Sudah dua puluh hari berlalu paska Mitha dimakamkan. Suasana Mansion Caldwell kembali kondusif, Tuan dan Nyonya sibuk dengan jadwal bisnis serta amal. Termasuk Claira telah pulang ke Kota Bern. Tersisa Calantha yang masih betah bermalam di hotel. Istri memesona Alessandro Javier itu tidak pulang ke Madrid. Seolah-olah sesuatu menahannya di Kota Zurich. Ia lebih suka menyendiri sembari memandangi gedung-gedung tinggi dari kaca. Calantha menghela napas. “Mitha … seandainya kamu tidak iri, pasti hubungan kita baik-baik saja.” Jujur, ia kehilangan … ini sangat berat. Sebab mengingat kebaikan Mitha di masa lalu, meskipun semua sikap itu didasari niat jahat. “Semoga kamu bahagia di sana,” gumam Calantha. Jari telunjuk wanita itu menyentuh kaca dengan pemandangan langit cerah musim panas. Netra kelabu Calantha tetap melihat ke arah luar hingga fana merah jambu. Wanita itu memutar tubuh dan memindai seisi kamar—tampak sepi. Alessandro sibuk berkerja demi mencapai target. Keduanya jaran
“Kartu namanya menghilang,” gumam Calantha. Setelah bangun, ia tergesa-gesa memeriksa kartu nama milik Liam di atas meja. Ternyata sudah lenyap. Suara gemericik air terdengar, Calantha melirik ke arah kamar mandi. Wanita itu menghela napas, berharap suaminya tidak salah paham lagi. Tidak lama kemudian, Alessandro selesai dengan kegiatannya. Pria itu menggunakan handuk putih yang melekat elok di pinggang kekar. Ia melirik Calantha yang menatap lurus pada tubuh indahnya. “Kenapa? Belum puas yang semalam?” Pertanyaan pria itu membuat pipi Calantha merona dan panas. Sehingga tidak sadar wanita cantik itu mengipaskan tangan tepat di depan pipinya. Sedangkan Alessandro tertawa melihat tingkah Calantha yang begitu menggemaskan. Dalam sekejap, CEO muda nan tampan itu mengukung Calantha di bawah kuasanya. “Aku sudah melunasi tagihanmu. Nyonya Torres, jangan menerima bantuan pria selain suamimu ya!” Calantha mengangguk kecil. Kemudian ia menelan ludah ketika bibir Al menyambar kul
“Cal, cepat buka pintunya!” Alessandro mengetuk pintu tidak sabaran, seakan-akan sedang terjadi sesuatu yang genting.Lamunan Calantha seketika buyar. Wanita itu mengganti pakaian dalamnya, kemudian membuka pintu dan mendapat ekspresi panik Alessandro.“Ada apa?!”“Cepat ke kamar Lorraine. Pelayan bilang air ketubannya pecah, kita harus membawa dia ke rumah sakit.” Alessandro menarik pergelangan tangan Calantha. “Aku sudah menghubungi ambulan, seharusnya mereka datang sebentar lagi.”Wanita itu ingin bertanya tentang keberadaan Pedro, tetapi urung karena saat ini paling penting keselamatan Lorraine dan bayinya.Calantha terbelalak melihat istri sepupu Alessandro meringis di atas ranjang. Ia gegas memegangi tangan Lorraine dan membawanya menuju teras vila.“Ini sakit Cal,” kata Lorraine sembari tersenyum kaku.Calantha menyahut dalam hati, ‘Apa sesakit itu? Tapi … beruntungnya kamu bisa merasakan semua itu Lorraine, sedangkan aku … hanya bisa melihat.’Beberapa saat kemudian, mereka t
Calantha dan Alessandro kehabisan kata ketika dokter menunjukkan titik kecil yang hampir tidak terlihat pada layar monitor. Pasangan itu saling memandang, mereka dikuasai dengan pikiran masing-masing. “Masih terlalu kecil, belum jelas. Empat minggu lagi pasti semakin besar,” kata dokter. “Benarkah?” Kedua mata Calantha berkaca-kaca. Setelah sesi pemeriksaan selesai. Calantha tersedu-sedu dalam pelukan Alessandro. Ia tidak menyangka di dalam tubuhnya terdapat calon kehidupan baru. “Schatzi … kamu hebat,” bisik pria itu sembari membelai puncak kepala Calantha. Calantha masih membisu. Ia terlarut dalam suasana haru yang telah lama dirindukan dan dinantikan. Wanita itu berjanji akan menjaga calon buah hatinya. Alessandro berkata lemah lembut, “Aku akan menjaga kalian. Schatzi … jangan takut lagi ya.” Beberapa saat berlalu, keduanya kembali pulang ke vila. Clair langsung memeluk saudarinya, sama halnya dengan Lorraine. Namun, Calantha tidak ingin terburu-buru mengumumkan kebahagia
“Memang apa salahnya suami perhatian kepada istri?!” Embusan napas Alessandro terdengar kasar. “Istriku sedang hamil tetapi menolak semua sentuhan dan bantuan,” gerutu CEO itu.Dua minggu paska kembali ke Kota Madrid sikap Calantha semakin membuat Al kelelahan. Bayangkan saja, ibu hamil itu lebih senang berjauhan dengan suaminya daripada menempel manja.Saat ini Alessandro sedang duduk di Well Coffee bersama Pedro. “Setelah bayi kalian lahir semua kembali normal.” Sepupu itu menepuk-nepuk bahu Al.“Apa kamu gila? Calantha melahirkan tujuh bulan lagi. Astaga Pedro itu masih lama!” Suami Calantha ini mengusap kasar wajah tampannya.Sebagai sepupu yang baik, Pedro hanya bisa menenangkan Alessandro. “Sabar Al. Demi istri dan anakmu, kamu harus menahan diri.”Ekor mata Alessandro melirik tajam pada sepupunya. Ia berdecak sebal karena Calantha berbeda dari ibu hamil biasanya.Getaran ponsel Al menarik perhatian. Pria itu langsung membaca pesan teks di aplikasi berbalas chat. Ia tersenyum
Istri mana yang tidak cemburu melihat suaminya dekat dengan wanita lain? Calantha bergegas turun ke lantai satu. Langkah kaki ibu hamil itu terasa berat karena ukuran perutnya. Ia ingin menangkap basah sekaligus meminta keterangan dari keduanya mengapa mereka bersama. Padahal belasan menit lalu Al sedang di dalam kamar.‘Apa mungkin Clair mengirimkan pesan dan meminta Alessandro menemuinya?’ batin Calantha tidak bisa berhenti menaruh curiga.Ketika hendak menyapa dua orang itu, Calantha mengurungkan niat. Lantaran Alessandro dan Claira terlihat sedang membicarakan sesuatu. Ia ingin mengetahui sepenting apakah topik itu.Calantha memilih bersembunyi di balik meja dengan hiasan antik yang berjajar rapi. Tubuhnya tidak kelihatan, tetapi ia berusaha mengatur napas agar bisa menguping.Alessando dan Claira memasuki rumah. “Kamu gila!” umpat pria itu dengan suara tertahan.Calantha mengernyit, sekarang ia tahu suaminya tidak sedang bermesraan bersama Clair. Dari celah tipis antara barang,
Di rumah sakit.Setelah menjalani beragam pemeriksaan kondisi keempat janin dalam kandungan baik-baik saja. Calantha hanya terguncang mendengar fakta mengejutkan itu. “Kamu mengetahuinya dan merahasiakannya dariku? Jahat!” tegas Calantha.“Jangan salah paham Schatzi. Aku baru mengetahuinya kemarin.” Alessandro menatap lekat manik kelabu sang istri. Meskipun Calantha enggan membalas tatapan suami. Al tidak meninggalkan wanita yang sedang mengandung buah hatinya. “Kalau kamu tidak percaya silakan tanya kepada detektif!” ucap Al sedikit tegas.Ia tidak mau karena masalah Claira hubungannya bersama Calantha menjadi rumit. Alessandro tidak mengizinkan istrinya salah paham.“Bisa sajA kalian sudah bekerja sama!” kilah wanita itu enggan mendengar penjelasan Al.“Tidak apa, nanti kamu tahu kebenarannya.” Alessandro mencondongkan tubuh kepada Cal lalu mengecup kening sang istri. “Jangan banyak berpikiran buruk, kasihan anak-anak.”Pukul tujuh malam ketika Calantha sedang makan. Ia tertegun
“Calantha kamu harus semangat, aku yakin kamu bisa! Kamu ibu yang hebat!” ucap Claira, sembari menggenggam erat tangan adik kembarnya. Beberapa bulan paska kesalahpahaman di masa lalu terurai, sebagai penebus dosa Claira tak pernah absen menghubungi sang adik. Hingga ketika Claira berkunjung ke rumah Alessandro, ia menemukan adiknya mengeluh lemas. Claira sigap membawa Calantha ke rumah sakit. Ternyata istri Alessandro Javier diharuskan melahirkan hari ini juga melalui prosedur operasi. “Tolong hubungi Al. Menurut jadwal dia pulang sore ini,” lirih Calantha. Ia merasa cemas karena melahirkan sebelum waktu yang ditetapkan dokter. Clair mengangguk tegas. Ia juga memaksa mengantarkan Cal sampai ke ruang operasi. Setelah itu Clair menghubungi iparnya. Tiga kali tersambung tetapi Alessandro enggan menerima. Tepat panggilan keempat wajah Claira sumringah, ia berujar lantang, “Al datanglah ke rumah sakit ibu dan anak. Calantha sedang melahirkan.” [Apa?! Tunggu aku!] Setelah it
“Selamat Tuan Hofer, bayinya lahir dengan sehat.” Dokter mengulurkan tangan kanan sambil tersenyum lebar. Liam berkaca-kaca mendengar kabar menggembirakan. Ia gegas menghubungi ibunya dan beberapa kerabat terdekat untuk menjenguk anggota keluarga baru. Setelah itu Liam memasuki ruang pemulihan. Ia melihat dua bayi menelungkup di atas dada sang istri. “Claira ….” Liam sesenggukan. Ia mengekspresikan diri karena memiliki buah cinta dari gadis pujaannya di masa sekolah. Bahkan tangan Liam tidak sanggup menyentuh kulit tipis nan lembut miliik bayinya. “Kamu memiliki dua anak laki-laki.” Claira tersenyum merekah melihat dua bayi itu sibuk mencari puncak nutrisi. “Kita. Kita memiliki dua putra. Dan kamu satu-satunya perempuan cantik diantara kami.” Liam setengah tertawa dan menangis ketika mengatakannya. Sedangkan Claira tergelak membuat kedua bayi di atas tubuhnya terkejut lalu merengek. Pasangan itu saling menatap satu sama lain kemudian tertawa bersama-sama melihat tingkah mengge
“Hamil?” Clair tercengang. Reaksi pasangan itu sangat berbanding terbalik. Liam selalu menebar senyum bahkan berbagi kebahagiaan bersama pegawai rumah sakit. Ia mentraktir makan. Sedangkan Clair tampak terpukul.“Istriku kenapa sedih? Seharusnya kamu senang.” Liam merangkul bahu Claira.Wanita itu menunduk menatap perutnya. “Kenapa aku bisa hamil? Liam aku … belum siap menjadi ibu.”Seketika senyum manis di wajah Liam menghilang. Kini pria bermata sipit itu mengetahui Claira enggan mengandung anaknya.“Kita sudah menikah, bercinta dan melakukan berulang kali. Kita tidak menunda kehamilan. Jadi … kamu menolak?” tanya Liam dengan perasaan kecewa.Clair tersadar dari pikirannya. Ia menatap wajah sendu sang suami. Kedua tangan mulus wanita itu menangkup pipi Liam.“Maksudnya bukan begitu. Liam … aku ini seorang pendosa. A-aku tidak menyangka hamil dalam waktu dekat. A-aku juga … merasa bukan ibu yang baik.” Claira melepaskan tangan dari rahang Liam lalu menunduk dalam.Liam tersenyum kec
“Aku bingung bagaimana cara mengatakannya,” gumam Claira. Raut wajah wanita itu terlihat sedih.Calantha mengernyit dan menopang dagunya. [Maksudmu?] “Aku ingin pindah rumah, tapi ibu mertuaku melarang. Alasannya kesepian, karena sebelumnya Liam sibuk bekerja.” Claira cemberut. “Kami tidak punya waktu berdua.” Calantha manggut-manggut. Ia mengerti keinginan kakak kembarnya. Istri Alessandro Javier itu tersenyum penuh arti lantas mendekatkan kepala dengan layar ponsel.[Bilang saja langsung kalau kamu ingin pacaran bersama Liam.] Calantha menaik-turunkan alisnya.“Mana bisa seperti itu!” sentak Claira.Setelah satu bulan tinggal di rumah mertua, Claira kehilangan figure Liam. Pria itu lebih sering pulang malam dan pergi pagi-pagi sekali. Bahkan satu minggu ini keduanya tidak berhubungan intim.Claira mengakhiri panggilan video bersama Cal. Ia bergegas menemui ibu mertua di lantai satu. Ia melihat wanita paruh baya itu sedang kesulitan berjalan. Buru-buru Clair membantu.“Hati-hati B
Malam pertama yang seharusnya berujung menyenangkan dengan suasana romantis, justru sebaliknya. Kini, vila pribadi Keluarga Hofer dikunjungi dokter serta perawat yang mengobati Liam. Pria itu mendadak demam paska berenang.“Bagaimana kondisinya? Perlu dirawat inap?” berondong Clair kepada dokter. Ia memperhatikan wajah pucat sang suami.Sedangkan Liam menahan malu sekaligus gundah. Pria itu merasa bersalah gagal menjadi sosok suami idaman bagi pujaan hati. Dokter berkata dengan cemas, “Demamnya cukup tinggi mencapai empat puluh derajat. Tapi Tuan Liam menolak.”Clair mendengus, lantas berjalan mendekati suaminya yang sedang berbaring tidak berdaya.“Kamu masih mau hidup?” tegas wanita itu membuat mata sipit Liam membelalak.Clair bertolak pinggang dan menatap tajam suaminya. “Kita baru menikah satu hari, kamu mau menjadikan aku janda?” Liam meneguk saliva dan menggeleng pelan. Ia tahu istrinya memang galak, tetapi tidak menyangka mulut Claira sangatlah tajam.“Jangan bilang begitu.
Satu tahun berlalu sangat cepat, kesabaran Liam membuahkan hasil. Pagi ini, Liam dan Claira telah resmi menjadi sepasang suami istri. Keduanya sedang menandatangani akta pernikahan. Calantha bersama keempat anaknya duduk di kursi paling depan. Ia menangis haru karena Clair mendapatkan belahan jiwa. Ia juga tahu Clair belum sepenuhnya melupakan Alessandro. Wanita itu beranjak mendekati kembarannya. “Haruskah aku memanggilmu Nyonya Hofer?” goda Calantha. Liam menyambar, “Tentu saja! Dia istriku, dan kamu harus memanggilku kakak meskipun kita seumuran.” Tawa pria itu. Tiba-tiba Alessandro memukul kepala Liam. Ia berkata dengan tegas, “Tidak boleh memanggil kakak! Panggil nama saja.” Seketika altar pernikahan dihiasi gelak tawa dari semua orang. Mereka melihat kedekatan putri Caldwell dan kekompakan para menantu. “Sudah seharusnya aku patuh kepada yang lebih dewasa.” Liam menyengir, menjadikan mata sipitnya tak terlihat. Alessandro memelotot karena secara tidak langsung Liam menge
Claira melempar kerikil kecil ke sembarang arah. Pikiran gadis itu dilanda gundah gulana. Ia ketakutan Alessandro memberitahu keluarga besarnya tentang sebuah kebenaran. Clair menelan ludah. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Calantha mengetahui kenangan bersama Al diambil alih olehnya.Ketika wanita itu melepar kerikil cukup besar, seseorang memekik. “Aw!”“Ya ampun!” Claira sigap menghampiri sumber suara. Ia ternganga mendapati Liam sedang mengelus kening.Sialnya, kening pria tampan itu berubah merah.“Liam, maaf. Aku tidak bermaksud—““Apa yang kamu pikirkan?” Liam meringis karena lemparan Clair sangat bertenaga.“Tidak ada!” tegas Clair. Ia tersenyum kaku.Padahal Liam sengaja meluangkan waktu setelah berminggu-minggu demi Clair. Pria itu tahu calon istrinya sedang gelisah. Hanya saja Liam pandai menutupi rahasia. Ia tidak mau ikut campur, cukup membeberkannya kepada Alessandro.Liam juga tahu Alessandro berniat mengubur masalah ini. Clair menoleh kepada Lia
“Bodoh!” teriak Alessandro di tengah hutan. Pria itu mengepalkan tangan dengan kuat hingga bagian telapak sakit dan urat-urat pada lengan menonjol. Ia memukuli udara yang tidak bersalah. Kemudian Alessandro terjatuh dengan posisi kedua lutut di atas tanah lembab.Alessandro kian tercabik ketika memeriksa ponsel dan mendapati istrinya sedang menelepon. Ia tidak kuasa menerima panggilan suara. Pria itu tenggelam jauh bersama perasaannya saat ini.Beberapa jam kemudian, Alessandro berhasil menguasai rasa sakit dalam dada. Ia bergegas menemui Claira di Mansion Caldwell. Karena hubungan sudah membaik, kedatangan Alessandro disambut oleh para pelayan. “Di mana Nona Muda Clair?”Pelayan menunduk. “Nona di perpustakaan, Tuan.” Alessandro langsung menghampiri iparnya.Claira terkejut karena sebelumnya Al tidak membuat janji. Sekarang pria itu datang dengan ekspresi dingin dan aura mencekam seketika menyelimuti ruangan.“Hi Al. A-ada a-apa?” gugup Claira. Perasaan sebagai wanita sangat peka,
Alessandro mendengus sebal lantaran Liam menguasai keempat anaknya. Sebagai ayah, ia hanya bisa mengawasi dari jarak jauh. Al juga tidak bisa berbuat apa-apa selain mengamati, sebab Calantha telah memberi izin. Liam mengambil banyak swafoto bersama ABCD. Pria itu tersenyum kecil melihat hasil jepretan kamera. Liam mengirim pesan teks dan gambar dirinya bersama Anaya kepada Clair. “Anaya semakin lucu.” Ketika Liam masih tersenyum sendirian, Alessandro berdiri tepat di belakang pria itu. “Ide brilian menggunakan anakku sebagai alibi menggoda wanita.” Alessandro langsung mengambil alih keempat bayinya. Ia tidak suka wajah polos bayinya dimanfaatkan oleh Liam. ** Satu minggu ini Liam rajin mengunjungi kediaman Alessandro. Pria itu membawa beraneka buah tangan untuk Calantha dan empat bayinya, tidak ketinggalan Liam menemani Al bermain catur. Semua dilakukan sebagai permohonan maaf. “Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Claira?” Wajah Alessandro tampak serius memandang papan
“Ajari aku caranya.” Clair menunjuk popok dan pakaian bayi. Seketika Calantha dan Lorraine menoleh ke arah wanita itu. Kening kedua ibu muda mengerut karena tidak biasanya seorang gadis belajar merawat bayi.“Kalian tidak perlu menatapku seperti itu. A-aku mau tau bagaimana melakukannya.” Clair menelan ludah karena gugup diperhatikan oleh dua pasang mata.Lorraine mengalihkan pandangan kepada Calantha untuk meminta izin. Istri kesayangan Alessandro Javier itu mengangguk. Jujur, perasaan Cal campur aduk. Ia takut kakaknya ini kelak mencari simpati di depan Al. Sungguh Calantha tidak mau rumah tangganya hancur. Apalagi sekarang keempat anak sangat membutuhkan orang tua utuh.Saat mengganti popok Anaya, wajah Claira berseri-seri. Gadis itu teringat ketika Liam mempertanyakan kesiapannya menjadi seorang ibu. Namun, waktu itu Claira diam saja karena malu. Sekarang hatinya bersorak riang.**Dua hari kemudian, Liam mengantar Clair ke bandar udara. Gadis itu harus pulang ke Zurich karena b