Dani menatap pada Aksa yang baru berpamitan karena harus pergi. Dia lantas memandang ke lantai atas dan merasa bersalah pada sang kakak.Akhirnya Dani naik ke atas, lalu bertemu dengan pelayan yang ada di sana.“Aku mau ketemu Kak Alina,” kata Dani meminta izin. Dani melihat sang kakak yang seperti tawanan, Aksa meminta pelayan berjaga di depan kamar, bahkan di luar juga ada pengawal. Benar-benar tindakan Aksa tidak main-main hanya untuk membuat Alina tidak kabur lagi.“Tapi Tuan melarang siapa pun masuk atau keluar,” balas pelayan yang benar-benar menjalankan perintah Aksa.“Aku adiknya. Aku hanya ingin memastikan kondisi kakakku. Aku tidak akan membawanya kabur,” balas Dani meyakinkan.Pelayan itu menoleh pada temannya, lalu akhirnya mengizinkan Dani masuk.Dani masuk lalu pintunya dikunci dari luar. Dia melihat sang kakak ada di atas ranjang sambil sesekali mengusap pipi.“Kak.” Dani memanggil sambil mendekat.Alina menatap ke arah suara Dani, lalu dengan emosi melempar bantal ke
“Ingat, jangan menyakitinya,” ucap Nenek Agni masih sangat mencemaskan Alina, apalagi Alina sampai kabur setelah tahu siapa Aksa.“Nenek jangan cemas. Dia mungkin sekarang masih syok, tapi kupastikan dia akan terbiasa setelahnya,” balas Aksa.“Dia itu wanita baik. Lihat ‘kan, dia tidak pernah mengincar hartamu. Kalau dia berniat buruk, nenek yakin kalau Alina akan menerimamu dengan mudah dan pasti senang,” ucap Nenek Agni agak menyalahkan karena Aksa tidak memercayai penilaiannya.Aksa hanya mengangguk.Setelah menenangkan sang nenek. Aksa langsung pulang karena tidak bisa meninggalkan Alina terlalu lama, sedangkan masalah mereka belum selesai.Saat baru saja turun dari mobil yang berhenti di depan garasi. Bams langsung menghampiri Aksa.“Pak, saya sudah mendapat informasi soal preman-preman itu, juga mendapat data nomor yang mengirim pesan pada Bu Alina,” ucap Bams langsung melapor.Aksa diam sejenak. Saat ini fokusnya lebih pada Alina, sehingga Aksa mengesampingkan urusan lainnya.“
Aksa masih memeluk Alina. Dia bertekad tidak akan melepas, sampai Alina mau memaafkannya.“Lepaskan, aku sesak napas,” ucap Alina setelah diam cukup lama karena terus didekap Aksa.Alina menggerakkan kedua tangan sebagai isyarat agar Aksa melepas.“Aku tidak akan melepas kalau kamu tidak memaafkanku,” ucap Aksa sambil menyandarkan dagu di pundak Alina.Alina mendengkus kasar.“Kamu pikir berhak mendapatkan itu?” Alina menggerakkan kedua lengannya dengan kasar, hingga akhirnya pelukan Aksa terlepas darinya.Aksa akhirnya melepas Alina. Dia menatap pada Alina yang memalingkan muka darinya. Meski masih sulit meluluhkan amarah Alina, tetapi setidaknya Alina tidak mengamuk seperti tadi.“Aku tidak akan menuntutmu langsung memaafkan. Tapi kamu harus bisa menerima semua fakta ini,” ucap Aksa.Alina melirik tanpa berniat membalas ucapan Aksa.“Makanannya sudah mulai dingin. Kamu pasti lapar. Sekarang makanlah dulu,” ucap Aksa mencoba memberi perhatian pada Alina.Aksa mengambil piring berisi
Karissa menggenggam erat ponselnya. Dia baru saja mendapat kabar kalau orang suruhannya gagal membawa Alina karena sudah ada yang membawanya lebih dulu.“Orang-orang itu pasti suruhan Kak Aksa,” geram Karissa kesal.“Kenapa dia tidak segera lenyap saja? Kenapa Kak Aksa menemukannya?”Karissa sangat emosi. Dia menenggak minumannya dengan cepat lalu meletakkan gelas agak kasar di meja.“Aku tidak bisa diam saja. Bagaimanapun caranya, aku harus bisa memisahkan mereka. Kak Aksa ingin punya pasangan yang berkelas, anggun, dan elegan, mana mungkin Kak Aksa mencintai wanita itu!”Karissa ingat. Dulu Aksa pernah mengatakan itu, saat dia bertanya tipe wanita seperti apa yang Aksa inginkan. Sebab itu Karissa tidak pernah percaya kalau pilihan Aksa jatuh pada wanita seperti Alina.Di saat Karissa sedang memikirkan bagaimana caranya memisahkan Aksa dan Alina, tiba-tiba dia mendapat pesan dari seseorang.[Para preman itu ditangkap polisi. Entah karena kasus yang mana, tapi sebaiknya kamu hati-hati
Setelah bicara dengan Bams dan Ilham membahas apa yang harus dilakukan selanjutnya. Aksa kembali ke kamar untuk menemani Alina.Saat masuk kamar. Dia melihat Alina berbaring memunggungi pintu sambil meringkuk. Aksa menghela napas pelan, lalu dia ikut naik ranjang, kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina terkejut Aksa langsung memeluk meski sudah menebak saat merasakan pergerakan di ranjang. Dia diam saat kedua lengan kekar itu memeluk posesif di pinggangnya.Aksa mencoba menatap wajah Alina, saat mengetahui kalau Alina belum tidur, membuat Aksa mencurukkan wajah di leher Alina.“Aku minta maaf, Al.” Kesekian kalinya Aksa mengucap kalimat itu.Alina masih diam. Dia membiarkan Aksa terus memeluknya. Rasanya lelah jika terus memberontak tetapi tidak mendapatkan hasil apa pun. “Aku benar-benar tidak bermaksud menyakitimu seperti itu.” Aksa kembali menjelaskan agar Alina bisa memahami posisinya.“Aku tidak punya maksud apa-apa dan awalnya memang ragu sampai membuatku bersandiwara kare
Alina bangun dan melihat Aksa yang tidur sambil terus merangkul pinggangnya. Dia menatap pria itu sejenak, lalu sedetik kemudian menyingkirkan tangan Aksa dari pinggangnya dengan perlahan, kemudian turun dari ranjang secara hati-hati agar Aksa tidak terbangun.Begitu bisa lepas dari Aksa. Alina berjalan menuju pintu dan mendapati kuncinya tergantung di sana, Alina keluar dari kamar lalu berjalan menuruni anak tangga.Alina mengamati seluruh rumah itu. Besar dan sangat mewah, bahkan jika dilihat, kamar Aksa lebih besar dari apartemen yang mereka tinggali, membuat Alina bertanya-tanya, bagaimana bisa Aksa melakukan penyesuaian diri hidup sederhana jika biasanya hidup mewah?Alina sudah ada di anak tangga terakhir. Dia menengok ke kanan dan kiri seperti orang bingung, lalu melihat pelayan berjalan menuju ke salah satu pintu kaca yang ada di sisi kanan Alina. Dia pergi ke sana.“Nona.” Para pelayan itu langsung membungkuk pada Alina.Alina terkejut. Dia tidak nyaman dengan ini.“Bisakah k
Karissa pergi ke kantor polisi ditemani pengacaranya untuk memenuhi panggilan dari kepolisian. Dia masih ditetapkan sebagai saksi, sehingga polisi tidak menjemput paksa Karissa. Karissa sendiri memilih tidak mempersulit atau polisi akan mencurigainya jika mangkir dari panggilan. Karissa sudah bertemu dengan penyidik yang menangani kasus perusakan butik Alina. Dia dimintai keterangan ditemani oleh pengacaranya. “Jadi, laporan yang kami terima, menyebutkan jika para pelaku disuruh oleh seseorang bernama Karissa, mereka juga mengakuinya,” ucap polisi mulai bicara. “Saya paham, yang saya tidak mengerti, kenapa saya yang dituduh? Apakah ada bukti yang mengarah jika saya pelakunya?” tanya Karissa. “Klien saya sangat sibuk dengan syuting iklan dan pemotretan, lagi pula tidak ada motif yang bisa dijadikan alasan, kenapa klien saya harus membayar orang untuk merusak butik saudari Alina,” ucap pengacara ikut bicara. Polisi itu tampak berpikir. “Begini, Pak Polisi. Nama Karissa, tentunya
Alina ada di kamar. Dia tidak berani keluar-keluar karena masih merasa asing dan aneh tinggal di rumah sebesar itu. Saat Alina bingung harus berbuat apa, dia mendapat panggilan dari Kaira.“Halo, Kai.” Alina langsung bersemangat menjawab panggilan sahabatnya itu.“Al, bagaimana kabarmu? Aku sudah dengar soal Aksa kaya. Kamu baik-baik saja, kan?”Alina cemberut mendengar pertanyaan Kaira, lalu membalas, “Ya, baik tidak baik. Aku seperti dipenjara.”Alina mengedarkan pandangan, melihat kamar yang sangat luas dengan aneka perabot di sana. Dia begitu asing dan merasa sangat kesepian.“Aku masih tidak menyangka kalau suamimu benar-benar pemilik RDJ Group,” ujar Kaira lagi dari seberang panggilan.Alina memainkan jari di atas bantal, lalu membalas, “Sebenarnya aku kecewa karena dia bohong, Kai. Apalagi dia berpikir aku gila harta, makanya dia bersandiwara.”Di ruang kerja Kaira. Dia diam mendengar keluhan Alina. Tiba-tiba saja Kaira teringat pada Ilham.“Kai, kenapa kamu diam?”Kaira menden
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser