Laras sudah bangun pagi ini, rumah itu masih terlihat sepi. Hanya Laras yang sudah sibuk di dapur untuk membuat sarapan yang lainnya masih terlelap dalam mimpi indah. "Laras, kamu sudah bangun?" sapa Bram yang baru turun dari tangga. "Sudah, Kak. Kakak mau aku buatkan kopi?" Laras menoleh dan memberikan satu senyuman untuk menyapa Bram. "Boleh, tapi aku mau mandi dan bersiap dulu. Hari ini aku ada rapat pagi di kantor." Bram menatapnya lekat membalas senyuman Laras. "Baik, Kak." Bram kembali berjalan menaiki anak tangga dan bersiap-siap. Sedangkan Laras masih sibuk dengan rutinitasnya. Setelah selesai dan semua beres, Laras masuk ke dalam kamar dan bersiap untuk kuliah. Laras keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi dan beberapa buku dalam tangannya. Dia telah siap untuk melakukan rutinitas hariannya, kuliah. Mereka duduk di meja makan sambil menikmati sarapan pagi. "Kak, apa kak Rere tidak ikut kita sarapan?" Laras heran kenapa Rere tidak ada bersama mereka. Laras mengarahkan
Saat keluar dari ruang belajar, Pits sudah menunggu Laras di depan pintu."Pits?" Laras heran dan bingung melihat Pits."Kita pulang bareng." Pits segera meraih tangan Laras dan menggandengnya tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dia juga tidak peduli dengan setiap mata yang melihat."Pits, jangan lepaskan!" Laras berusaha menepis tangan Pits, tetapi pria itu malah semakin erat menggenggamnya dan membaawanya berjalan.Pits juga meminta Laras segera naik ke atas motornya."Begini!" Pits menuntut tangan Laras melingkari pinggangnya.Laras memeluk erat pinggang pria di depannya, sebenarnya dia tidak ingin melakukan itu tapi Pits memaksanya. Laras merasa canggung, selama ini dia tidak dekat dengan pria itu. Pits melajukan motornya dengan santai, pria itu ingin menikmati kebersamaannya dengan Laras. "Bagaimana kalau kita makan dulu?" ucap Pits dari motornya. "Terserah kamu," ucap Laras pasrah. Pits menghentikan motornya di depan rumah makan sederhana
Hubungan antara Laras dan Pits semakin dekat, hal itu membuat Bram merasa gundah. Pria itu menjadi urung-uringan setiap hari, baik di kantor maupun di rumah. Tidak jarang Laras pun terkena imbasnya. Seperti pagi ini, Laras sudah menyiapkan sarapan dan membereskan rumah. Gadis itu sudah bersiap untuk berangkat kuliah. Saat melintasi Bram, Laras enggan untuk menyapanya karena beberapa hari ini Bram selalu cuek padanya. "Aku akan mengantarmu," ucap Bram tiba-tiba. "Tapi aku sudah dijemput Pits, Kak." "Tidak ada bantahan!" Bram menarik tangan Laras dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sebelum masuk, Bram melihat ke arah Pits dengan wajah marah. Pits membalas pandangan mata Bram dengan tajam pula. Bram berjalan menghampiri pria dengan kuda besinya. "Mulai sekarang aku yang akan antar jemput Laras. Terima kasih selama ini kamu sudah menjaganya," ucap Bram penuh penekanan. "Jangan memaksakan kehendak Anda, Tuan! Laras tidak menyukaimu, dia lebih
Seperti biasa pagi ini Laras bersiap untuk ke kampus. dia berjalan ke luar kamarnya. Saat dia berjalan hendak keluar rumah, Bram sudah mengikutinya dari belakang dan langsung memeluk pinggang rampingnya. Laras seketika terkejut dan berbalik memukulnya dengan buku yang dia bawa. "Dasar kurang ajar!" ucap Laras sambil memukul keras. "Ampun!" teriak Bram sambil melindungi kepalanya dengan tangan. "Kak Bram?" Laras berhenti memukul. Laras kesal dan kaget karena Bram tiba-tiba memeluknya. "Kamu galak banget." Bram mengusap bagian tubuhnya yang menjadi sasaran empuk pukulan Laras. "Lagian Kakak main peluk saja. Aku kaget Kak." Laras tersipu malu. "Maaf. Berarti aku berhasil donk sudah membuat kejutan untukmu." Bram masih saja menggoda Laras dengan kedipan matanya yang genit. "Apaan sih, Kakak ini?" ucap Laras malu. Pipinya serta merta langsung merona membuat Bram semakin gemas dan mencubitnya. "Sakit, Kak." Laras menepis tangan Bram
Bagai singa kelaparan Pits terus bergumul mencoba menguasai tubuh Laras. Gadis itu semakin kehilangan tenaga. Bukk! Tubuh Pits terjungkal di atas lantai kasar. Amarah dan tatapan tajam Bram seolah ingin melahap habis pria yang sudah berani menyentuh Laras. Suara deru napasnya memburu. "Sialan!" maki Pits memegang kepalanya yang sakit setelah tersadar apa yang telah memukulnya.Pits berdiri menguatkan kakinya. Matanya merah marah karena Bram sudah menghentikan gairah napsu bejatnya. "Berani kamu menyentuhnya!" Bram sangat marah. Pits menyeringai sadis. "Ternyata sang pangeran datang juga. Halo Kakak ipar, akhirnya kamu datang juga," ucap Pits sambil tertawa lepas. "Dasar manusia rusak!" Bram semakin marah mendengar sapaan Pits.Tanpa banyak bicara Pits maju menyerang Bram dengan membabi-buta. Bram yang memang pernah pelatihan karate dengan mudah dapat melumpuhkan Pits. Pria itu berhasil dibekuk. Polisi yang sebelumnya sudah dihubungi oleh Br
Rere membayar orang untuk mencelakai Laras adik tirinya. Dia berharap bisa menghilangkan Laras dan membuatnya jera. Entah dendam apa yang membuat Rere tega melakukan itu, tapi yang jelas wanita itu sakit hati karna Bram lebih memilih adik tirinya sebagai penggantinya. Awalnya Rere menerima kesalahannya yang menyebabkan dirinya dan Bram bercerai. Rere tidak akan mencampuri kehidupan Bram, seandainya bukan Laras yang menjadi kekasih Bram. Kini ceritanya berbeda saat dia mendengar bahwa Laras yang akan menggantikan posisinya. Dengan rencana yang dia pikir sudah matang, orang-orang bayaran Laras mulai bergerak. Beberapa hari sebelum aksinya dijalankan, beberapa orang telah mengikuti Laras dan memperhatikan kebiasaannya. Mereka mengalami kesulitan karna Bram selalu mengantar dan menjemputya di waktu kuliah. Bahkan Bram tidak membiarkan Laras keluar rumah sendiri. Belajar dari pengalaman yang pernah terjadi, Bram semakin ketat menjaga Laras. Sebenarnya gadis itu tidak mau diperlakukan sep
Suasana kampus sudah sepi, para mahasiswa satu persatu meninggalkan kampus. Bahkan jam kuliah sore pun nampak lengang. Seorang gadis masih setia berdiri menanti jemputan. Sesekali matanya melihat ke arah arloji di tangannya.Gadis itu nampak sangat gelisah, seolah sedang menunggu seseorang. Tangan gadis itu menenteng beberapa buku yang bisa dibilang lumayan banyak.Dengan sedikit kesulitan, gadis itu mencoba mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Butuh kerja ekstra rupanya untuk mendapatkan benda yang kini nagkring di tangannya.Dengan cepat, dia menekan nomor pada ponselnya dan mendekatkan ponselnya pada telinga sebelah kanan. Sekali lagi dia menekan nomor yang sama, tidak ada jawaban."Tumben banget sih kak Bram telat jemputnya, mana ga diangkat juga teleponnya," ucap gadis itu dengan wajah mulai kesal.Untuk beberapa saat gadis itu masih setia menunggu. Hingga jarum jam menunjuk pada angka enam sore."Apa aku pulang sendiri saja ya? Iyalah aku pulang sendiri saja, lebih baik aku pesa
Sudah tiga hari Laras menantikan Bram untuk tersadar. Gadis polos itu selalu bergantian dengan mamanya Bram menunggu pria itu di Rumah Sakit. Kesedihan selalu nampak pada wajah cantik Laras.Setiap kali jam besuk, Laras selalu mengajak Bram berbicara. Gadis itu berharap dengan berbicara dengannya maka akan membantu mempercepat proses bangunnya Bram.Tidak ada kata putus asa dalam hati gadis cantik itu dalam menemani dan menanti Bram untuk sadar. Bahkan gadis itu rela tidur di kursi tunggu Rumah Sakit.Soya, mamanya Bram selalu menyuruhnya untuk beristirahat dan fokus pada kuliahnya, tapi Laras selalu menolak. Dia tetap berkeras kepala untuk menggantikan wanita setengah baya itu untuk menunggu Bram."Laras," panggil seorang wanita dari arah belakang."Kak Rere," ucapnya terkejut saat melihat kakak tirinya berdiri di belakangnya."Bagaimana keadaan Bram?""Kak Bram masih belum sadar, Kak. Dia masih menggunakan mesin untuk membantunya bernapas," ucapnya sedi
Laras terus merintih menahan sakit dan memanggil Bram. Suaminya itu langsung berjalan di sisi kepalanya memegang tangan dan memberikan dukungan pada Laras."Kak, sakit!" rintih Laras sudah tidak tahan lagi menahan rasa sakit dan mulas pada perutnya."Kamu kuat, Sayang," ucap Bram mengusap wajah Laras."Ya, aku pasti kuat, tapi jangan tinggalin aku, Kak!"Bram tersenyum. "Tidak, Sayang. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sedetik pun."Bram menemani Laras dalam proses persalinan. Dia selalu berada di samping istrinya dan selalu memberikan sentuhan dan kecupan yang membuat Laras lebih nyaman saat menghadapai rasa sakit dan mulas dalam perutnya. Grey dan Soya yang mendapatkan kabar dari Joy tentang persalinan Laras langsung menuju rumah sakit. Mereka menunggu dengan cemas, sedangkan di dalam ruang bersalin Laras sedang bertaruh nyawa melahirkan anak bagi Bram dan Bram selalu setia berada di sampingnya hingga terdengar suara tangis bayi yang menggema dan memu
Kehamilan Laras merupakan berita membahagiakan bagi Bram dan keluarga Grey. Saat Bram mengatakan bila Laras telah hamil dan saat ini usia kehamilannya sudah memasuki usia 24 minggu, maka kabar suka cita ini langsung tersebar ke seluruh perusahaan Bram.Selama kehamilan Laras, Bram selalu menjadi suami SIAGA, siap, antar, jaga. Seluruh keinginan Laras selalu saja dituruti, bahkan bila istrinya tidak mau makan, Bram akan memaksa dan mencari cara agar istrinya mau makan.Bram tidak melarang Laras untuk tetap bekerja, hanya saja Bram menempatkan pekerjaan istrinya berdampingan dengannya. Bram ingin setiap saat bisa menemani Laras. Meski istrinya itu termasuk wanita yang mandiri, tapi tetap saja Laras membutuhkan dirinya. Laras sendiri tidak mau terlalu mandiri, dia tetap menghargai Bram sebagai suami dan bisa menempatkan diri di mana dia bisa bermanja dan di mana dia harus mandiri.“Sayang, sekarang kamu mau makan apa?” tanya Bram saat mereka dalam perjalanan pulang.“Ak
Bram menjemput Laras sepulang kuliah. Sejak saat kejadian itu Bram tidak membiarkan istrinya pergi sendirian. Meski Rere telah mati dan tidak akan ada lagi yang mengganggunya, tapi Bram masih tidak mau membiarkan Laras pergi dan pulang kuliah sendirian."Kak, kita mau ke mana?"Laras heran saat Bram melajukan mobilnya bukan pada jalan arah ke rumah mereka. Bram tersenyum dengan menggenggam erat tangan istrinya. Bukan hanya menggenggam saja, Bram sekarang hobi memberi kecupan manis pada punggung tangan Laras."Ikut saja! Nanti juga kamu akan tau, Sayang.""Kak, kenapa ada rahasia? Bukankah suami istri tidak boleh ada rahasia?" Laras cemberut."Bukan rahasia, Sayang. Ini namanya sebuah kejutan." Bram mencium kembali tangan Laras."Kejutan? Kejutan apa, Kak?" Laras penasaran. Mendengar kata kejutan, bola mata Laras berbinar. Dia paling suka bila Bram memberinya kejutan karena kejutan yang Bram berikan selalu saja mampu membuatnya bahagia dan terharu."K
Hampir dua minggu sejak kejadian itu. Dua minggu sejak kematian Rere. Kini Laras telah menjalani kehidupan normalnya. Istri kecil Bram sudah menjalani kuliah kembali. Dengan setia dan sabar Bram mendampingi Laras menghilangkan rasa traumanya."Kak, nanti aku pulang agak siang karena hari ini hanya ada satu mata kuliah saja," ucap Laras sebelum turun dari mobilnya."Nanti aku akan menjemputmu.""Ga usah, Kak. Biar aku naik taksi saja. Bukankah hari ini Kakak ada rapat?""Astaga! Aku lupa Sayang. Bagaimana kalau sopir kantor saja yang menjemputmu? Setelah itu kamu ke kantor dan kita bisa pulang bareng.""Apa tidak masalah aku ke kantor Kakak?" Laras ragu."Sayang, kamu itu istriku sekarang. Siapa yang akan melarangmu datang ke kantor suamimu ini?" Bram membelai rambut Laras lembut.Wajah Laras merona karena malu dengan perhatian suaminya. Senyum Bram terasa lebih menyentuh lubuk rasa yang terdalam. Entahlah, saat itu Laras merasakan kebahagiaan yang tak ter
"Kak, ini rumah siapa?"Laras heran melihat rumah besar dan mewah di depan matanya.Laras bingung kenapa Bram tidak membawanya pulang ke rumah yang biasa mereka tempati sebelum mereka menikah. Rumah itu bukan rumah biasanya dan juga bukan rumah mertuanya. Rumah yang asing dan bisa dibilang lebih bagus dari rumah yang biasa mereka tempati."Kemarilah!" Bram menarik tangan Laras dan melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Laras. Senyumnya mengembang simpul, namun wajah Bram terlihat lebih tampan dan sejuk."Ish, kenapa pinggangmu menjadi sangat kecil?" Bram menggoda Laras. Dia memperhatikan istrinya dengan memeriksa pinggang ramping Laras. Tubuh Laras memang sedikit menyusut setelah dirawat di rumah sakit."Kakak, jangan mengejekku!" Laras tersenyum malu-malu. Pipinya semu memerah bak tomat buah ranum membuat Bram semakin gemas."Jangan tersenyum seperti itu! Aku jadi gemas ingin memakan wajahmu." Bram mencubit pipi Laras dengan cubitan kecil dan mesra.
Bram menutup matanya sampai suara teriakan Laras menghilang. Pria itu terdiam terpaku tanpa bergerak sedikit pun. Hati dan hidupnya hancur. Dunia seakan berubah gelap gulita seketika itu juga.Suara isak tangis memaksa pria itu berlahan memberanikan diri membuka matanya."Laras!" Bram kembali berlari mendekati gadis yang tersungkur memeluk erat tubuh Rere.Dia pikir Laras yang tumbang karena ulah Rere, tapi nyatanya Rere yang tertembus timah panas dari anak buah Mico. Laras membawa kepala kakak tirinya ke atas pangkuannya. Gadis itu mendekap erat Rere."Laras," panggilnya tersungkur langsung memeluk erat tubuh gadis itu."Kak, bangunlah!" ucap Laras dalam isak tangisnya.Laras mencoba membangunkan kakak tirinya.Pria yang sedari tadi hanya berdiri terpaku menyaksikan putrinya tumbang perlahan berjalan mendekat dan terjatuh dengan lutut sebagai tumpuannya."Ayah," panggil Rere di sisa napasnya."Sayang." Perlahan pria itu mengusap lembut wajah putr
"Jangan bergerak!" Teriakan Mico membuat dua pria yang sedang menggagahi Laras terkejut dan langsung memutar tubuhnya.Dua pria kekar itu menciut nyalinya. Dengan patuh mereka mengangkat tangan dan menyerah. Anak buah Mico langsung meringkus dia pria kekar itu. Berbeda dengan Rere, saat mengetahui ada polisi datang, wanita itu langsung beranjak dan menyahut tubuh Laras.Rere menjadikan Laras sebagai sandera untuk melindungi dirinya. Mata wanita itu sudah gelap dengan napsu pembunuh. Napasnya terdengar kasar dan panas mengenai kulit Laras."Jangan mendekat!" ancamnya pada Mico dan yang lainnya.Satu tangan wanita itu mencengkeram leher Laras dengan lengannya, sedangkan satu tangannya lagi menodongkan senjata tajam pada leher Laras dan siap menggores kulit mulus yang membalut leher jenjang adik tirinya."Rere, aku mohon jangan sakiti Laras!" ucap Bram saat tiba di tempat itu dengan napas tersengal.Bukannya melepaskan Laras saat Bram datang, Rere semakin t
"Cepat bawa gadis itu masuk!" teriak seseorang dari arah berlawanan."Baik, Bos."Dua pria kekar yang membawa tubuh Laras masuk ke dalam sebuah gudang yang berantakan. Banyak tumpukan barang bekas dan kotak-kotak besar yang telah usang di sana. Udaranya sangat pengap dan bau debu menusuk hidung.Dengan sangat kasar pria itu membanting tubuh Laras yang terkulai lemah di atas sebuah tumpukan kardus. Tawa keras dan puas terdengar menggelegar dari ketiga orang yang berdiri di dekat Laras."Kalau aku tidak bisa memiliki Bram lagi, kamu juga tidak akan bisa memilikinya gadis kampung."Lagi-lagi tawa menakutkan terdengar dari bibir merah merekah wanita yang menyimpan dendam terhadap gadis itu. Dendam yang akan terbayarkan ketika melihat gadis itu sengsara dan memohon di kakinya."Ikat tangan dan kakinya, jangan sampai gadis ini terlepas!""Baik, Bos."Dengan sangat cepat dua pria kekar itu melaksanakan perintah dari bosnya. Dengan cepat pula mereka sudah mel
Suasana tempat ruang pesta telah dipadati para tamu undangan baik dari rekan bisnis Bram maupun rekan bisnis orang tuanya. Meskipun ini pernikahan kedua bagi Bram, tapi ini merupakan resepsi pertama dan akan menjadi pernikahan yang terakhir baginya dan Laras.Malam ini Laras mengenakan gaun putih dengan jumbai tidak terlalu panjang. Gadis sederhana itu tidak memilih gaun yang terlalu ribet dan mewah. Laras lebih suka mengenakan gaun yang simpel tapi tidak terkesan murahan dan tetap terlihat elegan dan mengundang decak kagum.Kecantikannya mengalahkan kecantikan ratu sejagad, apalagi bagi Bram. Kecantikan wanita yang baru menjadi istrinya beberapa jam yang lalu merupakan kecantikan yang sempurna dan tiada tandingnya. Bukan hanya kecantikan luar saja, tapi Bram lebih terpesona dengan kecantikan hati istrinya.Bram menuntun Laras memasuki ruang pesta dengan langkah bak pangeran dan putri kerajaan. Semua mata tertuju pada mereka, semua bibir mengucapkan kekaguman akan kecant