“Calantha?!” Al memekik melihat istrinya luruh di atas lantai. Tubuh kurus Cal bergetar, seketika air matanya menganak sungai. Ia terlempar ke masa lalu dan dua tangannya langsung memegangi perut yang tiba-tiba merasa sakit. Bahkan wanita itu berhalusinai terdapat genangan darah di sekitarnya. “Cal?!” ulang Al. Ia langsung merangkul pundak rapuh itu. Kemudian pria itu melirik para pelayan yang mematung melihat peristiwa mencengangkan, dan memberi perintah, “Hubungi Xavi! Katakan untuk mencari kurir pengirim terror ini!” “A-nakku,” lirih Cal. Ia tetap meremas perutnya sambil sesenggukan. “D-dia meninggal. Anakku dibunuh,” racau wanita itu dan langsung kehilangan kesadaran. Al bergegas menggedong Cal dan membawanya kembali ke kamar, kemudian menghubungi dokter. Sambil menunggu, pria itu menghubungi asisten pribadinya dan duduk di samping tempat tidur. “Aku tidak mau tahu, dapatkan orang itu hari ini juga!” [Tapi Tuan, setelah saya periksa pelat nomor mobilnya palsu.] “Apa?!
“Menurutmu apa?” balas pria itu ambigu. ‘Sekarang … izinkan aku menebusnya Cal,’ lanjut Al dalam hati. Sedangkan Cal tercenung, ia sungguh tidak menyangka pria yang lima tahun lalu ditinggalkannya itu masih tetap … memiliki perasaan sama. Wanita itu menyahut, “A-aku tidak tahu Al.” Tiba-tiba Al menyentil kening Cal membuatnya meringis pelan. Wanita itu mengusap kulitnya yang terasa panas akibat ulah sang suami. “Tinggalkan masa lalu yang menyakitkan itu Cal!” tegas Al. Akan tetapi sorot mata pria itu menyiratkan sesuatu. “Kita harus hidup bahagia dan bersama-sama sampai tua,” sambung Al. Cal mengangguk patuh mendengar kata-kata itu. Bahkan ia mengesampingkan perasaan bersalahnya pada Clair yang saat ini masih mengharapkan Al. ** Sudah dua hari ini Cal mengambil cuti untuk menenangkan pikiran dan berdiam diri di rumah. Sama halnya dengan Al tidak masuk kerja demi mengawasi serta melindungi wanitanya. Bahkan, pria itu mengurangi intensitas komunikasi dengan Clair. “Janga
“Al, aku mau ke kantor,” ucap Cal baru saja memasuki ruang kerja di rumah. Dua hari ini Cal diberikan cuti, sedangkan Al bekerja dari rumah. Ia tidak peduli meskipun mendapat teguran dari para direksi. Bahkan pria itu memundurkan jadwal keberangkatannya ke Kota Zurich karena tidak mau meninggalkan sang istri dalam keadaan berantakan. “Bosmu juga bekerja dari rumah, kenapa kamu harus ke kantor?” sahut pria itu sembari membuka helaian kertas laporan yang diberikan asisten pribadi. “Mereka semua juga pegawaimu, tapi masuk kerja. Apalagi Xavi sibuk bolak-balik rumah dan kantor.” Cal menghentak kaki, dan bibir tipisnya maju beberapa senti. Tentu saja Al kehilangan fokus, bagi pria itu tingkah sang istri teramat menggemaskan dan memaksanya mengakhiri kegiatan kerja. Al beranjak dari kursi beralih mendekati Cal dan merangkum pipi yang sedikit berisi lalu mengecup bibir glossy-nya. Selepas pagutan, Al berkata dengan lembut, “Karena kamu Calantha, kamu Nyonya Muda Torres, berbeda dengan me
“Sebenarnya ada apa Al? Apa adikku menghasutmu? Semudah itu kamu percaya padanya?!” teriak Clair, dengan air matanya bercucuran.“Ini bukan pertama kalinya kamu berakting Clair. Aku tidak bodoh!” bentak Al. Ia tidak memedulikan ketakutan mantan tunangannya itu. “Jawab dengan jujur atau ….” Satu tangan Al telah melayang.Wanita berkulit pucat itu terbelalak, sebab pria yang dikenal lembut serta penyayang mampu berbuat kasar. Clair meraih tangan Al, lalu memukuli diri sendiri dan jerit tangisnya memekakkan telinga.Namun Al membeku melihat sikap Clair.“Kenapa diam Al? Tampar saja kalau itu membuatmu puas!” Clair mengamuk dalam mobil. Wanita itu meracau, “Silakan percaya ucapan Cal, tapi aku tidak pernah melakukan kejahatan apa pun padanya!”Terpaksa Al mengalah. Pria itu menahan kedua tangan Clair supaya tidak menyakiti diri sendiri. Bahkan ia mendekap erat serta membelai rambut halus wanita itu.“Cukup Clair!” tegas Al.“Tapi kamu jahat Al! Tidak puaskah kamu menyakitiku? Kamu tidur d
“Mitha?!” pekik Cal setelah siuman. “Calantha tenanglah! Saudarimu sedang ditangani dokter,” ujar Livy. Ibu mertua itu bergegas ke rumah sakit selepas menerima kabar menatunya kecelakaan. Kini ruang rawat berukuran luas dihadiri beberapa orang anggota keluarga Torres kecuali Al. Namun, pikiran Cal tertuju hanya pada Mitha. Ia menyingkap selimut, tetapi tercengang melihat satu kakinya terbalut gips. Bahkan, bau amis darah samar-samar masih tercium olehnya. Ia menoleh pada ibu mertua dan menatap lurus wajah wanita paruh baya itu. “Bibi. A-apa Mitha terluka?”cicit Cal. Liy mengangguk kecil. “Tidak apa-apa sekarang kamu aman, Cal.” Lagi, sikap ibu mertua jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Sekarang ayah mertua menjaga ketat keamanan di rumah sakit, serta menyelidiki pelaku penyerangan di rumah putra sulungnya. “Terima kasih Bibi. Tapi aku ingin melihat Mitha, bagaimanapun dia terluka karena a-ku,” lirih Cal. Ia membayangkan seberapa parah luka serta trauma yang dialami
"Aku bisa sendiri! Tidak perlu dipegangi Al!” Cal menepis sepasang tangan kekar yang berusaha memapahnya masuk ke dalam kamar mandi. “Tapi kakimu sedang sakit. Jangan keras kepala!” protes Al. Pria itu bersikukuh tidak mau mengalah. Al langsung menggendong wanitanya ke kamar mandi. Ia menjulurkan tangan hendak membantu Cal membuka celana. “Tidak perlu, sebaiknya kamu tunggu di luar!” usir wanita itu. “Bagaimana jika kamu jatuh di sini? Tidak perlu malu aku sudah hapal setiap lekuk tubuhmu, termasuk tanda lahir di punggungmu itu,” ucap Al sedikit melemah. Seketika pipi Cal merona, tetapi ini bukan waktu yang tepat. Sebab ia sakit hati karena suaminya masih menemui wanita lain. Cal yakin Al kontak fisik bersama Clair, terbukti dari aroma parfum terasa menusuk hidung. Cal segera menuntaskan ritual pribadinya. Ia terpaksa menerima bantuan Al membenarkan posisi celana serta menggendongnya kembali ke atas ranjang pasien. “Terima kasih,” kata Cal dengan datar serta tatapan tertuju ke a
“Jangan-jangan ... pria kurang ajar itu ….” Cal menjeda ucapannya sambil menatap lekat-lekat wajah tampan Al. “Kamu menuduhku?” Al membalas tatapan tajam sang istri. Sebenarnya pria itu gelisah tetapi pandai menutupi keadaan. Cal menggeleng, dan berujar, “Tidak! Aku merasa hidupku dipermainkan oleh banyak orang dan salah satunya adalah kamu!” Mata Al memelotot mendengar ucapan itu. Ia tidak suka dituduh oleh istrinya. Padahal saat ini ia sedang mencari tahu siapa sumber masalah di balik semuanya. “Tidak perlu memelototiku seperti itu Al!” Cal menghela napas sambil mengangkat bahu. Wanita itu tersenyum kecil kemudian berkata dengan lembut, “Sekarang, tidak ada satu orang pun yang bisa dipercaya, termasuk kamu, suamiku.” Murka, darah Al seketika mendidih karena ucapan Cal sudah keterlaluan. Ia mendekat dan mencengkeram rahang kecil wanita itu. Sorot mata biru safir menusuk tajam pada sepasang manik abu-abu. “Kamu seperti ini karena cemburu! Sekarang lupakan itu dan fokus pada kes
“Argh!” pekik Al merasakan sakit pada bagian dada.Akibat terkejut, Cal mencubit keras puncak dada Al sehingga pria itu terguling tergesa berdiri. Cal melebarkan kedua kelopak mata karena kedatangan dua orang yang kini berjalan memasuki ruangan. Ia sama sekali tidak memedulikan ringisan Al.“Pa-man?” gumam Cal.Sekarang kulit pipi Cal benar-benar merah. Ia merutuk tindakan Al sehingga terciduk karena perbuatan mesum.“Kalau kalian mau melakukannya sebaiknya pulang! Bukan di rumah sakit!” gerutu pria paruh baya itu.Buru-buru Al duduk di tepi ranjang sambil merangkul bahu Cal. Wajah Al tampak biasa saja berbeda dengan Cal yang menahan malu sekaligus sebal.“Bagaimana mau memiliki cucu kalau Daddy selalu mengganggu?” Ekor mata Al melirik Cal. Mendadak, pria itu mengernyit lalu berujar, “Kamu terjatuh dari tangga, bagaimana perutmu? Apa baik-baik saja?”Sebelum Cal memberi jawaban, ayah mertua membuka suara. “Cal tidak hamil. Kepala, lengan dan kakinya saja yang cedera.” Ucapan itu dian
“Selamat Tuan Hofer, bayinya lahir dengan sehat.” Dokter mengulurkan tangan kanan sambil tersenyum lebar. Liam berkaca-kaca mendengar kabar menggembirakan. Ia gegas menghubungi ibunya dan beberapa kerabat terdekat untuk menjenguk anggota keluarga baru. Setelah itu Liam memasuki ruang pemulihan. Ia melihat dua bayi menelungkup di atas dada sang istri. “Claira ….” Liam sesenggukan. Ia mengekspresikan diri karena memiliki buah cinta dari gadis pujaannya di masa sekolah. Bahkan tangan Liam tidak sanggup menyentuh kulit tipis nan lembut miliik bayinya. “Kamu memiliki dua anak laki-laki.” Claira tersenyum merekah melihat dua bayi itu sibuk mencari puncak nutrisi. “Kita. Kita memiliki dua putra. Dan kamu satu-satunya perempuan cantik diantara kami.” Liam setengah tertawa dan menangis ketika mengatakannya. Sedangkan Claira tergelak membuat kedua bayi di atas tubuhnya terkejut lalu merengek. Pasangan itu saling menatap satu sama lain kemudian tertawa bersama-sama melihat tingkah mengge
“Hamil?” Clair tercengang. Reaksi pasangan itu sangat berbanding terbalik. Liam selalu menebar senyum bahkan berbagi kebahagiaan bersama pegawai rumah sakit. Ia mentraktir makan. Sedangkan Clair tampak terpukul.“Istriku kenapa sedih? Seharusnya kamu senang.” Liam merangkul bahu Claira.Wanita itu menunduk menatap perutnya. “Kenapa aku bisa hamil? Liam aku … belum siap menjadi ibu.”Seketika senyum manis di wajah Liam menghilang. Kini pria bermata sipit itu mengetahui Claira enggan mengandung anaknya.“Kita sudah menikah, bercinta dan melakukan berulang kali. Kita tidak menunda kehamilan. Jadi … kamu menolak?” tanya Liam dengan perasaan kecewa.Clair tersadar dari pikirannya. Ia menatap wajah sendu sang suami. Kedua tangan mulus wanita itu menangkup pipi Liam.“Maksudnya bukan begitu. Liam … aku ini seorang pendosa. A-aku tidak menyangka hamil dalam waktu dekat. A-aku juga … merasa bukan ibu yang baik.” Claira melepaskan tangan dari rahang Liam lalu menunduk dalam.Liam tersenyum kec
“Aku bingung bagaimana cara mengatakannya,” gumam Claira. Raut wajah wanita itu terlihat sedih.Calantha mengernyit dan menopang dagunya. [Maksudmu?] “Aku ingin pindah rumah, tapi ibu mertuaku melarang. Alasannya kesepian, karena sebelumnya Liam sibuk bekerja.” Claira cemberut. “Kami tidak punya waktu berdua.” Calantha manggut-manggut. Ia mengerti keinginan kakak kembarnya. Istri Alessandro Javier itu tersenyum penuh arti lantas mendekatkan kepala dengan layar ponsel.[Bilang saja langsung kalau kamu ingin pacaran bersama Liam.] Calantha menaik-turunkan alisnya.“Mana bisa seperti itu!” sentak Claira.Setelah satu bulan tinggal di rumah mertua, Claira kehilangan figure Liam. Pria itu lebih sering pulang malam dan pergi pagi-pagi sekali. Bahkan satu minggu ini keduanya tidak berhubungan intim.Claira mengakhiri panggilan video bersama Cal. Ia bergegas menemui ibu mertua di lantai satu. Ia melihat wanita paruh baya itu sedang kesulitan berjalan. Buru-buru Clair membantu.“Hati-hati B
Malam pertama yang seharusnya berujung menyenangkan dengan suasana romantis, justru sebaliknya. Kini, vila pribadi Keluarga Hofer dikunjungi dokter serta perawat yang mengobati Liam. Pria itu mendadak demam paska berenang.“Bagaimana kondisinya? Perlu dirawat inap?” berondong Clair kepada dokter. Ia memperhatikan wajah pucat sang suami.Sedangkan Liam menahan malu sekaligus gundah. Pria itu merasa bersalah gagal menjadi sosok suami idaman bagi pujaan hati. Dokter berkata dengan cemas, “Demamnya cukup tinggi mencapai empat puluh derajat. Tapi Tuan Liam menolak.”Clair mendengus, lantas berjalan mendekati suaminya yang sedang berbaring tidak berdaya.“Kamu masih mau hidup?” tegas wanita itu membuat mata sipit Liam membelalak.Clair bertolak pinggang dan menatap tajam suaminya. “Kita baru menikah satu hari, kamu mau menjadikan aku janda?” Liam meneguk saliva dan menggeleng pelan. Ia tahu istrinya memang galak, tetapi tidak menyangka mulut Claira sangatlah tajam.“Jangan bilang begitu.
Satu tahun berlalu sangat cepat, kesabaran Liam membuahkan hasil. Pagi ini, Liam dan Claira telah resmi menjadi sepasang suami istri. Keduanya sedang menandatangani akta pernikahan. Calantha bersama keempat anaknya duduk di kursi paling depan. Ia menangis haru karena Clair mendapatkan belahan jiwa. Ia juga tahu Clair belum sepenuhnya melupakan Alessandro. Wanita itu beranjak mendekati kembarannya. “Haruskah aku memanggilmu Nyonya Hofer?” goda Calantha. Liam menyambar, “Tentu saja! Dia istriku, dan kamu harus memanggilku kakak meskipun kita seumuran.” Tawa pria itu. Tiba-tiba Alessandro memukul kepala Liam. Ia berkata dengan tegas, “Tidak boleh memanggil kakak! Panggil nama saja.” Seketika altar pernikahan dihiasi gelak tawa dari semua orang. Mereka melihat kedekatan putri Caldwell dan kekompakan para menantu. “Sudah seharusnya aku patuh kepada yang lebih dewasa.” Liam menyengir, menjadikan mata sipitnya tak terlihat. Alessandro memelotot karena secara tidak langsung Liam menge
Claira melempar kerikil kecil ke sembarang arah. Pikiran gadis itu dilanda gundah gulana. Ia ketakutan Alessandro memberitahu keluarga besarnya tentang sebuah kebenaran. Clair menelan ludah. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Calantha mengetahui kenangan bersama Al diambil alih olehnya.Ketika wanita itu melepar kerikil cukup besar, seseorang memekik. “Aw!”“Ya ampun!” Claira sigap menghampiri sumber suara. Ia ternganga mendapati Liam sedang mengelus kening.Sialnya, kening pria tampan itu berubah merah.“Liam, maaf. Aku tidak bermaksud—““Apa yang kamu pikirkan?” Liam meringis karena lemparan Clair sangat bertenaga.“Tidak ada!” tegas Clair. Ia tersenyum kaku.Padahal Liam sengaja meluangkan waktu setelah berminggu-minggu demi Clair. Pria itu tahu calon istrinya sedang gelisah. Hanya saja Liam pandai menutupi rahasia. Ia tidak mau ikut campur, cukup membeberkannya kepada Alessandro.Liam juga tahu Alessandro berniat mengubur masalah ini. Clair menoleh kepada Lia
“Bodoh!” teriak Alessandro di tengah hutan. Pria itu mengepalkan tangan dengan kuat hingga bagian telapak sakit dan urat-urat pada lengan menonjol. Ia memukuli udara yang tidak bersalah. Kemudian Alessandro terjatuh dengan posisi kedua lutut di atas tanah lembab.Alessandro kian tercabik ketika memeriksa ponsel dan mendapati istrinya sedang menelepon. Ia tidak kuasa menerima panggilan suara. Pria itu tenggelam jauh bersama perasaannya saat ini.Beberapa jam kemudian, Alessandro berhasil menguasai rasa sakit dalam dada. Ia bergegas menemui Claira di Mansion Caldwell. Karena hubungan sudah membaik, kedatangan Alessandro disambut oleh para pelayan. “Di mana Nona Muda Clair?”Pelayan menunduk. “Nona di perpustakaan, Tuan.” Alessandro langsung menghampiri iparnya.Claira terkejut karena sebelumnya Al tidak membuat janji. Sekarang pria itu datang dengan ekspresi dingin dan aura mencekam seketika menyelimuti ruangan.“Hi Al. A-ada a-apa?” gugup Claira. Perasaan sebagai wanita sangat peka,
Alessandro mendengus sebal lantaran Liam menguasai keempat anaknya. Sebagai ayah, ia hanya bisa mengawasi dari jarak jauh. Al juga tidak bisa berbuat apa-apa selain mengamati, sebab Calantha telah memberi izin. Liam mengambil banyak swafoto bersama ABCD. Pria itu tersenyum kecil melihat hasil jepretan kamera. Liam mengirim pesan teks dan gambar dirinya bersama Anaya kepada Clair. “Anaya semakin lucu.” Ketika Liam masih tersenyum sendirian, Alessandro berdiri tepat di belakang pria itu. “Ide brilian menggunakan anakku sebagai alibi menggoda wanita.” Alessandro langsung mengambil alih keempat bayinya. Ia tidak suka wajah polos bayinya dimanfaatkan oleh Liam. ** Satu minggu ini Liam rajin mengunjungi kediaman Alessandro. Pria itu membawa beraneka buah tangan untuk Calantha dan empat bayinya, tidak ketinggalan Liam menemani Al bermain catur. Semua dilakukan sebagai permohonan maaf. “Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Claira?” Wajah Alessandro tampak serius memandang papan
“Ajari aku caranya.” Clair menunjuk popok dan pakaian bayi. Seketika Calantha dan Lorraine menoleh ke arah wanita itu. Kening kedua ibu muda mengerut karena tidak biasanya seorang gadis belajar merawat bayi.“Kalian tidak perlu menatapku seperti itu. A-aku mau tau bagaimana melakukannya.” Clair menelan ludah karena gugup diperhatikan oleh dua pasang mata.Lorraine mengalihkan pandangan kepada Calantha untuk meminta izin. Istri kesayangan Alessandro Javier itu mengangguk. Jujur, perasaan Cal campur aduk. Ia takut kakaknya ini kelak mencari simpati di depan Al. Sungguh Calantha tidak mau rumah tangganya hancur. Apalagi sekarang keempat anak sangat membutuhkan orang tua utuh.Saat mengganti popok Anaya, wajah Claira berseri-seri. Gadis itu teringat ketika Liam mempertanyakan kesiapannya menjadi seorang ibu. Namun, waktu itu Claira diam saja karena malu. Sekarang hatinya bersorak riang.**Dua hari kemudian, Liam mengantar Clair ke bandar udara. Gadis itu harus pulang ke Zurich karena b