"Hai," sapa Rizal melambai pelan sambil berjalan santai dari arah pintu yang terbuka, senyumnya begitu indah ketika melihat Raya dalam keadaan baik-baik saja.
"Tu-tuan!" Raya terkaget, mendapati duda itu menyapanya pagi ini. "Ma-maaf tuan, saya tidak ke SOHO, mas Dika membawa saya ke sini dan saya tidak diperbolehkan pulang.""Lanjutkan makanmu!" titah Rizal."Sudah tuan, sudah kenyang." Sambil meletakan nampan di meja sebelahnya.Seketika Rizal mengerutkan dahi, melihat nampan berisi sarapan masih utuh tak tersentuh. Dengan penuh kewibawaan tanpa banyak gerakan, duda itu langsung meraih nampan kemudian duduk di sisi ranjang pasien. "A ...." mengarahkan sendok yang telah terisi aneka lauk sarapan. "Ayo, buka mulutmu!"
"Melihat menunya, sudah membuat lambung saya penuh, Tuan," balas Raya terdengar pelan."O ... mulai membantah, mulai tidak menurut!"
Raya geleng kepala ditemani kedua bibir merapat kuat.
"Buka mulutmu!""Saya paham dan sangat tau apa yang harus saya lakukan, Tuan. Saya permisi, masih banyak aktivitas yang harus saya kerjakan." Raya meninggalkan Bimo dengan rasa heran. 'Tuan sih terlalu baik, orang jadi salah paham, kan! Huft. Masa iya aku resign, mana ada tempat yang mau ngegajiku dengan nominal sebanyak itu.' Genap dua minggu hari berganti, Rizaldi Takki masih setia menemani Rosa dan merawat sang ayah angkat, di rumah sakit. Meski raga sang duda di tempat itu namun terkadang pikiran dan fokusnya terpecah, pecahan yang menghasilkan gambar-gambar gadis bernama Rayana Livina berkativitas di dalam rumahnya, hingga pancaran kebahagiaan tampak di wajah sang duda tanpa dipinta. 'Rizal kenapa, sih? Emang ada apa di laptopnya, mengapa dengan laptop saja aku cemburu!? Mengapa aku merasa dia sedikit berubah!' keluh Rosa pada dirinya sendiri. Niat bertanya tapi ia urungkan, karena bingung harus mulai bertanya dari mana.Gelagat anak semata wayangnya terbaca. 'Pa
"Zal ... sudah selesai ya kerjanya, bisa kita bicara? Aku sudah menunggumu sejak tadi, a-aku berharap kamu mau bicara denganku," terang Ardila sambil mensejajarkan langkah dengan Rizal. Rizal mulai menambah kecepatan langkahnya, pandangan mata ia fokuskan pada Mecedes Benz bertipe G-Class di luar lobi, berharap raga segera tiba dalam kendaraan gagahnya. "Tidak ada lagi yang harus dibicarakan! Dan saya harap, anda tidak perlu lagi datang ke kantor ini!" "Zal, mungkin in-ini adalah hukuman untukku. Tapi ini bukan sepenuhnya salahku, maka dari itu aku ingin menjelaskannya padamu." Mata indah wanita itu mulai berkaca-kaca. "Tidak perlu menampakan kesedihan, karena itu sama sekali tidak berpengaruh bagiku!" BREG! Rizal menutup pintu mobil dengan kasar dan mobil itu langung melaju kencang meninggalkan Ardila sendirian.Ardila terdiam, percaya tak percaya dengan apa yang baru saja Rizal lakukan. 'Semarah dan sebenci itu kam
"Atau tuan memiliki perasaan lebih terhadap saya? Jika benar seperti itu, saya harap tuan bisa rubah perasaan itu." 'Gila neh cewek, jujur bener!' Gumam Andika dalam hati. 'Cewek bego!" giliran para pengunjung ikut komentar tanpa terdengar. "Saya tidak cukup baik untuk tuan, sayapun sama sekali tidak memiliki perasaan pada tuan. Saya hanya ingin fokus pada keluarga dan bekerja. Adapun perhatiaan yang saya berikan, itu semua semata-mata karena kebaikan tuan, jadi tuan jangan salah mengartikan," jelas Raya tanpa jeda. "Maaf jika kata-kata saya membuat tuan tersinggung. Saya berharap, tebakan saya ini salah," tegas Raya. "Ya, tebakanmu salah! Kamu terlalu percaya diri!" Bentak Rizal, kesal. "Lagi pula, apa salah jika seorang majikan memberi perhatian? Salah, jika majikan takut pekerjanya patah hati dan berakhir resign dari kerjaannya? Salah, jika majikan suka sama pekerja di rumahnya? Salah, jika majikan ingin memiliki hubunga
Wanita itu berjalan penuh percaya diri, pakaian casual ala wanita kantoran dilengkapi high heels dan tas berwarna senada menunjukan kelas berbeda atas dirinya. Tampak dalam jangkauan penglihatannya para karyawan yang berlalu-lalang coba mencari simpati Rizal. Menyapa grogi, memanggil dengan suara dilembutkan, dan tak sedikit dari mereka memperlihatkan senyuman termanis demi memikat hati sang atasan. Wanita itu tak tinggal diam, pemandangan yang baru saja ia lihat membuat tekatnya semakin kuat 'Zal, dulu aku begitu menyukaimu saat inipun masih sama, tak berubah. Jangan pedulikan mereka, aku yang akan selalu ada untukmu, hanya aku yang kaubutuhkan.' Hentakan dari high heels wanita itu begitu nyaring membuat orang di sekitarnya menoleh dan reflek membuka jalan. "Zal," panggil wanita itu elegan dengan suara begitu lembut dilengkapi senyuman termanis yang ia miliki. Rizal langsung mengarahkan pandangan pada wanita yang memanggilnya. "Hai, Sa. Papah menyuru
Entah apa yang dibicarakan Bimo dan orang tua itu namun yang pasti pembicaraan serius itu berkaitan dengan nasib Rosalia, kisah bertepuk sebelah tangan yang menurut mereka begitu memprihatinkan. Rizal membawa mobil menuju lingkungan bersejarah dalam hidupnya. Lingkungan kumuh, padat penduduk, bergang sempit, lengkap dengan kisah kelam yang belum hilang. Mobil telah terparkir cukup lama namun gadis yang ditunggunya tak juga tiba. Ratusan pertanyaan berlalu-lalang membuat duda itu tak sabar dan gelisah, dengan rasa penasaran Rizal pun mengambil keputusan mendatangi kontrakan gadis itu.Satu-persatu sapaan ramah warga ia balas dengan terpaksa demi menutupi amarah. Langkahnya terhenti, tatkala melihat kontrakan itu masih terkunci.'Apa dia masih dengan dokter itu? Apa mereka mulai menjalani hubungan? Apa Raya menyukainya? Gak, gak, itu gak boleh terjadi. Zaal ... tenang, loe harus tetep di sini, tunggu dia sampe datang, dan minta penjelasan." Berdia
'Tuhan tolong aku, selamatkan dan lindungi aku, aku mohon pada-Mu,' gumam Raya dalam hati penuh ketakutan. 'Aku tak mau tuhan ... aku memohon pertolongan-Mu.' Gadis itu menekan kuat pintu di belakang tububnya. Dalam lirih memohon pertolongan sang pencipta suara langkah kaki tertangkap pendengarannya, langkah tergesa itu semakin jelas terdengar seolah ingin menerkam tubuhnya yang kini merasa lelah. "Raya, buka." Rizal berusaha mengatur emosi. "Kau belum memberi penjelasan padaku." Permukaan mulut bersimbah darah bahkan kini mulai menetes di permukaan bajunya namun gadis yang diajak bicara sama sekali tak mengeluarkan suara. "Buka pintunya, atau kudobrak!" ucap Rizal mulai kesal. "Raya! Kautidak menurut padaku?" DUK DUK DUK Hunian mungil, mengakibatkan suara gedoran pintu terdengar menggelegar membuat Raya semakin yakin pelecehan yang pernah dialaminya dulu akan terulang kembali hari ini. Ketakutan mendalam, gadis itu pun merapatkan bibi
Seharian perut tak masuk makanan di tambah lagi indra pengecapnya mengalami luka sobekan, mau tidak mau Rizal harus menghabiskan malam di rumah sakit. Merebahkan tubuh di atas ranjang pasien, dengan pergelangan tangan kanan ia letakan diatas kedua mata yang terpejam adalah cara ternyaman baginya saat ini. "Nyosor aja si loe, kena batunya, 'kan!" goda Andika, membanting tubuh di sofa panjang. "Apa perlu gue ngecek dia?" ucap Rizal tampak tenang. "Cek aja, biar lega." "Gak, gak, gak, gue percaya sama dia. Dia gak mungkin macem-macem, dia beda. Dia bukan Ardila." Gelengkan kepala, seolah meyakinkan diri. "Gak usah di cek, gue percaya sama Raya.” “Serah loe daah … gue ngantuk!” Andika langsung memejamkan matanya. Rizal masih tak bisa tidur, mengirim puluhan pesan teks pada gadis yang dituju namun sayang gadis itu sama sekali tak membalas. Bahkan pesan terakhirnya kini berstatus tak terkirim, dan ia sangat paham apa penyebabnya. Mas
Senja mulai berganti warna, ibu kota kembali berbisik klakson dan erangan kendaraan yang tak sabar ingin segera tiba di tempat tujuan. Duda itu sama sekali tak beranjak, masih saja di ruangan kerjanya ditemani kelima layar datar yang masih menyala. Otak cerdas dan raganya saling bekerja sama, jemari asik menari-nari di atas keyboard dan sesekali mengusap layar lebar di hadapannya, mengganti, mengalihkan gambar dan tulisan di layar datar yang ia perhatikan.Dua buah benda bulat pipih berukuran kecil ia letakan dalam sebuah box tembaga berlapis titanium, box yang tampak elit itu mengalirkan energi listrik membuat benda pipih di dalamnya mulai mencharger dan menyempurnakan fungsi dirinya sendiri.Tubuh letih itu ia regangkan, senyuam manisnya tersimpul sempurna melukiskan gambaran hati yang senang karena benda ciptaannya selesai sesuai dengan fungsi yang diinginkan. ”Ah … lelahnya …””Heh dud
Raya anggukan kepala dengan kedua mata berkaca-kaca. Rizal memajukan wajah kemudian sejenak melumat bibir istrinya. “Mulai sekarang aku akan terus melihat wajahmu,” ucap Rizal melepas lumatan. Mengusap lembut permukaan bibir Raya dengan jarinya. ”Di sini bukan cuma loe berdua ya,” ucap Andika, membuat Rizal mengarahkan pandangan pada sahabatnya itu. ”Dik, gue bisa melihat lagi.” Tidak menghiraukan ejekan Andika, Rizal justru menatap sahabatnya itu dengan haru kebahagiaan. ”Gue bisa liat loe, gue bisa lihat semua orang.” Rizal mengedarkan padangan. Andika hanya mampu anggukan kepala, merasa terharu melihat sahabatnya saat ini. Setelah para dokter melakukan pemeriksaan total pada kedua mata Rizal dan hasilnya normal tidak ada masalah, mereka pun berpamitan. Rizal sama sekali tidak melepas genggamannya di tangan Raya, seolah jemari itu takut kehilangan untuk yang kedua kalinya. ”Dika,” panggil Rizal terlihat mulai serius. ”Gue tau apa yang mau loe tanya.” Andika mendekat pada Rizal.
WARNING 21+ AGAIN.”Boleh. Lakukan apapun yang kamu inginkan.” Angguk Raya.Perlahan Rizal membuka kedua paha Raya, kembali mengusap kewanitaan istrinya kemudian menggerakkan ketiga jarinya di dalam sana, Raya mulai merasakan kenikmatan yang sama sekali belum pernah ia rasakan dalam hidupnya.Setelah kewanitaan Raya basah, Rizal mulai memajukan wajahnya, ingin memainkan lidahnya dalam organ Raya yang paling berharga. Namun baru sempat Rizal menciumnya Raya sudah bersuara. “Stop!”Rizal mengangkat wajahnya. “Kenapa?”“Jorok,” ucap Raya pelan,“Tidak jorok, kamu pun pernah melakukannya padaku.””Tapi _””Tidak ada tapi, nikmati semua sentuhanku. Seluruh tubuhku adalah milikmu, begitu pun sebaliknya. Aku tidak akan membiarkan secuil kulit pun dari tubuhmu yang belum pernah aku jamah,” ucap Rizal sambil sesekali mencium permukaan perut Raya. ”Hai, jagoan ayah, cepatlah hadir di perut bunda.”Mendengar apa yang Rizal ucapkan, Raya tersenyum bahagia sambil sesekali mengangkat punggungnya me
“Dokter, kenapa kalian diam?” tanya Raya lirih, bersamaan dengan isak tangisnya yang kian menyedihkan. “Gunakan alat pemacu jantung, Dok …” Melihat Rizal yang kini memunggunginya tidak bergerak. Mendengar apa yang Raya ucapkan para dokter dan perawat di ruang itu kompak kerutkan dahi. “Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Suara Raya kian menyedihkan. Gambaran kepergian Fayed kembali terekam, membuat air matanya mengalir deras. Raya semakin panik, ia mengedarkan pandangan mencari benda yang bisa menolong suaminya. “Dokter, kenapa kalian masih saja diam? Mana, mana defibrilatornya? Jika kalian menyerah, biar saya yang melakukannya.” Mendapati para dokter masih diam. ”Dok! Kalian harus melakukan sesuatu!” ”Anda tidak perlu melakukannya, Anda cukup duduk di samping pasien, tenangkan pikirannya,” ucap seorang dokter bedah masih dengan gunting di tangan. “Detak jantungnya semakin melemah, aliran darahnya kian menurun. Saya dengar Anda relawan medis terbaik tahun ini, past
Rizal spontan menghentikan langkah, mengepalkan kedua tangan, tegakan badan, menahan nyeri yang teramat menyakitkan di bahunya. Tubuh kakunya mulai menikmati darah hangat menjalar di bagian punggung. Raya yang mendengar sebuah peluru keluar dari selongsongnya, sempat berpikir hanya tembakan peringatan dari anak buah Bagus, seperti kejadian yang sering ia alami di negara konflik. Namun selang beberapa detik, langkah Rizal terasa melambat, dekapan tangan Rizal di tubuhnya terasa mengendur. Merasa ada yang tidak beres dengan suaminya, Raya langsung mendongakkan wajah. Tampak wajah Rizal mulai memucat. Paham apa yang terjadi pada suaminya, Raya gelengkan kepala lengkap dengan kedua mata yang mulai berkaca.Aura kemarahan mulai mengisi hati Raya, kedua matanya terlihat bagai serigala betina yang siap menerkam mangsa. Dengan cepat Raya memutar tubuh, meraih sebuah senjata api terdekat dari posisi berdirinya. ”SIAPA YANG TELAH MENYAKITI SUAMIKU?” ucap Raya berteriak sambil menodongkan pisto
“RAYHAN, APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN!?” Melihat perawat yang ia sewa tertidur nyenyak dalam dekapan Rizal, membuat Rosa berteriak memekakkan telinga semua orang di sana.Raya yang tersadar identitas aslinya hampir ketahuan langsung menyembunyikan kepalanya dalam selimut, sedang Rizal hanya menyunggingkan ujung bibirnya dengan mata masih terpejam.Rosa membuka selimut yang mereka kenakan dan langsung menarik kasar lengan Raya, tersadar istrinya hampir terlepas dari pelukan, Rizal pun meraih kembali tubuh Raya kemudian memeluknya lebih erat.”Rizal! Dia laki-laki, dia perawatmu!” Rosa berusaha menyadarkan Rizal.Tidak ada tanggapan dari Rizal, Rosa pun berusaha melepas tangan Rizal dari tubuh Raya, namun tenaganya masih kurang banyak, membuat Rosa kesulitan untuk melepasnya. ”RIZAL LEPASKAN TANGANMU!!”DIA PERAWATMU! DIA LAKI-LAKI!” Rosa kembali berusaha melepaskan tangan Rizal dari tubuh Raya. Kuku-kuku cantiknya bahkan membuat tangan Rizal terluka tapi pelukannya tidak berubah.”RIZAA
TOK TOK TOKRosa mengetuk pintu kamar dengan keras, membuat sepasang suami istri itu kaget dan langsung mempersiapkan peran masing-masing.“Rayhan, apa yang sedang kaulakukan? Mengapa pintunya dikunci?” tanya Rosa terdengar dari luar, ia datang bersama Esih siap mengantarkan makan sore.Raya langsung berlari sambil mengenakan maskernya. ”Maaf Nona, tuan Rizal yang menyuruh. Sebentar, saya akan bukakan pintunya,” ucap Raya dengan keras dan ngebass.“Lain kali jangan dikunci! Aku tidak suka calon suamiku berduaan dengan seseorang dalam sebuah kamar.””Saya hanya menerima perintah, lagi pula saya laki-laki, Nona masih harus cemburu pada saya?” Melangkah dalam satu barisan, terkadang langkah keduanya terlihat kesulitan karena gundukan sampah dan pakaian.”Baru kali ini ada orang yang selalu menjawab ucapanku.””Sudah, cukup. Esih aku tidak lapar. Sebelum kutumpahkan semuanya, lebih baik kaubawa kembali makanan itu!” Rizal angkat suara. ”Zal, kamu harus makan. Nanti kamu sakit. Aku suapi,
Raya melepas kecupan. Kali ini Raya membawa kedua tangan Rizal untuk menyentuh wajahnya. Nalurinya yakin, Rizal sangat merindunya. Meski kedua mata Rizal tidak bisa melihat, namun Raya percaya kedua indra peraba Rizal mampu mengenali wajahnya.Jemari sang suami ia dominasi, menggerakkan telapak tangan itu di pipinya, seperti mengusapnya lembut. ”Ini aku. Maafin aku.” Terasa jelas jemari Rizal bergetar."Maafin aku." Menatap Rizal di hadapannya penuh rasa iba. Raya gelengkan kepala, bukan ini yang ia harapkan, bukan seperti ini yang ia bayangkan. Suaminya tampak begitu kurus, terlihat tidak terurus. Kuku-kukunya kotor dan hitam. Rambutnya panjang dan berantakan. Wajahnya begitu kusam bertemankan janggut yang panjang. ’Oh, Tuhan, kesalahan apa yang telah kulakukan,’ Raya mendongakkan kepala, membatin dalam usapan lembut suaminya bertemankan deraian air mata."Kalau sedih, kenapa tinggalin aku?" tegas Rizal, terdengar kesal.Mendengar Rizal bersuara, sontak Raya menurunkan kepalanya. “Ak
TOK TOK TOK“Zal, boleh aku masuk?” suaranya sengaja dilembutkan, terdengar sedikit manja.“MESKIPUN TIDAK KUBOLEHKAN, KAMU AKAN MENGGUNAKAN KUNCI-KUNCIMU UNTUK MEMBUKANYA!” teriak Rizal.Pintu itu terbuka, Rosa langsung menampakkan senyuman termanisnya. ”Hee …. Aku hanya takut terjadi sesuatu padamu.” Melangkah penuh percaya diri, sambil sesekali ia kesulitan memilih pijakan.Kejadian seperti ini selalu berulang, setiap kali mereka bertengkar hebat, esok paginya Rosa akan datang, bersikap baik dan ramah seolah tidak pernah terjadi masalah.Rizal terlihat sama sekali tidak menanggapi, ia hanya diam duduk di sisi ranjang dengan nafas masih terengah, celana dan sebagian bajunya terlihat basah.Rosa melangkah mendekat. ”Zal, pakaian kamu basah lagi? Sudah aku bilang, jika butuh sesuatu panggil aku, tidak perlu malu. Buat apa ada bel di sana, kalau tidak pernah kamu pakai." Menunjuk sisi kasur dengan dagunya. "Aku akan selalu membantumu. Aku bantu berganti pakaian ya?” Rosa mendekat, ingi
”Sudah berapa lama gue buta?” tanya Rizal pada Andika, yang hari ini menjenguknya.Andika menatap Rizal penuh kesedihan, setiap kali ia mendatangi pria tampan itu keadaannya tidak lebih baik dari sebelumnya. Terlihat sangat berantakan, tidak terurus dan hari-harinya terlihat lebih kurus.Kamar indah dan megah itu sama nasibnya, tempat itu kini bagaikan gudang yang tidak layak dihuni manusia. Wajar saja, begitu banyak sampah dan pakaian berserakan di lantai, bekas-bekas makanan terlihat jamuran, tumpahan air yang menggenang, sofa dan lemari terjungkal, meja yang kacanya pecah, tirai yang kotor, ruang makan yang berantakan, kursi-kursi yang terbalik, televisi berlayar pecah, lampu yang kedap-kedip, ditambah bau tidak sedap yang mengganggu penciuman membuat orang enggan untuk sekedar singgah walau hanya sebentar.”Sudah dua tahun," jawab Andika sambil membuang nafas ”Gue cari Raya, ya?” lanjut Andika minta izin.“Kalo loe ke sini cuma mau tanya itu. Mending loe balik, gak usah ke sini la