Armand selalu menjadi Sengkuni dalan keluarga Abidin. Tak henti-hentinya menghasut ke sana-sini.
Sore itu Abidin bermain bola dengan kedua cucunya yang baru bisa berjalan, di halaman belakang. Mereka tampak bahagia, Titin sedang mengamati sambil tertawa.
"Tiffa, andai saja kamu tahu betapa lucu dan menggemaskannya anakmu, kamu pasti bahagia dan bangga," gumamnya dalam hati.
"Sore, Mbak?" sapa Armand.
"Selamat sore, Armand," jawab Titin.
"Mana Mas Abidin, Mbak?"
"Itu lagi main sama cucunya," jawab Titin sambil menunjuk ke arah Abidin.
Armand bergegas menghampiri Abidin di taman belakang rumah.
"Lagi olah raga, Mas?" tanya Armand yang mendekati Abidin.
"Iya Armand, ini momong cucuku," ujarnya sambil tertawa kecil sambil melempar bola ke arah Arjun.
"Suster, awasi anak-anak jangan sampai jatuh!" lanjutnya berpesan kepada suster.
Kemudian dia duduk di bangku taman bersama Armand. Tak lama dua cangkir kopi datang dibawa oleh Titin.
"Armand, kopinya diminum!" Titin mempersilahkannya.
"Terima kasih, Mbak Titin, jadi merepotkan," basa-basi nya.
Abidin mengajak Armand duduk santai dan ngopi di bangku taman.
"Mas Abidin, kelihatannya sayang sekali sama cucu-cucunya ya?" tanyanya sambil menyeruput kopinya di cangkir.
"Iya Armand, aku sangat menyayangi mereka. Ternyata benar kata orang, sayangnya kepada cucu melebihi sayangnya kepada anak sendiri." Abidin berkata dengan bahagianya dengan senyum lebar menatap kedua cucunya yang berjalan tertatih-tatih. Pandangannya penuh cinta yang teramat dalam.
Arman menatap dengan cemburu dan khawatir.
"Kehadiran dua bocah ini membahayakan kedudukan Virgo dan anak-anaknya nanti. Seluruh harta Abidin dan Titin akan jatuh kepada mereka," Arman berpikir licik.
Hubungan Titin dengan Ahem berangsur membaik. Sekalipun Tiffara belum sadar dari koma tapi setiap hari Ahem selalu VC untuk menyapa dan memberi semangat.
"Mas Abidin, aku tahu Mas Abidin sangat sayang sama cucu, tapi bagaimana dengan menantumu? Apakah kamu tidak ingin punya menantu yang sempurna sebagai ibunya Arjun dan Ruhi? Sampai kapan Mas Abidin akan mengurusi bangkai hidup yang tak berguna itu?" tanya Armand menohok.
"Aku sih terserah Ahem, Arman. Apalagi Titin sudah terlanjur sayang kepada Tiffa," jawab Abidin.
"Kamu harus membantu mereka menata hidupnya kembali. Ahem orang berpendidikan luar negeri, calon pewaris perusahaan besar. Masak beristrikan bangkai hidup yang tak berguna. Anak dari keluarga yang biasa-biasa saja dan tidak pendidikan tinggi. Dulu aku mendengar setelah melahirkan mereka akan bercerai, kenapa belum juga bercerai? Anak mereka bahkan sudah satu tahun lebih.' Arman mengingatkan.
"Coba nanti aku tanyakan pada Ahem, harusnya dengan keadaan istrinya seperti itu justru secepatnya dia memulangkan kepada kakaknya. Biarkan dia diurus kakaknya, bukannya kita yang mengurusnya" ujar Abidin berpikir.
"Mas, ibarat rumah yang rapuh kenapa tidak secepatnya kita robohkan sekalian. Secepatnya kita bangun kembali dengan pondasi yang lebih kokoh dan kuat. Tidak ada yang diharapkan dari dia Kak, dia cuma benalu yang bikin malu. Masak sih istri seorang Direktor muda yang kaya raya beristrikan gadis biasa, yang mati tidak ... hidup juga tidak." Armand mengejek bermaksut menggoyahkan pikiran Abidin.
"Benar apa kata kamu, Armand," gumam lirih Abidin.
"Kalau kakaknya tidak mau menerima dia, suntik mati aja dia, Mas! Tapi jangan ada yang tahu, Mbak Titin, Ahem juga Virgo pasti tidak setuju," usul Armand.
"Apa? Tidak Arman, itu sadis. Aku yakin Bagas pasti akan menerima dia. Dia juga hampir setiap hari telepon menanyakan adiknya. Dia sangat menyayangi adiknya. Nanti aku akan bicara sama Bagas," ujar Abidin.
"Secepatnya Mas, tapi sebelumnya ceraikan dulu dia. Sehingga dia keluar rumah sudah keadaan bukan istri Ahem lagi. Bukankah mereka menikah karena ingin status anak-anaknya agar sah. Sekarang anak mereka sudah besar, sudah waktunya mereka bercerai. Dia tidak pantas untuk Ahem, Mas." Arman terus memanasinya.
"Betul apa kata kamu, Arman," jawab Abidin dengan tegas.
Arman tersenyum licik penuh kemenangan. Dalam hati dia bersorak kegirangan. Karena dia berhasil memprovokasi Abidin. Dan Abidin yang dari awal tidak senang dengan pernikahan Ahem dengan Tiffara, seolah mendapat angin segar. Karena ada orang yang akan membantunya memuluskan rencananya.
Dret ...
Dret ...
Dret ...
Ponsel Abidin berdering, Dian melirik layar ponselnya ternyata Ahem yang sedang menghubungi video. Tahu kalau Ahem yang video call, Armand segera pamit pergi.
"Iya, Ahem?" sapanya setelah VC diangkatnya.
"Papa lagi di taman belakang ya?" tanya Ahem.
"Iya, bermain tuh sama anak-anak kamu," jawab Abidin.
"Oh ya? Mana anak-anak ku, Pa?" tanya Ahem.
"Arjun, Ruhi ...nih papa kalian telepon!" teriak Abidin.
Arjun dan Ruhi yang dalam gendongan baby sitter menghampiri Abidin,
"Halo sayangku Arjun, apa kabar?" tanya Ahem sambil melambaikan tangannya.
"Papa," celoteh Arjun.
"Sayang anak papa yang ganteng, udah makan belum?"
"Papa ...!" sahut Ruhi berteriak. Dan Abidin segera mengarahkan video ganti ke arah Ruhi.
"Ruhi sayang ...!" jawab Ahem berteriak juga sambil melambaikan tangannya.
"Anak Papa yang ganteng dan cantik, mama mana?" tanya Ahem basa-basi.
"Mama ... Mama .. Mama!" celoteh Arjun dan Ruhi.
"Kalian memggemaskan, Papa kangen kalian berdua dan Mama," ujar Ahem terbawa perasaan.
Ahem menatap wajah kedua anaknya dengan haru, matanya berkaca-kaca.
"Kasihan kalian berdua hidup tanpa kasih sayang Mama dan Papa. Karena Papa, mama kalian tidur lama tidak mau bangun. Dan entah kenapa, Papa kalian tetap di sini, apa sebenarnya yang Papamu cari? Maafkan Papa ya sayang!" keluh Ahem sedih.
"Papa ...!" Ganti Arjun yang berteiak ingin menatap Ahem.
"Iya Arjun sayang!" seru Ahem. "Papa kangen sayang, Papa ingin memeluk kalian berdua!" rintih Ahem.
Tiba-tiba Abidin mengarahkan videonya kearah dia. Sambil dia berkata,
"Sus, bawa anak-anak masuk, aku mau bicara sama Papanya.
"Papa ...!" Teriak Arjun kecewa dan disusul juga Ruhi berteriak menangis dan merengek.
Tapi kedua suster itu memaksa mengajak keduanya masuk. Arjun dan Ruhi merengek berteriak.
"Papa ...!"
Ahem semakin terbawa perasaannya, rasa sedih dan haru. Panggilan papa membuat hatinya tergetar. Ada perasaan aneh yang menjalar menguasai relung hatinya.
"Ahem, Papa ingin bicara denganmu," kata Abidin sambil menatap layar kamera video ponselnya.
"Bicara apa, Pa?" tanya Ahem penasaran.
"Kemarin Bagas telepon ke Papa. Dia menagih janji kepada Papa," katanya berbohong.
"Janji apa, Pa? sahut Ahem penasaran.
"Dulu kamu bilang setelah Tiffa melahirkan kalian akan bercerai. Kini dia minta kamu secepatnya menceraikan Tiffa. Dia akan membawa Tiffa pergi dari rumah kita. Bagas bilang akan mencarikan dokter terbaik di luar negeri." Abidin berkata masih dengan berbohong.
"Pa, masak iya Tiffa keadaan koma saya harus menceraikannya? Aku tidak bisa berbuat sekejam itu, Pa!" jawab Ahem memekik.
"Kenapa tidak bisa, Ahem? Pernikahan hanya akan membuatnya selalu terluka oleh keegoisan kamu. Apa kamu kira Tiffa bahagia dengan pernikahannya? Kamu selalu melukainya .. Bagas mengharap kamu melepaskan nya secepatnya." Abidin makin berbohong.
"Tiffa? Apa mungkin dia mengharapkan perpisahan ini, Pa?" gumam Ahem bersedih.
"Tentu Ahem, kalian tidak saling mencintai ... apa yang kamu harapkan dari pernikahan yang tidak sehat ini? Biar pengacara yang mengurus prosesnya, kamu terima jadi ya? Nanti saat kamu mengucap Talaq di pengadilan, bisa dilakukan lewat video call." Abidin menjelaskannya.
"Tapi Pa, aku berjanji pada Tiffa bahwa apapun yang terjadi aku tidak akan melepaskan Tiffa." Ahem memekik.
Tapi justru itu yang menyakitinya!" sahut Abidin.
Ahem sejenak melamun, selama ini memang dia selalu menyakitinya. Bagaimana bisa justru ikatan itu yang selalu melukainya?
"Iya Pa, kalau itu maunya Bagas, aku bisa apa? Dia bukan saja sebagai kakak, tapi dia adalah ayah bagi Tiffa." Ahem dengan sedih dia menyetujuinya.
Padahal itu semua hanyalah rekayasa Abidin yang mulai terhasut bujukan Armand.
***
Semua urusan perceraian ditangani pengacara terkondang. Tanpa kendala apa pun semua serba lancar bahkan Titin dan Virgo tidak mengetahuinya. Abidin dan Armand bekerja sangat hati-hati dan rapi.
Ini sidang terakhir saat pengadilan memakzulkan permohonan Talaq dari Ahem. Dia menjatuhkan Talaq lewat video call di tengah-tengah ruang sidang. Dan jatuhlah Talaq satu, tanpa dihadiri termohon ataupun pengcaranya. Justru karena tidak ada keluarga termohon yang hadir membuat sidang sangat lancar.
Kini Ahem resmi menjadi seorang duda muda, apalagi Tiffa, seorang janda muda belia.
Bagaimana kalau Bagas mengetahui nasib adiknya yang tergolek tak berdaya, justru Ahem menceraikannya?
Bersambung ...
..
Resmi sudah Ahem menyandang duda muda yang keren. Semenjak dia mengikrarkan Talaq saat itu, rasa trauma menghantui Ahem. Ada penyesalan yang tak bisa digambarkan. Andai saja saat itu dia tidak gegabah menuruti keinginan papanya. Harusnya Ahem sabar menunggu sampai Tiffara sadar dari koma. Dia harus mendengar dari mulutnya sendiri, "Benarkah dia ingin lepas dari Ahem?" Ahem tidak berani telepon dan menanyakan kabar dan keadaan Tiffara dan anak-anaknya. Ada rasa bersalah yang teramat dalam dan menghantui. Dret ... Dret ... Dret ... Ponsel Bagas berdering, saat itu dia sedang ada rapat di ruangannya. Sebuah perusahaan yang baru dirintisnya di Singapura sebagai anak cabang perusahaannya yang di Jakarta. "Maaf rapatnya sampai di sini dulu, besuk kita lanjutkan lagi. Oh ya, untuk penawarannya kita buat selimit mungkin Pak Yusuf
Ahem sudah berjanji tidak ingin menghubungi Indonesia lagi sejak dia menjatuhkan Talaq kepada Tiffara. Tapi panggilan tak terjawab begitu banyak dari Virgo. Titin dan Bagas. Ahem sadar ini pasti reaksi dari keterkejutan mereka atas keputusan gegabahnya itu. "Apakah ada berita penting lagi, jangan-jangan ...?" pikir Ahem dalam hati. Dret ... Dret ... Dret ... Ponsel Ahem kembali berdering untuk kesekian puluh kalinya. Ahem menatap layar ponselnya, ternyata Titin yang menelepon. Akhirnya dengan debar- debar jantungnya dia pun mengangkat teleponnya. "Iya halo?" sapanya. "Laki-laki brengsek! Apa yang ada di otak kamu, hah? Bagaimana bisa aku melahirkan anak sekejam itu?" serang Titin begitu telepon diangkat. "Maafkan aku, Ma! Tiffa lebih bahagia apabila lepas dariku,
Teriakan Tiffara terdengar lantang sampai keluar rumah. Sontak satpam yang baru keluar dari toilet terbelalak kaget. "Siapa yang minta tolong? Itu bukan suara Siti tapi suara itu berasal dari dalam rumah," pikir satpam Sabirin. "Atau jangan-jangan dia adalah adiknya Tuan Bagas," lanjutnya. Sabirin segera berlari menghampiri suara itu berasal. "Tolooong!" teriaknya lagi. "Tidak ada orang yang mendengar teriakan mu, Cantik! Percuma kamu buang-buang energi! Menurutlah!" desak Gito. "Tolooong!" Teriak Tiffara lagi dengan histeris dan ketakutan. Badannya gemetaran dengan keringat dingin yang mengucur. "Hentikan!" Bentak Satpam Sabirin yang tiba-tiba muncul. Karena merasa terkejut dan terpojok, Gito langsung meraih leher Tiffara. Tangannya menggelayut dari belakang dan menekan sehingga Tiffara sulit bernafas. Ti
Malam telah larut, setelah ikut dower dan pemanasan siswa pencak silat, Tiffara beristirahat sambil menunggu sambung. Sambung adalah istilah dalam pencak silat berupa pertandingan persaudaraan. Saling menjajal kemahiran dalam adu kanuragan. Kelima teman seangkatan Tiffara sudah siap di dalam kalangan sambung, Bagas sebagai wasitnya. "Tiffa, kalau malam ini kamu bisa mengalahkan kelima letting kamu, minggu depan kita langsung pulang ke Indonesia. Tapi kalau kamu masih gagal, berarti kita masih harus menundanya." Bagas memberi ultimatum kepada Tiffara. "Baik, Mas Bagas," jawab Tiffara tegas. Setelah mereka berenam berada di dalam kalangan berbentuk lingkaran, Bagas mulai memberi aba-aba, setelah mereka berjabat tangan. "Persiapan, ... mulai!" teriak Bagas. Mereka pun mulai dengan aksi jurus. Tiffara dengan mata
Kini nama panggilannya Melody atas saran Bagas. Dia ingin adiknya menjadi sosok baru yang tidak bisa dikenali lagi. Mengingat setiap orang yang mendekatinya di masa lalu selalu menyakitinya. Kini Melody mulai masuk perguruan tinggi ternama di kota Jakarta. Dia mengambil Fak. Ekonomi jurusan Manajemen. Penampilannya berubah drastis, seperti seorang gadis culun yang lugu dan sederhana. Kacamata yang besar membuat kesan seperti gadis primitif yang norak. "Usahakan kamu menggunakan kemahiranmu hanya saat kepepet. Terlebih untuk menolong dirimu sendiri dan orang lain yang tertindas!" pesan Bagas. "Jangan khawatir Mas Bagas, aku bisa jaga diriku sendiri." jawab Tiffara menenangkan. "Kalau kamu ingin masuk ke rumah mantan suamimu, dan ingin merawat anak-anakmu, bersabarlah! Kita menumggu waktu yang tepat, Melody," ujar Bagas memberi harapan. Untuk pertama kalinya panggilan itu disebut untuknya. Semula ada perasaan yang aneh seolah bukan
Bagas belum siap bila adiknya harus bertemu dengan keluarga yang sudah membuatnya menderita. Apalagi penampilannya saat ini pasti mereka masih bisa mengenalinya. Untuk masuk kembali ke sana butuh persiapan yang matang.Bagas ikut mendadani penampilan hari pertama Tiffara masuk kuliah. Agar siapapun tidak bisa mengenalinya. Kejadian kecelakaan yang menimpa Ahem sekeluarga, sudah cukup membuat Bagas berpikir berulang kali. Ada yang tidak wajar dengan kejadian itu. Tapi Bagas masih sakit hati kepada Ahem, lelaki yang pernah meembuat hidup adiknya sangat menderita bahkan menjanda di usianya yang masih belia."Jangan tunjukkan wajah asli kamu, Melody! Kecelakaan yang menimpa keluargamu bisa menimpa ke kamu juga. Bila mereka tahu kamu sudah pulang ke Indonesia," pesan Bagas sambil duduk di samping Tiffara yang sedang bermake up."Apakah anak-anakku aman bersama mereka di sana, Mas Bagas?" tanya ragu."Tentu saja tidak, tapi kita belum punya cara untuk masuk ke
Ahem mulai banyak merasakan hawa di rumah yang tidak nyaman. Kesepian dan tercekam, rasa tidak percaya pada sekelilingnya. Setelah polisi menyampaikan ada kesengajaan pengerusakan rem mobil. Selang diiris dengan sengaja sehingga minyak rem bocor, padahal mobil baru tidak mungkin ini terjadi. Kejanggalan itu memang tanpa bukti dan tanpa ada pihak yang lapor untuk penyelidikan lebih lanjut. Sehingga masalah ini tenggelam begitu saja. "Paman, dari TKP banyak kejanggalan, aku jadi ingat rencana Paman, apakah ini bagian dari rencana Paman itu?" tanya Virgo berbisik. "Syukur kamu menyadari, ini sedikit pengorbanan Paman buat kamu, Virgo. Bahkan aku bisa melakukan lebih, apapun itu," gumamnya tidak merasa bersalah. "Gila! Aku sudah bilang pada Paman aku tidak butuh semua itu! Aku tidak mau Paman ikut campur masalahku. Cukup!" hardik Virgo. "Aku memikirkan kebahagiaanmu, Virgo. Kamu satu-satunya keponakan kesayangan Paman," Armand merayu.
Sekalipun cacat duduk di kursi roda, ternyata karena kepandaiannya serta lulusan terbaik dari Universitas yang terkenal di London, dia diterima menjadi dosen. Satu minggu sudah Ahem menjadi dosen di Unversitas swasta terkenal di Jakarta. Tekanan hidup dan trauma yang berat menjadikan hidupnya tertekan penuh ketakutan. Selalu ketakutan, anak-anak kesayangannya akan menjadi tarjet kejahatan berikutnya. Setiap pagi kedua anaknya menyertainya pergi ke kampus. Arjun dan Ruhi dititpkan di PAUD, dan di jemput sepulang mengajar. Begitu terus rutinitasnya sekarang. Mulai malam itu saat semua takbir terbuka, tak sekejab pun Ahem melepas anaknya tanpa dia. Pagi itu si gadis culun dengan Scoopy barunya menuju parkiran. Dia asal memarkir motornya karena sudah terlambat. "Selamat pagi, Pak?" sapa Tiffara kepada seorang dosen baru. "Lihat jam berapa sekarang? Ini pertemuan kita untuk pertama kalinya, jadi aku masih memberi toleransi. Tapi mulai pertemuan ber
"Ikut aku!" ajak Ahem tiba-tiba."Kemana?" tanya Tiffara penasaran.Ahem tidak menjawab, dia berjalan menuju mobilnya. Tiffara terpaksa mengikuti tanpa banyak bertanya. Para mahasiswa tertegun menatapnya."Masuk!" perintah Ahem singkat."Apa dia yang terpilih?" teriak seorang mahasiswi."Apa benar?" yang lain menimpali.Ahem membukakan pintu dan meminta Tiffara masuk. Tak lama kemudian mobil pun melaju kencang.Dret ... dret ... dret! Ponsel Tiffara berdering, Virgo yang menelepon. Ini saatnya Tiffara membalas Ahem, dia telah membuat hati Tiffara tercekam cemburu karena biro jodoh yang dia buka."Kak Virgo?" sapanya manja."Tiffara, lagi dimana nih?" tanyanya lembut."Lagi jalan, Kak Virgo. Kakak sendiri lagi ngapain?" "Aku lagi suntuk, aku butuh teman ngobrol, Tiffa," kata Virgo sedih."Lagi mikirin apa? Boleh berbagi sama aku, udah makan belum? Apa kita ketemu makan malam saja," Tiffara dengan lembut menawarkannya.Ciiiit!Spontan Ahem menginjak rem dan berhenti. Ternyata sikap gen
"Akulah yang pertama jatuh cinta padamu, Tiffa. Dan kamu malah menikah dengan Ahem adikku yang belum kamu kenal sebelumnya. Dan selama menikah pun kamu tidak pernah bahagia, tapi anehnya aku tidak bisa masuk diantara kalian," kata Virgo sedih."Maafkan aku Kak Virgo, yang belum bisa membalas cintamu," jawab Tiffara sedih."Aku tidak akan pernah memaksa perasaanmu, tapi setidaknya kamu mau percaya padaku bahwa aku sangat mencintaimu," Virgo meyakinkan."Duh, kok malah curhat di depanku sih," gerutu Ahem dalam hati.Dret ... dret ... dret! Ponsel Virgo berdering, Diva yang sedang menelepon."Aku keluar dulu, Tiffa!" pamit Virgo."Papa Virgo mau kemana?" tanya kedua bocah kecil itu bersamaan."Papa keluar sebentar, Sayang! Nanti kembali lagi," janji Virgo.Dia segera keluar ruangan dan mengangkat telepon dari Diva."Dimana kamu?" tanya Virgo kasar. Dia berpapasan dengan Bagas tapi Virgo tidak menyadarinya. Sontak membuat Bagas penasaran dan berpikiran ingin membuntutinya dan menguping.
Tiffara mulai membuka matanya, betapa terkejutnya dia berbaring di ranjang rumah sakit. Sebentar dia mengingat-ingat apa yang terjadi. Sontak dia bangun dan hendak turun dari tempat tidur tapi tiba-tiba perutnya mual dan pusing-pusing. Akhirnya kembali dia roboh di tempat tidur. "Tiffa, istirahatlah dulu! Kamu masih terkena pengaruh racun ular," gumam Bagas yang baru saja masuk ruangan. Bagas membantu membaringkan tubuh Tiffara kemudian memeriksa keningnya apakah masih demam ataukah sudah membaik. "Syukurlah kamu sudah membaik, Tiffa," gumam Bagas lega. "Bagaimana keadaan anak-anak dan Kak Ahem, Mas?" tanya Tiffara khawatir. "Anak-anak sudah baik-baik saja, Tiffa. Jangan khawatir!" hibur Bagas. "Gimana dengan Kak Ahem?" tanya Tiffara masih khawatir. "Kenapa kamu mengkhawatirkan dia? Dia kan bukan apa-apa kamu?" tanya Bagas menggoda. "Dia kan papa dari kedua anakku, Mas. Dia juga dosenku, apakah salah kalau aku mengkhawatirkannya?" jawab Tiffara tersipu malu. "Ooo jadi seorang
Karena jaraknya tidak jauh Bagas dan Tiffara sudah sampai di rumah Ahem. Pintu pagar juga masih tertutup rapat. Dua satpam menjaga dengan aman pintu gerbang, tidak ada tanda-tanda ada orang keluar masuk lewat pintu. Apa itu artinya mereka pelakunya orang dalam sendiri. Din ... din ... din! Klakson mobil dibunyikan, Bagas dan Tiffara telah sampai dan satpam berlari membukakan pintu. Satu-satunya akses untuk keluar masuk rumah itu. "Ada apa, Pak?" tanya Bagas saat turun dari mobil. "Ada penyusup, Mas. Kenapa kamu masih di sini tidak mencari atau mengejarnya?" ketus Bagas. "Bos Ahem yang minta kami berdua harus jaga ketat pintu keluar," jawab salah satu satpam. "Dua bodyguard sudah berusaha mengejarnya,' lanjutnya. Tiffara bergegas berlari menuju rumah, sebelum kaki melangkah masuk dia melihat sekilas bayangan di semak-semak rerimbunan tanaman bunga. Sontak dia berhenti dan berbalik arah. "Mas Bagas, itu dia!" teriak Tiffara. Sontak sosok yang bersembunyi itu pun segera berlari t
Kini acara pertunangan telah selesai. Tiffara diam-diam mengawasi Ahem, apakah benar tidak ada luka di hatinya. Sebelum Tiffara hadir dalam hidupnya, Ahem dan Diva adalah sepasang kekasih. Rasanya tidak mungkin tidak ada luka di hatinya, apakah dia menutupinya? Tiffara sambil memegang foto yang dia temukan di lemari Ahem, dia terus mengingat-ingat. "Ada apa denganmu, Tiffa?" tanya Bagas. "Mas, kemarin Mbak Diva tunangan sama Kak Virgo," ujarku. "Sama Virgo? Iyakah? Hati-hati Tiffa, dia ular! Jaga anak-anakmu!" pesan Bagas. "Sebenarnya Kak Ahem meminta aku untuk tidur di sana agar bisa fokus mengawasi anak-anak. Tapi aku masih minta waktu berpikir, Mas," ungkap Tiffara. "Kenapa harus berpikir, Tiffa? Demi anak-anakmu ke sampingkan egomu, Tiffa," pesan Bagas. "Jangan sampai kamu menyesal," lanjutnya sedih. Tiffa mulai berpikir serius dengan apa yang baru dikatakan Bagas. Selama ini dia belum berpikir sejauh itu. "Ma
Tak berselang lama Ahem masuk ke kamarnya. Saat itu Tiffara sedang berdiri di depan pintu akan keluar kamar. Ahem terperanjat, melihat Tiffara yang tampil cantik sekali. Ahem berjalan mendekati Tiffa sehingga membuatnya terdesak mundur. "Apa yang kamu lakukan?" ketus Tiffa. "Aku akan memperkosa kamu lagi," kata Ahem terus menggoda. "Hiks ... hiks ... hiks, silakan! Emang Dede'nya bisa bangun?" balas Tiffa menggoda diiringi tawanya. "Boleh kita coba, kamu akan menjadi kelinci percobaanku," desaknya sambil terus memepet Tiffa sampai terhimpit antara dinding dan tubuh Ahem. "Kak Ahemmmm!" pekik Tiffara sambil memejamkan mata. Tak sadar kedua tangan Tiffara mencengkeram pinggang Ahem membuatnya semakin terbakar birahinya. Bibir sexinya melumat lembut bibir Tiffara. Membuat cengkeraman itu semakin kuat bahkan tak sadar tangan Tiffara melingkar kuat di pinggang Ahem membuat Ahem semakin terjebak dalam pagutannya. "Kak Ahem," desahnya
"Mana ada impoten malah dipamerkan, di gembar-gembor kan, malah kita tidak percaya dong!" sahut mahasiswi sambil ngekeh. Sambil berlalu Dosen Ahem tertawa kecil. Melody terus memantaunya dari jauh, dia mengikuti dari belakang. Kini dia sembunyi dibalik pot besar di pinggir jalan. "Kok cepat menghilang sih?" gerutu Melody kesal sambil beranjak bangun. Saat hendak beranjak bangun, dia mendapati bayangan sosok lelaki berdiri di sampingnya. Perlahan dia mendongak ke atas. "Hah!" pekiknya. "Bagaimana bapak tiba-tiba di sini?" lanjut Melody terkejut. "Kamu sendiri ngapain di sini, ngikuti aku kan?" tanya Ahem menohok. "Apa? Mengikuti bapak? Ya nggaklah!" teriakku membantah. "Melody atau Tiffara ya? Ya Melody sajalah terlanjur terbiasa dengan Melody di kamus. Tolong bawakan tas dan bukuku ke ruanganku!" perintah Dosen Ahem. "Saya, Pak?" sahut Melody bertanya. "Iya, kamu. Kenapa? Nggak mau, Bodyguard Melo?" desak Ahem.
Ahem terperanjat dengan perkataan Arman yang mengatakan Virgo tiba-tiba akan menikahi Diva. Padahal sebelumnya Virgo tidak pernah dekat dengan Diva. Entah karena cemburu atau apa, Ahem merasa seolah tidak rela Virgo menikahi Diva dan diajak tinggal bersama satu rumah. Tapi sementara Ahem belum bisa mengungkapkan rasa keberatan itu kepada Virgo. "Aku ganti baju dulu, Melo, tolong bereskan kopiku!" pinta Ahem. Iya, Bos," jawab Melo. Aku mengambil lap dan membersihkan tumpahan kopi. "Kamu bisa bayangkan betapa menderitanya Ahem bila Diva hidup bahagia bersama Virgo," ujar Arman yang tiba-tiba muncul, mengejek. "Jadi paman bahagia bila melihat Ahem menderita, begitu?" tanya Melo. "Bisa dibilang begitu, dia sudah lama bahagia sudah waktunya ganti kakaknya yang harus bahagia," jawab Arman. "Boleh juga, asal bukan dengan cara licik, Paman. Bahagia tidak bisa diraih dengan cara kotor," ujar Melo. "Anda bisa melakukan sesuka hat
"Ma, mama ... mamaku mana, Om Melo?" tanya lirih Ruhi saat membuka matanya. Saat itu Melo sedang tidur di bibir ranjang, pantatnya di kursi. Segera matanya terbuka mendapati Ruhi memanggilnya. "Sayang, kamu sudah sadar? Apa yang kamu rasakan, Sayang?" tanya Melo gugup bercampur bahagia. "Ruhi, kamu sudah bangun?" teriak Arjun. "Sebentar aku panggil dokter!" teriak Melo masih gugup. "Dokter!" teriak Melo di depan pintu. Saking gugupnya, padahal di samping ranjang ada tombol untuk memanggil dokter atau perawat. Tak lama seorang dokter dan seorang perawat datang dengan tergesa-gesa. "Dok, anak saya sudah sadar, tolong periksa dia!" kata Melo bahagia. Dokter memeriksa sekilas tentang kesehatannya. Perawat membantu memeriksa tensi darahnya. Melo hanya tertegun seolah tak percaya. "Anda siapa?" tanya dokter. "Saya mamanya, maksud saya ... saya pengasuhnya, Dok," jawab Melo gugup. "Mana ke