‘Apa telah terjadi sesuatu? Dia … aneh,’ batin Cal sembari memperhatikan tingkah Al tampak tak biasa. Cal berpikir Al tidak menyukai menu makan siang kantor, sejak sepuluh menit lalu pria itu hanya memandangi kotak makan. Tiba-tiba pria itu berdeham, lalu menggerakkan kepala, sorot mata menatap lekat paras jelita. “Kalau kamu tidak suka, aku bisa pesankan makanan yang lain,” celetuk Cal di tengah kesunyian ruang kerja CEO. Setelah melepas pagutan, Al membawa Cal keluar dari ruangan Xavi dan kembali ke ruang kerjanya. “Tidak perlu, sebaiknya habiskan makananmu!” kata Al. Sedangkan Cal tidak memberi tanggapan apa pun. Ia kembali fokus pada makanannya, sekaligus merasa tidak nyaman karena diperhatikan oleh sepasang mata elang. Selesai makan siang, Cal melakukan pekerjaan seperti biasa. Pasangan suami istri itu tidak terlibat percakapan baik masalah kantor atau rumah. Menjelang pulang kantor, Cal keluar ruang CEO untuk menyerahkan dokumen yang telah ditandatangani Al kepada Xavi. Tak
“Iya aku lihat,” sahut Cal menyembunyikan kegugupannya. “Ingat pesanku tadi,” ucap Al sembari menyentil dahi Cal. “Semua tidak gratis,” sambungnya. ‘Astaga, dia benar-benar kejam,’ batin Cal menggerutu. Perlahan tapi pasti, wanita itu mengangsurkan dua tangannya, menyentuh kancing kemeja, lantas meloloskan satu per satu hingga otot-otot yang terpahat sempurna terlihat jelas. Cal maju satu langkah membantu melepas kemeja dari tubuh Al. Jujur saja, ia gemetaran, karena pertama kali melakukannya. Akan tetapi, Cal merasa beruntung sebab Al hanya diam, kendati sorot mata elangnya menatap penuh minat padanya. Wanita itu menyampirkan kemeja kotor pada lengannya, lalu mengembuskan napas berat. “Selesai Al. Lalu di mana kotak obatnya? Perbanmu harus diganti.” “Di atas,” jawab Al, bola matanya bergerak ke arah lantai dua. “Di kamar kita,” tambahnya dengan intonasi menggoda. Cal mengangguk, bergegas menuju lantai dua. Buru-buru ia membuka pintu kamar, membongkar laci dan lemari, mencari k
Paska perubahan sikap Al tempo hari, membuat Cal perlahan-lahan tidak lagi menghindar, bahkan dinding pembatas yang dibangunnya mulai rontok. Kini, ia menghabiskan banyak waktu bersama Al baik di kantor ataupun rumah. “Sudah selesai?” tanya Al ketika melihat Cal meregangkan otot tangan. Pria itu menghampiri Cal menuju meja kerjanya, menyelipkan satu tangan ke dalam saku celana, dua sudut bibinya tersenyum merekah menatap paras jelita sang istri. Al benar-benar mengikuti saran psikolog. Cal mengangguk kecil, kemudian mematikan layar laptop, tidak lupa merapikan beberapa barang pribadi dan memasukkan ke dalam tas ransel. “Ayo, masih ada waktu dua jam lagi untuk bersiap.” Al mengulurkan tangan. Jika sebelumnya sulit mendapat sambutan, kali ini Cal menerima uluran tangan Al. Keduanya segera keluar ruangan—meninggalkan gedung. “Memangnya tidak masalah aku ikut ke acara pameran seni itu? Di undangan tertera hanya CEO.” Cal mengingat kartu hitam dengan tulisan berwarna emas yang diberka
Sontak, Al menggeram, sebab mengetahui siapa pemilik suara itu. Ia langsung melingkarkan tangan secara posesif di pinggang Cal, secara tegas melarang wanitanya menoleh.“Apa kabar Tuan Torres? Lama tidak bertemu … mungkin lain waktu aku sempatkan diri berkunjung ke kantormu,” ucap Lionel diiringi senyum palsu.“Seperti Tuan Pedrosa lihat, aku dan istriku baik-baik saja. Kami bahagia.” Setelah mengatakan itu, Al mengetatkan rahang sebab sorot mata Lionel terpesona pada penampilan Cal.Bola mata pria itu benar-benar terkunci hanya pada Cal. Bahkan keberadaan Al di samping wanitanya seakan dianggap tidak ada.“Ya tentu. Anda sungguh beruntung memilikinya. Dia perempuan penyabar, meskipun tidak diperlakukan dengan baik,” cakap Lionel membuat para kolega bisnis lain mengerutkan kening lalu berpamitan dan berlalu pergi.“Terima kasih … pujiannya.” Al semakin erat memegangi pinggang Cal, sampai pemilik tubuh meringis pelan. “Aku harap tidak ada
Paska kegiatan panas semalam, pagi ini Cal terbangun dengan perasaan berbeda. Selain itu, sudah lebih dari sepuluh menit memandangi sosok tampan di depannya yang masih terlelap damai.“Aku tidak percaya kita ....” Cal mengulum senyum sambil memainkan jemari di rambut berantakan suami.Ketika ia merubah posisi dan memutuskan beranjak dari pembaringan, Al membuka lebar kelopak mata. Tatapan penuh minat terpancar dari manik biru safir. Pria itu melingkarkan tangan pada pinggang ramping, lalu menariknya, membawa Cal dalam pelukan.“Aku percaya,” bisik Al mengembuskan napas hangat menyapu halus anak rambut pada kening Cal.Jujur, saat ini Cal dilanda kegugupan untuk alasan yang tidak bisa dijabarkan. Sejenak, ia terdiam, dan menelan salivanya.“Tapi Al, aku—““Tidak ada alasan Cal!” Al menyusuri punggung polos itu menggunakan jemarinya. “Dan semalam adalah jawaban.”Cal menggembungkan pipi, menjauhkan kepala, lalu mendongak kepala menatap paras rupawan yang memeluknya.“Kenapa? Mau lagi?”
‘Kamu tahu Calantha, sebelum hamil wanita harus mempersiapkan tubuhnya!’Selama dua hari, kalimat itu selalu terngiang dalam benak Cal, di mana pun, kapan pun termasuk ketika ia sedang bergumul di atas ranjang bersama sang suami.“Udangnya gosong!” seru Al, gegas mematikan kompor.Seketika Cal melepaskan tangan dari gagang panci serta spatula. “Ah, a-aku tidak tahu kalau—““Apa yang kamu pikirkan?” desak pria itu secara langsung.Pertanyaan itu terlontar bukan tanpa alasan, sebab belakangan ini Cal lebih sering melamun sehingga tidak fokus pada pekerjaannya. Bahkan kegiatan panas yang seharusnya berlangsung menyenangkan, berubah menjadi … hambar. Cal hanya bisa merasakan tubuhnya menjadi objek dari kebutuhan biologis seorang pria.“Tidak ada, maaf sarapannya gagal.” Cal melirik ke arah panci. “Aku memang tidak pandai masak seperti … Clair,” lirihnya merasa tidak berguna sebagai seorang istri.Kemudian, ia memutar badan, meninggalkan semua kekacauan di dapur. Sayang, Al mencegahnya, la
“Dari mana?” tanya Al pada Cal yang baru saja masuk ruang CEO. Tadi, setelah Cal berjalan-jalan bersama kakak sepupu, keduanya berpisah di depan gedung salah satu apartemen. Cal tidak singgah melainkan bergegas kembali ke kantor. Cal meninggikan alis, lalu berjalan menuju meja kerjanya. “Bukankah aku sudah izin bertemu dengan Mitha, kamu tidak lupa ‘kan?” Namun, Al mencekal lengannya. Pria itu menarik Cal mendekat hingga tubuh keduanya merapat padu. Cal memicingkan mata, sebab menghirup aroma asap rokok dari embusan napas sang suami. “Apa yang kamu pikirkan?” Al menyentil dahi Cal hingga ringisan kecil terdengar dari bibir tipis, kemudian mencubit dagu lancip. “Alasanku merokok?” tanyanya yang langsung mendapat jawaban anggukan kepala dari Cal. “Karena istriku tidak patuh. Jangan pernah pergi sebelum aku izinkan. Paham!” tegasnya. Bahu tegak Cal berubah melemas bersamaan dengan helaan napas panjang. Ia geleng-geleng kepala mendengar ucapan pria di hadapannya. “Apa seperti itu se
Hening, ruang kerja CEO ini berubah dingin. Bahkan Al sama sekali enggan menjawab pertanyaan wanitanya. Cal tersenyum masam, lantas beranjak dari atas pangkuan Al. Melalui keterdiaman suaminya, ia mendapat jawaban.“Kamu memperlakukanku seperti tawanan Al,” ucap Cal dengan suara lembut tetapi sorot matanya memancarkan kekecewaan.Kemudian wanita itu kembali duduk di kursi kerjanya. Wajah cantik Cal menghadaap layar laptop, ia melampiaskan perasaannya pada setumpuk pekerjaan.**Sepulang kerja, Cal meminta izin pada suaminya untuk bertemu dengan Mitha. Meskipun tidak mendapat jawaban, ia tetap pergi, sebab membutuhkan waktu sendirian. Sesampainya di apartemen sederhana, Cal tidak langsung masuk. Melainkan menolehkan kepala, melihat dua orang penguntit.“Calantha, ayo masuk. Maaf aku tidak mampu sewa yang lebih luas,” kata Mitha menekuk wajahnya.“Bukan begitu Mitha. Aku tidak bermaksud—““Oh, anak buah suamimu?” Mitha menatap ke balik punggung Cal. Cal mengangguk, dan tersenyum kikuk,
“Selamat Tuan Hofer, bayinya lahir dengan sehat.” Dokter mengulurkan tangan kanan sambil tersenyum lebar. Liam berkaca-kaca mendengar kabar menggembirakan. Ia gegas menghubungi ibunya dan beberapa kerabat terdekat untuk menjenguk anggota keluarga baru. Setelah itu Liam memasuki ruang pemulihan. Ia melihat dua bayi menelungkup di atas dada sang istri. “Claira ….” Liam sesenggukan. Ia mengekspresikan diri karena memiliki buah cinta dari gadis pujaannya di masa sekolah. Bahkan tangan Liam tidak sanggup menyentuh kulit tipis nan lembut miliik bayinya. “Kamu memiliki dua anak laki-laki.” Claira tersenyum merekah melihat dua bayi itu sibuk mencari puncak nutrisi. “Kita. Kita memiliki dua putra. Dan kamu satu-satunya perempuan cantik diantara kami.” Liam setengah tertawa dan menangis ketika mengatakannya. Sedangkan Claira tergelak membuat kedua bayi di atas tubuhnya terkejut lalu merengek. Pasangan itu saling menatap satu sama lain kemudian tertawa bersama-sama melihat tingkah mengge
“Hamil?” Clair tercengang. Reaksi pasangan itu sangat berbanding terbalik. Liam selalu menebar senyum bahkan berbagi kebahagiaan bersama pegawai rumah sakit. Ia mentraktir makan. Sedangkan Clair tampak terpukul.“Istriku kenapa sedih? Seharusnya kamu senang.” Liam merangkul bahu Claira.Wanita itu menunduk menatap perutnya. “Kenapa aku bisa hamil? Liam aku … belum siap menjadi ibu.”Seketika senyum manis di wajah Liam menghilang. Kini pria bermata sipit itu mengetahui Claira enggan mengandung anaknya.“Kita sudah menikah, bercinta dan melakukan berulang kali. Kita tidak menunda kehamilan. Jadi … kamu menolak?” tanya Liam dengan perasaan kecewa.Clair tersadar dari pikirannya. Ia menatap wajah sendu sang suami. Kedua tangan mulus wanita itu menangkup pipi Liam.“Maksudnya bukan begitu. Liam … aku ini seorang pendosa. A-aku tidak menyangka hamil dalam waktu dekat. A-aku juga … merasa bukan ibu yang baik.” Claira melepaskan tangan dari rahang Liam lalu menunduk dalam.Liam tersenyum kec
“Aku bingung bagaimana cara mengatakannya,” gumam Claira. Raut wajah wanita itu terlihat sedih.Calantha mengernyit dan menopang dagunya. [Maksudmu?] “Aku ingin pindah rumah, tapi ibu mertuaku melarang. Alasannya kesepian, karena sebelumnya Liam sibuk bekerja.” Claira cemberut. “Kami tidak punya waktu berdua.” Calantha manggut-manggut. Ia mengerti keinginan kakak kembarnya. Istri Alessandro Javier itu tersenyum penuh arti lantas mendekatkan kepala dengan layar ponsel.[Bilang saja langsung kalau kamu ingin pacaran bersama Liam.] Calantha menaik-turunkan alisnya.“Mana bisa seperti itu!” sentak Claira.Setelah satu bulan tinggal di rumah mertua, Claira kehilangan figure Liam. Pria itu lebih sering pulang malam dan pergi pagi-pagi sekali. Bahkan satu minggu ini keduanya tidak berhubungan intim.Claira mengakhiri panggilan video bersama Cal. Ia bergegas menemui ibu mertua di lantai satu. Ia melihat wanita paruh baya itu sedang kesulitan berjalan. Buru-buru Clair membantu.“Hati-hati B
Malam pertama yang seharusnya berujung menyenangkan dengan suasana romantis, justru sebaliknya. Kini, vila pribadi Keluarga Hofer dikunjungi dokter serta perawat yang mengobati Liam. Pria itu mendadak demam paska berenang.“Bagaimana kondisinya? Perlu dirawat inap?” berondong Clair kepada dokter. Ia memperhatikan wajah pucat sang suami.Sedangkan Liam menahan malu sekaligus gundah. Pria itu merasa bersalah gagal menjadi sosok suami idaman bagi pujaan hati. Dokter berkata dengan cemas, “Demamnya cukup tinggi mencapai empat puluh derajat. Tapi Tuan Liam menolak.”Clair mendengus, lantas berjalan mendekati suaminya yang sedang berbaring tidak berdaya.“Kamu masih mau hidup?” tegas wanita itu membuat mata sipit Liam membelalak.Clair bertolak pinggang dan menatap tajam suaminya. “Kita baru menikah satu hari, kamu mau menjadikan aku janda?” Liam meneguk saliva dan menggeleng pelan. Ia tahu istrinya memang galak, tetapi tidak menyangka mulut Claira sangatlah tajam.“Jangan bilang begitu.
Satu tahun berlalu sangat cepat, kesabaran Liam membuahkan hasil. Pagi ini, Liam dan Claira telah resmi menjadi sepasang suami istri. Keduanya sedang menandatangani akta pernikahan. Calantha bersama keempat anaknya duduk di kursi paling depan. Ia menangis haru karena Clair mendapatkan belahan jiwa. Ia juga tahu Clair belum sepenuhnya melupakan Alessandro. Wanita itu beranjak mendekati kembarannya. “Haruskah aku memanggilmu Nyonya Hofer?” goda Calantha. Liam menyambar, “Tentu saja! Dia istriku, dan kamu harus memanggilku kakak meskipun kita seumuran.” Tawa pria itu. Tiba-tiba Alessandro memukul kepala Liam. Ia berkata dengan tegas, “Tidak boleh memanggil kakak! Panggil nama saja.” Seketika altar pernikahan dihiasi gelak tawa dari semua orang. Mereka melihat kedekatan putri Caldwell dan kekompakan para menantu. “Sudah seharusnya aku patuh kepada yang lebih dewasa.” Liam menyengir, menjadikan mata sipitnya tak terlihat. Alessandro memelotot karena secara tidak langsung Liam menge
Claira melempar kerikil kecil ke sembarang arah. Pikiran gadis itu dilanda gundah gulana. Ia ketakutan Alessandro memberitahu keluarga besarnya tentang sebuah kebenaran. Clair menelan ludah. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Calantha mengetahui kenangan bersama Al diambil alih olehnya.Ketika wanita itu melepar kerikil cukup besar, seseorang memekik. “Aw!”“Ya ampun!” Claira sigap menghampiri sumber suara. Ia ternganga mendapati Liam sedang mengelus kening.Sialnya, kening pria tampan itu berubah merah.“Liam, maaf. Aku tidak bermaksud—““Apa yang kamu pikirkan?” Liam meringis karena lemparan Clair sangat bertenaga.“Tidak ada!” tegas Clair. Ia tersenyum kaku.Padahal Liam sengaja meluangkan waktu setelah berminggu-minggu demi Clair. Pria itu tahu calon istrinya sedang gelisah. Hanya saja Liam pandai menutupi rahasia. Ia tidak mau ikut campur, cukup membeberkannya kepada Alessandro.Liam juga tahu Alessandro berniat mengubur masalah ini. Clair menoleh kepada Lia
“Bodoh!” teriak Alessandro di tengah hutan. Pria itu mengepalkan tangan dengan kuat hingga bagian telapak sakit dan urat-urat pada lengan menonjol. Ia memukuli udara yang tidak bersalah. Kemudian Alessandro terjatuh dengan posisi kedua lutut di atas tanah lembab.Alessandro kian tercabik ketika memeriksa ponsel dan mendapati istrinya sedang menelepon. Ia tidak kuasa menerima panggilan suara. Pria itu tenggelam jauh bersama perasaannya saat ini.Beberapa jam kemudian, Alessandro berhasil menguasai rasa sakit dalam dada. Ia bergegas menemui Claira di Mansion Caldwell. Karena hubungan sudah membaik, kedatangan Alessandro disambut oleh para pelayan. “Di mana Nona Muda Clair?”Pelayan menunduk. “Nona di perpustakaan, Tuan.” Alessandro langsung menghampiri iparnya.Claira terkejut karena sebelumnya Al tidak membuat janji. Sekarang pria itu datang dengan ekspresi dingin dan aura mencekam seketika menyelimuti ruangan.“Hi Al. A-ada a-apa?” gugup Claira. Perasaan sebagai wanita sangat peka,
Alessandro mendengus sebal lantaran Liam menguasai keempat anaknya. Sebagai ayah, ia hanya bisa mengawasi dari jarak jauh. Al juga tidak bisa berbuat apa-apa selain mengamati, sebab Calantha telah memberi izin. Liam mengambil banyak swafoto bersama ABCD. Pria itu tersenyum kecil melihat hasil jepretan kamera. Liam mengirim pesan teks dan gambar dirinya bersama Anaya kepada Clair. “Anaya semakin lucu.” Ketika Liam masih tersenyum sendirian, Alessandro berdiri tepat di belakang pria itu. “Ide brilian menggunakan anakku sebagai alibi menggoda wanita.” Alessandro langsung mengambil alih keempat bayinya. Ia tidak suka wajah polos bayinya dimanfaatkan oleh Liam. ** Satu minggu ini Liam rajin mengunjungi kediaman Alessandro. Pria itu membawa beraneka buah tangan untuk Calantha dan empat bayinya, tidak ketinggalan Liam menemani Al bermain catur. Semua dilakukan sebagai permohonan maaf. “Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Claira?” Wajah Alessandro tampak serius memandang papan
“Ajari aku caranya.” Clair menunjuk popok dan pakaian bayi. Seketika Calantha dan Lorraine menoleh ke arah wanita itu. Kening kedua ibu muda mengerut karena tidak biasanya seorang gadis belajar merawat bayi.“Kalian tidak perlu menatapku seperti itu. A-aku mau tau bagaimana melakukannya.” Clair menelan ludah karena gugup diperhatikan oleh dua pasang mata.Lorraine mengalihkan pandangan kepada Calantha untuk meminta izin. Istri kesayangan Alessandro Javier itu mengangguk. Jujur, perasaan Cal campur aduk. Ia takut kakaknya ini kelak mencari simpati di depan Al. Sungguh Calantha tidak mau rumah tangganya hancur. Apalagi sekarang keempat anak sangat membutuhkan orang tua utuh.Saat mengganti popok Anaya, wajah Claira berseri-seri. Gadis itu teringat ketika Liam mempertanyakan kesiapannya menjadi seorang ibu. Namun, waktu itu Claira diam saja karena malu. Sekarang hatinya bersorak riang.**Dua hari kemudian, Liam mengantar Clair ke bandar udara. Gadis itu harus pulang ke Zurich karena b