BAGIAN 38
LEPASKAN BENALU
“Wah, ini pelakornya? Nggak tahu malu! Dasar murahan, bisanya ngerebut laki orang!”
“Gebukin tuh yang cowok! Nggak punya iman! Selingkuh di rumah sendiri, apa udah nggak mampu nyewa hotel?”
“Bikin malu komplek aja! Manusia kaya begini, cocoknya diarak aja dulu, sebelum dibawa ke kantor polisi!”
Ribuan caci maki tumpah ruah memenuhi sekeliling teras rumah. Masyarakat sekitar berduyun-duyun datang ke rumahku hingga tumpah ke jalanan. Informasi cepat sekali menyebar. Dalam sekejap mata, orang-orang sudah menyerbu masuk. Tak peduli lagi imbauan dari aparat yang mengamankan. Bagi mereka, ini hiburan yang menyenangkan.
&n
BAGIAN 39KERASNYA TAKDIR “Omong kosong! Kamu yang menggodaku duluan! Kamu yang bilang jika aku tipe laki-laki idamanmu. Jangan menyangkal, Nad. Tidak akan ada asap kalau tidak ada apinya. Kamu yang membuat perselingkuhan ini ada. Kamu yang menggodaku mati-matian dan kamu sendiri yang menawarkan diri buat membunuh Wahyu. Semua percakapanmu masih kusimpan di ponselku!” Suara Mas Hendra begitu menggelegar. Kepalaku seketika semakin pening mendengarkan bantah-bantahan mereka. Mereka sama-sama sampah. Ya, sampah yang tak bisa dipercaya. Baik Nadia, maupun Mas Hendra, mereka memang tak layak dipegang omongannya. Hanya barang buktilah yang akan mengungkapkan segalanya. “Kalian sama-sama sampah! Tidak pantas kalian hidup di dunia ini. Penjarakan mereka segera, Pak. Mer
BAGIAN 40MAMA “Kenapa ini, Bun?” Ummi Mega yang langsung duduk di sebelah kananku, kini memberikan rangkulan. Perempuan 31 tahun yang mengenakan khimar panjang berwarna krem dan gamis cokelat tua itu terdengar khawatir sekaligus cemas. Sedangkan Alexa dan Carissa kini menangis. Keduanya langsung digendong oleh Mbak Naja keluar ruangan bermain karena membuat anak-anak yang lain jadi mengerumuni kami. Setelah kedua bocah perempuan itu sudah menjauh dariku, aku pun langsung berbicara kepada Ummi Mega. “Ummi, maaf … saya bawa Ica pulang lebih awal,” kataku dengan suara yang parau. “Oh, iya, Bun. Nggak apa-apa. Bunda kenapa? Wajahnya pucat sekali,” ujar Ummi Mega sambil menatapku cemas. Wanita
BAGIAN 41KISRUH “Ri, ceritakan pada Mama. Ada apa sebenarnya?” Mama melepaskan peluknya. Wanita yang memiliki wajah oval mirip denganku tersebut berkaca-kaca kedua bola matanya. “Ma, kita bicarakan pelan-pelan, ya,” lirihku. Perempuan berusia senja tersebut mengangguk pelan. Dia menuntunku kembali duduk ke sofa. Sementara itu, aku melempar pandang ke arah Mbak Naja. Wanita baik hati bertubuh kurus tersebut langsung berdiri dan mengajak anak-anak buat main di luar. Dia seakan paham dengan apa yang aku maksud. “Alexa, Ica, ayo main di luar sama Tante Naja. Kita nonton Coco Melon,” kata Mbak Naja sembari menggiring dua bocah tersebut.&n
BAGIAN 42SEBUAH KECURIGAAN “Ma, bapaknya almarhum Wahyu itu disetir oleh istri keduanya—” “Mama nggak peduli! Anak itu akan menjadi bumerang buat kita, Ri. Sudah cukup kamu membawa Nadia ke dalam rumah tanggamu yang sekarang telah hancur. Jangan sampai anaknya lagi yang membuatmu hancur buat kedua kalinya!” Mama bangkit dari duduknya. Wanita tua yang memiliki mata sendu itu tampak geram bukan kepalang. Buru-buru aku ikut bangkit dan menahan lengan kurus Mama. “Ma, dia masih kecil. Aku hanya kasihan dengannya.” “Masa bodoh! Kamu coba berkaca, Ri. Adakah yang kasihan kepadamu selain keluargamu sendiri?” Da
BAGIAN 43POV INDRIKEBENCIAN TERHADAPNYASetahun lalu …. “In, Mama udah dianterin makanan?” Baru saja aku duduk di depan televisi untuk menikmati acara talk show kesayangan, Bang Tama malah menanyakan perihal yang paling aku benci di muka bumi ini. Mama. Ya, selalu saja orang itu yang muncul setiap harinya dalam obrolan kami. Bisakah sehari saja suamiku tidak menyebut nama itu? Bikin muak! Aku menarik napas dalam sambil mengerling ke arah Bang Tama. “Belum,” jawabku sedikit ketus. “In, udah jam berapa ini? Kan, kamu udah masak. Anterin, gih. Kasihan Mama sama Papa kalau belum makan sampai jam segini.”
BAGIAN 44POV INDRIKUPEGANG KARTU AS-MU! “Jadi … kamu tidak setuju ya, In?” tanya Mama dengan suara lirih. “Terserah Mama saja. Silakan pakai hati nurani Mama sebagai orangtua.” Aku mendengus. Bangkit dari kursi dan buru-buru menyambar tangan Mama. “Aku pulang, Ma. Pekerjaan di rumah masih banyak yang menumpuk.” “Makasih, In, buat lauknya.” Hanya itu yang Mama katakan. Padahal, dia tahu aku sedang merajuk. Orangtua macam apa dia? “Iya. Sama-sama. Riri mungkin seharusnya bisa lebih sering ke sini, Ma. Jangan hanya tahunya minta bagian warisan saja.” Geram sekali, akhirnya keluar juga u
BAGIAN 45POV INDRITERTANGKAP BASAH “Ayo, Wil. Kita buntuti mereka,” kataku kepada Wilda sembari buru-buru keluar dari mobil setelah Hendra dan Nadia berjalan menjauh dari parkiran menuju ke pintu masuk mall. “Jadi, itu siapa, sih?” tanya Wilda kebingungan. “Dia suami iparku. Adik bungsunya Bang Tama. Tapi yang cewek itu bukan iparku. Melainkan simpanannya.” “Hah?” Muka Wilda berubah merah. Dia kaget. Matanya sampai membelalak besar. “Udah, ayo keluar. Nanti kita kehilangan jejak mereka!” Cepat aku membuka pintu mobil milik Wilda dan merapatkan jaket jins yang kukenakan. Tak lupa, sebuah kac
BAGIAN46HANCUR LEBUR “Nggak ada apa-apa kok, Mbak,” jawabku kepada Mbak Indri. Entah mengapa, aku jadi enggan untuk menceritakan hal ini ke ipar nomor satuku tersebut. Mbak Indri yang siang itu mengenakan stelan piyama rumahan berbahan katun dengan warna pastel bermotif abstrak tersebut memicingkan matanya. Dia mengibaskan rambut panjangnya yang diberi bando kain berwarna senada dengan piyama. “Yakin nggak ada apa-apa, Ri? Tapi, aku kok mikirnya kamu lagi ada sesuatu, ya?” Pertanyaan Mbak Indri yang kedengarannya penuh selidik itu sontak membuatku tertegun. Dia kan, selama ini tidak pernah mau peduli kepadaku. Aku datang ke sini dia seperti kerap menghindar. Jarang mau mengajak ngobrol atau bercengkrama lama
BAGIAN 119 AKHIR KISAHKU “Tuh, kan!” desisku penuh kecewa. “Mana lihat?” Chris meringsek maju. Merebut tespek dari jemariku. Satu garis merah yang tertera jelas di alat tes kehamilan itu lantas membuat raut wajahnya termenung. Aku tahu jika Chris pasti kecewa. “Kan, apa kubilang, Mas. Aku belum hamil. Makanya jangan dicek-cek dulu,” keluhku setengah putus asa. “Cup-cup, jangan manyun gitu, dong. Nggak apa-apa. Kan, cuma iseng-iseng cek doang. Nggak usah sedih, ya,” sahut suamiku dengan penuh kesejukan. Langsung tespek itu diletakan Chris di atas flush toilet. Dia lalu mendekap tubuhku erat-erat dan mengecup puncak kepala ini dengan penuh kehangatan. “
BAGIAN 118HADIRNYA PENYESALAN “Apa-apaan ini?! Tidak, pernikahan ini tidak boleh terjadi! Siapa yang mengizinkan mereka berdua menikah? Siapa?!” Pekik jerit histeris itu tiba-tiba memecah suasana khidmat menjadi mendadak kacau balau. Sontak, seluruh tamu undangan yang hadir melemparkan pandang ke arah suara, tepatnya di depan pintu masuk sana. Termasuk diriku yang sedang memangku Carissa dengan derai air mata haru yang tiada tara. Mataku pun langsung membelalak besar demi melihat sosok di depan. Seorang pria berkulit legam dengan tubuh kurus dan pakaian yang sangat seadanya. Bahkan kaus yang dikenakannya lebih jelek daripada kain lap di dapur kami. “Edo!” Jeritan itu berasal dari Mama yang sedang menerima sungkeman Bang Tama dan Mbak Sherly. Kulempar pandang lagi ke arah Mama, wajah beliau terperanjat. Lebih-lebih l
BAGIAN117 Bau makanan bercampur obat kini menyeruak saat aku membuka pintu ruangan VIP tempat di mana mantan kakak iparku dirawat. Ya, Mbak Indri jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit oleh keluarga besarnya sejak kemarin. Pagi-pagi Bang Tama sudah ditelepon oleh ibunya Mbak Indri, tetapi Bang Tama menolak untuk datang menjenguk sebab masih harus mengurusi beberapa masalah bisnis. Baru hari inilah pria yang telah berhasil menyusutkan berat badannya sebanyak 15 kilogram dengan giat berolahraga itu mengiyakan permintaan keluarga sang mantan istri. Aku tahu, pasti sangat berat bagi Bang Tama untuk melakukannya. Mataku langsung membulat besar saat melihat ruangan yang seharusnya bersih dan rapi itu malah tampak acak-acakkan. Banyak sekali barang bawaan di dalam sini. belum lagi orang-orang yang berjubel duduk melantai. Terlihat Pak Surat dan Ibu Yatni yang tak la
BAGIAN 116Dua bulan kemudian …. “Selamat, kamu telah mendapatkan apa yang kamu inginkan,” ucapan itu terdengar begitu putus asa. Lewat jeruji pembatas, kulihat senyum itu melengkung dengan getir. Sosok kurus dengan kantung mata yang terlihat menghitam itu menatapku dengan sendu. Sedih aku melihatnya. Apalagi rambutnya yang dulu lebat dan tebal, kini telah hilang. Menyisakan kepala gundul licin yang memprihatinkan. “Makasih, Mas. Ini akte cerainya. Silakan kamu simpan baik-baik,” ujarku sembari menyodorkan map berwarna kuning di mana ada selembar akta cerai dengan warna senada dan beberapa kopi salinannya. Kumasukan map itu lewat celah jeruji besi. Pria yang duduk di atas kursi dengan tangan terborgol itu hanya dapat memandangnya dengan nanar. Lambat laun, senyum di wajah Mas Hendra kembali melengkung hampa.
BAGIAN 115UNGKAPAN CINTA “Kenapa Mama diam? Sebegitu bencinyakah Mama pada Chris? Apa salah laki-laki itu?” Mama menggelengkan kepalanya. Bagaikan daun kering yang digoyang-goyang oleh semilir angin, gerakannya. Lemah. Aku tahu pasti bahwa gelengan Mama barusan tidaklah 100% tulus. Mama hanya takut kehilanganku, tetapi belum bisa menerima apa yang sebenarnya sangat kubutuhkan. Ya, aku sadar bahwa yang kubutuhkan saat ini adalah Chris. Tak bisa kupungkiri atau kututupi lagi bahwa pria itu telah mencuri hatiku. Jangan tanyakan apa alasannya, hanya hatiku yang bisa menjawab. “Kamu … betul-betul menyukai laki-laki itu?” Mama bertanya dengan suaranya yang pelan. Dari tiap inci gerakan bibir beliau, tersirat suatu penyangkalan yang besar. Mama masih deni
BAGIAN 114 “Mbak Riri, kamu dipanggil Pak Dayu untuk menghadap ke ruangannya.” Perintah Bima yang tiba-tiba itu membuat lamunanku seketika buyar. Pundak yang sebelumnya melorot, kini terangkat tegak. Jantungku yang semula iramanya normal, kini cepat tak keru-keruan. “Kenapa cuma bengong? Cepat ke sana. Nanti kena semprot!” ujar Bima lagi dengan muka jutek. “Alah, nggak mungkin disemprot. Masa sama yayang sendiri galak, sih?” Pak An menceletuk dari kubikelnya. Dia tak menampakkan wajah. Hanya suaranya saja yang menggema plus membuat kupingku memanas seketika. Kurang ajar! Sembarangan saja kalau ngomong. “Eh, iya. Lupa!” ledek Bima sambil melengos sinis. Pria yang baru saja masuk
BAGIAN 113APA MAKSUDNYA? “Sebenarnya … aku belum ingin menceritakan ini,” ucapku dengan bibir yang sungguh gemetar. Namun, Mama masih saja mencengkeram kedua lenganku. Mengguncangnya kuat demi memaksaku mempercepat cerita. “Ayo, lekas katakan! Jangan ada yang ditutup-tutupi!” Suara Mama semakin bertambah kencang saja. Membuatku semakin takut jikalau anak-anak menjadi trauma. “Mbak, tolong bawa anak-anak ke depan dulu,” kataku seraya menoleh ke arah Mbak Sherly yang wajahnya terlihat pias. Wanita yang mengenakan pasmina dan tunik berwarna dusty purple tersebut mengangguk cepat. Tergopoh-gopoh turun dari kursi seraya menarik tangan anaknya dan menuju ke arah kami. Mbak Sherly b
BAGIAN 112SEMUA ORANG BAHAGIA, KECUALI AKU Sidang mediasi Bang Tama dan Mbak Sherly yang digelar hanya selisih sehari denganku pun juga berjalan dengan sangat lancar. Chris yang mendampingi keduanya. Setelah menjabarkan segala bukti maupun saksi-saksi, sidang tersebut berakhir dalam waktu yang sangat singkat. Absennya Mbak Indri maupun Bang Edo menambah satu poin kemenangan bagi Bang Tama maupun Mbak Sherly. Chris memastikan bahwa sidang-sidang berikutnya bakal semakin mulus. Surat cerai bakalan segera digenggam oleh keduanya. Keberhasilan kerja keras Chris sebagai pengacara kami bertiga nyatanya tak begitu membuat sikap Mama kunjung berubah. Beliau tetap saja dingin pada pria berwajah blasteran tersebut. Sedikit bercakap, apalagi tersenyum. Saat Pak Dayu alpa di pandangan matanya pun, nama pria berkumis tebal itulah yang lagi-lagi Mama ga
BAGIAN 111TANTANGAN DARI CHRIS Usai makan-makan siang itu, sepanjang perjalanan pulang tak ada bahasan lain yang dicelotehkan oleh Mama selain kebaikan hati bos licikku. Berbagai sanjung puji dia sematkan kepada lelaki bertubuh gempal dengan kulit putih tersebut. Bila dilihat, mungkin kupingku telah berubah merah padam sebab panas sendiri dengan kalimat-kalimat hiperbola Mama. Andai dia tahu yang sebenarnya. Tunggu saja, pikirku. Suatu saat nanti, kedok Pak Dayu akan kubuka agar seluruh keluargaku sadar. “Dia itu orangnya benar-benar rendah hati. Jarang sekali ada laki-laki yang sikapnya begitu, lho! Apalagi dia itu punya pangkat tinggi.” Mama berkicau lagi. Seakan-akan belum puas untuk memberikan sanjungan setinggi langit untuk calon mantu idamannya. “Ya, betu