Rere membayar orang untuk mencelakai Laras adik tirinya. Dia berharap bisa menghilangkan Laras dan membuatnya jera. Entah dendam apa yang membuat Rere tega melakukan itu, tapi yang jelas wanita itu sakit hati karna Bram lebih memilih adik tirinya sebagai penggantinya. Awalnya Rere menerima kesalahannya yang menyebabkan dirinya dan Bram bercerai. Rere tidak akan mencampuri kehidupan Bram, seandainya bukan Laras yang menjadi kekasih Bram. Kini ceritanya berbeda saat dia mendengar bahwa Laras yang akan menggantikan posisinya. Dengan rencana yang dia pikir sudah matang, orang-orang bayaran Laras mulai bergerak. Beberapa hari sebelum aksinya dijalankan, beberapa orang telah mengikuti Laras dan memperhatikan kebiasaannya. Mereka mengalami kesulitan karna Bram selalu mengantar dan menjemputya di waktu kuliah. Bahkan Bram tidak membiarkan Laras keluar rumah sendiri. Belajar dari pengalaman yang pernah terjadi, Bram semakin ketat menjaga Laras. Sebenarnya gadis itu tidak mau diperlakukan sep
Suasana kampus sudah sepi, para mahasiswa satu persatu meninggalkan kampus. Bahkan jam kuliah sore pun nampak lengang. Seorang gadis masih setia berdiri menanti jemputan. Sesekali matanya melihat ke arah arloji di tangannya.Gadis itu nampak sangat gelisah, seolah sedang menunggu seseorang. Tangan gadis itu menenteng beberapa buku yang bisa dibilang lumayan banyak.Dengan sedikit kesulitan, gadis itu mencoba mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Butuh kerja ekstra rupanya untuk mendapatkan benda yang kini nagkring di tangannya.Dengan cepat, dia menekan nomor pada ponselnya dan mendekatkan ponselnya pada telinga sebelah kanan. Sekali lagi dia menekan nomor yang sama, tidak ada jawaban."Tumben banget sih kak Bram telat jemputnya, mana ga diangkat juga teleponnya," ucap gadis itu dengan wajah mulai kesal.Untuk beberapa saat gadis itu masih setia menunggu. Hingga jarum jam menunjuk pada angka enam sore."Apa aku pulang sendiri saja ya? Iyalah aku pulang sendiri saja, lebih baik aku pesa
Sudah tiga hari Laras menantikan Bram untuk tersadar. Gadis polos itu selalu bergantian dengan mamanya Bram menunggu pria itu di Rumah Sakit. Kesedihan selalu nampak pada wajah cantik Laras.Setiap kali jam besuk, Laras selalu mengajak Bram berbicara. Gadis itu berharap dengan berbicara dengannya maka akan membantu mempercepat proses bangunnya Bram.Tidak ada kata putus asa dalam hati gadis cantik itu dalam menemani dan menanti Bram untuk sadar. Bahkan gadis itu rela tidur di kursi tunggu Rumah Sakit.Soya, mamanya Bram selalu menyuruhnya untuk beristirahat dan fokus pada kuliahnya, tapi Laras selalu menolak. Dia tetap berkeras kepala untuk menggantikan wanita setengah baya itu untuk menunggu Bram."Laras," panggil seorang wanita dari arah belakang."Kak Rere," ucapnya terkejut saat melihat kakak tirinya berdiri di belakangnya."Bagaimana keadaan Bram?""Kak Bram masih belum sadar, Kak. Dia masih menggunakan mesin untuk membantunya bernapas," ucapnya sedi
Sudah satu bulan lebih penantian Laras dan keluarga menunggu Bram untuk bangun. Jadi sudah satu bulan pria tampan itu tidak sadarkan diri dan terbaring lemah di ruang ICU sumah sakit. Tidak adanya perkembangan pada kesehatan lelaki itu membuat keluarga semakin putus asa dan pasrah.Hari itu hanya Laras yang selalu menemani tubuh pria yang terkulai tak berdaya, sedangkan keluarganya sedang mengurus perusahaan yang ditinggalkan oleh Bram selama pria itu tidak sadarkan diri.Sore hari, keluarga Bram menemui dokter yang merawat putranya. Mereka melakukan diskusi tentang kondisi putranya yang sampai saat ini tidak ada perkembangan sama sekali."Maaf, Tuan dan Nyonya, sepertinya keadaan putra Anda sudah tidak ada harapan lagi. Sampai sekarang pasien tidak juga menunjukkan perkembangan. Hal ini bisa menjadi pertimbangan untuk keluarga, apakah akan tetap membiarkan pasien seperti ini terus menerus atau akan melepas semua alat yang ada pada tubuhnya," ucap dokter berusaha menjela
Para tim medis sedang sibuk membereskan alat-alat yang ada pada Bram. Sedangkan dokter memberi penjelasan pada keluarga tentang kematian pasien.Tanpa menunggu dokter selesai menjelaskan, Laras langsung berlari memeluk tubuh Bram yang masih terpasang alat monitor."Kak, jangan tinggalin Laras sendiri," ucap gadis itu sembari menangis memeluknya erat."Kamu jahat, Kak!"Gadis itu terus menangis dan memanggil nama Bram. Soya dan suaminya mendekati gadis itu. Wanita itu pun turut menangis dan memeluk tubuh putranya yang terbujur lemah."Nak, ikhlaskan Bram," ucap Grey, papanya Bram."Laras belum bisa ikhlas, Om. Laras mencintai kak Bram.""Aku tau, Nak, tapi kita harus mengikhlaskannya. Biarkan Bram pergi dengan tenang.""Pa, Bram anak kita satu-satunya," ucap Soya dalam tangisnya."Ma, sabar.""Aku tidak akan mengampuni orang yang sudah membuat putraku celaka. Aku akan menghukumnya, kalau perlu dia juga harus mati," ucap Grey penuh dendam."
Dua hari sejak Bram mulai kembali bisa bernapas spontan, Laras masih setia menunggunya untuk sadar. Gadis itu rela meninggalkan jam kuliahnya demi ingin melihat kekasihnya tersadar. Dia ingin saat Bram tersadar orang pertama yang Bram lihat adalah dirinya.Rasa lelah memang sedang menghampiri dirinya. Dua malam ini Laras hampir tidak memejamkan matanya. Gadis itu ingin selalu terjaga menanti sebuah keajaiban selanjutnya."Laras," panggil seorang wanita di belakangnya."Kakak." Wajah Laras terkejut."Sepertinya kamu sangat lelah. Pulanglah untuk istirahat! Biar aku yang menggantikanmu untuk menjaga Bram.""Tidak, Kak. Aku tidak mau meninggalkan kak Bram. Aku ingin melihatnya tersadar.""Bram pasti akan sedih kalau melihat wajahmu seperti ini. Lihatlah wajahmu sangat kusut dan lingkar matamu sangat jelas. Apa kamu mau kalau Bram sadar nanti dia bersedih karena melihatmu seperti ini?"Gadis itu berpikir sebentar. Benar juga yang dikatakan Rere, Bram tid
Kesehatan Bram semakin membaik, bahkan hari ini dokter sudah memperbolehkan pria itu pulang. Semenjak Bram sadar dan mengatakan bahwa Rere adalah istrinya, wanita itu lebih sering menemani Bram dan tidak memberi kespatan sedikit pun untuk Laras.Awalnya orang tua Bram ingin mengatakan yang sebenarnya tapi Laras melarangnya. Gadis itu tidak mau hanya karena mementingkan egonya, kesehatan Bram akan kembali memburuk.Bram memang tidak mengingat Laras sebagai kekasihnya, tapi pria itu menyayangi Laras sebagai adiknya. Bahkan perlakuannya kepada Laras masih sama baiknya dari sebelum kecelakaan itu.Dia tidak pernah menyakiti Laras. Setiap hari pun dia ingin Laras terus mengunjungi dan menemaninya. Hanya saja Rere selalu melarangnya.Hari ini Laras sengaja tidak datang karena dalam pikirannya Bram sudah ada yang menemani yaitu Rere. Hari ini juga Bram sudah boleh pulang. Gadis itu berpikir dia akan menunggu Bram di rumah saja."Ma, Laras mana?" Mata Bram tidak melihat
Dengan tuntunan Soya, Laras keluar dari kamarnya dan mendekati Bram serta Rere dan Grey. Matanya menatap nanar ke arah Bram, sedangkan pada wajahnya tersirat keraguan dan kesedihan yang dalam.Senyum licik dan puas mengembang dari bibir wanita yang kini berada di samping Bram. Rere, wanita itu selalu saja mendekatkan tubuhnya pada Bram."Kak," panggilnya.Bram memutar tubuhnya dan menatap Laras."Laras."Gadis itu masih saja berdiri mematung menatap pria yang dia rindukan selama ini."Laras, apa kamu tidak merindukan kakakmu ini?" ucap Bram heran saat Laras tidak antusias melihatnya pulang."Aku merindukanmu, Kak.""Kalau kamu merindukanku, kenapa kamu masih berdiri di situ? Apa kamu tidak mau memeluk kakakmu ini?""Aku ingin, tapi ...." Mata Laras mengarah pada Rere.Wanita itu melotot menatapnya."Tapi apa Laras? Bukankah kamu adikku?"Laras terdiam menahan kepedihan saat Bram kembali mengatakan bahwa dia adalah adiknya. Serasa ingin
Pagi hari seperti biasa, Laras sudah menyiapkan sarapan dan sudah rapi bersiap kuliah. Gadis itu menatap dirinya sendiri di depan cermin dalam kamarnya."Semangat Laras. Kamu bisa menjalani ini semua. Aku yakin semua akan indah pada waktunya," ucapnya menyemangati dirinya sendiri."Laras, kamu sudah rapi, Nak?" Soya masuk dan mendekati Laras."Iya, Tante. Hari ini aku harus berangkat lebih pagi. Ada tugas yang harus segera diserahkan ke dosen pembimbingku. O ya, Tante, aku sudah siapkan sarapan." Laras mengalihkan diri."Tante sudah lihat. Ayo kita keluar dan sarapan bersama! Mereka sudah menunggu di meja makan."Laras dan Soya keluar untuk bergabung dengan yang lain di meja makan. Belum ada Bram di sana. Pria itu masih di dalam kamarnya.Beberapa saat kemudian, pria itu keluar dengan pakaian rapi dan berjalan menuju meja makan di mana semua sudah menunggunya."Sayang, kamu rapi sekali," puji Rere. Rere berusaha mencari perhatian Bram. Dia juga bersikap s
Laras terus merintih menahan sakit dan memanggil Bram. Suaminya itu langsung berjalan di sisi kepalanya memegang tangan dan memberikan dukungan pada Laras."Kak, sakit!" rintih Laras sudah tidak tahan lagi menahan rasa sakit dan mulas pada perutnya."Kamu kuat, Sayang," ucap Bram mengusap wajah Laras."Ya, aku pasti kuat, tapi jangan tinggalin aku, Kak!"Bram tersenyum. "Tidak, Sayang. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sedetik pun."Bram menemani Laras dalam proses persalinan. Dia selalu berada di samping istrinya dan selalu memberikan sentuhan dan kecupan yang membuat Laras lebih nyaman saat menghadapai rasa sakit dan mulas dalam perutnya. Grey dan Soya yang mendapatkan kabar dari Joy tentang persalinan Laras langsung menuju rumah sakit. Mereka menunggu dengan cemas, sedangkan di dalam ruang bersalin Laras sedang bertaruh nyawa melahirkan anak bagi Bram dan Bram selalu setia berada di sampingnya hingga terdengar suara tangis bayi yang menggema dan memu
Kehamilan Laras merupakan berita membahagiakan bagi Bram dan keluarga Grey. Saat Bram mengatakan bila Laras telah hamil dan saat ini usia kehamilannya sudah memasuki usia 24 minggu, maka kabar suka cita ini langsung tersebar ke seluruh perusahaan Bram.Selama kehamilan Laras, Bram selalu menjadi suami SIAGA, siap, antar, jaga. Seluruh keinginan Laras selalu saja dituruti, bahkan bila istrinya tidak mau makan, Bram akan memaksa dan mencari cara agar istrinya mau makan.Bram tidak melarang Laras untuk tetap bekerja, hanya saja Bram menempatkan pekerjaan istrinya berdampingan dengannya. Bram ingin setiap saat bisa menemani Laras. Meski istrinya itu termasuk wanita yang mandiri, tapi tetap saja Laras membutuhkan dirinya. Laras sendiri tidak mau terlalu mandiri, dia tetap menghargai Bram sebagai suami dan bisa menempatkan diri di mana dia bisa bermanja dan di mana dia harus mandiri.“Sayang, sekarang kamu mau makan apa?” tanya Bram saat mereka dalam perjalanan pulang.“Ak
Bram menjemput Laras sepulang kuliah. Sejak saat kejadian itu Bram tidak membiarkan istrinya pergi sendirian. Meski Rere telah mati dan tidak akan ada lagi yang mengganggunya, tapi Bram masih tidak mau membiarkan Laras pergi dan pulang kuliah sendirian."Kak, kita mau ke mana?"Laras heran saat Bram melajukan mobilnya bukan pada jalan arah ke rumah mereka. Bram tersenyum dengan menggenggam erat tangan istrinya. Bukan hanya menggenggam saja, Bram sekarang hobi memberi kecupan manis pada punggung tangan Laras."Ikut saja! Nanti juga kamu akan tau, Sayang.""Kak, kenapa ada rahasia? Bukankah suami istri tidak boleh ada rahasia?" Laras cemberut."Bukan rahasia, Sayang. Ini namanya sebuah kejutan." Bram mencium kembali tangan Laras."Kejutan? Kejutan apa, Kak?" Laras penasaran. Mendengar kata kejutan, bola mata Laras berbinar. Dia paling suka bila Bram memberinya kejutan karena kejutan yang Bram berikan selalu saja mampu membuatnya bahagia dan terharu."K
Hampir dua minggu sejak kejadian itu. Dua minggu sejak kematian Rere. Kini Laras telah menjalani kehidupan normalnya. Istri kecil Bram sudah menjalani kuliah kembali. Dengan setia dan sabar Bram mendampingi Laras menghilangkan rasa traumanya."Kak, nanti aku pulang agak siang karena hari ini hanya ada satu mata kuliah saja," ucap Laras sebelum turun dari mobilnya."Nanti aku akan menjemputmu.""Ga usah, Kak. Biar aku naik taksi saja. Bukankah hari ini Kakak ada rapat?""Astaga! Aku lupa Sayang. Bagaimana kalau sopir kantor saja yang menjemputmu? Setelah itu kamu ke kantor dan kita bisa pulang bareng.""Apa tidak masalah aku ke kantor Kakak?" Laras ragu."Sayang, kamu itu istriku sekarang. Siapa yang akan melarangmu datang ke kantor suamimu ini?" Bram membelai rambut Laras lembut.Wajah Laras merona karena malu dengan perhatian suaminya. Senyum Bram terasa lebih menyentuh lubuk rasa yang terdalam. Entahlah, saat itu Laras merasakan kebahagiaan yang tak ter
"Kak, ini rumah siapa?"Laras heran melihat rumah besar dan mewah di depan matanya.Laras bingung kenapa Bram tidak membawanya pulang ke rumah yang biasa mereka tempati sebelum mereka menikah. Rumah itu bukan rumah biasanya dan juga bukan rumah mertuanya. Rumah yang asing dan bisa dibilang lebih bagus dari rumah yang biasa mereka tempati."Kemarilah!" Bram menarik tangan Laras dan melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Laras. Senyumnya mengembang simpul, namun wajah Bram terlihat lebih tampan dan sejuk."Ish, kenapa pinggangmu menjadi sangat kecil?" Bram menggoda Laras. Dia memperhatikan istrinya dengan memeriksa pinggang ramping Laras. Tubuh Laras memang sedikit menyusut setelah dirawat di rumah sakit."Kakak, jangan mengejekku!" Laras tersenyum malu-malu. Pipinya semu memerah bak tomat buah ranum membuat Bram semakin gemas."Jangan tersenyum seperti itu! Aku jadi gemas ingin memakan wajahmu." Bram mencubit pipi Laras dengan cubitan kecil dan mesra.
Bram menutup matanya sampai suara teriakan Laras menghilang. Pria itu terdiam terpaku tanpa bergerak sedikit pun. Hati dan hidupnya hancur. Dunia seakan berubah gelap gulita seketika itu juga.Suara isak tangis memaksa pria itu berlahan memberanikan diri membuka matanya."Laras!" Bram kembali berlari mendekati gadis yang tersungkur memeluk erat tubuh Rere.Dia pikir Laras yang tumbang karena ulah Rere, tapi nyatanya Rere yang tertembus timah panas dari anak buah Mico. Laras membawa kepala kakak tirinya ke atas pangkuannya. Gadis itu mendekap erat Rere."Laras," panggilnya tersungkur langsung memeluk erat tubuh gadis itu."Kak, bangunlah!" ucap Laras dalam isak tangisnya.Laras mencoba membangunkan kakak tirinya.Pria yang sedari tadi hanya berdiri terpaku menyaksikan putrinya tumbang perlahan berjalan mendekat dan terjatuh dengan lutut sebagai tumpuannya."Ayah," panggil Rere di sisa napasnya."Sayang." Perlahan pria itu mengusap lembut wajah putr
"Jangan bergerak!" Teriakan Mico membuat dua pria yang sedang menggagahi Laras terkejut dan langsung memutar tubuhnya.Dua pria kekar itu menciut nyalinya. Dengan patuh mereka mengangkat tangan dan menyerah. Anak buah Mico langsung meringkus dia pria kekar itu. Berbeda dengan Rere, saat mengetahui ada polisi datang, wanita itu langsung beranjak dan menyahut tubuh Laras.Rere menjadikan Laras sebagai sandera untuk melindungi dirinya. Mata wanita itu sudah gelap dengan napsu pembunuh. Napasnya terdengar kasar dan panas mengenai kulit Laras."Jangan mendekat!" ancamnya pada Mico dan yang lainnya.Satu tangan wanita itu mencengkeram leher Laras dengan lengannya, sedangkan satu tangannya lagi menodongkan senjata tajam pada leher Laras dan siap menggores kulit mulus yang membalut leher jenjang adik tirinya."Rere, aku mohon jangan sakiti Laras!" ucap Bram saat tiba di tempat itu dengan napas tersengal.Bukannya melepaskan Laras saat Bram datang, Rere semakin t
"Cepat bawa gadis itu masuk!" teriak seseorang dari arah berlawanan."Baik, Bos."Dua pria kekar yang membawa tubuh Laras masuk ke dalam sebuah gudang yang berantakan. Banyak tumpukan barang bekas dan kotak-kotak besar yang telah usang di sana. Udaranya sangat pengap dan bau debu menusuk hidung.Dengan sangat kasar pria itu membanting tubuh Laras yang terkulai lemah di atas sebuah tumpukan kardus. Tawa keras dan puas terdengar menggelegar dari ketiga orang yang berdiri di dekat Laras."Kalau aku tidak bisa memiliki Bram lagi, kamu juga tidak akan bisa memilikinya gadis kampung."Lagi-lagi tawa menakutkan terdengar dari bibir merah merekah wanita yang menyimpan dendam terhadap gadis itu. Dendam yang akan terbayarkan ketika melihat gadis itu sengsara dan memohon di kakinya."Ikat tangan dan kakinya, jangan sampai gadis ini terlepas!""Baik, Bos."Dengan sangat cepat dua pria kekar itu melaksanakan perintah dari bosnya. Dengan cepat pula mereka sudah mel
Suasana tempat ruang pesta telah dipadati para tamu undangan baik dari rekan bisnis Bram maupun rekan bisnis orang tuanya. Meskipun ini pernikahan kedua bagi Bram, tapi ini merupakan resepsi pertama dan akan menjadi pernikahan yang terakhir baginya dan Laras.Malam ini Laras mengenakan gaun putih dengan jumbai tidak terlalu panjang. Gadis sederhana itu tidak memilih gaun yang terlalu ribet dan mewah. Laras lebih suka mengenakan gaun yang simpel tapi tidak terkesan murahan dan tetap terlihat elegan dan mengundang decak kagum.Kecantikannya mengalahkan kecantikan ratu sejagad, apalagi bagi Bram. Kecantikan wanita yang baru menjadi istrinya beberapa jam yang lalu merupakan kecantikan yang sempurna dan tiada tandingnya. Bukan hanya kecantikan luar saja, tapi Bram lebih terpesona dengan kecantikan hati istrinya.Bram menuntun Laras memasuki ruang pesta dengan langkah bak pangeran dan putri kerajaan. Semua mata tertuju pada mereka, semua bibir mengucapkan kekaguman akan kecant