"Ja-jadi ... Ja-jadi selama ini Raya selingkuh??" Eka terbata-bata dengan ucapannya, dia benar-benar tidak menyangka dengan tayangan yang baru saja disaksikannya.Dadanya terasa berdenyut ngilu, sakit sekali. Tentulah dia ikut sakit hati saat tahu jika selama ini anaknya dikhianati. Matanya pun ikut memanas, dan air mata tak terbendung mulai mengalir di pipinya."Benar itu, Ray?!" tekan Eka, tangannya gemetar saat menyentuh bahu kanan menantunya. Suaranya penuh dengan kekecewaan dan kebingungan.Soraya merasakan kegelisahan yang mendalam. Hatinya hancur berkeping-keping saat melihat ekspresi sedih di wajah ibu mertuanya. Dia merasakan beban yang semakin berat di dadanya, dan rasanya sulit untuk bernapas."Enggak, Bun, semuanya—""Mau sampai kapan kamu terus berbohong, Ray!" sentak Bima dengan marah, matanya melotot. "Bahkan sudah ada bukti, tapi tetap saja kamu mengelaknya!" tambahnya sambil berteriak.Soraya merasa seperti tertusuk pisau. Dia merasa terjepit di antara kebenaran yang i
Sementara itu, di dalam mobil, Weni dan Jenny duduk di kursi belakang sambil menggendong Kaila di pangkuannya. Setengah jam telah berlalu, tetapi Bima belum juga kembali.Kaila juga sampai sudah tertidur karena kekenyangan menyusu."Mbak... kok Pak Bima lama? Kenapa, ya?" tanya Jenny dengan kegelisahan, sambil memandangi keluar dari jendela mobil."Mungkin mengantre kali, Jen, mangkanya lama," tebak Weni."Iya kali ya, Mbak.""Ohya, Jen. Semenjak kamu pulang ... kamu belum cerita lho sama aku."Jenny perlahan menoleh ke arah Weni. "Cerita apa, Mbak?""Tentang alasan kamu kabur. Dan sebenarnya selama ini kamu di mana, sampai Pak Bima dan Pak Budi kesulitan mencarimu?""Eemmm itu ...." Jenny menjeda ucapannya. Dia terlihat berpikir, untuk berkata jujur atau tidak."Kamu harus jujur lho sama aku," kata Weni yang menyentuh punggung tangan Jenny. Berharap perempuan itu akan bercerita dengan jujur kepadanya. "Kita 'kan deket, Jen. Aku malah sudah menganggapmu seperti adik kecilku sendiri. J
"Dih, Jen. Yang benar saja!" bisik Weni dengan penuh tekanan. Dia segera menarik Jenny untuk masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu dengan rapat, agar apa yang akan mereka bicarakan tidak terdengar oleh Bima.Weni lalu mengajak Jenny untuk duduk bersama di atas kasur berukuran cukup besar di sana. "Masa iya kamu tidur sama Pak Bima? Aneh-aneh saja Pak Bima ini. Lagian kok kayaknya Pak Bima itu seperti suka, ya, sama kamu? Atau memang benar ... dia selama ini menyukaimu tapi nggak berani mengungkapkannya?"Jelas bahwa apa yang Bima katakan tadi menimbulkan tanda tanya besar dan kecurigaan dalam benak Weni. Tapi sebisa mungkin, Jenny akan menepis semua tebakannya."Pak Bima paling hanya bercanda kok, Mbak, ngomong kayak gitu," balas Jenny dengan santai."Bercanda gimana? Orang tadi dia bilang sendiri kok minta kamu tidur bersamanya, sedangkan aku tidur sama Nona Kaila.""Ya kali aku beneran tidur sama Pak Bima, Mbak." Jenny langsung tertawa. "Enggak mungkinlah. Dia 'kan bosku.""Tap
"Lho, Yang ... apa yang kamu katakan??" Lily tampak terkejut, saat mendengar apa yang dikatakan suaminya."Memangnya tadi aku kurang jelas, ya?? Kan aku ngomong supaya Raya mengikhlaskannya Bima, lalu menuruti permintaannya.""Enggak, aku nggak mau, Pa!" tolak Soraya dengan lantang dan gelengan kepala. "Kalau aku dan Mas Bima bercerai ... otomatis Jenny akan mengambil alih posisiku. Apalagi Mas sudah terang-terangan mengatakan cinta kepada Jenny. Aku nggak mau, Pa. Aku sangat mencintai Mas Bima!" tambahnya menegaskan."Terus kalau kamu nggak mau ... apakah Bima akan berubah pikiran??"Soraya langsung diam, karena memang dia sendiri tidak tahu."Cinta Bima sama Jenny lagi menggebu-gebu sekarang, Ray. Mangkanya dia nggak sabar dan langsung menggugatmu saat ada masalah," kata Lukman, kemudian melanjutkan. "Kalau pun kamu tetap bersih keras ... rasanya itu nggak akan ada gunanya. Yang ada kamu capek sendiri.""Yang ...." Lily perlahan berdiri sambil menarik tangan Soraya. Kemudian dia men
Dengan mata terbelalak kaget, Jenny segera mendorong Bima sekuat tenaganya menjauh dari dirinya. Pria itu, dalam keadaan terkejut, berlari menyelamatkan diri guna bersembunyi. Dan tujuan utamanya adalah ke kamar mandi yang terletak di sudut ruangan. Jenny berdiri tegang, wajahnya memerah, dan napasnya terengah-engah. "Mbak Weni!" Jenny hampir berteriak saat melihat sosok Weni berdiri di ambang pintu. "Kenapa Mbak masuk tanpa mengetuk pintu dulu?" "Maaf. Tapi kamu habis apa memangnya, dan kenapa tegang begitu?" Weni tampak bingung memerhatikan Jenny yang tampak sangat terkejut dengan kehadirannya. "Oh, enggak apa-apa, Mbak," jawab Jenny dengan cepat, sambil berusaha menyembunyikan kegugupannya dan berusaha membereskan kancing bajunya yang terbuka. "Tapi habis ngapain kamu, kok buka kancing baju segala? Apa tadi Nona Kaila bangun?" Weni mendekat ke arah Kaila, mengeceknya. Tapi dilihat bayi perempuan itu masih terlelap. "Iya, tadi baru aja Nona Kaila minta nyus
Hari pun berganti.Sebelum datang ke pengadilan, Bima menyempatkan diri untuk mengantarkan Jenny ke sekolah."Terima kasih ya, Pak, udah nganterin aku. Padahal Bapak 'kan sibuk," kata Jenny seraya memakai tas ransel dipunggungnya. Dia yang bersiap untuk turun seketika terhenti saat Bima menahan lengannya."Kamu nggak mau ngucapin apa-apa gitu ke aku, selain terima kasih? Padahal hari ini adalah sidang pertamaku, Jen," ucap Bima, yang terlihat berharap.Sebetulnya hari ini dia sangat bersemangat sekali. Tapi sepertinya, semangat itu akan bertambah dua kali lipat jika Jenny mengucapkan sesuatu untuknya.Jenny tampak menatap dalam mata Bima, kemudian mengulas senyum. "Eeemmm ... aku tau, momen ini cukup berat untuk Bapak. Tapi aku yakin ... Bapak bisa melalui semuanya. Aku juga yakin bahwa apa yang Bapak lakukan adalah hal yang terbaik. Jadi Bapak harus semangat, ya?""Tentu saja aku semangat, Jen!" Bima langsung menarik tubuh Jenny ke dalam pelukannya. Sebuah kecupan pun menyentuh punca
Eka dan Erwin saling pandang, kemudian mereka menggelengkan kepala dan pergi meninggalkan Soraya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Rasa kecewa keduanya telah membuatnya kehabisan kata-kata untuk berhadapan dengan Soraya. Lebih baik mereka mengacuhkannya, daripada membuat emosi mereka memuncak."Sabar, Ray!" Lukman langsung menahan tangan Soraya saat melihat perempuan itu hendak berlari mengejar Eka dan Erwin. Tak akan dia biarkan perempuan itu mengemis, karena menurutnya itu tidak ada gunanya."Tapi, Pa ... kalau misalkan hak asuh Kaila nggak berhasil aku dapatkan gimana??" Soraya menangis sesenggukan, lalu menyentuh dadanya yang terasa sakit karena tak ingin kehilangan Bima. "Aku nggak mau kehilangan Mas Bima dan melihatnya bersama Jenny, Pa.""Jangan berpikir hal seperti itu dulu." Lukman langsung menarik Soraya ke dalam pelukannya. Dia pun mulai mengelus-elus punggungnya, mencoba untuk menenangkan. "Kamu harus yakin kamu bisa. Apa pun caranya kita juga harus menghalangi Bima dan J
"Bu Lily?! Mau ngapain Ibu ada di sini??" tanya Jenny seraya menyingkirkan tangan Lily dari kepalanya.Apa yang dilakukan Jenny itu akhirnya membuat Lily mendapatkan beberapa helai rambut. Dan wanita itu langsung mengenggam dengan erat, khawatir kalau sampai terbang."Ibu mau ngapain ada di sini?" tanya Jenny sekali lagi dengan rasa penasarannya. Seketika dia jadi Dejavu, mengingat pertemuannya dengan Soraya di sekolah.Dan apakah kedatangan Lily di sini ingin memintanya pergi meninggalkan Jakarta juga? Itulah yang saat ini ada dalam benaknya."Aku hanya iseng kok, mau lihat-lihat sekolah ini. Eh nggak taunya kamu ternyata sekolah di sini," kata Lily beralasan, kemudian melangkah pergi begitu saja.Jenny mengerutkan keningnya. Dia merasa bingung dengan sikap dan tingkah Lily yang akhir-akhir ini menurutnya sangat mencurigakan. 'Kenapa dengan Bu Lily? Aneh banget dia ini. Padahal hari ini 'kan sidang pertamanya Bu Raya dan Pak Bima ... tapi kenapa dia nggak ikut menghadiri? Malah mili
"Husss!! Jangan ngomong kayak gitu!" Bima menasehati dengan suara yang lembut, namun penuh ketegasan. Tangannya mengusap dahi Jenny dengan penuh kasih, mencoba menghapus ketakutan yang menghantui pikirannya. "Lebih baik kita berdo'a sama Allah, dan berpikir positif. Aku sendiri yakin... semuanya akan baik-baik saja."Dengan kata-kata Bima, Jenny menemukan sedikit ketenangan. Dia mengangguk, menerima saran Bima untuk terus berdoa dan memelihara pikiran positif. Mereka bersama-sama memohon kepada Allah, berharap dan percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik.Selama kehamilan kedua ini, Jenny hampir tidak pernah absen dari kontrol kehamilan. Bima, dengan kepeduliannya yang tak pernah surut, selalu mengingatkan dan bahkan sering kali lebih bersemangat dari Jenny sendiri untuk memastikan semuanya berjalan lancar.Wajar begitu, Bima sendiri merasa sangat bahagia dan bersyukur karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang Ayah dari darah dagingnya sendiri.Kabar tentang ha
"Ya sudah, kalian hati-hati dijalan, ya? Semoga semuanya berjalan dengan lancar," ucap Eka seraya mengusap pipi anaknya lalu memeluk tubuh Jenny sebentar."Amin, Bun," jawab Bima lalu mencium tangan Eka, kemudian disusul oleh Jenny. "Ya udah, kami berangkat. Assalamualaikum.""Walaikum salam."**Setelah datang ke kantor polisi dan memberikan keterangan, Jenny langsung diarahkan ke rumah sakit untuk melakukan visum.Pihak polisi mengajukan, selain itu Bima juga sempat memintanya. Semua itu demi membuktikan, apakah Jenny sempat diperk*sa dalam keadaan tidak sadar atau tidak. Karena jika bertanya langsung kepada Lukman, itu akan sia-sia saja.Seperti pepatah mengatakan, mana ada maling ngaku. Kalau ada, penjara akan penuh.Setelah selesai dengan urusan polisi, keduanya pulang ke rumah kemudian berlanjut pergi ke mall bersama Eka, Kaila dan juga Weni.*Hari ini terasa sangat melelahkan bagi Jenny, na
'Dia masih belum tidur, kenapa ya?' pikiran itu berkecamuk dalam benak Bima, membuatnya merasa bingung dengan perilaku Jenny. Dalam kebingungan itu, dia memutuskan untuk memejamkan mata, berharap dengan begitu, Jenny akan tergoda untuk segera tidur. "Zzzzz ...." Hanya dalam hitungan menit, suara dengkuran halus dan ritmis itu mengisi udara malam, memecah keheningan yang sebelumnya memenuhi ruangan. Jenny, yang sebelumnya menahan diri, kini membuka mata kembali. Matanya menatap Bima, yang tampak begitu tenang dalam tidurnya. "Ish!!" Gumamnya pelan, rasa sebal memenuhi hatinya. Melihat Bima yang dengan mudahnya memasuki dunia mimpi, sementara dirinya masih terjaga, membuat Jenny merasa frustrasi. Bagaimana bisa pria itu lebih dulu terlelap ketimbang dirinya, padahal Jenny tengah berjuang melawan hasrat dalam dirinya yang begitu kuat dan mendalam.***Keesokan harinya, Bima terbangun perlahan-lahan dan terhanyut oleh aroma wangi sabun yan
Pak Polisi yang sebelumnya menginterogasi Lukman mengambil sikap tegas. Dia menatap Lukman yang terlihat putus asa. "Meskipun Anda mengelak, itu akan sia-sia, Pak. Bukti yang ada sangat kuat menunjukkan bahwa Anda bersalah. Kita hanya perlu menunggu keterangan dari saudari Jenny, dan setelah itu Anda akan ditahan sebagai tahanan di sini." Lukman menolak dengan cepat, menggelengkan kepalanya. "Enggak! Aku nggak mau, Pak! Aku nggak bersalah, ngapain dipenjara? Aku di sini hanya ingin membantu Jenny, menyelamatkan hidupnya dari kebahagiaan palsu dengan Bima. Karena hanya aku yang bisa membuatnya bahagia!" Lukman berteriak dengan putus asa. Dia terlihat kehilangan akal sehatnya, bahkan melawan saat dua polisi menyeretnya keluar dari ruangan. "Lepas!! Lepaskan akuuuu!! Lily sayaaaang, tolong selamatkan aku!!" Lukman berteriak sembari berusaha melepaskan diri, meskipun terlihat sia-sia. "Jangan penjarakan akuuu!! Aku nggak bersalaaahhh!!"Lukma
Polisi itu mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Sebelumnya mohon maaf, Ibu ini siapanya Pak Lukman? Saya ingin bertemu saudari Lily, istri dari Pak Lukman." Lily dengan tegas menjawab, "Aku Lily, Pak. Aku adalah istri dari Lukman." "Baik, kebetulan sekali. Saya ingin meminta Ibu datang ke kantor polisi, untuk memberikan keterangan terkait kasus yang sedang ditangani. Saat ini... Pak Lukman sedang ditahan di kantor polisi karena kasus penculikan dan percobaan pelecehan terhadap saudari Jenny Salsabila," jelas Pak Polisi dengan penuh kehati-hatian. Soraya dan Lily sama-sama terkejut, suara mereka terdengar serempak, "A-apa?!" Soraya menatap Lily dengan wajah penuh kebingungan, mencari kepastian. Lily, yang masih terkejut, menegaskan, "Bagaimana mungkin itu terjadi, Pak? Itu nggak mungkin! Lukman nggak mungkin melakukan hal seperti itu!" Soraya mencoba memahami situasi dengan bertanya, "Jenny yang dimaksud Pak Polisi itu, s
"Bagaimana keadaan istriku, Dok? Apakah dia baik-baik saja?" Dokter tersebut, dengan wajah yang penuh empati, menjawab, "Istri Anda baik-baik saja, Pak. Hanya saja, dia tampaknya sempat mengalami serangan panik yang cukup parah hingga menyebabkan dia pingsan," jelasnya dengan tenang dan detail. Bima merasa sedikit lega, menghela napas dalam-dalam. Meski begitu, masih ada pertanyaan lain yang mengganjal di hatinya. "Kalau kandungannya bagaimana, Dok?" "Kandungan istri Anda juga dalam keadaan baik dan sehat, Pak," jawab Dokter. "Tapi, untuk sementara waktu... Saya sarankan agar dia banyak beristirahat. Hindari aktivitas berat dan berikan dia ketenangan hati serta pikiran. Nona Jenny, istri Anda, sepertinya pernah mengalami trauma di masa lalu. Hal ini tentu tidak baik untuk kesehatannya, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini." "Trauma apa yang dimaksud, Dok?" Meski dia sudah memiliki dugaan sendiri, tapi Bima ingin mendapatkan penjelasan langs
"Om mau apa? Aku nggak mau ... eemmmppptt!!" Ucapan Jenny terhenti begitu saja ketika Lukman berhasil membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman. Kedua matanya langsung terbelalak, terkejut dengan tindakan tak terduga ini. Perasaan takut dan kebingungan memenuhi pikirannya. Braakkkk!! Tiba-tiba, pintu kamar itu terbuka dengan kasar. Bima, yang masuk dengan tergesa-gesa, terkejut melihat apa yang sedang terjadi. Wajahnya penuh dengan kejutan dan kemarahan. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat, bahwa Lukman berani menyentuh istri yang dicintainya. "Brengseek kau, Lukman!! Berani-beraninya menyentuh istriku!!" geram Bima dengan suara yang penuh emosi. Hatinya terbakar oleh kemarahan yang tak terbendung. Amarah yang memuncak membuatnya langsung berlari menuju Lukman dan menendang tubuhnya dengan kasar, membuat pria itu terjatuh dari ranjang. Bima merasa penuh dengan kekuatan dan tekad untuk melindungi orang yang dia cint
Dengan tubuh gemetar dan penuh ketakutan, Jenny berjuang sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari cengkraman pria tersebut. Dia mendorong dengan keras dan berteriak sekuat tenaga, berharap ada seseorang yang mendengar dan datang menyelamatkannya."Toloooongg!!""Siapa pun tolong selamatkan aku!! Aku mohoooonn!!!" Namun, pria itu tetap erat memeluk Jenny, mengabaikan teriakan dan perlawanan putus asanya. Bahkan secara cepat, dia langsung mencium bibir Jenny.Cup~Mata Jenny kembali membulat. Seketika dia merasakan dejavu, karena peristiwa pemaksaan seperti ini kerap kali dia dapatkan dimasa lalu.Dengan buru-buru, tangan Jenny meraba sembarang. Mencari apa pun benda untuk bisa menyelamatkannya.Dalam keputusasaannya, akhirnya Jenny mendapatkan sesuatu di sekitarnya. Sebuah ponsel terjatuh ke tangannya. Tanpa ragu, dia langsung menghantamkan benda itu ke kepala pria tersebut dengan kencang. Buuugghh!!
Dengan sigap, pria itu mengangkat tubuh Jenny sebelum dia terjatuh. Kemudian, dia memasukkan tubuh Jenny ke dalam box kosong di atas troli. Dia memang sengaja membawa benda itu, dengan tujuan memasukkan Jenny ke dalam sana. Setelah memastikan situasinya aman, pria itu dengan cepat mendorong troli tersebut menjauh. Pergi dari tempat kejadian. Tak lama setelah kepergiannya, Eka keluar dari toilet sambil mengusap-usap kebayanya dengan tissue. Dia baru saja selesai membersihkan diri. "Lho, kukira Jenny sudah keluar duluan? Ternyata belum?" Saat tidak melihat kehadiran menantunya, Eka mulai khawatir. Tanpa ragu, Eka kembali masuk toilet untuk mencari Jenny. Jenny sudah cukup lama berada di dalam, membuat Eka semakin gelisah."Jen ... belum selesai juga kamu?" tanya Eka dengan suara agak keras pada salah satu bilik toilet. "Apa kamu kesusahan? Mau Bunda bantu nggak, Jen?" tawarnya, lalu dengan hati-hati membuka pintu tersebut. Cek