Laras berjalan santai di tengah keramaian taman kota. Hari ini dia ingin menyegarkan otaknya setelah berdebat lumayan panjang dengan Rere. Langkahnya terhenti di sebuah bangku panjang yang terletak di bawah pohon rindang. Laras duduk dengan satu kaki berpangku pada satu kaki lainnya dan matanya diedarkan ke setiap sudut taman.
"Ramai, ya. Coba di desa ada taman seperti ini, pasti enak setiap sore bisa duduk santai," gumam Laras sembari menikmati udara segar.Mata Laras terhenti pada sepasang kekasih yang sedang bermesraan di bangku seberang tempatnya duduk. Laras tersenyum senang melihat tingkah mereka yang romantis."Apa seperti itu ya, kalau orang pacaran?" Senyumnya mengembang ketika melihat sang pria menggenggam erat tangan sang wanita dengan satu tangan membelai lembut rambut yang tergerai indah terbawa angin.Maklum, selama ini dia belum pernah merasakan pacaran. Laras memang belum pernah merasakan punya pacar. Dia tidak pernah memikirkan hal itu karena dia sibuk membantu bundanya mencari uang dan fokus pada sekolah."Hai, Nona. Boleh aku duduk di sini?" sapa seorang pria berdiri di depan Laras dengan sorof mata memandang Laras penuh harapan agar dia mau mengizinkan duduk.Laras memperhatikan pria itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Matanya terhenti pada wajah tampan pria itu."Ganteng banget!" gumamnya lirih mengagumi ketampanan pria itu. Saking tampannya hingga membuat Laras termangu dengan kepala semakin miring. Laras melamun mengagumi ketampanan pria itu. Maklum, selama di desa dia tidak pernah melihat cowok setampan itu."Nona. Hai, Nona!" Pria itu menggerak-gerakan tangannya di depan wajah Laras yang terkesima padanya. Suaranya juga terbilang keras karena panggilannya tidak mampu membuat Laras segera tersadar dari bengong kagumnya."Nona, kamu sehat?" tanya pria itu lagi."Ah, maaf," ucap Laras salah tingkah. Dia gugup dan segera membenarkan posisi duduknya, padahal tanpa dia benarkan pun duduknya sudah benar."Boleh aku duduk?" tanya pria itu kembali meminta izin pada Laras."Silakan!" sahut Laras sambil menggeser tubuhnya agar pria itu duduk."Namaku, James." Pria itu memperkenalkan diri dan mengulurkan tangan pada Laras. Senyumnya mengembang indah dan sangat manis sehingga kembali membuat Laras semakin gugup dan salah tingkah."Aku Laras," Laras menyambut uluran tangan James dengan tangan sedikit gemetar dan terasa dingin.Susana terasa canggung dan sepi. Laras lebih memilih diam untuk menutupi rasa groginya."Kamu sendirian?" tanya James menoleh Laras dan melihat wajah manisnya."Iya." Jawaban Laras cukup singkat karena dia masih merasa gugup."Di mana rumahmu?""Di ujung jalan itu." Laras menunjuk jalan menuju rumah Bram."Oh." Hanya itu respon James."Kamu mau ice cream?" tanya James saat melihat penjual ice cream di dekat mereka.Laras tidak menjawab, matanya ikut tertuju pada penjual ice itu. Tanpa menunggu persetujuan dari Laras, James berjalan menghampiri penjual es dan membeli dua ice cream. Satu diberikan pada Laras dan satu lagi untuknya."Coklat untukmu karena rasanya manis, semanis wajahmu," ucap James merayu Laras sambil tersenyum.Laras menerima ice pemberian James dengan tersipu malu."Terima kasih."Mereka berdua menikmati manisnya ice cream sambil berbincang. Tidak butuh waktu yang lama untuk menjadi sedikit akrab karena James termasuk orang yang mudah bergaul dan Laras orang yang sangat baik. Senyum dan tawa terdengar di sela percakapan mereka."Ternyata kamu lucu ya, polos sekali," ucap James. Dia tidak menyangka di kota masih menemui cewek sepolos dan lugu seperti Laras."Aku memang baru datang ke kota ini," ucap Laras tersipu malu.Tiba-tiba tangan James menyentuh bibir Laras dengan lembut. Laras terkejut dan diam seribu basa. Matanya menatap wajah tampan James, dadanya berdegup kencang. Seketika itu juga wajahnya mundur menghindari tangan James, tapi tangan pria itu terlanjur menyentuhnya."Kamu seperti anak kecil, makan ice sampai ke luar bibir," ucap James sambil mengelap sisa ice cream di bibir Laras dengan tangannya.Spontan Laras menjadi tersipu malu. Dia pikir James akan melakukan sesuatu yang biasa orang lakukan pada pacarnya. Wajah Laras bersemu merah muda."Maaf," ucap James."Ah, terima kasih. Untung kamu memberitahuku kalau tidak, pasti aku malu bila ada yang lihat.""Santai saja! Lagi pula bukan kamu saja yang sering seperti itu, banyak. Karena memang rasa ice cream ini sangat enak.""Sudah sore, aku harus segera pulang," ucap Laras."Biar aku antar kamu!" ucap James."Terima kasih, tapi tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri lagi pula rumahku tidak jauh dari sini," tolak Laras."Kamu yakin?""Ya.""Ya, sudah kamu hati-hati ya! Aku senang bisa ngobrol dengan wanita secantik kamu," rayu James.Laras tersenyum mendengar pujian James, baru kali ini ada pria yang mengatakan dia cantik.Laras berjalan meninggalkan James yang masih duduk di tempat semula tanpa merubah posisinya. Sesekali Laras menoleh ke arah James dan pria itu tersenyum melihat Laras. Sekali lagi Laras menoleh pada James, tapi kali ini James tidak melihatnya dia sedang asyik ngobrol lewat ponsel dengan seseorang. Entah kenapa ada rasa kecewa dalam hati Laras ketika melihat pria itu tidak menghiraukannya.Laras berjalan santai di trotoar jalan dengan kepala merunduk tanpa memperhatikan sekelilingnya.Sebuah mobil berhenti tepat di samping Laras dan klakson mobil itu berbunyi nyaring sehingga membuat Laras terkejut. Kaca mobil terbuka dan seorang pria memanggilnya."Laras!" panggil pria itu."Kak Bram!" Laras terkejut melihat Bram memanggilnya."Kenapa kamu ada di sini?" tanya Bram dari kaca jendela yang diturunkan."Aku-""Ayo naik!" pinta Bram memotong ucapan Laras.Dengan ragu Laras pun mengikuti perintah Bram."Lain kali jangan ke luar sembarangan! Ini kota besar, berbeda dengan desa." Bram tidak suka Laras pergi ke luar rumah sendirian karena bagaimanapun dia tinggal di rumahnya, itu artinya keselamatan Laras menjadi tanggung jawabnya."Aku hanya bosan di rumah, makanya aku jalan ke taman kota." Laras menyandarkan punggungnya sedikit kesal bila mengingat kebosanannya."Bukannya ada Rere di rumah?" Bram menoleh ke arah Laras sebentar lalu kembali fokus pada jalanan."Dia di kamar terus, lagi pula dia sedang asyik berbicara dengan temannya di handphone.""Siapa?""Mana aku tau."Laras dan Bram sama-sama diam. Dalam pikiran Bram bertanya-tanya tentang ucapan Laras tentang Rere dan teman ngobrolnya.Sesampainya di rumah, Laras langsung menuju kamarnya untuk mandi dan beristirahat, sedangkan Bram tidak langsung masuk kamar, tapi dia berjalan menuju ruang kerjanya yang ada di seberang kamar miliknya.Bram duduk di kursi kerjanya dan menyandarkan kepala. Matanya terpejam sekedar menghilangkan rasa lelah. Setelah beberapa waktu Bram beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamar. Dia membuka pintu.Rere terkejut melihat Bram tiba-tiba masuk dan secara cepat Rere mematikan ponselnya."Hai, Sayang. Sudah pulang?" tanyanya menghampiri Bram."Apa seharian kamu tidak keluar rumah?" tanya Bram dengan nada dingin."Tidak. Aku sedang tidak ingin keluar. Aku menunggumu pulang.""Aneh, kamu tidak bosan seharian di rumah?""Aku hanya ingin bermalas-malasan saja hari ini."Bram menatap Rere. Dia curiga dengan sikap istrinya hari ini. Baru kali ini Rere betah tinggal di rumah. Biasanya dia tidak akan mau di rumah meski hanya satu jam saja bila tidak ada Bram.Setelah mandi dan membersihkan diri, Bram membaringkan tubuhnya di kasur dengan kepala bersandar pada sandaran tempat tidur. Rere mendekatinya dan berbaring di sampingnya dengan menyandarkan kepala pada dada Bram yang lapang.Tangan Rere mulai membelai dada suaminya dan memainkan jemarinya yang lentik."Sayang, besok aku ada pemotretan, kemungkinan aku tidak akan pulang selama dua hari." Rere bersuara sangat lembut ketika dia merayu agar Bram tidak marah."Apa pemotretannya di luar kota sehingga kamu tidak bisa pulang?" tanya Bram dengan nada sedikit sinis karena kesal."Dalam kota sih, tapi jadwalnya sampai larut malam. Kalau harus pulang pergi akan memakan waktu dan lelah, makanya lebih baik aku tidur di hotel saja.""Kenapa tidak kamu tinggalkan pekerjaanmu itu dan bekerjalah di perusahaanku? Kalau hanya memenuhi kebutuhanmu sehari-hari saja aku masih mampu. Untuk biaya kuliah Laras, aku juga bisa mencukupinya," ucap Bram penuh penekanan."Ini bukan masalah uang, Bram!" Rere mulai
Rere pergi dan masuk ke kamarnya. Tidak berselang lama dia keluar dengan membawa tas dan pergi dengan mengendarai mobil meninggalkan rumah. Dari caranya berjalan dan pergi, dapat dipastikan bila kondisi hatinya sedang tidak baik.Laras membereskan cangkir kopi dan teh meski tangannya masih terasa panas dan sakit. Laras mencuci gelas dengan air mata yang menetes di pipinya, bukan karena tidak tahan akan sakit di tangannya, tapi karena hatinya yang terasa sakit. Mendapat perlakuan kasar dari Rere, bukan hanya menyakiti hatinya saja, tetapi juga kulit tangannya. Bahkan Rere melakukannya di depan suaminya sendiri, Bram.Awalnya dia berpikir kalau kemarahan Rere karena Rere sedang mengalami masalah dengan Bram dan Laras ingin memakluminya, tetapi setelah mendengar perkataan Rere yang juga menyakitkan hatinya, Laras tidak bisa menahan perih dalam dirinya.Setelah selesai dia berjalan menuju kamarnya dan duduk di tepi tempat tidur. Sekali lagi gadis itu menangis."Bunda, aku kangen sama bun
Pagi hari Laras sudah rapi karena hari ini dia sudah mulai kuliah. Meski dia harus kuliah tapi gadis itu tidak lupa selalu membuat sarapan dan menyiapkan bekal untuk makan siangnya."Selamat pagi, Kak Rere," sapanya saat melihat Rere turun."Apa kamu melihat Bram?" tanya Rere sembari mengedarkan mata mencari sosok Bram."Kak Bram tadi pagi sudah pergi, Kak." Meski Rere tidak memperhatikannya, tapi Laras tetap melihatnya saat berbicara."Nanti kalau dia mencari aku, katakan kal
Hari ini Bram malas untuk bangun dari tempat tidurnya, tangannya kembali menarik selimut tebal dan menutupi seluruh tubuhnya.Sedangkan Laras, gadis itu sudah sibuk dengan tangannya. Kali ini Laras sedang menyirami bunga di halaman rumah Bram. Gadis itu memang tidak bisa diam, selalu ada yang dia kerjakan.Sebuah mobil memasuki halaman rumah Bram dan berhenti sempurna. Seorang wanita ke luar dari mobil dengan senyum di bibirnya saat melihat Laras.Laras membalas senyum wanita itu dengan sopan dan membungkukkan tubuhnya tanda hormat."Selamat pagi, Nyonya," sapa Laras."Pagi, apa Bram ada di rumah?" tanya wanita itu ramah."Ada, Nyonya, kak Bram sepertinya masih tidur."Wanita itu nampak heran saat mendengar Laras memanggil Bram dengan sebutan kakak. Dia mengerntitkan kedua alis menatap lekat Laras."Siapa namamu?" tanyanya penasaran dan merasa tertarik ingin mengenalnya."Saya Laras, Nyonya," jawab Laras memperkenalkan diri dengan sedikit membungkuk memberi hormat."Panggil aku tante
Makanan sudah terhidang sempurna di atas meja. Laras dengan cekatan merapikan alat masak yang tadi mereka gunakan."Biarkan saja dulu, sebaiknya kita makan dulu baru nanti dibereskan!" ucap Soya melarang saat Laras membereskan dan merapikan alat yang mereka gunakan untuk masak."Ga' apa-apa, Tante. Sambil nunggu kak Bram turun.""Bagaimana kalau kamu panggil saja dia di kamarnya?""Maksud Tante aku harus ke kamar kak Bram?" Wajah Laras dihiasi dengan bola mata yang bulat. Dia tertegun dan sedikit kaget mendengar Soya memintanya ke kamar Bram dan memanggil kakak iparnya itu."Kenapa? Apa kamu keberatan?" Soya menatap lekat Laras dengan tatapan penuh harap agar Laras mau melakukannya."Ah, tidak, Tante. Kalau begitu biar aku panggil kak Bram."Laras merasa tidak enak hati untuk menolak permintaan mama Bram, tapi dia juga merasa kaku untuk memanggil Bram di kamarnya.Meski dipenuhi dengan trasa gugup, Laras akhirnya pergi ke kamar Bram juga. Masih disel
Sejak bertemu dengan Laras, Soya sering mengunjungi dan menginap di rumah Bram. Dia merasa senang dan nyaman bila bersama Laras, bahkan berharap Laras menjadi menantunya.Bram bukan tidak senang mamanya s ering mengunjunginya dan menginap di rumahnya, hanya saja dia merasa salah tingkah setiap kali Soya membicarakan hal yang menjurus pada perjodohan dirinya dengan Laras. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya bila dia sudah menikah dan Laras adalah adik iparnya. Bisa-bisa Bram kena semprot dan Soyta marah besar.Hari ini Soya datang tanpa memberitau Bram atau pun Laras. Saat ini Bram tidak ada di rumah, begitu pula dengan Laras, dia masih kuliah. Soya menunggu kedatangan mereka dengan kegiatan memasak untuk makan malam bersama.Pintu rumah terbuka dan seorang wanita dengan pakaian sexy masuk tanpa permisi. Rere masuk ke dalam rumah tanpa memberi salam, bahkan dia tidak tahu kalau mama Bram ada di rumahnya."Hey! Siapa kamu?" tanya Soya ketika melihat Rere menai
Makan telah usai dan mereka bercengkerama bersama. "Malam ini mama akan menginap di sini." Mata Rere langsung terbuka lebar, begitu pula dengan Bram. Apa yang dikatakan oleh wanita itu membuat kedua orang itu gelisah. Tentu saja gelisah, bila mamanya menginap di sana pasti mereka tidak akan bisa bebas. "Ma, lain kali lagi saja ya," ucap Bram menolak secara halus. Bukan hanya Rere yang gelisah, Bram juga gelisah. Pernikahan mereka tanpa diketahui oleh orang tuanya, kalau malam ini mamanya menginap, artinya mereka harus melakukan sandiwara agar tidak menimbulkan kecurigaan. "Apa kamu mengusir mama?" Ada nada kesal, marah dan kecewa dalam ucapannya. "Bukan begitu, Ma." Bram tidak bisa memberi alasan lagi. Kali ini dia tidak bisa menolak kemauan mamanya. "Kamar di rumah ini hanya ada tiga, Ma. Ada Laras dan juga ada Rere di sini." Bram kembali memberi alasan agar mamanya tidak menginap. "Biarkan Rere tidur sama Laras! Bukannya mereka bersaudara? Atau mama saja yang tidur sama Laras
Soya mendekati dan merangkul pundak Laras. Wanita itu bisa merasakan kepedihan hati Laras."Kita bercerai saja! Aku tidak mau lagi hidup bersama wanita sepertimu." Suara Bram terdengar dingin, namun sangat merasuk dan menusuk setiap hati yang mendengarnya, kecuali Soya. Mama Bram itu jelas tidak memiliki rasa sakit, melainkan malah senang mendengarnya.Mata Rere membulat sempurna. Dia kaget mendengar putusan yang dikatakan oleh Bram."Sayang, kamu tidak bisa melakukan itu. Aku mencintaimu."Rere meraih tangan Bram dan terus membujuknya untuk tidak melakukan perceraian itu. Wajahanya sendu mengisyaratkan kesedihan."Tapi aku sudah tidak mencintaimu lagi." Sekali lagi suara Bram masih terdengar dingin tanpa kompromi dan terkesan tidak ingin mendengarkan rayuan Rere.Karena sikap Bram ini, wajah sedih dan memelas Rere seketika berubah menjadi marah, lalu dengan tatapan penuh kebencian dia menatap tajam Laras."Kenapa Bram? Apa karena wanita itu?" ucap Rere mengangkat dan menunjukkan tanga
Laras terus merintih menahan sakit dan memanggil Bram. Suaminya itu langsung berjalan di sisi kepalanya memegang tangan dan memberikan dukungan pada Laras."Kak, sakit!" rintih Laras sudah tidak tahan lagi menahan rasa sakit dan mulas pada perutnya."Kamu kuat, Sayang," ucap Bram mengusap wajah Laras."Ya, aku pasti kuat, tapi jangan tinggalin aku, Kak!"Bram tersenyum. "Tidak, Sayang. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sedetik pun."Bram menemani Laras dalam proses persalinan. Dia selalu berada di samping istrinya dan selalu memberikan sentuhan dan kecupan yang membuat Laras lebih nyaman saat menghadapai rasa sakit dan mulas dalam perutnya. Grey dan Soya yang mendapatkan kabar dari Joy tentang persalinan Laras langsung menuju rumah sakit. Mereka menunggu dengan cemas, sedangkan di dalam ruang bersalin Laras sedang bertaruh nyawa melahirkan anak bagi Bram dan Bram selalu setia berada di sampingnya hingga terdengar suara tangis bayi yang menggema dan memu
Kehamilan Laras merupakan berita membahagiakan bagi Bram dan keluarga Grey. Saat Bram mengatakan bila Laras telah hamil dan saat ini usia kehamilannya sudah memasuki usia 24 minggu, maka kabar suka cita ini langsung tersebar ke seluruh perusahaan Bram.Selama kehamilan Laras, Bram selalu menjadi suami SIAGA, siap, antar, jaga. Seluruh keinginan Laras selalu saja dituruti, bahkan bila istrinya tidak mau makan, Bram akan memaksa dan mencari cara agar istrinya mau makan.Bram tidak melarang Laras untuk tetap bekerja, hanya saja Bram menempatkan pekerjaan istrinya berdampingan dengannya. Bram ingin setiap saat bisa menemani Laras. Meski istrinya itu termasuk wanita yang mandiri, tapi tetap saja Laras membutuhkan dirinya. Laras sendiri tidak mau terlalu mandiri, dia tetap menghargai Bram sebagai suami dan bisa menempatkan diri di mana dia bisa bermanja dan di mana dia harus mandiri.“Sayang, sekarang kamu mau makan apa?” tanya Bram saat mereka dalam perjalanan pulang.“Ak
Bram menjemput Laras sepulang kuliah. Sejak saat kejadian itu Bram tidak membiarkan istrinya pergi sendirian. Meski Rere telah mati dan tidak akan ada lagi yang mengganggunya, tapi Bram masih tidak mau membiarkan Laras pergi dan pulang kuliah sendirian."Kak, kita mau ke mana?"Laras heran saat Bram melajukan mobilnya bukan pada jalan arah ke rumah mereka. Bram tersenyum dengan menggenggam erat tangan istrinya. Bukan hanya menggenggam saja, Bram sekarang hobi memberi kecupan manis pada punggung tangan Laras."Ikut saja! Nanti juga kamu akan tau, Sayang.""Kak, kenapa ada rahasia? Bukankah suami istri tidak boleh ada rahasia?" Laras cemberut."Bukan rahasia, Sayang. Ini namanya sebuah kejutan." Bram mencium kembali tangan Laras."Kejutan? Kejutan apa, Kak?" Laras penasaran. Mendengar kata kejutan, bola mata Laras berbinar. Dia paling suka bila Bram memberinya kejutan karena kejutan yang Bram berikan selalu saja mampu membuatnya bahagia dan terharu."K
Hampir dua minggu sejak kejadian itu. Dua minggu sejak kematian Rere. Kini Laras telah menjalani kehidupan normalnya. Istri kecil Bram sudah menjalani kuliah kembali. Dengan setia dan sabar Bram mendampingi Laras menghilangkan rasa traumanya."Kak, nanti aku pulang agak siang karena hari ini hanya ada satu mata kuliah saja," ucap Laras sebelum turun dari mobilnya."Nanti aku akan menjemputmu.""Ga usah, Kak. Biar aku naik taksi saja. Bukankah hari ini Kakak ada rapat?""Astaga! Aku lupa Sayang. Bagaimana kalau sopir kantor saja yang menjemputmu? Setelah itu kamu ke kantor dan kita bisa pulang bareng.""Apa tidak masalah aku ke kantor Kakak?" Laras ragu."Sayang, kamu itu istriku sekarang. Siapa yang akan melarangmu datang ke kantor suamimu ini?" Bram membelai rambut Laras lembut.Wajah Laras merona karena malu dengan perhatian suaminya. Senyum Bram terasa lebih menyentuh lubuk rasa yang terdalam. Entahlah, saat itu Laras merasakan kebahagiaan yang tak ter
"Kak, ini rumah siapa?"Laras heran melihat rumah besar dan mewah di depan matanya.Laras bingung kenapa Bram tidak membawanya pulang ke rumah yang biasa mereka tempati sebelum mereka menikah. Rumah itu bukan rumah biasanya dan juga bukan rumah mertuanya. Rumah yang asing dan bisa dibilang lebih bagus dari rumah yang biasa mereka tempati."Kemarilah!" Bram menarik tangan Laras dan melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Laras. Senyumnya mengembang simpul, namun wajah Bram terlihat lebih tampan dan sejuk."Ish, kenapa pinggangmu menjadi sangat kecil?" Bram menggoda Laras. Dia memperhatikan istrinya dengan memeriksa pinggang ramping Laras. Tubuh Laras memang sedikit menyusut setelah dirawat di rumah sakit."Kakak, jangan mengejekku!" Laras tersenyum malu-malu. Pipinya semu memerah bak tomat buah ranum membuat Bram semakin gemas."Jangan tersenyum seperti itu! Aku jadi gemas ingin memakan wajahmu." Bram mencubit pipi Laras dengan cubitan kecil dan mesra.
Bram menutup matanya sampai suara teriakan Laras menghilang. Pria itu terdiam terpaku tanpa bergerak sedikit pun. Hati dan hidupnya hancur. Dunia seakan berubah gelap gulita seketika itu juga.Suara isak tangis memaksa pria itu berlahan memberanikan diri membuka matanya."Laras!" Bram kembali berlari mendekati gadis yang tersungkur memeluk erat tubuh Rere.Dia pikir Laras yang tumbang karena ulah Rere, tapi nyatanya Rere yang tertembus timah panas dari anak buah Mico. Laras membawa kepala kakak tirinya ke atas pangkuannya. Gadis itu mendekap erat Rere."Laras," panggilnya tersungkur langsung memeluk erat tubuh gadis itu."Kak, bangunlah!" ucap Laras dalam isak tangisnya.Laras mencoba membangunkan kakak tirinya.Pria yang sedari tadi hanya berdiri terpaku menyaksikan putrinya tumbang perlahan berjalan mendekat dan terjatuh dengan lutut sebagai tumpuannya."Ayah," panggil Rere di sisa napasnya."Sayang." Perlahan pria itu mengusap lembut wajah putr
"Jangan bergerak!" Teriakan Mico membuat dua pria yang sedang menggagahi Laras terkejut dan langsung memutar tubuhnya.Dua pria kekar itu menciut nyalinya. Dengan patuh mereka mengangkat tangan dan menyerah. Anak buah Mico langsung meringkus dia pria kekar itu. Berbeda dengan Rere, saat mengetahui ada polisi datang, wanita itu langsung beranjak dan menyahut tubuh Laras.Rere menjadikan Laras sebagai sandera untuk melindungi dirinya. Mata wanita itu sudah gelap dengan napsu pembunuh. Napasnya terdengar kasar dan panas mengenai kulit Laras."Jangan mendekat!" ancamnya pada Mico dan yang lainnya.Satu tangan wanita itu mencengkeram leher Laras dengan lengannya, sedangkan satu tangannya lagi menodongkan senjata tajam pada leher Laras dan siap menggores kulit mulus yang membalut leher jenjang adik tirinya."Rere, aku mohon jangan sakiti Laras!" ucap Bram saat tiba di tempat itu dengan napas tersengal.Bukannya melepaskan Laras saat Bram datang, Rere semakin t
"Cepat bawa gadis itu masuk!" teriak seseorang dari arah berlawanan."Baik, Bos."Dua pria kekar yang membawa tubuh Laras masuk ke dalam sebuah gudang yang berantakan. Banyak tumpukan barang bekas dan kotak-kotak besar yang telah usang di sana. Udaranya sangat pengap dan bau debu menusuk hidung.Dengan sangat kasar pria itu membanting tubuh Laras yang terkulai lemah di atas sebuah tumpukan kardus. Tawa keras dan puas terdengar menggelegar dari ketiga orang yang berdiri di dekat Laras."Kalau aku tidak bisa memiliki Bram lagi, kamu juga tidak akan bisa memilikinya gadis kampung."Lagi-lagi tawa menakutkan terdengar dari bibir merah merekah wanita yang menyimpan dendam terhadap gadis itu. Dendam yang akan terbayarkan ketika melihat gadis itu sengsara dan memohon di kakinya."Ikat tangan dan kakinya, jangan sampai gadis ini terlepas!""Baik, Bos."Dengan sangat cepat dua pria kekar itu melaksanakan perintah dari bosnya. Dengan cepat pula mereka sudah mel
Suasana tempat ruang pesta telah dipadati para tamu undangan baik dari rekan bisnis Bram maupun rekan bisnis orang tuanya. Meskipun ini pernikahan kedua bagi Bram, tapi ini merupakan resepsi pertama dan akan menjadi pernikahan yang terakhir baginya dan Laras.Malam ini Laras mengenakan gaun putih dengan jumbai tidak terlalu panjang. Gadis sederhana itu tidak memilih gaun yang terlalu ribet dan mewah. Laras lebih suka mengenakan gaun yang simpel tapi tidak terkesan murahan dan tetap terlihat elegan dan mengundang decak kagum.Kecantikannya mengalahkan kecantikan ratu sejagad, apalagi bagi Bram. Kecantikan wanita yang baru menjadi istrinya beberapa jam yang lalu merupakan kecantikan yang sempurna dan tiada tandingnya. Bukan hanya kecantikan luar saja, tapi Bram lebih terpesona dengan kecantikan hati istrinya.Bram menuntun Laras memasuki ruang pesta dengan langkah bak pangeran dan putri kerajaan. Semua mata tertuju pada mereka, semua bibir mengucapkan kekaguman akan kecant