BAGIAN 64
SALAHKAH BILA KUTARUH CURIGA?
POV SHERLY
“Sampe sore gini baru pulang?” Alis Bang Edo terangkat sebelah. Pria berperawakan kurus sepertiku itu tampak tak berkenan. Dia menatapku tajam dari atas kursi makan sembari menggenggam cangkir kopinya.
“Maaf, Bang. Aku nemenin Riri ke sana ke mari. Kasihan dia. Ini, aku bawakan lauk dari resto. Tadi siang kami makan ditraktir atasannya.”
Aku pun berjalan ke arahnya dengan menebar senyuman, berharap pria itu mau memaklumi. Namun, wajahnya masih saja masam. Dia tampak menyesap kopi cepat-cepat, seakan ingin segera beranjak dari sini.
Kutaruh plastik bening berisi dua buah styrofoam yang ditumpuk. Satu berisi udang goreng tepung, satu lagi b
BAGIAN 65DUSTA “Ri, ini ada Dimas telepon ke hape Mama. Gimana, ya?” Aku yang baru saja tiba di rumah dan kini tengah duduk di kursi makan seraya menikmati teh panas, tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan Mama. Beliau membawa serta ponsel jadulnya yang berdering nyaring. Benda kecil berwarna hitam tersebut disodorkannya kepadaku. “Bang Dimas ya, Bun?” Carissa yang duduk di sebelahku bertanya. Gadis kecil yang sudah mandi dan wangi itu terlihat melongok ke arah ponsel yang masih disorongkan Mama padaku. Aku langsung melempar pandang ke arah Mama. Wajah kami sama-sama resah. Entah mengapa, firasatku mengatakan bahwa akan terjadi hal-hal buruk bersamaan dengan datangnya telepon dari anak pertama Bang Tama tersebut. 
BAGIAN66PECAH! Sambil menahan desir yang merebak di dada, langsung kuputuskan saja sambungan telepon. Aku sudah lelah berdebat dengan Dimas. Bocah kemarin sore itu kalau memang berani, dia pasti mengirimkan nomor rekeningnya. Lihat saja. Besok, kalau dia sudah tiba ke sini, pasti dia akan menyesal karena telah membuat gara-gara kepadaku. Baru saja aku balik badan, telinga ini tiba-tiba menangkap suara isak tangis. Suara ribut-ribut orang panik juga menggema hingga ke belakang sini. Aku tersentak. Buru-buru berjalan ke arah depan. Setengah berlari aku menghampiri sumber suara. Betapa kagetnya diriku ketika mendapati ruang tengah sudah penuh dengan orang. Ada Mbak Sherly yang menangis dalam dekapan Mama. Di samping kiri tubuh Mama, sedang berdiri Sasya yang juga tengah dirangkul o
BAGIAN 67PESAN DARI CHRIS “Ri ….” Mbak Sherly meremas jemariku. Dia memanggilku lagi dengan suara seraknya. Kutarik napas dalam-dalam. Sebisa mungkin mencoba untuk menenangkan diri. Aku tak boleh asal bicara pada Mbak Sherly. Salah-salah, emosinya bakal labil dan masalah jadi tambah keruh. “Mbak,” ucapku hati-hati. “Apa tidak coba kita pikirkan dulu?” Kutatap dalam bola mata wanita tersebut. Sendu kelopaknya membuat hatiku makin terenyuh. Kasihan sekali Mbak Sherly. Nasibnya persis sepertiku. Mbak Sherly mengerling. Ekspresinya seakan telah muak dengan hubungan pernikahan yang memasuki usia ke-16 tersebut. Muak dengan pengkhianatan, tentu saja.
BAGIAN68PEMBAHASAN PENUH LUKA “Hush!” kataku kepada Mbak Sherly seraya manyun. Aku yang agak deg-degan sebab pesan dari Chris tersebut kini kembali dibuat tak habis pikir. Terlonjak kaget diriku ketika ponsel yang ada digenggaman bergetar lagi. Kali ini getarannya panjang. Tampak di layar, Chris melakukan panggilan suara. “Tuh, Ri. Dia nelepon. Angkat, gih,” ucap Mbak Sherly. Perempuan itu menyikutku pelan. Aku gelagapan. Agak kurang percaya diri. Apa-apaan sih si Chris. Magrib-magrib begini malah menelepon. Mau tak mau aku pun mengangkat telepon tersebut. Kuredam gemuruh dalam dada. Lagian, aku ini kenapa coba. Ditelepon sama pengac
BAGIAN 69MBAK SHERLY SAYANG, MBAK SHERLY MALANG “Assalamualaikum.” Pembicaraan yang tengah panas-panasnya tiba-tiba terinterupsi oleh suara salam dari arah belakang. Aku, Mama, dan Mbak Sherly sontak menoleh. Ternyata Bang Tama. Pria besar tinggi yang mengenakan kaus polo berkerah warna putih dengan lis hitam itu berjalan ke arah kami. Wajahnya tampak tenang. Tak terlihat raut gusar seperti Subuh tadi. Bahkan, kakak pertamaku itu masih sempat menyunggingkan senyuman ke arah kami. “Waalaikumsalam.” Kami bertiga kompak menjawab. Mama pun langsung bangkit dari kursinya dan menghambur ke arah Bang Tama yang sudah dekat sekali dengan meja makan. “Tama, bagaimana? Kamu sudah memulangkan istrimu
BAGIAN 70POV NADIADINGINNYA LANTAI PENJARA “Eh, anak baru! Jangan nangis aja lu! Berisik!” Plak! Sebuah tamparan mendarat ke kepalaku. Jangan tanya rasanya. Sudah pasti sakit sekali. Telingaku sampai berdenging. “Tolong! Tolong! Keluarkan aku dari sini!” Aku menjerit keras. Menggoyang-goyangkan jeruji besi sel yang hanya berukuran 3 x 2,5 meter tersebut. Namun, tak ada satu pun petugas rutan yang datang untuk menolong. Perundungan yang dilakukan oleh salah satu senior sel yang galaknya minta ampun itu pun kembali menderaku. Tak hanya tamparan, kini dia menjambakku. “Hei, lonte! Jangan teriak-teriak! Berisik kataku! Kamu ini tuli atau bagaimana?” Perempuan bertubuh kekar deng
BAGIAN 71NAHAS Gamblang terpampang di depan mataku, sosok Bang Edo yang hanya mengenakan kaus dalam singlet dan celana pendek warna cokelat tua itu sedang bersanding di sebelah perempuan muda nan cantik jelita. Gadis itu tinggi semampai, bahkan lebih tinggi daripada abangku yang memang agak pendek tersebut. Rambutnya pendek seleher dan diikat ke belakang. Mereka berdua menatap kami dari ambang pintu dengan wajah yang masing-masing muak. Astaga, santai sekali keduanya? Siapa yang salah, siapa yang ngamuk? “Bang Edo! Berani-beraninya kamu membawa perempuan itu ke rumahku!” Mbak Sherly kalap. Dia berteriak dan berusaha untuk meringsek maju, tapi sayangnya kedua tangan kurus milik wanita itu dicengkeram erat oleh Bang Tama. “Edo! Apa-apaan kamu, Nak? Ya Allah, kena
BAGIAN 72RENCANA BANG TAMA “Riri, kamu udah sadar?” Sebuah suara membuat kelopakku perlahan semakin membuka lebar. Samar-samar kutatap perempuan tua yang mengenakan jilbab kaus warna hitam yang senada dengan daster lengan panjangnya. Mama. Sosok itu tampak begitu cemas memandangiku. Entah di mana aku sekarang. Saat kulihat ke sekeliling, kamar ini sangat asing di mata. “I-iya … mana Mbak Sherly?” desahku lirih pada Mama. Wanita yang duduk di sampingku itu kini menggenggam jemariku. Erat. Matanya berkaca-kaca. Ekspresinya sedih luar biasa. Aku masih bertanya-tanya. Ada apakah gerangan? Masihkah keributan itu terjadi? “Mer
BAGIAN 119 AKHIR KISAHKU “Tuh, kan!” desisku penuh kecewa. “Mana lihat?” Chris meringsek maju. Merebut tespek dari jemariku. Satu garis merah yang tertera jelas di alat tes kehamilan itu lantas membuat raut wajahnya termenung. Aku tahu jika Chris pasti kecewa. “Kan, apa kubilang, Mas. Aku belum hamil. Makanya jangan dicek-cek dulu,” keluhku setengah putus asa. “Cup-cup, jangan manyun gitu, dong. Nggak apa-apa. Kan, cuma iseng-iseng cek doang. Nggak usah sedih, ya,” sahut suamiku dengan penuh kesejukan. Langsung tespek itu diletakan Chris di atas flush toilet. Dia lalu mendekap tubuhku erat-erat dan mengecup puncak kepala ini dengan penuh kehangatan. “
BAGIAN 118HADIRNYA PENYESALAN “Apa-apaan ini?! Tidak, pernikahan ini tidak boleh terjadi! Siapa yang mengizinkan mereka berdua menikah? Siapa?!” Pekik jerit histeris itu tiba-tiba memecah suasana khidmat menjadi mendadak kacau balau. Sontak, seluruh tamu undangan yang hadir melemparkan pandang ke arah suara, tepatnya di depan pintu masuk sana. Termasuk diriku yang sedang memangku Carissa dengan derai air mata haru yang tiada tara. Mataku pun langsung membelalak besar demi melihat sosok di depan. Seorang pria berkulit legam dengan tubuh kurus dan pakaian yang sangat seadanya. Bahkan kaus yang dikenakannya lebih jelek daripada kain lap di dapur kami. “Edo!” Jeritan itu berasal dari Mama yang sedang menerima sungkeman Bang Tama dan Mbak Sherly. Kulempar pandang lagi ke arah Mama, wajah beliau terperanjat. Lebih-lebih l
BAGIAN117 Bau makanan bercampur obat kini menyeruak saat aku membuka pintu ruangan VIP tempat di mana mantan kakak iparku dirawat. Ya, Mbak Indri jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit oleh keluarga besarnya sejak kemarin. Pagi-pagi Bang Tama sudah ditelepon oleh ibunya Mbak Indri, tetapi Bang Tama menolak untuk datang menjenguk sebab masih harus mengurusi beberapa masalah bisnis. Baru hari inilah pria yang telah berhasil menyusutkan berat badannya sebanyak 15 kilogram dengan giat berolahraga itu mengiyakan permintaan keluarga sang mantan istri. Aku tahu, pasti sangat berat bagi Bang Tama untuk melakukannya. Mataku langsung membulat besar saat melihat ruangan yang seharusnya bersih dan rapi itu malah tampak acak-acakkan. Banyak sekali barang bawaan di dalam sini. belum lagi orang-orang yang berjubel duduk melantai. Terlihat Pak Surat dan Ibu Yatni yang tak la
BAGIAN 116Dua bulan kemudian …. “Selamat, kamu telah mendapatkan apa yang kamu inginkan,” ucapan itu terdengar begitu putus asa. Lewat jeruji pembatas, kulihat senyum itu melengkung dengan getir. Sosok kurus dengan kantung mata yang terlihat menghitam itu menatapku dengan sendu. Sedih aku melihatnya. Apalagi rambutnya yang dulu lebat dan tebal, kini telah hilang. Menyisakan kepala gundul licin yang memprihatinkan. “Makasih, Mas. Ini akte cerainya. Silakan kamu simpan baik-baik,” ujarku sembari menyodorkan map berwarna kuning di mana ada selembar akta cerai dengan warna senada dan beberapa kopi salinannya. Kumasukan map itu lewat celah jeruji besi. Pria yang duduk di atas kursi dengan tangan terborgol itu hanya dapat memandangnya dengan nanar. Lambat laun, senyum di wajah Mas Hendra kembali melengkung hampa.
BAGIAN 115UNGKAPAN CINTA “Kenapa Mama diam? Sebegitu bencinyakah Mama pada Chris? Apa salah laki-laki itu?” Mama menggelengkan kepalanya. Bagaikan daun kering yang digoyang-goyang oleh semilir angin, gerakannya. Lemah. Aku tahu pasti bahwa gelengan Mama barusan tidaklah 100% tulus. Mama hanya takut kehilanganku, tetapi belum bisa menerima apa yang sebenarnya sangat kubutuhkan. Ya, aku sadar bahwa yang kubutuhkan saat ini adalah Chris. Tak bisa kupungkiri atau kututupi lagi bahwa pria itu telah mencuri hatiku. Jangan tanyakan apa alasannya, hanya hatiku yang bisa menjawab. “Kamu … betul-betul menyukai laki-laki itu?” Mama bertanya dengan suaranya yang pelan. Dari tiap inci gerakan bibir beliau, tersirat suatu penyangkalan yang besar. Mama masih deni
BAGIAN 114 “Mbak Riri, kamu dipanggil Pak Dayu untuk menghadap ke ruangannya.” Perintah Bima yang tiba-tiba itu membuat lamunanku seketika buyar. Pundak yang sebelumnya melorot, kini terangkat tegak. Jantungku yang semula iramanya normal, kini cepat tak keru-keruan. “Kenapa cuma bengong? Cepat ke sana. Nanti kena semprot!” ujar Bima lagi dengan muka jutek. “Alah, nggak mungkin disemprot. Masa sama yayang sendiri galak, sih?” Pak An menceletuk dari kubikelnya. Dia tak menampakkan wajah. Hanya suaranya saja yang menggema plus membuat kupingku memanas seketika. Kurang ajar! Sembarangan saja kalau ngomong. “Eh, iya. Lupa!” ledek Bima sambil melengos sinis. Pria yang baru saja masuk
BAGIAN 113APA MAKSUDNYA? “Sebenarnya … aku belum ingin menceritakan ini,” ucapku dengan bibir yang sungguh gemetar. Namun, Mama masih saja mencengkeram kedua lenganku. Mengguncangnya kuat demi memaksaku mempercepat cerita. “Ayo, lekas katakan! Jangan ada yang ditutup-tutupi!” Suara Mama semakin bertambah kencang saja. Membuatku semakin takut jikalau anak-anak menjadi trauma. “Mbak, tolong bawa anak-anak ke depan dulu,” kataku seraya menoleh ke arah Mbak Sherly yang wajahnya terlihat pias. Wanita yang mengenakan pasmina dan tunik berwarna dusty purple tersebut mengangguk cepat. Tergopoh-gopoh turun dari kursi seraya menarik tangan anaknya dan menuju ke arah kami. Mbak Sherly b
BAGIAN 112SEMUA ORANG BAHAGIA, KECUALI AKU Sidang mediasi Bang Tama dan Mbak Sherly yang digelar hanya selisih sehari denganku pun juga berjalan dengan sangat lancar. Chris yang mendampingi keduanya. Setelah menjabarkan segala bukti maupun saksi-saksi, sidang tersebut berakhir dalam waktu yang sangat singkat. Absennya Mbak Indri maupun Bang Edo menambah satu poin kemenangan bagi Bang Tama maupun Mbak Sherly. Chris memastikan bahwa sidang-sidang berikutnya bakal semakin mulus. Surat cerai bakalan segera digenggam oleh keduanya. Keberhasilan kerja keras Chris sebagai pengacara kami bertiga nyatanya tak begitu membuat sikap Mama kunjung berubah. Beliau tetap saja dingin pada pria berwajah blasteran tersebut. Sedikit bercakap, apalagi tersenyum. Saat Pak Dayu alpa di pandangan matanya pun, nama pria berkumis tebal itulah yang lagi-lagi Mama ga
BAGIAN 111TANTANGAN DARI CHRIS Usai makan-makan siang itu, sepanjang perjalanan pulang tak ada bahasan lain yang dicelotehkan oleh Mama selain kebaikan hati bos licikku. Berbagai sanjung puji dia sematkan kepada lelaki bertubuh gempal dengan kulit putih tersebut. Bila dilihat, mungkin kupingku telah berubah merah padam sebab panas sendiri dengan kalimat-kalimat hiperbola Mama. Andai dia tahu yang sebenarnya. Tunggu saja, pikirku. Suatu saat nanti, kedok Pak Dayu akan kubuka agar seluruh keluargaku sadar. “Dia itu orangnya benar-benar rendah hati. Jarang sekali ada laki-laki yang sikapnya begitu, lho! Apalagi dia itu punya pangkat tinggi.” Mama berkicau lagi. Seakan-akan belum puas untuk memberikan sanjungan setinggi langit untuk calon mantu idamannya. “Ya, betu