Tak lama kemudian, bel tanda masuk berbunyi. Jam istirahat telah habis. Para siswa yang sibuk bercengkrama di luar bergegas masuk ke kelas bersamaan dengan guru yang mengajar hari ini masuk ke kelas. Termasuk Evan.
Pelajaran matematika pun dimulai dan berlangsung seperti biasa.
Di sela belajarnya, Evan mengingat kejadian seminggu lalu. Ketika dia mengangkat telepon dari Tino yang tetiba menghubunginya.
"Ya ada apa?" tanya Evan ketika sambungan telah terhubung.
"Lo masih marah sama gue?" Terdengar suara Tino menyahut di seberang.
Evan tak menyahut.
"Maafin gue, ya? Kemarin gue kebawa emosi hingga gue kelepasan ngomong buat akhirin hubungan kita," kata Tino. "Gue nggak bermaksud buat nyakitin lo dan mutusin hubungan kita."
Dari suaranya, Evan bisa merasakan perasaan bersalah Tino. Evan sebenarnya juga tak menyangka kalau Tino akan menghubunginya lagi setelah pertengkaran itu.
Apa maksudnya semua ini? Apakah Tino akan meng
Kira-kira apa ya yang mau diceritain Gilang? Nantikan part selanjutnya ya.. See you...
Seperti rencana kemarin, di minggu pagi yang cerah ini Gilang mengajak Safira jalan-jalan. Mereka mengunjungi salah satu tempat makan terbaik di Jakarta."Kamu harus cobain masakan di sini, enak banget," kata Gilang sambil memandangi hidangan yang tersaji di hadapannya dan Safira. Aroma makanan menguar di udara. Ada dua piring nasi putih, seekor ayam bakar, sepiring tempe bacem, beberapa potong ikan goreng, dan semangkok sayur asam. Begitu menggugah selera. Safira hanya manggut-manggut, bersamaan dengan perutnya yang tetiba berbunyi membuat Gilang yang duduk di sampingnya menahan senyum. Safira juga. Dari pagi gadis itu memang belum makan. "Perutnya udah kode, tuh. Tunggu apa lagi? Buruan makan," ajak Gilang yang akan mengambil sendok dan garpu yang tersedia di meja. "Iya," Safira pun mulai mengambil sedikit lauk-pauk dan sayuran di piringnya lalu melahapnya. "Gimana? Enak, kan?" tanya Gilang di sela makannya. Safira hanya menganggu
"Kamu tau kalau aku ini laki-laki yang suka berhubungan intim? Dulu aku sama mantan aku ngelakuin itu, hubungan intim, hubungan suami-istri gitu, tau, kan?" Gilang berbicara agak pelan, sesekali menoleh ke sekelilingnya yang ramai. Safira syok mendengar penjelasan Gilang, refleks menarik tangannya yang digenggam Gilang dan menjauhkan posisi tubuhnya dari lelaki itu. Dia tahu hubungan suami-istri, hubungan yang hanya dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah. Gadis itu menatap Gilang dengan perasaan takut. "D-dengerin aku dulu, hei, dengerin aku," ucap Gilang pelan. "Fir, dengerin aku, ya?" "Kenapa kamu nggak bilang dari awal sama aku?" Intonasi Safira meninggi, menatap tajam Gilang. "Shuuttt..." Gilang meletakan telunjuknya di depan bibirnya. "Aku emang ngelakuin itu dengan mantan-mantanku dulu, tapi aku nggak akan ngelakuin itu sama kamu kalau kamu nggak mau," jelas Gilang membuat Safira sedikit tenang. "Sekarang dengerin aku dulu, ya?" Safi
"Safira tunggu aku!" Gilang bergegas menyusul Safira. Setelah langkahnya sejajar dengan gadis itu, dia berucap, "kalau kamu mau pulang biar aku anterin, ya?" Safira tak menyahut dan semakin mempercepat langkah. "Fir, jangan marah gitu, dong, kenapa, sih? Makanannya belum diambil, hei!" Safira menghentikan langkahnya dan berbalik badan. Didapatinya Gilang tengah bercakap-cakap dengan penjaga kasir rumah makan itu. Lalu Gilang memberikan sejumlah uang pada penjaga kasir itu dan menerima bungkusannya yang Safira yakini isinya adalah sisa makanannya tadi. "Cowok itu serius banget, sih," decaknya sedikit sebal, "orang nggak mau juga," Gilang berjalan mendekati Safira, "nih, makanannya bawa pulang." Gilang mengulurkan sebuah bungkusan hitam itu ke Safira yang tak menghiraukannya. Gadis itu tak acuh. "Ya udah kalau nggak mau bawa. Aku bawain. Mau pulang, kan? Yok aku anterin." Lelaki bertubuh tinggi itu berjalan menuju motornya, lalu menaikin
"Kak Riri!" Riri baru melangkah melewati perpustakaan ketika seseorang memanggil namanya dari dalam perpustakaan. Riri melongokan kepalanya ke dalam perpustakaan. "Kak Riri temannya kak Safira, kan?" tanya gadis yang memanggil namanya tadi yang ternyata adalah Viona. "Iya, kenapa, ya?" tanya Riri bingung. "Gue denger kak Safira lagi pacaran sama kak Gilang, ya?" "Iya, kenapa?" "Gue cuman mau kasi tau kak Gilang itu bukan cowok baik-baik. Dia nggak pantes buat cewek sebaik kak Safira." Riri terenyak mendengar penuturan Viona. "Lo kok bisa ngomong gitu? Tau dari mana?" "Gue mantannya kak Gilang. Sebagai mantan pacar jelas gue tau gimana kelakuannya. Kak Gilang itu jahat, Kak. Ya gue cuman nggak mau aja kalau sampai kak Safira disakitin. Gue paham kok gimana perasaan kak Safira sebagai sesama perempuan." "Lo ngomong jangan asal, ya. Gilang nggak mungkin kayak gitu," tangkis Riri. Semua orang tahu bagaimana gela
Gilang: Fir, malam ini temenin aku ke luar, yuk Safira: Maaf Gilang. Aku nggak bisa kalau malam. Lain kali aja, ya? Gilang: kenapa? Safira: Tugas sekolahku lagi banyak. Maaf, ya? Safira membaca ulang beberapa pesan terakhirnya dengan Gilang. Ini kesekian kali dia menolak ajakan pacarnya itu untuk jalan. Perkataan Andra tempo hari sedikit banyak mempengaruhi pikirannya. Hingga berimbas ke sikapnya terhadap Gilang. Apa lagi mengingat kejadian dua hari lalu ketika dia tak sengaja memergoki Gilang menghajar Andra. "Apa maksud lo ngomong gitu di depan cewek gue?" tanya Gilang ke Andra waktu itu. Andra terkekeh kala menyadari apa yang jadi permasalahannya. "Emang kenapa? Salah?" Gilang mendengus, lantas menarik kerah kemeja Andra. "Itu sama aja lo udah ngerendahin dia! Lo nggak tau apa-apa tentang hubungan gue dan Safira, jadi lo nggak usah sok tau!" Perseteruan itu menarik perhatian para siswa mau pun guru yang ada d
Jam pelajaran telah berakhir. Bu guru yang mengajar di depan telah menyusun buku-bukunya, dan berjalan ke luar kelas. Bersamaan dengan siswa yang juga mengemasi alat belajarnya, bersiap untuk pulang. Safira yang sejak tadi tak bisa berkonsentrasi penuh dengan pelajaran, bernapas lega ketika jam pelajaran akhirnya selesai. Ya, sejak pelajaran dimulai hingga berakhir, pikirannya di dominasi oleh ucapan Gilang. Rasanya dia hampir luluh mengingat kata-kata manis itu. Jujur, dia sempat menangis mendengarnya, tapi sebisa mungkin tak dia tampakkan depan lelaki itu. Membuat dia jadi berpikir, apa benar selama ini dia yang terlalu paranoid? Gilang sudah berjanji, tapi kenapa dia tak percaya? Pantaskah dia meragukan lelaki yang telah menjadi pacarnya itu? Apa yang harus dia lakukan sekarang? "Fir, ngapain bengong?" Teguran Riri mengejutkannya seketika. Safira menatap Riri, lantas hanya tersenyum kaku tanpa mau memberitahu sahabatnya itu apa yang sedang meng
Gilang lega, setidaknya dia berhasil membujuk Safira hingga sekarang gadis itu tak menjauh lagi darinya dan mulai mau diajak pergi sekolah bersama seperti biasa. Dan hari ini, sepulang sekolah, Gilang mengajak Safira jalan ke mall, katanya mereka ingin membeli baju couple. Gilang yang memaksa Safira ketika gadis itu menolak. Tak ingin mengecewakan, Safira coba menuruti kemauan Gilang kali ini. Sepanjang perjalanan di mall, Safira hanya mengikuti kemana Gilang pergi dan sesekali menanggapi saat lelaki itu meminta pendapatnya tentang baju yang dipilih. Jujur, Safira merasa canggung berada di tempat yang ramai dan asing seperti ini. Ini pertama kalinya dia ke sini. Kalau Gilang tak mengajaknya mungkin dia tak akan menginjakkan kaki di sini sekarang. Menilik harga yang bergantung di setiap pakaian yang berjejer rapi itu atau melirik harga di barang-barang lain di tempat bergengsi ini membuat Safira ngeri. Untuk membeli sehelai baju saja mungkin bisa m
Hari-hari terus berlalu. Safira semakin yakin dengan keputusannya untuk mempertahankan Gilang dan membantu lelaki itu untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Semakin lama, Safira juga merasa kalau Gilang itu sebenarnya baik. Selama berhubungan dengannya, tak sekali pun lelaki itu menunjukkan sikap kasar di depannya. Gilang selalu memperhatikannya dari hal sepele hingga hal besar. Gilang memperlakukannya bagai putri. Dan Gilang sama sekali tidak terlihat seperti berniat untuk melakukan itu padanya. Setiap orang mempunyai masa lalu, termasuk Gilang. Dan tidak ada seorang pun yang bisa mengubah masa lalu bahkan yang gelap sekali pun. Yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha melakukan yang terbaik untuk saat ini dan tidak kembali ke masa gelap itu lagi. Dan Safira siap untuk mendampingi Gilang melewati hari-harinya saat ini dan yang akan datang. Safira sangat bahagia, tentu saja. Seperti saat ini.Bel tanda pulang baru saja berdentang. Safira sudah m
Satu bulan kemudian. Gadis yang duduk di atas kursi roda itu termenung menatap ke luar kaca jendela. Masih di kamarnya yang berada di lantai dua gedung kosan ini.Gadis itu mengingat kejadian demi kejadian yang di alaminya satu bulan belakangan. Dia yang tertabrak truck sampai kakinya terlindas dan masuk rumah sakit. Dia bahkan sempat koma selama dua minggu. Dia juga melewati acara perpisahan yang di laksanakan tepat saat dirinya dirawat di rumah sakit. Dia dinyatakan lumpuh. Kaki bagian tempurungnya pecah dan busuk, karenanya kakinya harus dipotong. Tiga hari yang lalu Gilang sempat datang menemuinya. "Aku nggak bisa Gilang. Dengan keadaan aku yang sekarang aku nggak pantas buat kamu," ucapnya ketika cowok itu melihat bagaimana keadaannya yang sekarang, cowok itu masih bersedia mengajaknya balikan. "Kamu nggak boleh ngomong gitu, Fir. Aku nggak peduli kondisi kamu sekarang. Karena cuman kamu perempuan baik yang bisa mengubah aku menjadi lelaki yang baik juga. Apa pun keadaannya
"Makasih, ya, udah nemenin.""Sama-sama." Safira tersenyum, sebelum akhirnya masuk ke kamar dan menutup pintu. Safira menghela napas lelah seiring dengan bokongnya mendarat di tempat tidur. Dan melepaskan tasnya di tempat tider. Perjalanan hari ini harusnya cukup menenangkan pikirannya, tapi membaca berita di koran itu membuat dia tidak bisa berpikir dengan tenang.Belum sembuh kesedihannya atas kepergian Viona secara mendadak yang dia dengar dari pihak sekolah tempo hari. Dan sempat menggegerkan warga SMA Tunas Bangsa. Dia bahkan masih ingat jelas bagaimana histerisnya orang tua Viona di depan jenazah sang anak, di hari pertama dia ikut melayat. Biar bagaimana pun Viona adik kelasnya. Dia ikut merasa sedih dan kehilangan.Hari ini dia kembali diingatkan dengan kabar duka itu ketika membaca isi koran tadi.Dan ini semua gara-gara Gilang. Kebencian Safira terhadap lelaki itu rasanya semakin dalam. Safira merogoh kembali tasnya. Mengeluarkan koran tersebut. Membaca ulang berita itu.Dr
Beberapa minggu kemudian...Siang itu keadaan pasar cukup ramai. Pedagang buah berjejer di tepi jalan, menyapa pejalan kaki yang lewat, berlomba-lomba menawarkan dagangannya, berdampingan dengan kios penjual kaset yang memutar lagu dangdut cukup keras. Membuat hiruk-pikuk suasana pasar semakin terasa.Safira akhirnya memutuskan ikut Tika ke pasar, ketika gadis itu mengajaknya untuk menemaninya ke toko buku. Hitung-hitung refreshing, berharap bisa melupakan masalah-masalahnya sejenak. Mereka berjalan kaki menyusuri tepian pasar mencari toko buku yang ada di antara kios kaset itu. Motornya mereka parkir cukup jauh dari tempat mereka sekarang.Ketika menemukan sebuah toko yang bagian depannya terdapat buku-buku, Tika melangkahkan kaki ke sana, diiringi Safira.Ketika masuk ke dalam mereka disuguhkan dengan pemandangan lemari kaca yang tersusun berbagai macam buku di dalamnya. Safira mengedar pandangan di ruangan itu. Di sana ternyata tak hanya menjual buku, tapi juga ada majalah-majalah
Safira duduk di kursi belajarnya. Kedua sikunya bertumpu ke meja, dengan kedua tangannya memegangi kepalanya. Seandainya kepalanya bisa dibelah, mungkin di dalamnya ada api yang terlihat membakar isi kepalanya hingga kepalanya terasa panas dan ingin pecah.Safira benar-benar tak mengerti dengan sikap Gilang. Dia benar-benar tak tahu harus percaya atau tidak. Sikap lelaki itu sulit untuk diterka. Kadang begini, kadang begitu. Tadinya Safira ingin mengusir lelaki itu dan tidak akan percaya dengan apa pun yang dikatakan olehnya. Namun, pandangan lelaki itu membuat keputusan Safira berubah. Saat melihat tatapan itu, hati kecilnya mengatakan kalau Gilang sedang jujur. Ingin rasanya dia percaya, tapi tak dapat dimungkiri perasaannya juga takut.Maka dari itu, ketika Gilang bertekuk lutut, dia berusaha melepaskan diri dari lelaki itu. Dengan melawankan perasaannya dia mengusir lelaki itu. Awalnya, Gilang enggan pergi sebelum Safira memaafkannya, tapi akhirnya Gilang mengalah dan sebelum dia
Pagi itu Gilang menemui Viona di rumah. Rencananya dia akan mengajak gadis itu jalan. Meskipun sebenarnya jauh di lubuk hatinya, lelaki itu tidak sepenuh hati melakukan semua ini. Karena pikirannya pun terganggu dengan kejadian semalam. Sejak tadi fokusnya terpecah. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan Safira tapi dia harus menemui Viona terlebih dulu. Gilang menyeringai lebar di depan pintu, saat dilihatnya pintu rumah itu di buka dari dalam dan Viona muncul. "Udah siap?" Gilang memperhatikan penampilan Viona pagi itu yang terlihat masih mengenakan pakaian tidur. Gadis itu bahkan menatapnya datar."Kita nggak jadi jalan hari ini, Kak," "Kenapa?" Viona menatap jalanan komplek yang sepi. Sebelum akhirnya angkat bicara. "Gue tau kak sebenarnya kak Gilang itu sayangnya sama kak Safira, kan?" katanya to the point. "Jawabannya pasti iya. Karena sejak awal kak Gilang emang nggak pernah suka sama aku. Akunya yang maksain. Selama ini aku terobsesi sama kak Gilang sampai aku ngelakuin
Safira terus melangkah menyelusuri koridor sekolah itu seiring dengan perasaannya yang bergejolak. Dia telah menelusuri semua tempat di sekolah itu tapi tak tampak tanda-tanda ada orang. Apa lagi Viona dan Gilang. Safira sempat berpikir kalau Viona membohonginya. Atau mereka belum sampai?Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke depan pintu toilet, dia berhenti. Safira menghela napas. "Bener nggak sih?" Safira bergumam sendiri sambil matanya mengedar ke penjuru koridor seberang yang agak gelap. Benar-benar tidak ada siapa-siapa.Sejurus kemudian, dia tertegun. "Jangan-jangan gue dibohongin sama tuh bocah. Ya ampun, kenapa gue percaya, sih? Di jam segini mana ada orang."Safira lantas meringis. Dia tiba-tiba ingin buang air kecil. Ketika dia menoleh ke samping kiri, dia tersadar ada toilet.Safira memutuskan buang air kecil dulu sebelum pulang.Pelan, kakinya melangkah, memasuki toilet wanita tersebut. Dan terkejutlah dia dengan apa yang dilihatnya di
Beberapa hari setelah kejadian itu, Gilang kembali dekat dengan Safira. Gilang sering menemuinya untuk menghibur gadis itu.Safira masih tak menyangka, sahabatnya yang selama ini dia percaya, sahabatnya yang selama ini begitu baik padanya mampu mengecewakan.Dia benar-benar tak percaya Evan tega menjebaknya. Dan yang membuatnya tak habis pikir Riri ikut bersekongkol menjerumuskannya.Sahabat macam apa mereka?"Gue nggak nyangka aja Gilang, mereka sahabat gue yang selama ini gue anggap udah kayak saudara sendiri." Safira menatap Gilang dengan sorot menyiratkan kesedihan.Gilang mengusap bahu gadis itu. "Berarti mereka bukan sahabat. Nggak ada sahabat kayak gitu. Kamu udah salah nganggap mereka sahabat.""Temen aku selama ini cuman mereka Gilang. Kalau nggak ada mereka, aku nggak punya siapa-siapa. Aku sendirian.""Mending sendiri daripada punya sahabat kayak mereka. Sekarang kamu tau, kan, mereka sebenarnya kayak gimana?"
"Fajar, apa yang udah lo lakuin ke temen gue?!"Evan menarik kerah baju Fajar, tatapan nyalangnya menghunus tepat ke mata Fajar. Evan mencari Fajar di gedung sekolah itu sampai akhirnya dia menemukan Fajar sedang berjalan gontai di lorong sekolah itu. Langsung saja dia menginterogasi temannya itu.Bukannya terkejut, Fajar malah terlihat santai. "Apa, sih, maksud lo?""Nggak usah berlagak bego! Gue tau lo niat buruk ke Safira dan karena itu gue liat Safira lari-lari ke depan. Apa yang udah lo lakuin, hah!"Fajar menatap Evan tak percaya. Baru kali ini Evan bersikap sekasar itu padanya dan itu semua karena Safira."Iya, gue emang bawa Safira ke sini. Tapi gue nggak niat macam-macam. Lo udah salah paham pasti, nih, lagian lo tau dari mana tentang niat gue? Lo negatif thingking sama gue.""Dari awal gue merhatiin kedekatan lo sama Safira. Gue sama Riri curiga sama lo. Diam-diam gue masang penyadap di handphone Safira buat mastiin kalau Safira ba
"Gilang?" Safira melihat Gilang yang duduk di atas motornya dalam keadaan mesin motor masih menyala dengan tatapan tak percaya. "Kamu kenapa lari-lari di jalan, kenceng banget lagi," ucap Gilang. "Kok kamu bisa di sini?" Safira tak kuasa menahan rasa penasarannya. Sontak Safira berjalan mendekat ke Gilang. "Kamu kenapa, Fir?" Gilang heran melihat gelagat Safira seperti orang ketakutan. Safira menggenggam lengan Gilang yang memegang setang motor. "Aku takut banget. Tolong bawa aku dari sini, nanti aku ceritain, cepetan!" Gilang mengangguk cepat. "Iya, iya. Ayo naik."Safira pun naik ke boncengan Gilang sebelum akhirnya motor itu melaju kencang. Riri melihat itu semua dengan keheranan. Kehadiran Gilang yang tiba-tiba dan Safira yang pergi bersama Gilang entah ke mana. "Kurang ajar si Gilang," umpat Riri geram. *** Di sepanjang perjalanan Safira hanya diam sembari tangannya tak lepas dari m