Di Mansion Torres. Seorang pria tampak mengetatkan rahang diiringi gigi saling bergemeretak membuat aura dingin menusuk begitu kentara di sekitarnya. Sepasang iris biru safir Al berkilat menatap layar berukuran tiga belas inch. Ia menumpu kedua siku dengan telapak tangan terkepal dan di atas meja. “Di mana Calantha?” Suara berat dan dingin Al membuat beku indera pendengar orang lain. “Nyonya dalam perjalanan pulang.” Seorang pengawal kepercayaan Al berdiri di belakang tuannya. “Selesaikan semua ini! Dan jangan meninggalkan jejak!” Perintah Al diangguki pria berjas hitam. Setelah memberikan perintah, Al kembali menatap layar tipis di depannya. Tanpa susah payah menyelidiki, ia tahu siapa pelaku di balik unggahan foto memalukan itu. Namun, Al memikirkan Cal. Pria itu yakin saat ini istrinya sedang dilanda kegelisahan. “Lionel masih bertingkah,” Al mendesis. Satu tangan pria itu mengambil ponsel lalu menghubungi Xavi. “Batalkan semua kerja sama kita dengan Tuan Pedrosa!” [Dim
“Hem, terima kasih atas kerja kerasnya,” ucap Al melalui sambungan telepon. Al segera mengakhiri perbincangannya bersama Xavi. Sebab Cal memasuki ruang kerja.“Sepertinya kamu sibuk,” kata Cal menahan diri.Al menggelengkan kepala. “Tidak. Katakan saja ada apa?” Cal berdeham kemudian duduk berseberangan dengan pria itu. Ia yakin Al bisa menebak keinginannya melalui ekspresi wajah mengiba.“Aku mau pulang … menemui Clair. Masalah ini perlu diluruskan, aku tidak mau dia bertingkah lagi.” Hening seketika.Al tidak menjawab sepatah kata. Ia berat hati mengizinkan sang istri pergi sendirian. Mengingat kedua wanita itu tetap bebas berkeliaran, dan tidak menutup kemungkinan salah satu di antara mereka mengutus orang untuk mencelakai Cal.“Aku bisa pergi sendiri.” Cal berusaha menyakinkan. Ia kembali berkata, “Aku tidak sengaja mendengar percakapanmu di telepon. Lionel mencoba melarikan diri tapi gagal.” Penuturan Cal diangguki Al. “Dia sudah diamankan polisi, jadi … aku aman,” sambungnya.
Beberapa hari ini Cal disibukkan dengan pekerjaan kantor. Tidak jarang mengerjakannya di dalam kamar—di atas kasur atau karpet berbulu tebal. Ia benar-benar ingin membantu Al menyelesaikan tantangan yang diberikan dewan direksi.“Mereka semua sangat kejam,” gumam bibir tipis sembari menjepit pena di antara jari manis dan telunjuk. Cal melirik Al yang sedang berbincang melalui telepon. Wajah tampan pria itu kelihatan serius dan menegang. Entah apa dibahas oleh sang suami, suaranya tidak terdengar sedikit pun ke dalam kamar.Setelah beberapa menit memperhatikan Al, Cal kembali mengalihkan atensi pada laptop dan jajaran kertas. Ia menghela napas pelan menyadari waktunya terbuang percuma. Lantas wanita itu berdecak sembari melepaskan pena dari tangannya .“Kenapa?” Suara Al tiba-tiba merasuk pada gendang telinga. “Kamu kelelahan,” ujar pria itu.Cal menggeleng. “Bukan! Aku tidak pernah kelelahan.” Ia memutar bola matanya dengan jengah.“Itu bagus.” Al manggut-manggut, kemudian mendekati
Xavi terdiam cukup lama.Al melirik Cal yang sama-sama penasaran, sebab asisten pribadi itu tetap membisu.“Katakan saja sekarang! Cal berhak mendengarnya!” ujar Al dengan santai sembari bersandar ke kursi penumpang.“Baik Tuan.” Xavi mengangguk patuh. Asisten itu mengeluarkan iPad dari saku jasnya.“Dini hari, Tuan Lionel dipindahkan ke rumah tahanan di luar kota, tetapi memasuki area perbatasan tahanan berhasil melarikan diri.” Bola mata Al dan Cal seketika melebar. Saking terkejutnya, Cal langsung meraih jemari Al dan meremas dengan kuat.“Tenang Schatzi, aku melindungimu.” Al menepuk pelan paha Cal. Pandangan pria itu beralih ke depan. Ia berkata, “Lalu?”“Tuan Lionel belum ditemukan.” Xavi tampak menghela napas, lantas menyerahkan iPad kepada Al. “Untuk selanjutnya silakan Anda lihat sendiri Tuan.” Suara pria itu berubah sengau.Al menerima tab lalu memeriksanya.Keingintahuan Cal yang sangat tinggi membuatnya menggeserkan kepala. Wanita itu membaca laporan yang diberikan Xavi.
Delapan jam sebelumnya di Kota Madrid. “CEO satu itu sibuk sekali,” Cal mencibir. Ia melirik jam digital telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Cal tidak ambil pusing sebab setelah makan malam, Al bergegas ke ruang kerja untuk menyelesaikan pekerjaan kantor. Lima belas menit kemudian, Cal terlelap dalam balutan hangatnya selimut. Pukul satu dini hari, wanita pemilik iris abu-abu itu terjaga. Pandangannya merangkak ke samping memperhatikan cahaya tamaram. Satu tangan Cal meraba sisi tempat tidur, masih rapi dan tidak berjejak. Jujur saja, perasaan cemas mulai menghantui. Cal menyibak selimut, dengan perasaan gundah gulana turun dari tempat tidur. Ia meraih outer dan mantel lalu mengikat talinya. Cal langsung melangkah menuju ruang kerja Al. Tanpa mengetuk terlebih dahulu, Cal membuka pintu dan … tercengang mendapati ruangan itu hening serta dingin merasuk ke tulang. Bahkan tata letak semua benda tidak ada yang berubah sejak mereka keluar dari ruangan ini untuk makan malam. ‘D
Al tidak terkejut ketika melihat raut wajah Lionel berubah kesakitan. Bahkan buliran keringat sebesar biji jagung memenuhi kulit serta dahi pria itu. Lionel merintih dengan napas tersengal-sengal. Pria itu kembali menodongkan senjatanya pada wajah Al. “Kamu—“Ucapan Lionel terputus.“Ya, tebuslah kesalahanmu Lionel,” kata Al, suaranya dalam dan berat.“Tidak semudah itu Alessandro,” desis Lionel. Pria itu hendak menarik pelaku tetapi dua timah panah kembali mengenai punggungnya.Tidak lama kemudian lima orang petugas kepolisian membawa Lionel ke dalam ambulan.Sedangkan Al mengamati dari kejauhan. Ia teringat, satu jam sebelum menemui Lionel di tepi pantai, terlebih dahulu menghubungi petugas. Memberitahu mereka bahwa orang yang saat ini paling dicari akan bertemu dengannnya pukul enam pagi. Ketika Lionel mengeluarkan senjata dan terjadi aksi perebutan, tim kepolisian segera bertindak. Terpaksa melepas tiga peluru karena Lionel begitu berbahaya.“Sebaiknya Anda ke klinik terdekat,
Mansion Caldwell—Kota Zurich “Siapa yang bertamu?” tanya Claira kepada pelayan sembari mengintip melalui jendela. Tangan kurusnya menggeser tirai. Tidak ada jawaban dari pelayan tersebut. Sontak saja Claira memelotot dan bertolak pinggang. “Kamu tidak bisu ‘kan? Mereka siapa?!” Suara wanita itu melengking. Pelayan tetap menunduk dan membisu. Lima menit kemudian pintu kamar terbuka. Claira memusatkan perhatian di mana pria paruh baya yang masih sangat tampan dan segar sedang berdiri. Arjuna menatap dalam putrinya di samping jendela. “Clair ayo ke bawah. Jangan banyak bicara! Ikut saja!” Intonasi Arjuna terdengar parau. Wajah Claira berbinar dan berkata antusias, “Apakah itu Al? Dia datang?” Claira melangkah lebar melewati sang ayah. Wanita itu tidak sabar menemui seseorang yang teramat dirindukan. Namun, sesampainya di ruang tamu, ia tercengang. Pasalnya bukan Al, melaikan dua orang pria berseragam kepolisian serta seorang detektif wanita berna Jane. “Claira …,” panggil
“Apa semua itu benar?” tanya seorang pria paruh baya.“Aku … tidak melakukan apa pun. Hari itu aku bermalam di rumah Bibi Clara.” Claira memainkan jemarinya dan berulang kali mengembuskan napas berat.“Kamu tega mencelakai adikmu dan kakak sepupu?” tanya Arjuna lagi.Clair menggeleng tegas. Sungguh saat ini ia berada di posisi terjepit, tidak bisa berpikir jernih karena dicerca oleh sang ayah.Seusai menerima informasi terbaru, Arjuna langsung menemui Clair di kantor polisi. Pria paruh baya ini mendengar dengan seksama semua penjelasan Detektif Jane. Pria itu ingin mengkonfirmasi secara langsung pada putrinya.“Kalau kamu tidak jujur, aku sulit membantu.” Arjuna mengetuk-ngetuk meja dengan jemari. “Semua bukti mengarah padamu! Paham?” Clair tercengang, matanya melebar dan berkaca-kaca. Dalam benaknya beberapa ingatan hadir di mana ia memerintah Mitha untuk mencelakai sang adik.“Aku tidak pernah melukai siapa pun!” tegas Clair, “Bukti itu semuanya bohong! Tolong bantu aku.” Ia memint
“Selamat Tuan Hofer, bayinya lahir dengan sehat.” Dokter mengulurkan tangan kanan sambil tersenyum lebar. Liam berkaca-kaca mendengar kabar menggembirakan. Ia gegas menghubungi ibunya dan beberapa kerabat terdekat untuk menjenguk anggota keluarga baru. Setelah itu Liam memasuki ruang pemulihan. Ia melihat dua bayi menelungkup di atas dada sang istri. “Claira ….” Liam sesenggukan. Ia mengekspresikan diri karena memiliki buah cinta dari gadis pujaannya di masa sekolah. Bahkan tangan Liam tidak sanggup menyentuh kulit tipis nan lembut miliik bayinya. “Kamu memiliki dua anak laki-laki.” Claira tersenyum merekah melihat dua bayi itu sibuk mencari puncak nutrisi. “Kita. Kita memiliki dua putra. Dan kamu satu-satunya perempuan cantik diantara kami.” Liam setengah tertawa dan menangis ketika mengatakannya. Sedangkan Claira tergelak membuat kedua bayi di atas tubuhnya terkejut lalu merengek. Pasangan itu saling menatap satu sama lain kemudian tertawa bersama-sama melihat tingkah mengge
“Hamil?” Clair tercengang. Reaksi pasangan itu sangat berbanding terbalik. Liam selalu menebar senyum bahkan berbagi kebahagiaan bersama pegawai rumah sakit. Ia mentraktir makan. Sedangkan Clair tampak terpukul.“Istriku kenapa sedih? Seharusnya kamu senang.” Liam merangkul bahu Claira.Wanita itu menunduk menatap perutnya. “Kenapa aku bisa hamil? Liam aku … belum siap menjadi ibu.”Seketika senyum manis di wajah Liam menghilang. Kini pria bermata sipit itu mengetahui Claira enggan mengandung anaknya.“Kita sudah menikah, bercinta dan melakukan berulang kali. Kita tidak menunda kehamilan. Jadi … kamu menolak?” tanya Liam dengan perasaan kecewa.Clair tersadar dari pikirannya. Ia menatap wajah sendu sang suami. Kedua tangan mulus wanita itu menangkup pipi Liam.“Maksudnya bukan begitu. Liam … aku ini seorang pendosa. A-aku tidak menyangka hamil dalam waktu dekat. A-aku juga … merasa bukan ibu yang baik.” Claira melepaskan tangan dari rahang Liam lalu menunduk dalam.Liam tersenyum kec
“Aku bingung bagaimana cara mengatakannya,” gumam Claira. Raut wajah wanita itu terlihat sedih.Calantha mengernyit dan menopang dagunya. [Maksudmu?] “Aku ingin pindah rumah, tapi ibu mertuaku melarang. Alasannya kesepian, karena sebelumnya Liam sibuk bekerja.” Claira cemberut. “Kami tidak punya waktu berdua.” Calantha manggut-manggut. Ia mengerti keinginan kakak kembarnya. Istri Alessandro Javier itu tersenyum penuh arti lantas mendekatkan kepala dengan layar ponsel.[Bilang saja langsung kalau kamu ingin pacaran bersama Liam.] Calantha menaik-turunkan alisnya.“Mana bisa seperti itu!” sentak Claira.Setelah satu bulan tinggal di rumah mertua, Claira kehilangan figure Liam. Pria itu lebih sering pulang malam dan pergi pagi-pagi sekali. Bahkan satu minggu ini keduanya tidak berhubungan intim.Claira mengakhiri panggilan video bersama Cal. Ia bergegas menemui ibu mertua di lantai satu. Ia melihat wanita paruh baya itu sedang kesulitan berjalan. Buru-buru Clair membantu.“Hati-hati B
Malam pertama yang seharusnya berujung menyenangkan dengan suasana romantis, justru sebaliknya. Kini, vila pribadi Keluarga Hofer dikunjungi dokter serta perawat yang mengobati Liam. Pria itu mendadak demam paska berenang.“Bagaimana kondisinya? Perlu dirawat inap?” berondong Clair kepada dokter. Ia memperhatikan wajah pucat sang suami.Sedangkan Liam menahan malu sekaligus gundah. Pria itu merasa bersalah gagal menjadi sosok suami idaman bagi pujaan hati. Dokter berkata dengan cemas, “Demamnya cukup tinggi mencapai empat puluh derajat. Tapi Tuan Liam menolak.”Clair mendengus, lantas berjalan mendekati suaminya yang sedang berbaring tidak berdaya.“Kamu masih mau hidup?” tegas wanita itu membuat mata sipit Liam membelalak.Clair bertolak pinggang dan menatap tajam suaminya. “Kita baru menikah satu hari, kamu mau menjadikan aku janda?” Liam meneguk saliva dan menggeleng pelan. Ia tahu istrinya memang galak, tetapi tidak menyangka mulut Claira sangatlah tajam.“Jangan bilang begitu.
Satu tahun berlalu sangat cepat, kesabaran Liam membuahkan hasil. Pagi ini, Liam dan Claira telah resmi menjadi sepasang suami istri. Keduanya sedang menandatangani akta pernikahan. Calantha bersama keempat anaknya duduk di kursi paling depan. Ia menangis haru karena Clair mendapatkan belahan jiwa. Ia juga tahu Clair belum sepenuhnya melupakan Alessandro. Wanita itu beranjak mendekati kembarannya. “Haruskah aku memanggilmu Nyonya Hofer?” goda Calantha. Liam menyambar, “Tentu saja! Dia istriku, dan kamu harus memanggilku kakak meskipun kita seumuran.” Tawa pria itu. Tiba-tiba Alessandro memukul kepala Liam. Ia berkata dengan tegas, “Tidak boleh memanggil kakak! Panggil nama saja.” Seketika altar pernikahan dihiasi gelak tawa dari semua orang. Mereka melihat kedekatan putri Caldwell dan kekompakan para menantu. “Sudah seharusnya aku patuh kepada yang lebih dewasa.” Liam menyengir, menjadikan mata sipitnya tak terlihat. Alessandro memelotot karena secara tidak langsung Liam menge
Claira melempar kerikil kecil ke sembarang arah. Pikiran gadis itu dilanda gundah gulana. Ia ketakutan Alessandro memberitahu keluarga besarnya tentang sebuah kebenaran. Clair menelan ludah. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Calantha mengetahui kenangan bersama Al diambil alih olehnya.Ketika wanita itu melepar kerikil cukup besar, seseorang memekik. “Aw!”“Ya ampun!” Claira sigap menghampiri sumber suara. Ia ternganga mendapati Liam sedang mengelus kening.Sialnya, kening pria tampan itu berubah merah.“Liam, maaf. Aku tidak bermaksud—““Apa yang kamu pikirkan?” Liam meringis karena lemparan Clair sangat bertenaga.“Tidak ada!” tegas Clair. Ia tersenyum kaku.Padahal Liam sengaja meluangkan waktu setelah berminggu-minggu demi Clair. Pria itu tahu calon istrinya sedang gelisah. Hanya saja Liam pandai menutupi rahasia. Ia tidak mau ikut campur, cukup membeberkannya kepada Alessandro.Liam juga tahu Alessandro berniat mengubur masalah ini. Clair menoleh kepada Lia
“Bodoh!” teriak Alessandro di tengah hutan. Pria itu mengepalkan tangan dengan kuat hingga bagian telapak sakit dan urat-urat pada lengan menonjol. Ia memukuli udara yang tidak bersalah. Kemudian Alessandro terjatuh dengan posisi kedua lutut di atas tanah lembab.Alessandro kian tercabik ketika memeriksa ponsel dan mendapati istrinya sedang menelepon. Ia tidak kuasa menerima panggilan suara. Pria itu tenggelam jauh bersama perasaannya saat ini.Beberapa jam kemudian, Alessandro berhasil menguasai rasa sakit dalam dada. Ia bergegas menemui Claira di Mansion Caldwell. Karena hubungan sudah membaik, kedatangan Alessandro disambut oleh para pelayan. “Di mana Nona Muda Clair?”Pelayan menunduk. “Nona di perpustakaan, Tuan.” Alessandro langsung menghampiri iparnya.Claira terkejut karena sebelumnya Al tidak membuat janji. Sekarang pria itu datang dengan ekspresi dingin dan aura mencekam seketika menyelimuti ruangan.“Hi Al. A-ada a-apa?” gugup Claira. Perasaan sebagai wanita sangat peka,
Alessandro mendengus sebal lantaran Liam menguasai keempat anaknya. Sebagai ayah, ia hanya bisa mengawasi dari jarak jauh. Al juga tidak bisa berbuat apa-apa selain mengamati, sebab Calantha telah memberi izin. Liam mengambil banyak swafoto bersama ABCD. Pria itu tersenyum kecil melihat hasil jepretan kamera. Liam mengirim pesan teks dan gambar dirinya bersama Anaya kepada Clair. “Anaya semakin lucu.” Ketika Liam masih tersenyum sendirian, Alessandro berdiri tepat di belakang pria itu. “Ide brilian menggunakan anakku sebagai alibi menggoda wanita.” Alessandro langsung mengambil alih keempat bayinya. Ia tidak suka wajah polos bayinya dimanfaatkan oleh Liam. ** Satu minggu ini Liam rajin mengunjungi kediaman Alessandro. Pria itu membawa beraneka buah tangan untuk Calantha dan empat bayinya, tidak ketinggalan Liam menemani Al bermain catur. Semua dilakukan sebagai permohonan maaf. “Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Claira?” Wajah Alessandro tampak serius memandang papan
“Ajari aku caranya.” Clair menunjuk popok dan pakaian bayi. Seketika Calantha dan Lorraine menoleh ke arah wanita itu. Kening kedua ibu muda mengerut karena tidak biasanya seorang gadis belajar merawat bayi.“Kalian tidak perlu menatapku seperti itu. A-aku mau tau bagaimana melakukannya.” Clair menelan ludah karena gugup diperhatikan oleh dua pasang mata.Lorraine mengalihkan pandangan kepada Calantha untuk meminta izin. Istri kesayangan Alessandro Javier itu mengangguk. Jujur, perasaan Cal campur aduk. Ia takut kakaknya ini kelak mencari simpati di depan Al. Sungguh Calantha tidak mau rumah tangganya hancur. Apalagi sekarang keempat anak sangat membutuhkan orang tua utuh.Saat mengganti popok Anaya, wajah Claira berseri-seri. Gadis itu teringat ketika Liam mempertanyakan kesiapannya menjadi seorang ibu. Namun, waktu itu Claira diam saja karena malu. Sekarang hatinya bersorak riang.**Dua hari kemudian, Liam mengantar Clair ke bandar udara. Gadis itu harus pulang ke Zurich karena b