BAGIAN57
KEGILAAN SUAMIKU
Pak Rudy yang memiliki tubuh atletis dan berpenampilan dandy itu langsung meraup seluruh barang-barang dari bawah kasur pegas. Kedua tangannya yang mengenakan sepasang sarung tangan karet hitam itu sigap memunguti kertas-kertas, uang, maupun alat kontrasepsi dan pil herbal. Aku yang masih terperanjat, hanya bisa terdiam sambil menutup rapat-rapat mulutku yang tanpa sadar sedari tadi menganga.
“Ibu tahu tentang barang-barang ini?” tanya Pak Tegar padaku dengan suara beratnya.
Aku menggeleng. Menatap nanar pada barang-barang yang kini dikumpulkan di atas ranjang yang telah dilepaskan spreinya. Terlihat olehku kedua polisi pria itu kini memeriksa satu per satu kertas. Mereka membacanya dengan seksama hingga empat pasang bola mata polisi-polisi t
BAGIAN58KUTUNTASKAN PERLAHAN Dua koper besar, satu ransel, dan sebuah tas travel berbahan kulit telah tersusun rapi di bagasi belakang mobil. Aku lega luar biasa melihatnya. Pakaian dan seluruh dokumen-dokumen penting kini sudah terkemas rapi. Aku siap memulai hari baru di rumah Mama dan meninggalkan rumah ini untuk sementara waktu. “Ri, polisinya bilang sebentar lagi mereka selesai. Rumah ini sudah boleh dilepas police line-nya.” Mbak Sherly yang baru muncul dari dalam rumah, mendatangiku ke car port dengan agak tergopoh. Wanita itu datang menenteng tas jinjing besar warna ungu-hijau yang isinya rantang-rantang plastik dan beberapa botol minum. Aku yang suruh. Kataku tadi satu tas perabot makan itu memang hadiah untuknya. “Iya, Mbak. Ya, sudah kalau begitu. Ap
BAGIAN59PAKDIR DAN LAWYER PILIHAN “Masa duda, sih? Sejak kapan? Kemarin aku masih lihat abangmu sama istrinya, kok. Jangan ngadi-ngadi, deh, Ri!” Si Eva nyolot panjang lebar. Dia seakan tak ingin menelan harapan itu mentah-mentah. Mungkin takut kecewa. Cie, berarti si Eva ada kemungkinan suka sama abangku, dong? “Sejak hari ini. Udah, deh. Nurut sama aku. Kamu ikut program diet, kita usaha bareng. Oke?” “Kamu nurut juga sama aku kalau begitu. Aku sama abangmu, kamu sama pakdir. Oke?” Aku gelagapan. Menelan liur dan merasa kikuk sendiri. Terlebih saat Mbak Sherly tiba-tiba membuka pintu mobil dari luar, lalu masuk, dan duduk di sebelahku. Beliau sontak memandangku heran. Mungkin eksp
BAGIAN60PRIA BERWAJAH KLIMIS “B-baik, Pak, kalau gitu. Jam berapa untuk ketemunya?” tanyaku masih dengan degupan jantung yang bertalu-talu cepat. “Setengah dua belas saya turun dari kantor. Kita jumpa di resto Taman Hijau. Gimana?” “Siap, Pak. Saya segera meluncur ke sana kalau begitu.” “Kalau kamu duluan sampai, tolong pilih tempat duduk di gazebo depan kolam ikan, ya. Saya lebih senang duduk di sana ketimbang in door.” Aku mengangguk cepat. Seakan pak bos ada di depan. “Siap.” “Ya, sudah. Saya matikan dulu teleponnya. Pagi.&rdquo
BAGIAN61PUPUS HARAPAN “Ng-nggak, kok, Pak,” jawabku gelagapan. Mataku sempat terpana untuk beberapa saat tatkala melihat dua pria dengan stelan jas rapi tersebut. Tangan Mbak Sherly sempat menyikutku pelan. Aku tambah gelagapan. Sontak memandang ke arah iparku dengan muka bingung. “Gimana, Mbak?” tanyaku berbisik. “Itu bosmu? Ayo, diri. Kita salamin,” sahutnya pelan sambil memberi kode dengan lirikan mata ke arah dua pria yang masih mencopot pantofel di depan gazebo. “Eh, i-iya.” Sumpah, aku kikuk sekali. Ini kali pertama aku makan dengan Pak Dayu tanpa rekan-rekan kerja lainnya. Terlebih, ini bukan dalam rang
BAGIAN 62GONO-GINI “Sesuai dengan pasal 37 UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Hukum masing-masing di sini adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya. Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam atau KHI mengatur bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.” Seperti kitab undang-undang berjalan, Chris menjelaskan pasal-pasal mengenai gono-gini dengan bahasanya yang baku. Kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir merah Chris begitu menghunjam jantung. Air mataku jelas menetes karenanya. Seketika aku merasa jadi manusia yang paling bodoh di muka bumi ini. Menyesal mengapa tak sejak dahulu aku mencari tahu tentang perjanjian pranika
BAGIAN63SI MANIPULATIF “Alexa! Diam! Jangan nangis terus! Kamu ini kenapa, sih?!” Bu Laras naik pitam. Sepagi ini telinganya sudah terasa mau pecah sebab tangisan Alexa yang membabi buta. Anak yang digendongnya itu, langsung dia turunkan ke lantai. Cukup kasar. Membuat Alexa bukannya diam, malah bertambah kencang jerit tangisnya. “Bu, ada apa?” Pak Bidin yang awalnya tengah sarapan di ruang makan, buru-buru berlari menuju ruang tamu. Alangkah terkejutnya pria 67 tahun yang bertubuh tinggi kurus dengan rambut penuh uban tersebut. Matanya membelalak sempurna ketika melihat istrinya tengah berdiri sambil berkacak pinggang di hadapan gadis kecil yang meraung-raung. “Alexa?!” Kakek tiga orang cucu itu langsung membungkuk dan menggendong tubuh kecil
BAGIAN 64SALAHKAH BILA KUTARUH CURIGA?POV SHERLY “Sampe sore gini baru pulang?” Alis Bang Edo terangkat sebelah. Pria berperawakan kurus sepertiku itu tampak tak berkenan. Dia menatapku tajam dari atas kursi makan sembari menggenggam cangkir kopinya. “Maaf, Bang. Aku nemenin Riri ke sana ke mari. Kasihan dia. Ini, aku bawakan lauk dari resto. Tadi siang kami makan ditraktir atasannya.” Aku pun berjalan ke arahnya dengan menebar senyuman, berharap pria itu mau memaklumi. Namun, wajahnya masih saja masam. Dia tampak menyesap kopi cepat-cepat, seakan ingin segera beranjak dari sini. Kutaruh plastik bening berisi dua buah styrofoam yang ditumpuk. Satu berisi udang goreng tepung, satu lagi b
BAGIAN 65DUSTA “Ri, ini ada Dimas telepon ke hape Mama. Gimana, ya?” Aku yang baru saja tiba di rumah dan kini tengah duduk di kursi makan seraya menikmati teh panas, tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan Mama. Beliau membawa serta ponsel jadulnya yang berdering nyaring. Benda kecil berwarna hitam tersebut disodorkannya kepadaku. “Bang Dimas ya, Bun?” Carissa yang duduk di sebelahku bertanya. Gadis kecil yang sudah mandi dan wangi itu terlihat melongok ke arah ponsel yang masih disorongkan Mama padaku. Aku langsung melempar pandang ke arah Mama. Wajah kami sama-sama resah. Entah mengapa, firasatku mengatakan bahwa akan terjadi hal-hal buruk bersamaan dengan datangnya telepon dari anak pertama Bang Tama tersebut.