Dua kali ibunya menelpon, Amanda tak juga berniat mengangkat panggilan itu.Dipandanginya handphone-nya sedari tadi. Dia sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh ibunya. Pasti soal uang sepuluh Miliar.Barulah sekarang Amanda tersadar, dirinya tak ubahnya seperti mesin uang untuk ibunya. Terlebih sejak menikah dengan Ronald."Amanda, telepon jangan cuma diliatin, tapi diangkat!" Ronald mengingatkan.Dia baru saja pulang dari kantor."Pak, eh maksudku... Mas, izinkan saya bekerja lagi." Ucapnya sungguh-sungguh.Amanda seperti orang yang tak berguna karena sehari-hari hanya di rumah dan menunggu Ronald pulang. Itu juga karena situasi rumah tangga belum kondusif lagi, dia sering 'dianggurin' oleh sang suami.Ronald memandangi istrinya sambil mengomentari, "Ada angin apa? Kenapa tiba-tiba ingin bekerja?"Tangannya melonggari dasinya lalu melepaskannya. Satu demi satu kancing bajunya dia buka."Saya menganggur seharian. Mau ikut masak, tapi sudah dikerjakan oleh pembantu. Mau bersih-bersi
Ronald tidur pulas dengan nafasnya yang teratur. Amanda tak berani bergerak karena sekarang tangan kokoh itu melingkari tubuhnya.Benarkah yang sekarang dia lakukan?Bagaimana nanti jika Amanda sampai benar hamil lalu memiliki anak? Apakah Ronald bisa dipegang omongannya?Di tengah lamunan tentang masa depannya sendiri, handphone-nya berdering.Tangannya berusaha meraihnya. Rupanya meja samping sedikit jauh untuk tangannya.Setelah bergerak sedikit lagi Amanda berhasil meraihnya."Halo?" Tanpa dilihat siapa yang sedang menghubunginya, Amanda mengangkatnya secara asal."Amanda... ini Ibu, Nak..." Tangisan ibunya menggema. Tengah malam saat suasana hening, jeritan itu semakin mendominasi suasana yang awalnya sunyi senyap."Ibu?" Amanda masih berusaha mengontrol reaksinya agar dia tidak mengganggu Ronald tidur. Tubuhnya sedikit menjauh dari suaminya. "Ada apa Bu malam-malam begini? Ibu baik-baik saja?"Khawatir suaranya tak bisa terkontrol, diapun melepaskan pelukan Ronald hati-hati."I
Sepuluh tahun sudah Amanda tak lagi menginjakkan kaki ke tempat ini. Tak banyak yang berubah dengan suasana yang dia rasakan sepuluh tahun lalu.Rumah ini masih sama dengan pagar yang sama pula. "Assalamualaikum..." Ucapnya sambil beberapa kali mengetuk pintu."Waalaikumsalaam, siapa ya?" Rupanya itu adalah sang pemilik rumah yang berjalan cepat membuka pintu. "Siapa ya?" Pemilik rumah itu bertanya lagi. Wajahnya sudah tampak semakin menua."Bibi, saya Amanda!" Ucap Amanda sambil meraih tangan itu seraya menciumnya."Amanda? Astaga... Kamu sudah besar dan cantik sekarang!" Ucapnya sambil membawa gadis kecil yang kini sudah menjelma sebagai wanita dewasa dan tumbuh sempurna. "Iya... Bibi apa kabar?" Tanya Amanda sembari duduk di sebelah sosok sepuh itu."Baik, alhamdulillah. Beginilah keadaan Bibi. Masih sama seperti dulu." Kata Bibinya dengan tatapan sendu."Bibi... kedatangan saya kemari tidak bisa lama-lama karena saya harus ke tempat Paman yang lain juga. Hanya saya minta izin u
"Amanda... kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" Tanya Bibinya.Amanda menggelengkan kepala. Betapa dunia ini sangat sempit.Ronald rupanya juga telah merahasiakan apa yang dilakukan ini darinya. "Nggak apa-apa." Jawab Amanda dengan senyuman yang tiba-tiba memudar karena dia tak menduga sosok tinggi itu hadir di depannya."Amanda, kenapa belum balik ke mobil juga?" Itu adalah Ronald yang mendadak berdiri di depan pintu rumah Bibinya.Karena waktunya mengobrol lebih lama dari yang seharusnya, Amanda didatangi oleh suaminya."Ya Tuhan... Bukankah ini orang yang membeli tanah itu?" Bibinya baru menyadari kalau pemuda yang disebutkan tadi sekarang berdiri di depan rumahnya. Seperti mimpi saja!"Mas Ronald... Aduh maaf ya, tadi ngobrol sama Bibi saya kelupaan kalau sudah membuat Mas Ronald menunggu..." Amanda bangkit dan menyambut suaminya.Sementara suaminya masih terdiam tanpa ekspresi. "Namanya... Nak Ronald ya?" Bibinya ikut berdecak kagum. Melihat pemuda yang dibicarakan dari dekat,
"Jadi, bagaimana kalau Mama pulang besok saja? Kupikir ini sudah terlalu lama kalian berada di luar negeri. Apa Mila akan tetap baik-baik saja kalau dia kelamaan homeschooling-nya?"Amanda mendengar Ronald dan Mamanya sedang berbincang di video call. Dia terbangun karena tadinya tertidur pulas sampai lupa belum mandi."Simon masih membutuhkan kami. Aku tak bisa membiarkannya begitu saja di sini sendirian. Dia harus operasi sekitar bulan depan ini." Itu suara Mama mertuanya jelas sekali.Keduanya sepertinya masih belum menemukan persetujuan tentang bagaimana rencana selanjutnya. Mengingat memang Ronald terlihat begitu kesepian tanpa keponakannya.Sebelum Amanda masuk ke kehidupan keluarga ini, sehari-harinya Ronald selalu menghabiskan waktu bersama Mila. Dia banyak mendengar cerita dari pembantu dan pekerja di rumah ini."Ma, aku ini anakmu. Simon itu siapa memangnya?" Ronald sepertinya sudah mulai memaksakan diri.Ini yang Amanda sedikit terkejut. Lelaki yang biasanya terlihat tenang
Amanda mencermati berbagai macam bukti yang tertulis rapi di sebuah laporan dari badan keuangan negara.itu jelas adalah nama kakaknya yang terlampir. Bukan yang lain.Dari beberapa tahun sebelumnya, rupanya kakaknya memang banyak memiliki tanggungan hutang yang tak pernah bisa dibayar lunas. Pun ketika jumlahnya yang awalnya hanya beberapa ratus ribu berkembang menjadi jutaan dan berakhir di angka miliaran.Seperti tidak masuk di akal. Bagaimana bisa kakaknya yang baru berusia tiga puluhan sudah punya utang sebanyak itu. Untuk apa dia gunakan uangnya dalam waktu yang kurang dari lima tahun.Itu berarti berawal ketika dia mulai memasuki rumah tangga."Ya Allah, Kakak..." Tangan Amanda menjatuhkan map berisi lembar demi lembar tulisan yang menjadi bukti tertulis rekaman jejak hutang sang kakak."Lihat dulu satu per satu. Kalau kamu kuat, lihat sampai halaman belakang." Ronald membuka lagi map yang tak sengaja tertutup karena terjatuh.Dia buka lagi lembaran yang tadi sempat terlewatkan
"Tidak cukup kalau kita melakukannya sekali seminggu!" Kata Ronald begitu merespon Amanda yang setuju dengan program kehamilannya.Alisnya mengkerut saat mendengar Ronald menyebutkan jumlah 'durasi' yang disampaikannya. Terkesan memaksa dan keringatnya mendadak bercucuran membayangkan bagaimana Ronald biasanya beraksi di ranjang.Hufhh!"Jangan diam saja dan memelototiku begitu, Amanda. Aku sedang bicara soal teknisnya. Kamu malah memandangiku dengan tatapan seolah aku adalah yang paling punya keinginan memiliki anak di sini." Tuturnya sembari melemparkan bantal pada istrinya."Iya, iya, Pak." "Lah kamu manggil aku 'pak' lagi? Bukannya kemarin sudah oke memanggilnya 'mas' gitu?" Protes Ronald yang semakin menikmati ketika dirinya dipanggil dengan sebutan 'Mas Ronald'."Oh, iya Mas." Amanda mengulangi jawabannya."Ingat, sekarang kamu harus mulai menjaga pola makan dan pola hidup kamu. Aku nggak mau nanti k
"Apa yang kamu kamu katakan pada Amanda?" Ronald dengan tegas menghentikan pembantunya agar tak melanjutkan pembicaraan dengan istrinya. Dia terlihat ketakutan karena sudah diberi peringatan agar tak banyak membuka cerita lama. Sepertinya pembantunya lupa dan perlu diberi pelajaran. "Sudah, kamu ke belakang sana! Jangan ke sini dulu." Ucap Ronald lalu mengambil satu kursi yang di dekat Amanda untuk membersamainya. "Mas, sudah. Biarkan dia pergi saja..." Amanda menyentuh lengan suaminya agar duduk dengan tenang dan tak lagi mempersoalkan apa yang dilakukan pembantunya. "Aku tidak suka kalau pembantu mulai bergosip soal majikan." Mata Ronald masih memperlihatkan kecewa sekaligus emosional. "Iya, tadi cuma cerita kalau Mas Ronald suka sama anak-anak. Itu saja." Amanda menenangkan suaminya. "Kamu sudah minum vitamin?" Ronald membuka tutup botolnya untuk mengambilkan satu pil untuk istrinya. "
"Amanda?" Wanita itu mulai terlihat gusar. "Kita harus ke klinik terdekat, kalau ke rumah sakit akan terlalu jauh!" Sambung Ronald sambil membopong Amanda keluar rumah dan menuju mobil di depan.Meski kesulitan, akhirnya mereka berdua berhasil ke mobil dan mulai berkendara."Aduh..." Amanda memegangi perutnya yang sudah tak bisa lagi ditahan. Seolah ada sesuatu yang mau keluar.Dia semakin terlihat gelisah dan matanya sesekali menyipit karena menahan rasa sakit.Ronald dengan gugup sesekali melihat ke arah maps yang menunjukkan ke arah tempat bidan bersalin sedekat mungkin dari lokasi mereka sekarang."Aku sudah menemukan tempat praktek bidan, Amanda. Bertahanlah!" Pikiran Ronald saat ini adalah mengira bahwa Amanda akan melahirkan. Itu saja.Bisa saja kan sekarang ini wanita itu mengalami kontraksi. Tapi seingatnya tadi, kandungannya baru tujuh bulan saja umurnya."Sakiit..." Dia semakin menunjukkan rasa tak karuan yang dihadapinya. "Bertahanlah, Sayang..." Tangan kiri Ronald sese
Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah menunjukkan jawaban?Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah memberikan tanda-tanda dan keajaiban itu? Hanya saja kita sebagai manusia terlalu banyak membangkang dan sok mengatur Tuhan?Ronald terkejut mendengar pengakuan dari mulut Amanda sendiri.Amanda, seandainya kamu tahu, bahwa anak itu bukanlah anak Simon dan bisa jadi adalah anakku.Belaian lembut Ronald rupanya berhasil menidurkan Amanda di sofa mungil itu."Aaaarhhh..." Dia merintih dan akhirnya dibopong oleh Ronald untuk dibawa ke dalam kamar tidur.Perlahan dia membaringkannya.Tidak cukup hanya sampai di situ, Ronald juga melepaskan rok panjang yang membuat Amanda tak leluasa bergerak."Mmmm..." entah apa yang sekarang sedang dimimpikan oleh Amanda, Ronald hanya mengelus kening dan pipinya.Muncullah rasa itu yang mendadak membuatnya seakan terbangun dari masa 'tidur'."Oh, God!" Ronald menyadari ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk ini.Amanda dalam keadaan mengantuk dan sudah
"Mari masuk, Pak!" Dengan susah payah akhirnya Amanda menemukan kunci gerbang dan rumahnya yang terletak di tasnya.Setelah menyalakan lampu yang sejak senja tak ada yang mengurusi, ruangan mungil itu menjadi hangat dan terang benderang."Kamu tidak menawari aku makan sesuatu?" Ronald mengaku merasa sangat lapar.Pantaskah Amanda menawarinya semangkuk mi instant atau ramen? Lantas, bagaimana jika Ronald tidak selera dengan makanan instant semacam ini?"Saya bisa memesankan makanan, Pak." Nadanya sudah disetting seformal mungkin.Amanda sudah yakin kalau dia lebih terdengar seperti sekretaris sungguhan daripada sebagai seorang mantan istri."Oh, begitu? Kenapa kamu tidak memberiku mi atau apapun tadi yang kamu beli dari minimarket itu?""Hmmm, Pak Ronald, rumah ini bukan warteg atau cafe. Jika ingin makan sesuatu, bisa ke restoran di jalan besar sana atau di mana gitu... Fine dining di hotel keluarga Bapak barangkali..." Amanda mengelus dada."Aku ke sini tadi niatnya bukan untuk makan
"PAPA?"Gema suara Ronald benar-benar menyita perhatian semua orang.Bahkan beberapa nakes juga ikut berhenti dan melihat betapa pandangan mata Ronald layaknya seekor singa yang siap menerkam binatang buruan!Langkahnya makin dipercepat. Papanya tak lagi punya kesempatan untuk melarikan diri atau sekedar bersembunyi."RONALD?" Papanya benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan itu.Nampak sekali kalau dia ingin ditelan bumi saat itu juga. Pegangan tangan yang awalnya erat itu mendadak ia lepaskan."Monica, kamu ke sana dulu." Dia berbisik pada teman wanitanya agar tak ikut dalam forum keluarga.Meski kesal, wanita berambut panjang dan memakai hot pants itu akhrinya menurut."Siapa dia, Pa?" Ronald pura-pura bertanya, padahal dia tau semua seluk beluk perempuan simpanan sang Papa,"Oh, dia anak buah Papa," Jawab sang Papa sambil membenarkan letak jam tangannya.Baru kali ini dia seperti tertangkap basah dan malu setengah mati."Anak buah? Kerja di bagian apa dia?" Ronald ber
"Mila, ini susu hangatnya sudah aku buatkan!" Amanda membawa segelas susu hangat yang dia sengaja bawa ke lantai dua.Rupanya, ia terkejut saat kembali ke atas, Ronald sudah pulang ke rumah. Dia tertunduk malu. Tak tahu harus melakukan apa sekarang.Kakinya terhenti. Sementara Ronald mengamati lekuk tubuhnya yang semakin ekstreme. Perutnya terlihat semakin meruncing seolah siap kapanpun untuk melahirkan bayinya."Amanda!" Panggil Ronald lirih.Ia malu selama ini sudah berbuat tidak baik pada wanita itu. Bahkan terang-terangan menuduhnya melakukan selingkuh dan merendahkannya lebih rendah dari wanita pela*ur."Maaf aku harus mengantarkan susu ini ke kamar Mila. Setelah ini, aku akan pergi." Dia buru-buru ke kamar Mila lalu meletakkannya di meja.Rupanya anak itu sudah tertidur karena sepertinya kelelahan setelah menangis dan tantrum dalam waktu yang cukup lama."Amanda?" Saat dia sudah keluar dari kamar Mila dan membawa tasnya, Ronald mencegah wanita itu pergi."Maaf aku harus pulang
Ronald merenung di meja kantornya.Seusai meeting, dia tak banyak bicara dengan siapapun. Kalimat sopir pribadinya itu terdengar menggoda dan menantang.Tes DNA?Kenapa ini tak pernah terpikir olehnya setelah tahu kalau Simon bukan ayah dari anak itu?Ah, ini bisa saja hanya hawa nafsunya sendiri yang berbicara. Bagaimana jika ternyata Amanda tak sebaik yang ia duga? Bisa saja kan, selama ini dia berhubungan lebih dari dua laki-laki."Boss?" Anak buahnya yang biasa melakukan investigasi tiba-tiba menelpon. Padahal ini baru jam sepuluh pagi."Iya, bagaimana?" Ronald menekan alisnya dengan telunjuk dan ibu jari.Kepalanya terasa berat memikirkan semuanya seorang diri."Papa Boss sudah terdeteksi menginap lagi di apartemen itu. Apa Boss sudah mencoba menghubungi Monica?"Giliran Ronald sekarang yang ditanya oleh anak buahnya. Celakanya, dia lupa menghubungi Monica karena sudah terlalu larut dalam investigasinya tentang tes DNA itu."Belum. Aku belum sempat." Jawab Ronald asal."Tidak mas
"Kurang ajar!"Ronald memukulkan kepalan tangannya di atas meja kafe di mana mereka bertiga berbincang."Boss, tenangkan diri dulu. Jangan mencuri perhatian orang!" Anak buahnya mengingatkan."Aku tidak bisa terima saja, Kenapa Mamaku setega itu pada Amanda? Apa hukumannya dikeluarkan dari rumah dan bercerai dariku itu kurang?" Ronald kini mulai sadar, kalau selama ini bisa jadi memang Mamanya lah yang menjadi penjahat bukannya malah Amanda."Kita tidak bisa menyimpulkan secepat ini, Boss. Pasti Mama Anda melakukan ini ada alasan kuat dan tidak serta merta melakukan hanya untuk kesenangan semata!" Anak buahnya yang biasanya beringas, rupanya masih memiliki hati nurani untuk memberikan nasehat pada bosnya."Minum dulu, Boss..." Yang satunya mengingatkan Ronald untuk meminum minuman yang dipesannya tadi.Dengan gegabah, ia menghabiskan satu cangkir kopi itu dalam sekali minum.Lalu mengembalikan cangkir itu di atas tempatnya dengan sembarangan. Rasanya sudah tak ada gunanya lagi dia ber
"Bagaimana maksud kamu mencari pekerjaan itu?" Simon tentu saja terkejut dengan pernyataan Amanda barusan.Mencari pekerjaan untuk menghidupi anaknya yang akan lahir? Bukankah kehidupan Simon sudah bergelimang harta dan rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan penghidupan yang layak buat mereka."Kurasa itu adalah jalan yang terbaik untuk kita semua. Aku tidak mau selamanya bergantung padamu, Simon. Aku merasa seperti pengemis sekarang. Apa-apa harus menunggu pemberianmu." Amanda meneteskan air matanya.Ini karena setelah beberapa waktu terakhir, dia merasa betapa sulitnya hidup saat memenuhi kebutuhan harus menunggu pemberian pria itu.Ia tak mau diatur-atur terus dan merasa tidak berdaya. Akan jadi apa nanti anaknya."Amanda... Anak itu adalah darah dagingku dan kamu adalah ibunya. Aku tak akan pernah membiarkan kalian hidup dalam kekurangan apapun. Apa kamu tidak lihat, bagaimana yang aku lakukan padamu?" Simon mengelusnya lagi meski Amanda menunjukkan raut muka yang tid
"Jadi, ini yang kamu lakukan selama ini?" Papa Ronald mendudukkan Monica dan tampak memberikan ancaman.Monica mulai panik. Betapa tidak, dia khawatir kalau-kalau setelah ini akan diputus hubungannya dengan sang pendonor dana terbesar di kehidupannya beberapa tahun ini."Daddy..itu semua salah sangkamu saja. Aku dan dia hanya murni berteman saja. Tidak lebih.." Monica membelai lembut tangan daddy-nya."Apa maksud kamu?"Tentu saja pria itu mulai penasaran dan sedikit membuka diri untuk penjelasan wanita cantik yang sering menghiasi malamnya."Dia itu... penyuka lelaki juga, Daddy.." Mata manja itu mulai menebar jaring. Mencari perhatian sang pria yang hampir saja hilang kepercayaan padanya.Ini berbahaya karena akan membuat pundi-pundi dana yang masuk ke rekeningnya setiap bulan bisa saja terhenti seketika."Hah, rasanya itu mustahil. Kalian terlihat sangat mesra sekali..." Papa Ronald itu menyangkal.Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat bahwa Monica tampak bermesraan dengannya di