"Halo, bagaimana?"
Seseorang bertanya dari sambungan telepon yang baru saja diangkat oleh Cimit.Saat ini, Cimit dan Cemet telah berada disekitar gedung sekolah SMA, di dalam mobil, tengah menunggu Jenny dan Bima yang sudah masuk ke dalam gerbang sana."Saya dan teman saya lagi beraksi, Bu, tinggal tunggu kesempatan saja," jawab Cimit."Memangnya kalian sekarang ada di mana? Apa kalian sudah bertemu Jenny?""Saya dan Cemet kebetulan sedang mengikuti Jenny yang bersama seorang pria, mereka berhenti disebuah gedung sekolah dan masuk ke dalam sana, Bu," jawab Cimit menjelaskan."Ya sudah, terus awasi Jenny. Kalau ada kesempatan, kalian langsung seret dia. Aku ingin kalian berhasil hari ini juga.""Siap, Bu." Jawaban dari Cimit memutuskan panggilan."Apa kata Bu Raya, Mit?" tanya Cemet yang berada di depan kemudi seraya menoleh kepada temannya."Beliau cuma tanya kok, tentang kita yang udah berhasil apa bel********"Jenny!!" Tiba-tiba, seseorang datang dengan cepat dan memanggil namanya, membuat Cimit terhenti dalam aksinya. Cimit dan temannya segera berbalik dan menjauh, khawatir bahwa tindakan mereka akan menimbulkan kecurigaan. Sementara itu, Jenny menatap dengan kebingungan yang jelas kepada orang yang baru saja memanggilnya, Bima. Suara tanya yang penuh keheranan terlontar dari bibirnya, "Bapak kok sampai ke sini? Mau apa?""Habisnya kamu lama, Jen. Aku khawatir... jadi berniat menyusulmu," jawab Bima sambil mengatur napasnya. Saat menunggu di meja tadi, dia merasakan firasat buruk dan ingin segera menemui Jenny. Ternyata firasatnya menjadi kenyataan, dan jika dia tidak datang tepat waktu seperti sekarang, mungkin Cimit dan Cemet telah berhasil membuat Jenny kehilangan kesadaran dan membawanya pergi. "Orang sebentar kok, Pak. Ada apa sampai harus me
"Mas Bima!!" Soraya yang sedang duduk di salah satu kursi di depan kamar rawat sontak terkejut saat melihat kedatangan Bima. Refleksnya membuatnya berdiri, terlebih lagi saat melihat Jenny yang berada di samping Bima. Dia bertanya-tanya, mengapa Jenny bisa datang ke rumah sakit bersama Bima. Padahal dia sudah membayar dua orang untuk bisa membawanya ke sini secara paksa. Seperti yang Lily katakan, itu pasti akan sulit dilakukan. Karena Bima pasti tidak akan mengizinkannya.Tapi sekarang, apa yang terjadi? Kenapa Bima sendiri sampai mau menemaninya?"Jenny ... kamu datang ke sini??" Lukman yang baru saja keluar dari pintu kamar terkejut melihat kedatangan mereka. Namun, kegembiraannya lebih besar daripada kejutannya. Dia merasa senang melihat Jenny di sana. "Apa Mama Lily dirawat di sini?" tanya Bima dengan suara datar, entah kepada siapa dia bertanya. Yang pasti, dia menoleh ke arah Jenny sambil merangkul pinggangnya dengan erat.
"Beneran kamu, Jen. Kamu setuju?" Pertanyaan itu meluncur dari bibir Bima, dia merasa tidak percaya. Matanya menatap istrinya dengan intensitas yang hampir bisa dirasakan, mencoba mencari kebenaran dalam kedalaman matanya. "Beneran, Pak." Jawaban Jenny singkat, namun pasti. Dia mengangguk dengan cepat, menegaskan kata-katanya. "Apa Mama Lily memaksamu? Atau mungkin Raya... yang memaksamu?" Bima melanjutkan pertanyaannya, suaranya penuh dengan kecurigaan dan kekhawatiran. Dia sedang mencoba untuk memahami, untuk menggali lebih dalam ke dalam situasi yang tampaknya begitu rumit ini."Mama nggak pernah memaksa Jenny, Bim!" Lily memotong dengan tegas dan cepat, merasa perlu untuk membela diri. "Dan ini nggak ada hubungannya dengan Raya." "Aku tanya sama Jenny, bukan Mama," sahut Bima, suaranya tegas dan tidak mau diganggu. "Apa yang Mama katakan benar, Pak. Mama nggak memaksaku dan Bu Lily juga nggak pernah membicarakan hal ini denganku,"
"Tadi mereka ngomongin apa, Ma?" tanya Soraya yang baru saja masuk ke dalam kamar rawat, setelah beberapa menit yang lalu Bima dan Jenny pulang.Lukman juga sudah tak ada di sana, dia keluar bertepatan dengan Bima dan Jenny."Banyak hal, tapi Bima bilang mau bantu Mama, Ray," jawab Lily lirih."Bantu gimana? Apa Mas Bima setuju ... kalau si Jenny mendonorkan sumsum tulang belakangnya?" Soraya menarik kursi kecil didekat ranjang, lalu duduk di sana.Lily menggeleng. "Enggak, Ray. Cuma dia bilang ... ingin membantu untuk mencarikan pendonor untuk Mama.""Kok gitu? Kalau cari ya susah dong, Ma. Kenapa nggak si Jenny saja sih?" Soraya mendengkus kesal, merasa sebal mendengar cerita dari Lily tentang tanggapan Bima. "Lagian dia juga belum dites sama dokter. Siapa tau aja memang beneran cocok buat Mama.""Mama juga maunya begitu. Tapi mau gimana, Bimanya nggak setuju. Selain itu Jenny juga sedang hamil katanya... takut terjadi sesuatu.
Beberapa hari berlalu... Bima telah mengumumkan kepada siapa saja yang bersedia mendonorkan sumsum tulang belakangnya dengan imbalan 15 juta. Dan akhirnya, dia berhasil mendapatkan seseorang yang cocok. Orang tersebut ternyata adalah pelayan di restorannya. Tanpa berlama-lama, mengingat kondisi Lily yang semakin memburuk, operasi transplantasi tersebut langsung segera dilakukan. Setiap detik berharga, setiap menit bisa menentukan masa depan Lily. Bima, Jenny, Lukman dan Soraya, mereka semua menunggu dengan cemas di depan ruang operasi.Namun, Bima dan Jenny memilih untuk duduk sedikit lebih jauh, bukan tanpa alasan, tetapi karena Bima merasa tidak nyaman. Sebenarnya, Bima sendiri tidak setuju jika harus ikut menunggu di rumah sakit. Tapi, karena Jenny memintanya, Bima merasa tidak bisa menolak. Mau tidak mau dia menurutinya.'Ya Allah... tolong berikan kelancaran dalam operasi Mama Lily. Semoga dia bisa sembuh, dan nggak saki
Bisikan-bisikan tersebut terdengar oleh telinga Jenny, membuat panas menyeruak dihati dan wajahnya. Itu adalah hal yang dia takutkan salam ini, pertanyaan-pertanyaan negatif yang muncul dari orang-orang. Dia memahami bahwa situasinya memang tampak seperti itu, tapi dia tahu bahwa semua itu tidak benar.Ingin sekali rasanya Jenny menjelaskan, ingin membantah semua tuduhan itu, tapi dia merasa itu akan sia-sia. Bukan hanya mereka yang berpikiran seperti itu, tapi hampir semua tamu undangan. Yang membuat Jenny merasa aneh adalah, mengapa mereka lebih memilih berbicara dari belakang daripada bertanya langsung kepadanya. Jika mereka bertanya secara langsung, mungkin Jenny akan merasa lebih baik dan tidak tersinggung seperti ini."Kamu harus tetap sabar, Jenny. Abaikan saja apa yang mereka katakan," ucap Bima dengan suara lembut, berbisik di telinga Jenny. Tangannya dengan lembut mengusap-usap punggung Jenny, memberikan dukungan dan kehangat
Dengan sigap, pria itu mengangkat tubuh Jenny sebelum dia terjatuh. Kemudian, dia memasukkan tubuh Jenny ke dalam box kosong di atas troli. Dia memang sengaja membawa benda itu, dengan tujuan memasukkan Jenny ke dalam sana. Setelah memastikan situasinya aman, pria itu dengan cepat mendorong troli tersebut menjauh. Pergi dari tempat kejadian. Tak lama setelah kepergiannya, Eka keluar dari toilet sambil mengusap-usap kebayanya dengan tissue. Dia baru saja selesai membersihkan diri. "Lho, kukira Jenny sudah keluar duluan? Ternyata belum?" Saat tidak melihat kehadiran menantunya, Eka mulai khawatir. Tanpa ragu, Eka kembali masuk toilet untuk mencari Jenny. Jenny sudah cukup lama berada di dalam, membuat Eka semakin gelisah."Jen ... belum selesai juga kamu?" tanya Eka dengan suara agak keras pada salah satu bilik toilet. "Apa kamu kesusahan? Mau Bunda bantu nggak, Jen?" tawarnya, lalu dengan hati-hati membuka pintu tersebut. Cek
Dengan tubuh gemetar dan penuh ketakutan, Jenny berjuang sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari cengkraman pria tersebut. Dia mendorong dengan keras dan berteriak sekuat tenaga, berharap ada seseorang yang mendengar dan datang menyelamatkannya."Toloooongg!!""Siapa pun tolong selamatkan aku!! Aku mohoooonn!!!" Namun, pria itu tetap erat memeluk Jenny, mengabaikan teriakan dan perlawanan putus asanya. Bahkan secara cepat, dia langsung mencium bibir Jenny.Cup~Mata Jenny kembali membulat. Seketika dia merasakan dejavu, karena peristiwa pemaksaan seperti ini kerap kali dia dapatkan dimasa lalu.Dengan buru-buru, tangan Jenny meraba sembarang. Mencari apa pun benda untuk bisa menyelamatkannya.Dalam keputusasaannya, akhirnya Jenny mendapatkan sesuatu di sekitarnya. Sebuah ponsel terjatuh ke tangannya. Tanpa ragu, dia langsung menghantamkan benda itu ke kepala pria tersebut dengan kencang. Buuugghh!!
"Husss!! Jangan ngomong kayak gitu!" Bima menasehati dengan suara yang lembut, namun penuh ketegasan. Tangannya mengusap dahi Jenny dengan penuh kasih, mencoba menghapus ketakutan yang menghantui pikirannya. "Lebih baik kita berdo'a sama Allah, dan berpikir positif. Aku sendiri yakin... semuanya akan baik-baik saja."Dengan kata-kata Bima, Jenny menemukan sedikit ketenangan. Dia mengangguk, menerima saran Bima untuk terus berdoa dan memelihara pikiran positif. Mereka bersama-sama memohon kepada Allah, berharap dan percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik.Selama kehamilan kedua ini, Jenny hampir tidak pernah absen dari kontrol kehamilan. Bima, dengan kepeduliannya yang tak pernah surut, selalu mengingatkan dan bahkan sering kali lebih bersemangat dari Jenny sendiri untuk memastikan semuanya berjalan lancar.Wajar begitu, Bima sendiri merasa sangat bahagia dan bersyukur karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang Ayah dari darah dagingnya sendiri.Kabar tentang ha
"Ya sudah, kalian hati-hati dijalan, ya? Semoga semuanya berjalan dengan lancar," ucap Eka seraya mengusap pipi anaknya lalu memeluk tubuh Jenny sebentar."Amin, Bun," jawab Bima lalu mencium tangan Eka, kemudian disusul oleh Jenny. "Ya udah, kami berangkat. Assalamualaikum.""Walaikum salam."**Setelah datang ke kantor polisi dan memberikan keterangan, Jenny langsung diarahkan ke rumah sakit untuk melakukan visum.Pihak polisi mengajukan, selain itu Bima juga sempat memintanya. Semua itu demi membuktikan, apakah Jenny sempat diperk*sa dalam keadaan tidak sadar atau tidak. Karena jika bertanya langsung kepada Lukman, itu akan sia-sia saja.Seperti pepatah mengatakan, mana ada maling ngaku. Kalau ada, penjara akan penuh.Setelah selesai dengan urusan polisi, keduanya pulang ke rumah kemudian berlanjut pergi ke mall bersama Eka, Kaila dan juga Weni.*Hari ini terasa sangat melelahkan bagi Jenny, na
'Dia masih belum tidur, kenapa ya?' pikiran itu berkecamuk dalam benak Bima, membuatnya merasa bingung dengan perilaku Jenny. Dalam kebingungan itu, dia memutuskan untuk memejamkan mata, berharap dengan begitu, Jenny akan tergoda untuk segera tidur. "Zzzzz ...." Hanya dalam hitungan menit, suara dengkuran halus dan ritmis itu mengisi udara malam, memecah keheningan yang sebelumnya memenuhi ruangan. Jenny, yang sebelumnya menahan diri, kini membuka mata kembali. Matanya menatap Bima, yang tampak begitu tenang dalam tidurnya. "Ish!!" Gumamnya pelan, rasa sebal memenuhi hatinya. Melihat Bima yang dengan mudahnya memasuki dunia mimpi, sementara dirinya masih terjaga, membuat Jenny merasa frustrasi. Bagaimana bisa pria itu lebih dulu terlelap ketimbang dirinya, padahal Jenny tengah berjuang melawan hasrat dalam dirinya yang begitu kuat dan mendalam.***Keesokan harinya, Bima terbangun perlahan-lahan dan terhanyut oleh aroma wangi sabun yan
Pak Polisi yang sebelumnya menginterogasi Lukman mengambil sikap tegas. Dia menatap Lukman yang terlihat putus asa. "Meskipun Anda mengelak, itu akan sia-sia, Pak. Bukti yang ada sangat kuat menunjukkan bahwa Anda bersalah. Kita hanya perlu menunggu keterangan dari saudari Jenny, dan setelah itu Anda akan ditahan sebagai tahanan di sini." Lukman menolak dengan cepat, menggelengkan kepalanya. "Enggak! Aku nggak mau, Pak! Aku nggak bersalah, ngapain dipenjara? Aku di sini hanya ingin membantu Jenny, menyelamatkan hidupnya dari kebahagiaan palsu dengan Bima. Karena hanya aku yang bisa membuatnya bahagia!" Lukman berteriak dengan putus asa. Dia terlihat kehilangan akal sehatnya, bahkan melawan saat dua polisi menyeretnya keluar dari ruangan. "Lepas!! Lepaskan akuuuu!! Lily sayaaaang, tolong selamatkan aku!!" Lukman berteriak sembari berusaha melepaskan diri, meskipun terlihat sia-sia. "Jangan penjarakan akuuu!! Aku nggak bersalaaahhh!!"Lukma
Polisi itu mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Sebelumnya mohon maaf, Ibu ini siapanya Pak Lukman? Saya ingin bertemu saudari Lily, istri dari Pak Lukman." Lily dengan tegas menjawab, "Aku Lily, Pak. Aku adalah istri dari Lukman." "Baik, kebetulan sekali. Saya ingin meminta Ibu datang ke kantor polisi, untuk memberikan keterangan terkait kasus yang sedang ditangani. Saat ini... Pak Lukman sedang ditahan di kantor polisi karena kasus penculikan dan percobaan pelecehan terhadap saudari Jenny Salsabila," jelas Pak Polisi dengan penuh kehati-hatian. Soraya dan Lily sama-sama terkejut, suara mereka terdengar serempak, "A-apa?!" Soraya menatap Lily dengan wajah penuh kebingungan, mencari kepastian. Lily, yang masih terkejut, menegaskan, "Bagaimana mungkin itu terjadi, Pak? Itu nggak mungkin! Lukman nggak mungkin melakukan hal seperti itu!" Soraya mencoba memahami situasi dengan bertanya, "Jenny yang dimaksud Pak Polisi itu, s
"Bagaimana keadaan istriku, Dok? Apakah dia baik-baik saja?" Dokter tersebut, dengan wajah yang penuh empati, menjawab, "Istri Anda baik-baik saja, Pak. Hanya saja, dia tampaknya sempat mengalami serangan panik yang cukup parah hingga menyebabkan dia pingsan," jelasnya dengan tenang dan detail. Bima merasa sedikit lega, menghela napas dalam-dalam. Meski begitu, masih ada pertanyaan lain yang mengganjal di hatinya. "Kalau kandungannya bagaimana, Dok?" "Kandungan istri Anda juga dalam keadaan baik dan sehat, Pak," jawab Dokter. "Tapi, untuk sementara waktu... Saya sarankan agar dia banyak beristirahat. Hindari aktivitas berat dan berikan dia ketenangan hati serta pikiran. Nona Jenny, istri Anda, sepertinya pernah mengalami trauma di masa lalu. Hal ini tentu tidak baik untuk kesehatannya, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini." "Trauma apa yang dimaksud, Dok?" Meski dia sudah memiliki dugaan sendiri, tapi Bima ingin mendapatkan penjelasan langs
"Om mau apa? Aku nggak mau ... eemmmppptt!!" Ucapan Jenny terhenti begitu saja ketika Lukman berhasil membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman. Kedua matanya langsung terbelalak, terkejut dengan tindakan tak terduga ini. Perasaan takut dan kebingungan memenuhi pikirannya. Braakkkk!! Tiba-tiba, pintu kamar itu terbuka dengan kasar. Bima, yang masuk dengan tergesa-gesa, terkejut melihat apa yang sedang terjadi. Wajahnya penuh dengan kejutan dan kemarahan. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat, bahwa Lukman berani menyentuh istri yang dicintainya. "Brengseek kau, Lukman!! Berani-beraninya menyentuh istriku!!" geram Bima dengan suara yang penuh emosi. Hatinya terbakar oleh kemarahan yang tak terbendung. Amarah yang memuncak membuatnya langsung berlari menuju Lukman dan menendang tubuhnya dengan kasar, membuat pria itu terjatuh dari ranjang. Bima merasa penuh dengan kekuatan dan tekad untuk melindungi orang yang dia cint
Dengan tubuh gemetar dan penuh ketakutan, Jenny berjuang sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari cengkraman pria tersebut. Dia mendorong dengan keras dan berteriak sekuat tenaga, berharap ada seseorang yang mendengar dan datang menyelamatkannya."Toloooongg!!""Siapa pun tolong selamatkan aku!! Aku mohoooonn!!!" Namun, pria itu tetap erat memeluk Jenny, mengabaikan teriakan dan perlawanan putus asanya. Bahkan secara cepat, dia langsung mencium bibir Jenny.Cup~Mata Jenny kembali membulat. Seketika dia merasakan dejavu, karena peristiwa pemaksaan seperti ini kerap kali dia dapatkan dimasa lalu.Dengan buru-buru, tangan Jenny meraba sembarang. Mencari apa pun benda untuk bisa menyelamatkannya.Dalam keputusasaannya, akhirnya Jenny mendapatkan sesuatu di sekitarnya. Sebuah ponsel terjatuh ke tangannya. Tanpa ragu, dia langsung menghantamkan benda itu ke kepala pria tersebut dengan kencang. Buuugghh!!
Dengan sigap, pria itu mengangkat tubuh Jenny sebelum dia terjatuh. Kemudian, dia memasukkan tubuh Jenny ke dalam box kosong di atas troli. Dia memang sengaja membawa benda itu, dengan tujuan memasukkan Jenny ke dalam sana. Setelah memastikan situasinya aman, pria itu dengan cepat mendorong troli tersebut menjauh. Pergi dari tempat kejadian. Tak lama setelah kepergiannya, Eka keluar dari toilet sambil mengusap-usap kebayanya dengan tissue. Dia baru saja selesai membersihkan diri. "Lho, kukira Jenny sudah keluar duluan? Ternyata belum?" Saat tidak melihat kehadiran menantunya, Eka mulai khawatir. Tanpa ragu, Eka kembali masuk toilet untuk mencari Jenny. Jenny sudah cukup lama berada di dalam, membuat Eka semakin gelisah."Jen ... belum selesai juga kamu?" tanya Eka dengan suara agak keras pada salah satu bilik toilet. "Apa kamu kesusahan? Mau Bunda bantu nggak, Jen?" tawarnya, lalu dengan hati-hati membuka pintu tersebut. Cek