BAGIAN 72
POV ZULAIKA
SEMUANYA HARUS HANCUR!
Segera kumatikan ponsel secepat mungkin agar Mami tidak bisa menghubungiku. Dengan jantung yang berdegup kencang, aku langsung segera putar otak untuk menyelesaikan masalah rumit ini. Untungnya, ilham langsung datang meskipun pikiran ini sempat terasa cupet saking paniknya.
“Uek!” Aku langsung berakting mual seakan mau muntah. Sengaja kukeraskan volume suara agar seluruh perhatian tertuju kepadaku.
“Ika, kamu kenapa?” Dewi langsung memegang erat lengan kananku. Namun, aku tak menghiraukan gadis itu dan terus mengeluarkan suara seolah mau muntah.
Saking eneg sendir
BAGIAN 73POV ZULAIKAMENGULUR WAKTU “Gus, ini,” kataku sambil menyodorkan ponsel kepada Bagus. Cowok itu lekas menerimanya dan memasukan gawai tersebut ke dasbor motor. Mungkin ribet kalau dikembalikan ke saku celana. “Udah?” tanyanya dengan suara agak kencang. Bukan apa-apa, terpaan angin sepoi-sepoi lumayan bikin berisik. Padahal, Bagus tak memacu kendaraannya laju. Sedang saja, agar Dewi yang mengikuti dari belakang tidak ketinggalan. “Iya.” Aku menjawab singkat. Semakin maju dan memeluk Bagus agak erat. Cowok itu pasti senang sekali diperlakukan begini olehku. Selamat, Gus. Anda sedang beruntung. 
BAGIAN 74POV ZULAIKAMAMI TARGETKU SELANJUTNYA “Tadi aku SMS, kok, Gus. Masa hilang? Aku nggak nyentuh WhatsApp deh, perasaan.” Wajah Bagus langsung pias. Dia sibuk mengusap-usap layar ponselnya dengan ekspresi panik. “Duh, kok, bisa hilang, ya?” “Tinggal instal lagi aja kalau nggak sengaja kehapus atau hilang,” saranku sambil melongok ke arahnya. “Iya. Ada beberapa file penting, sih. Kehapus nggak, ya, di folderku?” Si Bagus masih terlihat sangat cemas. Dia benar-benar seperti orang yang kebingungan.&n
BAGIAN 75POV ZULAIKADETIK-DETIK KEMATIAN Napasku sungguh terengah-engah tatkala tiba di depan pintu apartemen Daddy. Jantung ini juga berdetak sangat cepat sekali. Belum lagi peluh yang membasahi pelipis. Aku benar-benar seperti baru saja dikejar oleh setan. Aneh sekali, mengapa bayangan Mami di benakku begitu sangat mengerikan? Bukankah tadinya aku yang tak puas karena dia kukira tak bakal mencari? Kuatur napas untuk sesaat. Tak lupa kuseka juga keringat yang menetes di dahi. Aku tak ingin tampak kacau di hadapan Daddy. Dua bulan tak berjumpa, setidaknya aku harus menunjukan kepada dia bahwa gundiknya ini masih tetap menawan seperti dahulu. Setelah meyakinkan bahwa diriku sudah baik-baik saja, lekas kurogoh saku
BAGIAN 76POV MAMITAK MUNGKIN ANAKKU BEGITU! “Dasar laki-laki bajingan! Tidak punya empati! Di saat seperti ini, bukannya kamu ikut mikirin di mana anak kita, malah kamu sibuk mencari gara-gara!” Aku mencaci maki Mas Danu, tetapi lelaki itu malah mematikan sambungan telepon. Aku geram. Rasanya kemarahan dan sakit hat ini sudah mencapai batas maksimum. Sembari menahan degup laju di dada, aku berjalan ke arah ruangan kantor. Sungguh, pikiranku sudah terombang-ambing rasanya. Seperti orang yang linglung. Aku bahkan merasa gejala depresiku seperti bangkit lagi. Kenangan pahit akan perjuanganku untuk lepas dari masalah mental tiga tahun lalu tersebut, malah kini kembali menghantui. “Ya Al
BAGIAN 77POV MAMIMENEMUKAN JEJAK ANAK LELAKI KAYA ITU “Tenang! Biarkan ibu ini bicara terlebih dahulu!” Penyidik di depanku menunjuk ke arah belakangku. Kulihat mata polisi berusia muda tersebut sampai berkilat-kilat saking emosinya. “Silakan teruskan,” ujar penyidik itu kepadaku setelah suasana tenang. “Bisakah saya diperiksa tanpa harus ada orang-orang di belakang? Saya merasa cukup terganggu,” kataku dengan perasaan takut-takut. “Lho, bisa-bisanya Anda merasa terganggu setelah apa yang telah dilakukan anak Anda kepada Bagus dan Dewi!” bentak pria tua setengah botak
BAGIAN 78POV MAMIADA APA DI APARTEMEN? Aku tertatih-tatih dibopong Prita menuju mobil patroli. Sedang tiga orang buser lainnya masih tertinggal di dalam rumah untuk mengangkut beberapa barang bukti yang dibutuhkan. Isak tangisku masih saja membanjiri wajah. Bahkan sampai kami sampai di mobil pun, aku belum juga dapat menyurutkan air mata. “Mbak Prita … saya ingin ketemu Zulaika,” lirihku sambil memeluk erat tubuh Prita yang harum elegan. Wanita yang mengaku belum menikah itu, membalas dekapanku dengan lembut. Dia sibuk menenangkan kegamangan hati, meskipun ini bukanlah untuk yang pertama kali. Mungkin polwan itu sudah bosan, tetapi demi rasa kemanusiaan dia tak mungkin untuk menolak rengek cengeng dariku.
BAGIAN 79POV MAMIRAUNG AMBULANS “Mbak Prita, ada apa dengan apartemen itu?” tanyaku dengan degupan jantung yang sangat kencang. Prita terlihat tersenyum tipis. Tampak dari rautnya, dia tengah berusaha untuk menenangkanku. “Kita akan menuju tempat yang ditunjukan oleh suspek, Bu Rima. Pasti ada sesuatu di sana.” “Anak saya, apakah mungkin ada di sana?” Aku masih belum puas dengan jawaban Prita yang mengambang. Masih berkelebat sejuta pertanyaan di dalam batok kepala. Antara ketakutan luar biasa dan kebimbangan lainnya.&n
BAGIAN 80POV MAMIKEMATIAN YANG MENJADI MISTERI Aku merasakan nyeri di sekujur tubuh. Rasa pening yang menghantam, membuatku tak mampu untuk sekadar membuka mata. Namun, suara riuh rendah begitu membisingkan telinga sehingga mau tak mau aku harus terbangun. “Ika ….” Aku lirih menyebut si sulung. Hal pertama yang ingin kuketahui setelah sadar dari pingsan yang entah sudah berapa lama tersebut, satu-satunya adalah Zulaika. “Bu Rima.” Sayup-sayup terdengar suara yang menyebut namaku. Suara itu mirip milik seseorang. Ya, dia adalah Prita, polwan cantik yang mendampingiku selama proses pencarian Zulaika. 
BAGIAN 142ENDINGKUIKHLASKAN YANG PERNAH TERJADIPOV HANA Air mataku luruh seperti hujan lebat di penghujung September yang basah. Dada ini sesak. Langkah kakiku pun terasa begitu berat sekaligus tertatih. Ucapan yang terlontar dari Jo sempurna membuat jantungku remuk redam. Hancur sudah harapku. Telah pupus segala impi tentang indahnya masa depan. Mas Doni yang berulang kali mendapat maklum dan maaf dariku, nyatanya kembali berulah di saat aku telah jatuh terlelap. “Hana!” Pekik itu sama sekali tak kugubris. Aku terus menapaki jalanan. Tak peduli lagi dengan lalu lalang kendaraan atau orang yang kebetulan memandangiku dari halaman kafetaria yang bersebelahan dengan gedung Real Grill. Kuusap air mata di pipi. Berjalan dengan sepatu hak tinggi di atas jalan beraspal bukanlah suatu hal mudah. Terlebih gaun malamku yang panjangnya menyentuh jalan. Aku terseok-seok. Sedang perasaan kini sekacau kota yang habis diterjang tsunami. Ah,
BAGIAN 141EXTRA PARTPOV DONIPENGAKUAN DOSA “Hal penting apa itu?” Istriku terdengar agak syok. Kutoleh ke arahnya, wajah cantik itu langsung pias. Dia seperti bertanya-tanya dan dilanda sebuah kecemasan. Sialan si Jo, pikirku. Dia akan membuat hubungan rumah tangga kami retak setelah ini. Namun, aku sadar bahwa ini karena kebodohanku juga. Seharusnya … aku tak membawa serta istriku ke sini. Ah, mengapa sikap ceroboh masih saja melekap di diriku? Aku ingin sekali berubah menjadi lebih baik. Akan tetapi, tetap saja sikap kekanakanku bakal muncul lagi. Sungguh, aku benci dengan diriku sendiri. “Sebaiknya, kita pesan makanan saja. Baru setalah itu ngobrol banyak. Oke?” Ika mencoba mencairkan suasana. Wanita dengan wajah bak rembulan yang sedang terang-terangnya tersebut membuat seketika tenang tatkala mendengarkan suara lembutnya. Namun, buru-buru aku istighfar. Tidak pantas aku terus begini. Doni, sadarlah! Kamu dan dia sama-sama telah membina
BAGIAN 140EXTRA PARTPOV DONIMAAFKAN AKU, HANA “Mas, makasih ya, udah ngajakin jalan-jalan malam ini. Kamu tahu aja aku seharian capek di rumah sakit.” Hana berkata saat kami telah berada di dalam mobil miliknya. Perempuan yang mengenakan gaun warna silver dengan model lengan balon bertahtakan manik-manik kristal tersebut begitu anggun malam ini. Wajah oval tembamnya dihias make up yang fresh. Sapuan perona pipi warna peach begitu serasi di kulit putih mulusnya. Apalagi bibir tipis itu. Begitu ranum nan manis. “Iya, sama-sama.” Aku mengulas senyum. Menutupi rasa bersalah yang begitu besar menggelayuti batin. Entah bagaimana reaksi Hana saat tahu tujuanku mengajaknya keluar malam ini. “Ayo, jalan, Mas. Aku udah nggak sabar pengen makan steak di Real Grill.” Hana berkata dengan penuh semangat. “Iya, Han.” Hatiku lemah sebenarnya. Takut-taku kupandangi wajah cantik Hana. Ya Allah, berdosa sekali aku selama ini. Maafk
BAGIAN 139EXTRA PARTPOV DONISALAHKU “Halo, Mas?” Suara Jo menggema di telinga. Membuatku makin tambah gelagapan. “Eh, i-iya, Jo. M-maaf.” Aku tergagap-gagap seperti orang bodoh. Sedang irama nadi ini semakin bertambah kencang. Habislah aku malam ini. “Jawab saja, Mas. Aku ingin mendengarnya langsung dari mulutmu.” Rasa bersalah itu begitu besar membebani pundak dan seluruh isi hati. Aku muak pada diriku sendiri. Andai bisa kuhapus seluruh bayang akan Ika di ingatan, pastilah ingin kulakukan sejak dulu kala. Sayangnya, tak semudah membalikkan telapak. “Jo, maaf,” lirihku. Aku sudah kehabisan kata-kata. “Tidak perlu minta maaf. Minta maaflah kepada istrimu, Mas.” Plak! Lagi-lagi aku tertampar oleh kalimat Jo. Benar-benar menohok sekali ucapannya. Membuatku semakin sadar akan kesalahan-kesalahan yang telah kuperbuat. “Aku tahu seperti apa perjuangan dokter Farhana untuk bisa
BAGIAN 138EXTRA PARTPOV DONIMASIH BERUSAHA UNTUK MENERIMA “I love you, Mas,” kata Hana sambil mengecup keningku. “I love you too, Sayang.” Hana menerima kembali sebuah kecupan di bibir merahnya. Perempuan itu terlihat tersipu-sipu. Senyumnya merekah. Aku tahu jika dia pasti merasa begitu spesial. “Selamat tidur, ya.” Hana seakan tak ingin mengakhiri percakapan. Dia masih saja berbasa-basi sambil memeluk tubuhku erat. “Iya. Kamu lekas tidur, ya. Pagi-pagi kita harus bangun untuk kerja.” Hana mengangguk. Wanita itu pun mulai memejamkan mata. Di saat-saat seperti inilah jiwaku bakal terombang-ambing. Kutatap wajah Hana lekat-lekat. Dia adalah wanita yang sempurna, sebenarnya. Cantik, ayu, cerdas. Rambut hitamnya selaksa sutera yang halus nan lembut. Pipi tembam putihnya begitu mulus dan akan merona merah apabila aku memuji-muji. Tak ada yang kurang darinya. Aku saja yang sebenarnya cukup kurang ajar.
BAGIAN 137EXTRA PARTPOV YESLINBERATNYA TERPURUK Gagal dapat warisan, hampir masuk penjara, dan dicampakkan oleh kekasih hati adalah segelintir kepahitan yang harus kuteguk dalam hidup. Begitu berat perjalanan ini. Namun, mau tak mau aku harus menjalaninya dengan tabah hati. Hidupku sempat terpuruk dalam lubang kelam yang menyeramkan. Terlunta-lunta usai dibuang oleh keluarga Mas Danu dan keluargaku sendiri. Hidup berpindah menumpang dari rumah teman yang satu ke rumah teman yang lainnya. Sebulan lamanya aku seperti gelandangan. Sampai urat maluku rasanya sudah putus. Ah, kalau ingat masa-masa itu, aku selalu ingin menjatuhkan air mata.Mimpi untuk memiliki seluruh harta warisan Mas Danu pun juga sirna. Hingga saat ini, segala aset mantan suamiku telah berada di tangan keluarga besarnya. Rumah mewah yang begitu kubangga-banggakan itu pun telah ditempati oleh Bu Pipit dan Poppy. Mereka sekarang menuai hasil yang sangat banyak, tanpa mau membagiku barang se
BAGIAN 136EXTRA PARTPOV HANAAKU BAHAGIA “Selamat pagi, Sayang.” Sebuah kecupan mendarat di atas keningku. Hangat. Seketika membuat tubuh ini menggeliat dan perlahan kubuka mata. Mas Doni, suamiku tercinta, tengah berbaring di sebelah. “Mas …,” lirihku sambil tersenyum. “Bangun, yuk. Udah pagi. Aku udah siapin sarapan buat kamu.” Aku langsung bangkit. Merasa sangat tidak enak hati. Ini adalah hari ketiga dalam pernikahan kami. Sudah tiga hari aku haid dan dua pagi bersama suamiku selalu saja dia yang bangun lebih dahulu. Rasanya malu. “Maaf, Sayang. Aku kesiangan lagi,” kataku sambil buru-buru merapikan rambut. “Santai aja. Nggak apa-apa.” Mas Doni ikut bangkit. Duduk di hadapanku sambil menyibak poni yang tergerai menutupi setengah wajah oval ini. “Kamu cantik,” pujinya. Mukaku terasa begitu hangat. Ada degup-degup nervous yang menggelayuti jiwa. Seperti bar
BAGIAN 135EXTRA PARTINDAH PADA WAKTUNYAPOV ZULAIKA “Dokter! Masyaallah, sebulan tidak jumpa, makin cantik aja!” Aku berseru saat berjumpa dengan dokter Farhana di lobi mewah hotel Grand Crown Hotel. Wanita berpasmina warna dusty pink tersebut setali tiga uang denganku. Sama hebohnya. “Masyaallah, pengantin baru! Berseri-seri sekali.” Dokter Farhana yang sekarang lebih chubby dan berisi tersebut memelukku erat-erat. Spesialis kesehatan jiwa itu tampak bahagia. Merona-rona pipinya. “Maafkan Hana tidak bisa ikut hadir semalam, Ika. Dia ada workshop di Jakarta. Baru sampai ke sini sore.” Sebuah suara menceletuk di depan sana. Dapat kulihat sosok Mas Doni berdiri tegap di belakang dokter Farhana. Cowok itu tak selesu kemarin. Wajah kusamnya sudah berubah cerah ceria. Rambut gondrongnya juga sudah dipangkas rapi. Wow! Hanya dalam semalam saja, wujud Mas Doni sudah bertransformasi sedrastis ini. Apakah pertanda bahwa mereka benar-benar balikan?
BAGIAN 134EXTRA PARTPOV ZULAIKAHANYA MIMPI? “Ya Allah! Mas Doni! Mas Doni!” “Bee! Bangun!” Sebuah teriakan dan guncangan di tubuhku seketika membuat terperanjat. Aku mendadak bangkit. Kedua mata ini langsung membelalak dan merasa sangat silau sebab cahaya lampu yang benderang. Aku benar-benar terengah. Napas ini memburu seperti orang yang habis dikejar-kejar anjing. Keringat sebesar bulir jagung pun membasahi pelipis. “Kamu kenapa, Bee?” Jo yang berada di sebelahku terdengar panik. Lelaki itu merangkul erat, sementara tangannya sibuk mengelap keningku dengan selembar tisu. “Boo, sekarang jam berapa?” tanyaku sambil menatapnya. Lelaki itu tergopoh mencari ponselnya. Suamiku akhirnya menemukan ponsel di bawa bantal yang dia pakai, kemudian menatap layar yang baru dia hidupkan. “Jam empat pagi. Kamu kenapa?” “Ya Allah, aku mimpi buruk. Mas Doni mati bunuh diri,” ucapku sambil meremas ramb