Smoga nggak bingung yak. Ini POV flashback, tapi dari sudut pandang Gyan. ==================Gyan menarik napas panjang. Sejujurnya badannya sudah minta beristirahat. Dia ingin pulang cepat karena Resta memintanya. Lagi pula rapat sudah ditutup beberapa menit lalu. Namun di saat terakhir dia keluar ruangan lagi-lagi ponselnya berdering. Menampilkan nomor milik May untuk ke sekian kalinya. Dia tidak tahu apa yang wanita itu inginkan darinya lagi. Gosip May putus dengan tunangannya santer terdengar. Bukankah lebih baik wanita itu mendekam di rumah saja daripada berkeliaran? Gyan terpaksa mengetik pesan kepada Resta untuk tidak menunggunya lantaran dia pulang terlambat. Bukan untuk sebuah pekerjaan tapi untuk bertemu May. Saat melihat May di parkiran mobil, tidak ada tanda-tanda wanita itu habis mendapat kekerasan fisik. Wanita itu masih sama saja. Selalu berusaha tampil cantik. Sayangnya kecantikan wanita itu sudah tidak memiliki efek apa pun bagi Gyan. "Thanks kamu mau datang, Gy,"
"Kamu mau aku ngapain?" "Jelaskan padanya kalau kita tidak punya hubungan apa pun." Mata biru Gyan menyipit. "Sama kamu yang tunangannya saja dia nggak percaya. Lalu gimana aku? Bukannya ini malah memperburuk semuanya?" May menggeleng dengan wajah putus asa. Kecerdasannya mendadak raib dihadapkan masalah seperti ini. Biasanya dia yang sering menyudutkan para narasumber yang dia wawancarai. Sekarang wanita itu yang tersudut dan terlihat tak berdaya. Keduanya naik ke lantai 12 hotel yang masih terletak di kawasan Marina Bay itu. Tidak seperti biasanya, malam ini May tampak sedikit pucat. Gyan baru benar-benar memperhatikan jika wanita itu terlihat lebih kurus dari terakhir dia lihat saat menjemputnya di kelab waktu itu. "Berapa usianya?" tanya Gyan menatap sekilas perut May yang masih rata. Wanita itu meraba perutnya. "12 Minggu," ucapnya menunduk. Dia sedikit membuang muka. Menghindari tatapan Gyan. "Aku pasti terlihat makin buruk di mata kamu." "Aku nggak mengatakan begitu.""Ta
108Gyan merasa beberapa hari ke belakang Resta agak mood swing. Puncaknya saat Gyan baru pulang dari Singapore. Gyan pikir gosip di luar sana tidak akan mempengaruhi wanita itu. Namun pria itu cukup terkejut ketika Resta tiba-tiba meledak dan akhirnya menangis. Mungkin Gyan yang memang tak sadar dengan beban yang wanita itu emban lantaran berada di sisinya. Sejak itu Gyan berpikir tidak perlu menunggu lagi untuk menikahi Resta. Gyan pastikan wanita itu tidak akan mendapat omongan tak sedap lagi jika sudah menjadi istrinya kelak. Melihat wanita itu bisa tersenyum seperti biasa lagi membuat Gyan agak lega. Fix, kemarin-kemarin itu hormon pasca datang bulan pasti masih mempengaruhinya. Sehingga wantia itu lebih sensitif dan gampang tersinggung. Namun ada kebiasaan baru yang mungkin ini agak menguntungkan buat Gyan. Gairah wanita itu mudah sekali tersulut. Resta juga tak segan berinisiatif menggodanya lebih dulu. Jika biasanya Gyan yang harus repot membujuk, kali ini dengan senang hati
Suara kekehen di ujung telepon terdengar menyebalkan. Sama sekali tidak ada rasa khawatir sedikit pun tentang apa yang Gyan sampaikan. Beruntung orang itu tidak ada di depannya. Jika iya, satu pukulan saja rasanya belum cukup untuk memberi pelajaran manusia seperti Pram. "Kamu urus sajalah. Bukankah kalian sama-sama masih punya perasaan?" Sialan kan? "Cewek yang lagi koma itu tunangan lo, Bangsat," maki Gyan sudah tidak peduli dengan kesopanan lagi. Pria menjijikan di seberang sana itu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Tawa Pram kembali terdengar. Secuil pun tidak ada rasa simpati. "Mantan," koreksinya. "Kami sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi, kalau kamu mau kembali padanya silakan. Aku tidak peduli." Gyan mengetatkan rahang. Tangannya mengepal, gatal ingin memukul muka orang itu. Dia memejamkan mata sesaat sembari menarik napas panjang. Berharap dengan itu emosinya berkurang. Benarkah tidak ada yang peduli pada May? Bahkan ayah orang tua itu sampai sekarang m
Gyan : Sent pictureGyan : Papi beneran sengaja bikin aku sibuk. Gyan : Kangen ;'( Ini lebih dari apa yang Gyan pikir. Setelah urusan dengan klien di Kuala Lumpur selesai, Daniel tidak membiarkannya langsung pulang ke Indonesia. Dia ditugaskan untuk mengurus masalah pembangunan proyek di Penang yang tersendat. Rencana untuk segera pulang dan cepat ke Semarang gagal total. "Papi harus membayar lebih untuk urusan ini," ujar Gyan agak kesal. Kangennya pada Resta sudah menumpuk lantaran lima hari tidak bertemu."Apa yang kamu mau, Son? Apa yang nggak Papi beri sama kamu?" Gyan berdecak. Faktanya setiap apa yang lelaki itu inginkan, tidak ada yang gratis. Dia harus melakukan sesuatu dulu agar bisa mendapatkan apa yang dia mau. Bahkan sejak masih kecil "Setelah aku pulang nanti berjanjilah papi sama mami meluangkan waktu pergi ke Semarang untuk melamar Resta." "Begitu?" "Pi, aku serius. Ini sudah lama aku rencanakan tapi belum juga terealisasi." "Urusan itu bisa kita bicarakan nant
Derap langkah terdengar keras di wilayah lobi gedung perkantoran Blue Jagland. Ketukan sepatu yang mengentak dan cepat saling bersahutan. Tidak ada yang tidak memperhatikan pria berwajah keras yang tengah berjalan gegas di lobi mewah itu. Pakaiannya serapi biasanya dengan model potongan tiga setel yang sangat apik melekat di tubuhnya. Hanya saja auranya begitu dingin dan mencekam. "Pak Gyan, Anda ditunggu Pak Daniel sekarang." Suara Rendy mengingatkan ketika telunjuk Gyan menekan angka lantai tempat divisinya berada. Gyan menoleh. "Pak Rendy saja yang menghadap presdir. Saya masih ada urusan lain," ujar Gyan lantas memasuki lift, meninggalkan Rendy yang mematung di tempat. Embusan napas pendek terdengar begitu pintu lift tertutup. Rendy berharap bisa beristirahat sejenak di KL sebelum pulang ke Indonesia. Tapi harapannya sirna ketika Gyan meminta langsung pulang siang itu juga begitu misinya selesai. Bagaimana tidak? Nyaris sepuluh hari mereka benar-benar berkutat dengan masalah in
Pintu berpelitur cokelat itu terbuka ketika Gyan mendorongnya perlahan. Saat langkahnya masuk, dada Gyan mendadak bergetar. Kecemasan kembali melingkupi pria itu. Perasaannya benar-benar tidak nyaman. Unit tipe studio ini sama persis saat dia dan Resta melihatnya untuk pertama kali. Meski perabotnya sudah terisi, tapi terasa hampa. Kaki Gyan terayun menuju ke lemari pakaian. Tangannya ragu ketika akan membuka pintu lemari tersebut. Pikiran buruknya terus berjejalan di kepalanya. Lalu perasaan gelisahnya kontan terjawab ketika tidak menemukan apa pun di dalam lemari tersebut. Refleks, Gyan melangkah mundur. Ada sesuatu yang terasa mencubit hatinya. Tidak ingin pikiran buruk kembali menguasai, dia bergegas meninggalkan apartemen Resta untuk menuju ke unitnya sendiri satu lantai di atasnya. Dalam hati Gyan terus meyakinkan diri bahwa Resta ada di sana. Mungkin Resta sedang tidur di bawah selimutnya. Bisa jadi wanita itu memutuskan tinggal satu atap dengannya seperti permintaannya wakt
Dengan alasan lagi ada di dekat kantor nyokapnya Joana, Vino berhasil menggandeng Joana makan siang bersama. Sesuai apa yang pria itu rencanakan. Sudut bibirnya terulas ketika melihat sosok Joana memasuki restoran. Wanita yang memiliki rambut sebatas leher itu mengenakan rok krim selutut dengan atasan dark blue yang kerahnya berpita besar. Heelsnya tidak terlalu tinggi. Vino melambaikan tangannya saat wanita itu melihat ke arahnya. "Tumben banget sih lo ngajakin gue makan. Ketempelan setan mana?" sapa Joana seraya menarik kursi di depan Vino. Pria yang masih kerabat dekat Joana itu terkekeh. "Kebetulan gue abis meeting di daerah sekitar sini. Terus inget gue punya sodara yang punya usaha deketan sini." Joana mencibir. Tanpa malu-malu dia memesan banyak makanan saat waiter datang. "Mumpung ditraktir. Uang lo pasti udah banyak. Kan udah jadi bos sekarang." "Aamin deh kalau gue beneran jadi bos. Eh by the way, Aaron beneran nggak mau kerja di sini? Lo aja akhirnya gabung sama perusah