BAGIAN 31
POV ZULAIKA
DUA MAYAT PEREMPUAN
Pagi itu, dengan sangat terpaksa, aku melayani Daddy dan John sekaligus. Tety yang masih terkulai lemah, bahkan juga dengan brutalnya mereka ‘pakai’. Bak seonggok bangkai, tubuh kurus Tety diterkam buas oleh dua lelaki kesetanan tersebut. Tak ada ringis, tangis, atau pekik histeris dari bibir birunya. Semakin lama aku semakin takut kalau Tety bukan hanya sekadar pingsan … tapi mati.
Aku dan Tety benar-benar menjadi objek bagi keduanya. Kami berdua sama-sama diletakan di atas ranjang dan aku yang masih sadar ini juga harus menuruti apa pun yang mereka perintahkan. Dalam penderitaan tak berujung, aku hanya bisa menangis. Meneteskan air mata, tanpa dapat menolak apalagi memberontak.
&nbs
BAGIAN 32POV ZULAIKAUANG MEMANG SEGALANYA Aku bersikukuh menolak. Bagiku tidak untuk narkoba dan minuman keras. Sekali lagi, aku tak ingin merusak tubuh yang telah menjadi aset dan bahan ‘jualan’. Aku yakin 1000% bahwa barang-barang haram itu tidaklah baik untuk kesehatan apalagi bentuk tubuh. “Dad, aku mohon. Aku mau melakukan apa pun untukmu, asal jangan disuruh minum atau pakai narkoba. Aku hanya ingin hidup sehat agar bisa melayanimu terus, Dad,” ucapku sembari memelas. Kugenggam tangan besar Daddy. Kuciumi punggungnya, berharap lelaki itu mau luluh. “Dasar anak manis. Aku baru lihat ada anak perempuan yang menolak mati-matian saat diajak fly. Oke, Sweetheart. Daddy tidak akan mem
BAGIAN 33POV ZULAIKAPENGAKUAN DOSA Pukul satu siang aku sampai di rumah dengan kondisi badan yang lagi-lagi cukup drop. Sekujur tubuhku dilanda pegal. Belum lagi jalanku yang agak terseok. Namun, coba tebak. Mami sedikit pun tak peduli. Saat melihat aku membuka pintu dengan ekspresi wajah yang kuyakini lumayan payah, wanita yang tengah bersantai di sofa ruang tamu itu malah menanyakan uang hasil jualannya. “Ika, mana uangnya? Kamu tidak pakai untuk jajan, kan?” Mami yang semula bermain ponsel, leka melepaskan gawainya tersebut. Wanita yang mengenakan daster selutut warna biru dengan motif bulu-bulu burung tersebutt lekas bangkit dan berjalan ke arahku. Menengadahkan sebelah tangannya untuk menagih lima ratus ribu tersebut.&
BAGIAN 34POV ZULAIKADIA MINTA DIPANGGIL BOO Setelah saling terisak, Ario melepaskan dekapannya. Cowok itu kemudian mengusap air mataku dengan jemari, membuatku tersentuh luar biasa. Ternyata, di dunia ini memang masih ada yang benar-benar tulus mencintaiku. Ya, dia adalah Ario, adik semata wayang yang begitu kusayangi. “Ika, kamu sehat-sehat, ya. Aku hanya ingin kamu hidup jauh lebih lama lagi.” Ucapan itu benar-benar membuat hatiku lumer. Laksana sepotong cokelat yang dipanaskan di dalam oven. Ario sungguh mampu mengubah suasana hatiku yang kelabu, menjadi cerah seperti sinar mentari pagi. Aku mengangguk. Tersenyum kecil, sekuat tenaga mengobati perih hatiku sendiri. Aku berjanji untuk m
BAGIAN 35POV ZULAIKAPERTANYAAN JEBAKAN Hubunganku dengan Ario kini semakin membaik. Anak itu sudah seperti biasa lagi. Mau mengobrol dengan santai dan sudah tak ada ketegangan di antara kami berdua. Aku bersyukur bahwa dia bisa menerima kakaknya ini dengan segala drama kelam yang kusuguhkan. Itulah arti saudara sesungguhnya. Saat kau bisa menerima mereka dengan apa adanya, meski seisi dunia sibuk mengutuki. Pertemanan aneh di antara aku dan Jo pun semakin bergulir seiring dengan berjalannya waktu. Sudah tiga hari kami intens komunikasi. Anak itu semakin gencar mendekati. Belum lagi sogokan-sogokan berupa makanan maupun minuman yang dikirimnya lewat kurir. Bukannya aku merasa tak enak dengan perlakuan Jo. Sangat! Rasanya cowok itu ingin kutendang dari kehidupanku. Namun, setelah kupiki
BAGIAN 36POV ZULAIKAAIR MATA MAMI “Sorry, Jo. Kurasa kamu mulai terlalu ikut campur. Kalau begitu, sebaiknya hubungan kita sampai di sini saja!” Aku bangkit dari rebahku. Merasa sangat kesal dengan penuturan Jo yang kunilai terlalu lebay. Sejujurnya, aku juga cemas dengan rasa ingin tahu cowok tersebut yang terlalu besar. Dia benar-benar ancaman bagiku. “Lho, jangan begitu, dong. Aku kan, hanya bertanya.” “Pertanyaanmu membuatku tidak suka! Kamu seperti orang yang sedang menginterogasi pencuri saja. Padahal, kamu aku juga tidak pernah bertanya detail tentang kehidupanmu. Kamu yang ingin dekat denganku! Kamu yang masuk ke dalam kehidupanku. Kalau kamu terlalu banyak berta
BAGIAN 37POV ZULAIKALUKA YANG MAMI DAN PAPI CIPTAKAN “Iya, Mi. Sabar, ya. Setidaknya, Tante Yeslin juga sudah menerima karmanya. Itu, orangtuanya malah meninggal dunia setelah dia merebut Papi dari kita.” Akhirnya, aku mampu juga untuk mengucapkan kalimat penghiburan kepada Mami. Walaupun terasa sulit untuk ikhlas dalam rangka mengayemkan hati mamiku, tapi namanya anak tetap saja tak bisa mengabaikan orangtuanya bila sudah menangis tersedu-sedu macam begini. “Bukan karma. Mungkin sudah umur orangtuanya segitu. Ah, sudahlah. Mami mungkin harus mengikhlaskan semuanya. Mami harus menyembuhkan luka ini sendirian. Kalian masih terlalu kecil juga untuk mengerti betapa hancurnya perasaan Mami.” Mami melepaskan pelukannya. Menghapus air mata di wajah lelahnya, kemudian
BAGIAN 38POV ZULAIKABERLIAN PEMBAWA PETAKA Aku bangun pagi-pagi sekali hari ini. Semalaman praktis mataku sulit sekali terpejam. Meskipun ngantuk, tidur seakan menjadi hal paling menakutkan dalam hidup. Seolah bila aku terlelap, dunia akan mengisapku ke dalam pusaran black hole yang menyeramkan. Astaga, kedua orangtuaku benar-benar telah merusak mental ini secara nyata. Hanya Tuhan yang tahu betapa berat perjuangan untuk tetap mengembuskan napas dalam keadaan waras. Pukul lima pagi aku sudah mandi dan berkemas. Sebelum keluar kamar, aku menyempatkan diri untuk makan roti sandwich isi selai cokelat yang kubeli kemarin. Sebagai minuman penutupnya, sekotak susu UHT rasa stroberi langsung kuseruput lewat sedotan hingga tandas. Perutku sudah lumayan terisi. Tak lupa aku menarik selembar ua
BAGIAN 39POV ZULAIKAMENGULITI PAPI DAN TANTE YESLIN Aku memandang ke arah Ario lagi. Anak itu kini tampak kesal campur cemas. Membatalkan perjumpaan ini tentu bukanlah hal yang oke. Nasi sudah jadi bubur. Apa mau dikata, kami harus menjalaninya, meskipun nenek lampir itu harus ikut-ikutan tampil. “Ayo, masuk ke mobil. It’s okay. Kita bisa hadapin sama-sama,” bisikku sambil meraih jemari Ario. Kutarik tangan anak itu, kemudian berjalan terus menuju mobil Papi. Gaya tubuh Ario menunjukan sebuah keterpaksaan. Namun, dia tak bisa berkutik sebab langkahku sudah kadung melesat ke depan pintu mobil. Kubuka pintu belakang, lalu kusuruh Ario masuk duluan untuk duduk di belakang kursi Papi. Sedang aku, kini duduk di belakang kursi milik Tante Yeslin.&
BAGIAN 142ENDINGKUIKHLASKAN YANG PERNAH TERJADIPOV HANA Air mataku luruh seperti hujan lebat di penghujung September yang basah. Dada ini sesak. Langkah kakiku pun terasa begitu berat sekaligus tertatih. Ucapan yang terlontar dari Jo sempurna membuat jantungku remuk redam. Hancur sudah harapku. Telah pupus segala impi tentang indahnya masa depan. Mas Doni yang berulang kali mendapat maklum dan maaf dariku, nyatanya kembali berulah di saat aku telah jatuh terlelap. “Hana!” Pekik itu sama sekali tak kugubris. Aku terus menapaki jalanan. Tak peduli lagi dengan lalu lalang kendaraan atau orang yang kebetulan memandangiku dari halaman kafetaria yang bersebelahan dengan gedung Real Grill. Kuusap air mata di pipi. Berjalan dengan sepatu hak tinggi di atas jalan beraspal bukanlah suatu hal mudah. Terlebih gaun malamku yang panjangnya menyentuh jalan. Aku terseok-seok. Sedang perasaan kini sekacau kota yang habis diterjang tsunami. Ah,
BAGIAN 141EXTRA PARTPOV DONIPENGAKUAN DOSA “Hal penting apa itu?” Istriku terdengar agak syok. Kutoleh ke arahnya, wajah cantik itu langsung pias. Dia seperti bertanya-tanya dan dilanda sebuah kecemasan. Sialan si Jo, pikirku. Dia akan membuat hubungan rumah tangga kami retak setelah ini. Namun, aku sadar bahwa ini karena kebodohanku juga. Seharusnya … aku tak membawa serta istriku ke sini. Ah, mengapa sikap ceroboh masih saja melekap di diriku? Aku ingin sekali berubah menjadi lebih baik. Akan tetapi, tetap saja sikap kekanakanku bakal muncul lagi. Sungguh, aku benci dengan diriku sendiri. “Sebaiknya, kita pesan makanan saja. Baru setalah itu ngobrol banyak. Oke?” Ika mencoba mencairkan suasana. Wanita dengan wajah bak rembulan yang sedang terang-terangnya tersebut membuat seketika tenang tatkala mendengarkan suara lembutnya. Namun, buru-buru aku istighfar. Tidak pantas aku terus begini. Doni, sadarlah! Kamu dan dia sama-sama telah membina
BAGIAN 140EXTRA PARTPOV DONIMAAFKAN AKU, HANA “Mas, makasih ya, udah ngajakin jalan-jalan malam ini. Kamu tahu aja aku seharian capek di rumah sakit.” Hana berkata saat kami telah berada di dalam mobil miliknya. Perempuan yang mengenakan gaun warna silver dengan model lengan balon bertahtakan manik-manik kristal tersebut begitu anggun malam ini. Wajah oval tembamnya dihias make up yang fresh. Sapuan perona pipi warna peach begitu serasi di kulit putih mulusnya. Apalagi bibir tipis itu. Begitu ranum nan manis. “Iya, sama-sama.” Aku mengulas senyum. Menutupi rasa bersalah yang begitu besar menggelayuti batin. Entah bagaimana reaksi Hana saat tahu tujuanku mengajaknya keluar malam ini. “Ayo, jalan, Mas. Aku udah nggak sabar pengen makan steak di Real Grill.” Hana berkata dengan penuh semangat. “Iya, Han.” Hatiku lemah sebenarnya. Takut-taku kupandangi wajah cantik Hana. Ya Allah, berdosa sekali aku selama ini. Maafk
BAGIAN 139EXTRA PARTPOV DONISALAHKU “Halo, Mas?” Suara Jo menggema di telinga. Membuatku makin tambah gelagapan. “Eh, i-iya, Jo. M-maaf.” Aku tergagap-gagap seperti orang bodoh. Sedang irama nadi ini semakin bertambah kencang. Habislah aku malam ini. “Jawab saja, Mas. Aku ingin mendengarnya langsung dari mulutmu.” Rasa bersalah itu begitu besar membebani pundak dan seluruh isi hati. Aku muak pada diriku sendiri. Andai bisa kuhapus seluruh bayang akan Ika di ingatan, pastilah ingin kulakukan sejak dulu kala. Sayangnya, tak semudah membalikkan telapak. “Jo, maaf,” lirihku. Aku sudah kehabisan kata-kata. “Tidak perlu minta maaf. Minta maaflah kepada istrimu, Mas.” Plak! Lagi-lagi aku tertampar oleh kalimat Jo. Benar-benar menohok sekali ucapannya. Membuatku semakin sadar akan kesalahan-kesalahan yang telah kuperbuat. “Aku tahu seperti apa perjuangan dokter Farhana untuk bisa
BAGIAN 138EXTRA PARTPOV DONIMASIH BERUSAHA UNTUK MENERIMA “I love you, Mas,” kata Hana sambil mengecup keningku. “I love you too, Sayang.” Hana menerima kembali sebuah kecupan di bibir merahnya. Perempuan itu terlihat tersipu-sipu. Senyumnya merekah. Aku tahu jika dia pasti merasa begitu spesial. “Selamat tidur, ya.” Hana seakan tak ingin mengakhiri percakapan. Dia masih saja berbasa-basi sambil memeluk tubuhku erat. “Iya. Kamu lekas tidur, ya. Pagi-pagi kita harus bangun untuk kerja.” Hana mengangguk. Wanita itu pun mulai memejamkan mata. Di saat-saat seperti inilah jiwaku bakal terombang-ambing. Kutatap wajah Hana lekat-lekat. Dia adalah wanita yang sempurna, sebenarnya. Cantik, ayu, cerdas. Rambut hitamnya selaksa sutera yang halus nan lembut. Pipi tembam putihnya begitu mulus dan akan merona merah apabila aku memuji-muji. Tak ada yang kurang darinya. Aku saja yang sebenarnya cukup kurang ajar.
BAGIAN 137EXTRA PARTPOV YESLINBERATNYA TERPURUK Gagal dapat warisan, hampir masuk penjara, dan dicampakkan oleh kekasih hati adalah segelintir kepahitan yang harus kuteguk dalam hidup. Begitu berat perjalanan ini. Namun, mau tak mau aku harus menjalaninya dengan tabah hati. Hidupku sempat terpuruk dalam lubang kelam yang menyeramkan. Terlunta-lunta usai dibuang oleh keluarga Mas Danu dan keluargaku sendiri. Hidup berpindah menumpang dari rumah teman yang satu ke rumah teman yang lainnya. Sebulan lamanya aku seperti gelandangan. Sampai urat maluku rasanya sudah putus. Ah, kalau ingat masa-masa itu, aku selalu ingin menjatuhkan air mata.Mimpi untuk memiliki seluruh harta warisan Mas Danu pun juga sirna. Hingga saat ini, segala aset mantan suamiku telah berada di tangan keluarga besarnya. Rumah mewah yang begitu kubangga-banggakan itu pun telah ditempati oleh Bu Pipit dan Poppy. Mereka sekarang menuai hasil yang sangat banyak, tanpa mau membagiku barang se
BAGIAN 136EXTRA PARTPOV HANAAKU BAHAGIA “Selamat pagi, Sayang.” Sebuah kecupan mendarat di atas keningku. Hangat. Seketika membuat tubuh ini menggeliat dan perlahan kubuka mata. Mas Doni, suamiku tercinta, tengah berbaring di sebelah. “Mas …,” lirihku sambil tersenyum. “Bangun, yuk. Udah pagi. Aku udah siapin sarapan buat kamu.” Aku langsung bangkit. Merasa sangat tidak enak hati. Ini adalah hari ketiga dalam pernikahan kami. Sudah tiga hari aku haid dan dua pagi bersama suamiku selalu saja dia yang bangun lebih dahulu. Rasanya malu. “Maaf, Sayang. Aku kesiangan lagi,” kataku sambil buru-buru merapikan rambut. “Santai aja. Nggak apa-apa.” Mas Doni ikut bangkit. Duduk di hadapanku sambil menyibak poni yang tergerai menutupi setengah wajah oval ini. “Kamu cantik,” pujinya. Mukaku terasa begitu hangat. Ada degup-degup nervous yang menggelayuti jiwa. Seperti bar
BAGIAN 135EXTRA PARTINDAH PADA WAKTUNYAPOV ZULAIKA “Dokter! Masyaallah, sebulan tidak jumpa, makin cantik aja!” Aku berseru saat berjumpa dengan dokter Farhana di lobi mewah hotel Grand Crown Hotel. Wanita berpasmina warna dusty pink tersebut setali tiga uang denganku. Sama hebohnya. “Masyaallah, pengantin baru! Berseri-seri sekali.” Dokter Farhana yang sekarang lebih chubby dan berisi tersebut memelukku erat-erat. Spesialis kesehatan jiwa itu tampak bahagia. Merona-rona pipinya. “Maafkan Hana tidak bisa ikut hadir semalam, Ika. Dia ada workshop di Jakarta. Baru sampai ke sini sore.” Sebuah suara menceletuk di depan sana. Dapat kulihat sosok Mas Doni berdiri tegap di belakang dokter Farhana. Cowok itu tak selesu kemarin. Wajah kusamnya sudah berubah cerah ceria. Rambut gondrongnya juga sudah dipangkas rapi. Wow! Hanya dalam semalam saja, wujud Mas Doni sudah bertransformasi sedrastis ini. Apakah pertanda bahwa mereka benar-benar balikan?
BAGIAN 134EXTRA PARTPOV ZULAIKAHANYA MIMPI? “Ya Allah! Mas Doni! Mas Doni!” “Bee! Bangun!” Sebuah teriakan dan guncangan di tubuhku seketika membuat terperanjat. Aku mendadak bangkit. Kedua mata ini langsung membelalak dan merasa sangat silau sebab cahaya lampu yang benderang. Aku benar-benar terengah. Napas ini memburu seperti orang yang habis dikejar-kejar anjing. Keringat sebesar bulir jagung pun membasahi pelipis. “Kamu kenapa, Bee?” Jo yang berada di sebelahku terdengar panik. Lelaki itu merangkul erat, sementara tangannya sibuk mengelap keningku dengan selembar tisu. “Boo, sekarang jam berapa?” tanyaku sambil menatapnya. Lelaki itu tergopoh mencari ponselnya. Suamiku akhirnya menemukan ponsel di bawa bantal yang dia pakai, kemudian menatap layar yang baru dia hidupkan. “Jam empat pagi. Kamu kenapa?” “Ya Allah, aku mimpi buruk. Mas Doni mati bunuh diri,” ucapku sambil meremas ramb