daniel.“Ada apa?” tanya Alina saat sudah berada di mobil, duduk di samping Jia.“Jia tidak bisa menunggu lama untuk mengakhiri hubungannya dengan Edwin, karena itu Jia ingin meminta bantuan untuk ditemani menemui mertuanya,” ujar Daniel menjelaskan lalu menatap pada Jia.Alina menatap pada Jia.“Aku yakin Edwin akan terus bergerak untuk mendapatkanku. Jika dia menemukanku, entah apa yang akan dilakukannya. Jadi sebelum dia menemukanku, aku harus bertemu orang tuanya lebih dulu,” ucap Jia.“Apa kamu yakin? Ini akan sangat beresiko,” ujar Alina tidak yakin dan cemas.“Hanya ini cara satu-satunya. Beberapa teman mediaku tidak berani mengangkat berita perselingkuhan Edwin karena takut menerima konsekuensi yang didapat jik
Kedua orang tua Edwin terkejut mendengar ucapan Jia. Namun, mereka memasang wajah tak senang setelahnya.“Memiliki wanita lain? Apa tidak kebalikannya?” tanya ibu Edwin.Jia sangat terkejut. Apa maksudnya ini?“Bukankah kamu yang kabur bersama pria lain? Kamu pikir kami tidak tahu.” Ibu Edwin kembali bicara.Jia sangat syok. Dia sampai menoleh pada Alina lalu menggeleng, takut kalau Alina percaya dengan ucapan orang tua Edwin.“Sepertinya ada kesalahan di sini,” ucap Alina akhirnya angkat suara.“Kesalahan? Kesalahan bagaimana maksudmu? Kamu orang luar tahu apa?” Ibu Edwin tampak tak senang karena Alina ikut campur.Alina terkejut, tetapi berusaha tenang.“Pria itu selingkuhanmu, kan?” Ayah Edwin bicara seraya menunjuk pada Daniel.Tentu saja Alina dan Jia terkejut mendengar tuduhan itu. Mereka sampai menoleh bersamaan.Daniel terlihat tenang. Dia tetap berdiri tegap dengan tatapan tajam meski dituduh menjadi selingkuhan Jia. Dia sudah memprediksi hal ini, mengingat dirinya beberapa k
Ibu Edwin keluar dari mobil dengan amarah yang membuncah. Dia pergi ke rumah yang dia hadiahkan untuk pernikahan Edwin dan Jia, tetapi beraninya putranya malah menjadikan rumah itu tempat menyembunyikan selingkuhan. Wanita itu berjalan cepat menuju pintu lalu masuk rumah begitu saja. Sampai di sana, tidak ada satu pelayan pun di sana, tetapi pintu tidak terkunci, sudah jelas jika berpenghuni, kan? Ibu Edwin pergi ke kamar utama, sampai di sana dia langsung masuk dan melihat Sonia yang sedang berbaring seraya menonton siaran televisi. “Oh, ternyata benar!” Tatapan wanita paruh baya itu penuh dengan kilatan amarah. Sonia sangat terkejut. Dia langsung turun dari ranjang seraya merapikan lingerie yang dipakainya. Dia gelagapan dan panik karena ibu Edwin ada di sana. Wanita paruh baya itu mendekat. Sekali ayun, tamparan mendarat sempurna di pipi Sonia. Sonia sangat terkejut. Dia sampai memalingkan muka karena tamparan yang begitu keras. Sonia memegangi pipi yang begitu panas. “Berani
Alina dan yang lain pulang ke rumah Daniel, mereka semua lega karena orang tua Edwin percaya dengan bukti dan kesaksian Jia.“Kalau sudah begini, aku berani meminta pengacara untuk membantu proses perceraian kami. Setidaknya orang tua Edwin tidak akan menghalangi,” ujar Jia.“Iya,” balas Alina, “untung saja kamu punya banyak bukti,” imbuh Alina.Jia tersenyum getir, lalu membalas, “Aku punya semua bukti, hanya saja tidak berani bicara karena Papa ditahan Edwin. Tapi, karena kalian membantuku membebaskan Papa, membuatku lebih berani untuk segera bertindak. Terima kasih.”Jia menatap Daniel, Alina, dan Restu bergantian.“Kami lega bisa membantumu. Tapi selama Edwin belum diatasi, tetaplah tinggal di sini,” ucap Alina seraya menggenggam tangan Jia.Jia mengangguk dengan senyum penuh kelegaan di wajah. Dia kemudian menoleh pada Daniel. Jika tidak ada Daniel yang menolongnya waktu itu, Jia tidak akan pernah berada di posisi ini sekarang, dan mungkin dia masih akan terjebak dalam pernikahan
Bams segera keluar kamar saat mendengar teriakan Naya. Dia melihat Naya yang sudah menggendong Arlo.“Ada apa?” tanya Bams sampai hanya keluar menggunakan celana pendek dan kaus polos hitam. Sangat jauh dari style yang biasa dipakainya.Naya melipat bibir melihat Bams hanya memakai celana pendek. Dia lalu menunjuk ke tembok di samping rumah.Bams memperhatikan apa yang ditunjuk Naya. Akhirnya dia memanggil salah satu penjaga, kemudian keduanya mengecek apa yang dilihat Naya. Saat Bams naik menggunakan tangga. Dia mendapati sebuah kamera pengawas di sana. Ekspresi wajah Bams berubah suram mengetahui ada yang berani memantau rumah Aksa.Dengan tatapan tajam, tanpa mematikan kamera, Bams berkata di depan kamera itu. “Aku akan memburu kalian.”Setelah mengucapkan itu. Bams mematikan alat itu.Naya masih menggendong Arlo. Dia cemas kalau ada yang memantau Arlo.“Biar saya bawa Tuan kecil masuk,” kata pelayan.Naya mengangguk. Dia memberikan Arlo ke pelayan dan meminta agar menjaga Arlo te
Saat sore hari. Bams langsung melapor soal kamera yang ditemukannya ketika Aksa dan Alina baru saja pulang.“Datanya langsung tersinkron dengan alat yang mereka bawa. Jadi semua kegiatan yang terekam oleh kamera ini, sudah dipegang mereka,” ujar Bams menjelaskan setelah meletakkan kamera pengawas yang didapatnya.Aksa diam dengan tatapan dingin. Jadi benar kalau Edwin berani memantau rumahnya.“Edwin memasang itu karena ingin memastikan apakah Jia di sini atau tidak?” Alina menebak.“Dugaan saya seperti itu. Tapi, karena Jia dan anaknya tidak di sini, mungkin mereka hanya mendapatkan rekaman Arlo atau pelayan lain ketika beraktivitas,” ujar Bams.Ekspresi wajah Alina berubah cemas. Dia langsung menatap pada Aksa.“Apa ada kemungkinan Edwin akan menargetkan Arlo?” tanya Alina dengan ekspresi wajah panik.Aksa diam berpikir, lalu menjawab, “Jika dia memang bajingan, Edwin akan melakukan segala cara untuk menghancurkan siapa saja yang berani membantu Jia. Namun, meski begitu aku tidak ak
Anya terlepas dari gendongan Jia. Bocah itu ketakutan melihat sang mama ditarik seorang pria dengan kondisi mulut dibekap.“Mama!” Anya panik. Dia melihat ada pria lain ingin menangkapnya, membuat Anya langsung berlari ke arah orang-orang yang sedang berusaha memadamkan api.“Paman! Paman!” Anya memanggil siapa pun yang bisa mendengarnya di sela riuh semua orang berusaha memadamkan api.Saat itu, Daniel baru saja menurunkan Alex. Dia mengedarkan pandangan mencari Jia dan malah melihat Anya berlari.“Paman!” teriak Anya.Daniel melihat pria yang mengejar Anya.“Anya!” Daniel berlari ke arah Anya, Jhony yang melihat hal itu ikut berlari.“Paman, orang itu bawa Mama!” teriak Anya sekuat tenaga berlari sampai akhirnya sampai pada Daniel.Pria yang mengejar Anya berhenti melangkah. Dia berbalik arah karena Daniel melihatnya.“Mama diculik.” Anya menangis sangat kencang.Daniel melihat pria tadi masuk mobil yang langsung melaju.“Anya tetap di sini, paman akan bawa Mama kembali.”Anya menan
Daniel langsung turun dari mobil untuk menyelamatkan Jia. Orang-orang yang sedang melintas juga ikut berhenti menyaksikan kejadian itu.Daniel berlari dengan ekspresi wajah cemas. Dia berjongkok lalu menunduk untuk mencari di mana keberadaan Jia.“Jia!” panggil Daniel seraya memastikan posisi Jia.Di dalam mobil. Jia tertindih tubuh Edwin karena tadi pria itu menjambak rambutnya. Kedua kakinya tertimpa Edwin, membuat Jia kesulitan bergerak. Dia mendengar suara Daniel, tetapi sepertinya Daniel ada di dekat kakinya.“Aku di sini,” ucap Jia dengan suara lemah.Daniel mendengar suara Jia. Dia berputar ke sisi satunya, hingga melihat tangan Jia sudah terulur ke jendela yang pecah, kepalanya mendongak agar wajahnya terlihat.“Bertahanlah.” Daniel mencoba mengeluarkan Jia.Saat Jia menunggu Daniel mengeluarkannya. Edwin sadar dan melihat Jia yang berusaha menggapai keluar. Dia tidak akan membiarkan Jia selamat begitu saja, sehingga dengan sisa tenaga, Edwin berusaha mencekik Jia.“Kamu tidak
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.