“Jadi kita mau kemana, Kay?” tanya Nabil setelah lebih dari sepuluh menit mutar-mutar tidak jelas demi menghindarin Ferdy setelah tadi Kayla mengusirnya secara halus.“Terserah aja, Bil, yang penting nanti pas kita pulang orang itu sudah pergi,” jawab Kayla dengan mulut mengerucut. Kekesalannya pada Ferdy begitu menempel di hati dan otaknya. Sampai-sampai sedikit pun ia tidak lagi mampu melihat sisi baik dari lelaki itu.“Kita makan aja, yuk!”“Boleh.”“Kalau disana tidak apa-apa?” Nabil menunjuk ke sebuah tempat makan pinggir jalan. Khawatir Kayla akan menolak jika ia mengajaknya makan di sembarang tempat.“Tidak apa-apa, Bil, aku enggak gengsian kok.”Nabil tersenyum tipis. Kayla ternyata masih seperti yang dikenalnya dulu. Sederhana dan membumi.“Aku heran kenapa Ferdy sampe segitunya ke aku,” ungkap Kayla begitu suapan pertama lolos ke perutnya.“Mungkin dia masih suka sama kamu, Kay,” kata Nabil menanggapi.“Masa sih, aku mah apa?”Senyum di bibir Nabil seketika mengembang. Kayla
Akhirnya setelah berhari-hari merenung dan melalui berbagai pertimbangan, Kayla kembali bekerja sebagai sekretaris Ferdy. Pagi ini, Ferdy masih belum hadir ke kantor meski waktu hampir menunjukkan pukul sepuluh. Padahal biasanya paling lambat jam sembilan pagi ia sudah berada di kantor. Namun, Kayla tidak ingin memikirkannya. Biar saja Ferdy bertingkah seenaknya, toh, perusahaan ini adalah miliknya. Apa yang dilakukan laki-laki itu sama sekali bukan urusannya. Malahan menurut Kayla hal itu lebih bagus. Semakin jarang Ferdy di kantor, maka semakin jarang pula mereka bertemu. Sampai jam makan siang, Ferdy masih belum muncul. Entah dimana keberadaannya sekarang. Pandangan Kayla kemudian tertuju pada tumpukan berkas di atas meja. Ada beberapa dokumen yang harus segera ditandatangani Ferdy. Kayla mengambil dokumen itu kemudian membawanya masuk ke ruangan Ferdy.Kayla baru saja meletakkan dokumen di atas meja Ferdy ketikaTelepon di ruangan itu berdering. Tanpa menunggu berdering untuk ked
Hari masih pagi, tapi Ferdy sudah berada di rumah sakit. Sebelumnya ia memang sudah mendapat kabar bahwa Kayla sudah bisa meninggalkan rumah sakit hari ini. Setelah mengurus biaya rumah sakit Kayla, Ferdy langsung bergegas ke ruang rawat Kayla. Ia berharap semoga saja ia tidak keduluan Nabil. Namun harapannya pupus. Lelaki berkulit eksotis itu sudh duduk di dekat Kayla.Rasa jengkel kembali menyelinap ke dalam hati Ferdy. Apa sih yang dilihat Kayla dari laki-laki itu? Iya, Ferdy mengakui kalau paras Nabil memang menawan. Namun, ia tidak yakin kalau Nabil mempunyai apa yang dimilikinya.Ferdy melangkah masuk dengan sedikit menghentakkan kaki. Ketukan sepatunya yang lumayan keras membuat Kayla dan Nabil menoleh padanya.“Gimana, sudah boleh pulang sekarang?” Ferdy langsung bertanya pada Kayla tanpa menghiraukan keberadaan Nabil dan menganggapnya seolah dia tidak ada disana.“Sudah, Fer,” Kayla menjawab pertanyaan Ferdy.“Kalau begitu biar aku antar kamu pulang ya.”“Maaf, Fer, tapi aku
Setelah istirahat beberapa hari di rumah, Kayla akhirnya kembali bekerja seperti biasa. Tapi siapa sangka aksi penyelamatannya hari itu oleh Ferdy membuatnya merasa berhutang budi luar biasa. Kayla merasa sungkan untuk menolak apapun tawaran Ferdy. Selama itu positif, pasti akan diterimanya. Bukan apa-apa, tapi jasa-jasa dan kebaikannya terus menghantui Kayla. Kayla merasa tidak enak dan bersalah jika tidak memenuhinya.Seperti malam ini, Ferdy mengajak Kayla makan malam bersamanya. Dan Kayla tidak bisa menolak. Meski awalnya ia keberatan, namun pikirannya membawa pada ingatan bahwa Ferdy lah yang sudah menyelamatkan nyawanya. Andai saja waktu itu tidak ada Ferdy, mungkin ia sudah mati sia-sia.Jam setengah delapan malam Ferdy sudah berada di resto tempat pertemuan mereka. Ia menyapukan pandangannya ke sekeliling ruangan, tapi tidak menemukan sosok Kayla disana. Setelah berada di meja pesanannya yang terletak di sisi jendela, Ferdy menyuruh waiter meninggalkan buku menu. Menyandarkan
Sejak kejadian malam itu Kayla tidak pernah lagi datang ke kantor bersamaan dengan surat pengunduran diri yang ia berikan langsung ke tangan Ferdy. Kali ini Kayla benar-benar tidak akan goyah meskipun Ferdy berupaya membujuknya dengan berbagai macam cara. Tekad Kayla sudah bulat. Ia akan menjauh dari Ferdy. Dan semua itu harus diawali dengan berhenti dari perusahaannya. Tapi Ferdy tidak mudah menyerah. Hampir setiap hari didatanginya rumah Kayla meski Kayla sudah menunjukkan penolakan padanya. Lama-lama Ferdy jadi capek sendiri. Ia memilih untuk diam dulu dan memberikan Kayla ruang untuk bernapas dan waktu untuk berpikir.Sekarang Kayla mengisi hari-harinya dengan bermain bersama Kayra di rumah. Putri kecilnya itu pun terlihat senang karena sekarang Kayla bisa mendampinginya sepanjang waktu.Selain bermain bersama Kayra, membersihkan rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lain adalah rutinitas baru Kayla. Apapunn dilakukan Kayla asal waktunya tidak kosong. Asal tidak ada lagi ce
** Jika kamu ingin mencintai seseorang, pastikan dulu lukanya sudah sembuh **💔💔💔💔💔Pulang dari rumah Kayla Nabil langsung mengajak papa bicara. Awalnya Nabil mencoba menunda dan menenangkan hatinya dulu, namun semakin memendam keresahannya sendiri, hatinya semakin galau.Nabil melongok ke dalam kamar papa yang pintunya terbuka. Papa terlihat sedang duduk. Di meja di hadapannya tergeletak sebuah majalah dengan halaman terbuka lebar.Melangkah pelan, Nabil masuk ke kamar papa dan duduk di pinggir tempat tidur yang bersisian dengan meja. Beremenit-menit lamanya Nabil duduk disana dan hanya diam memperhatikan papa. Mungkin papa tidak menyadari kehadirannya sama sekali sampai akhirnya Nabil berdehem pelan.Mendengar deheman Nabil, papa langsung menoleh dan mendapati anak sulungnya itu sedang memandanginya.“Eh, kamu Bil.”“Bisa kita bicara sebentar, Pa?”Papa membetulkan kaca matanya yang melorot ke hidung, kemudian menutup majalah serta memperbaiki posisi duduknya mengarah pada Nabi
Meski berat hati, mau tidak mau Kayla harus mendatangi rumah papa untuk memberikan undangan pernikahan Alan pada Nabil. Sebetulnya Kayla bisa saja menyuruh Lisa untuk memberikannya. Namun, kebetulan Lisa tidak berada di rumah dan menginap di rumah temannya.“Kita kemana, Bun?” tanya Kayra menatap Kayla heran karena tidak biasanya mengajak keluar malam-malam.“Kita ke tempat om Nabil ya,” Kayla menjawab dengan suara dan muka yang sama. Datar.“Asyiikkk!!!” Kayra langsung tertawa riang. Belakangan ini Nabil memang sudah jarang ke rumahnya. Dan, setiap ia menanyakan, bundanya itu pasti langsung sewot atau minimal mengalihkannya pada hal lain.Nabil sendiri yang membuka pintu saat Kayla datang. Selama beberapa detik keduanya saling bertatapan dengan muka kaku. Di samping Kayla, Kayra menengadah menatap Nabil dengan mata bulatnya. Melihat muka polos Kayra, Nabil ingin sekali menggendongnya, namun ia merasa ragu. Melihat sikap Kayla yang dingin Nabil takut Kayla tidak akan mengizinkannya. N
Kayla terbangun dengan mata sembab akibat menangis semalam. Tangannya yang bebas menyentuh permukaan kasur di sebelahnya. Kosong. Tidak ada siapapun di sana. Mana Kayra? Kemana putri kecil kesayangannya? Kenapa tidak ada? Kayla hampir saja panik, namun secepat mungkin bertindak dengan berusaha mengumpulkan serpihan ingatannya sekeping demi sekeping hingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Kesadaran menghampirinya. Semalam, saat ia mengantar undangan pernikahan Alan ke sebelah, atau lebih tepatnya ke rumah papa, ia meninggalkan Kayra disana bersama Nabil. Dan, sampai pagi ini putrinya itu masih belum kembali. Kenapa Nabil tidak mengantar Kayra pulang? Kenapa laki-laki itu menahan Kayra disana? Ingin mendoktrinnya kah demi mendekati ibunya? Sungguh licik. Gerutu Kayla di dalam hati. Ia terus ditenggelamkan oleh prasangkanya sendiri tanpa ingin mengetahui kebenarannya seperti apa.Menghela napas, Kayla mengumpulkan kekuatan untuk bangkit dan menjalani hidup hari ini. Tapi tiba-tiba saja
-Terkadang, kita harus terluka dulu untuk bahagia-***Dea berdiri di depan cermin, lalu menatap refleksi dirinya disana. Pemilik tinggi badan seratus tujuh puluh tujuh senti itu terlihat jauh lebih anggun dengan pakaian tertutup yang membungkus tubuhnya dari ujung kaki sampai puncak kepala. Rambutnya yang panjang yang dulu selalu tergerai bebas sekarang terbungkus rapi dan tersembunyi di balik hijab yang ia kenakan. Tidak ada lagi Dea yang dulu suka menggunakan dress selutut atau pun blouse berbelahan dada rendah. Ia benar-benar sudah berubah dan bertransformasi total. Penampilannya jauh lebih tertutup dan rapi, namun tidak sedikit pun mengurangi kesan anggun yang memang sudah melekat dalam dirinya.“Lan…!!! Sudah siap belum?” Terdengar suara seorang perempuan memanggil namanya diiringi dengan ketukan di pintu.Dea menatap sekali lagi pantulan dirinya di cermin, lalu meninggalkan senyum sebelum berlalu pergi.“Wulan…!!!” panggilan itu terdengar lagi.“Iya, sebentar,” Dea menyahut, ke
-Kadang, kita mencintai seseorang sebegitu rupa sampai tidak menyisakan tempat bagi yang lain. Membuat kita lupa untuk sekadar bertanya, inikah cinta sebenarnya-*Puluhan detik lamanya Nabil berdiri di depan pintu setelah menekan bel. Namun, hingga detik ini masih belum ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Mungkin dia sedang berada dan sibuk di belakang, pikir Nabil. Nabil memutuskan untuk menekan bel sekali lagi. Tapi, baru saja tangannya terulur untuk menyentuh bel, daun pintu terbuka, diiringi dengan seraut wajah manis yang mengembangkan senyum padanya.“Maaf, Yah, tadi bunda lagi di belakang,” ujar perempuan berkerudung itu seraya menyalami tangan Nabil dan menciunm punggung tangannya.“Tidak apa-apa, Nda,” jawab Nabil penuh pengertian. “Rasya mana, Nda?” lanjutnya kemudian.“Lagi tidur di kamar, Yah.”Nabil segera masuk ke kamarnya. Disana, tepatnya di atas sebuah tempat tidur, sedang terbaring seorang anak laki-laki dengan mata terpejam. Ya, dia sedang tidur. Hal pertama yang di
“Kayraaa!!! Ayo sarapan dulu!” seru Kayla dari ruang makan.“Iya, Bun…” Kayra menyahut lalu keluar dari kamar menuju ruang makan.“Ya ampun… rambut kamu belum disisir ya,” ujar Kayla melihat rambut Kayra yang masih berantakan, sementara tubuhnya sudah terbalut seragam sekolah. Kayla mengabaikan sejenak urusan meja makan dan melangkah tergesa ke kamar Kayra untuk mengambil sisir.“Bunda…!!! Crayon aku patah…”Baru saja Kayla akan menyisir rambut Kayra, terdengar teriakan Kiran dari ruang tengah.“Iya, sayang, sebentar ya, Bunda sisirin rambut kakak dulu.”Dengan telaten Kayla membagi rambut Kayra menjadi dua bagian sama banyak, lalu mengepangnya dengan rapi.“Bunda… gimana nih, crayon aku patah…” Kiran yang sudah tidak sabar kembali berseru memanggil Kayla.Menyeret langkah panjang, Kayla bergegas ke ruang tengah. Disana, putri keduanya itu tampak sedang merengut. Di hadapannya terbuka lebar sebuah buku mewarnai dengan sekotak crayon beraneka warna.“Mana yang patah, nak?” tanya Kayla
Hari itu sudah semakin dekat. Hari dimana Kayla akan menyerahkan hidupnya pada garis takdir. Kayla sudah ikhlas jika memang seperti itu nasib yang harus diterimanya. Dan, hari ini Kayla kembali mengunjungi pusara Radit. Ia tidak sendiri, tapi bersama Kayra, sang putri tersayang.Dulu ia sangat rajin berkunjung kesini. Mengadukan luka batinnya dan kesendirian yang membuatnya semakin tersiksa. Tapi seiring waktu, frekuensi kunjungannya juga berkurang. Bukan Kayla tidak ingat Radit lagi, tapi Kayla hanya sedang berusaha menyembuhkan lukanya secara pelan-pelan.Lama Kayla termangu di pusara Radit. Kayla merasa keputusannya untuk menikah dengan Nabil adalah sebuah bentuk pengkhianatan pada Radit. Tapi ia tidak punya pilihan lain yang lebih baik.“Maafin aku, Dit, tapi aku melakukan semua ini demi anak kita,” gumamnya di sela isak.“Bunda kenapa minta maaf sama papa? Bunda salah apa?” Kayra yang keheranan melihat Kayla berurai air mata bertanya polos. Berbagai pertanyaan bertumpuk di hatiny
Kayla masih merenungi semua yang sudah dilakukan dan dikatakannya pada Nabil. Rasanya semua seperti di luar kontrol dan berasal dari alam bawah sadarnya. Menikah dengan Nabil untuk ke dua kalinya sama sekali tidak pernah ada dalam opsi hidupnya. Bagaimana mungkin ia menikah dengan orang yang tidak ia cintai? Namun, di dalam hidup terlalu banyak pilihan-pilihan sulit, dan kita harus memilih salah satu di antaranya. Kayla mengalihkan pandangan pada Kayra yang sedang tidur. Wajahnya tenang dan begitu damai. Sungguh, Kayla tidak sanggup melukai dan menyakiti hatinya. Dia masih terlalu kecil. Sudah terlalu banyak hal-hal mengiris batin yang dialaminya dalam usia sedini itu. Kayla berjanji, ia tidak akan lagi menambah luka pada anaknya itu.Mata Kayla berpindah pada kantong plastik putih dengan label rumah sakit yang dikunjunginya tadi. Perlahan, dibukanya kantong itu dan mengamati satu demi satu butiran pil berbentuk bulat yang kini memenuhi ruang matanya.Pandangan Kayla berpindah pada
Seperti permintaan Kayla, Nabil pun menjemput Kayra ke sekolahnya. Ternyata Nabil datang lebih cepat. Dengan sabar ia pun menunggu sampai Kayra pulang. Ia duduk di bangku berwarna-warni yang tersedia disana dan memandang lepas pada kerumunan anak-anak yang menampilkan beragam ekspresi.Dari jauh Nabil memperhatikan Kayra yang sedang bermain bersama teman-temannya. Nabil rasa usulnya pada Kayla agar menyekolahkan Kayra tidak sia-sia. Buktinya, sekarang Kayra jauh berubah, malahan amat sangat jauh. Wajahnya yang biasa tersaput mendung, sekarang diselimuti awan-awan ceria. Tidak pernah lagi Nabil melihat rona kesedihan di mukanya. Memandang muka Kayra, Nabil seperti sedang menatap Radit. Mereka memang mirip. Siapa pun tidak ada yang akan membantah kalau Kayra adalah anak Radit. Ingat Radit, pikiran kembali membawanya pada hari terakhir Radit bersamanya.Saat itu mereka duduk berdua di kursi teras rumah sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain di pekarangan. Dari yang awalnya mere
“Kay, blush on-nya kenapa tebel banget? Udah gitu belepotan sampai ke hidung,” ujar Nadin hari itu saat berkunjung ke rumah Kayla. “Masa sih? Aku enggak pake blush on padahal,” timpal Kayla seraya memegang pipinya dengan kedua tangan.Nadin mendekatkan mukanya, lalu menyipitkan mata mengamati Kayla baik-baik. Ditempelkannya telunjuk ke pipi dan hidung Kayla. Permukaan wajahnya terasa kasar. Kayla benar, dia tidak memakai blush on, tapi ini…“Alergiku kambuh lagi, Nad, tempo hari Kayra pengin makan ikan kalengan, iseng, aku juga ikut makan,” beber Kayla.Nadin menjauhkan telunjuknya dari muka Kayla setelah mendengar penuturannya.“Tapi kayaknya parah banget, Kay,” kata Nadin sedikit meringis. “Dibawa ke dokter aja ya!”“Enggak perlu pake ke dokter kali, Nad, tinggal dikasih salep juga bakal hilang kok.”“Oh gitu ya? Ya udah.” Nadin tidak lagi membahas masalah itu.Sunyi, sepi, dan hening yang tersisa saat Nadin sudah pergi. Kayra juga tidak di rumah karena sejak tadi dibawa Nabil. Be
Sudah tiga hari Kayra menghabiskan paginya di play group dekat rumah. Seperti yang ia janjikan, Nabil memang mengantarkan sang ponakan kecil, dan, Kayla yang bertugas untuk menjemputnya.Kayra terlihat jauh lebih ceria dibanding hari-hari biasa. Dia seperti menemukan dunia baru yang selama ini seolah tersembunyi di belahan bumi bagian lain. Bertemu teman-teman seusianya dan bisa bermain bersama merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Kayra.“Kamu lihat sendiri kan, Kayra senang banget,” ujar Nabil yang berdiri di samping Kayla sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain ayunan. Kebetulan hari itu hari sabtu, Nabil tidak kerja, jadi selain mengantar Kayra, ia juga bisa menemani Kayla menjemput Kayra pulang.“Iya,” timpal Kayla dan ikut tersenyum memandangi Kayra. Ya, Kayla memang sudah bisa tersenyum sekarang.“Bunda… !” Kayra yang melihat Kayla dan Nabil langsung berseru riang dan berlari mendekati kemudian menghambur ke pelukan Kayla.“Sudah selesai mainnya, nak?” tanya Kayla sembar
“Bun… Bunda… bangun, Bun!” Kayra mengguncang-guncang Kayla yang masih tertidur lelap. Karena tak henti-hentinya mendapat serangan guncangan, Kayla pun terusik. Dibukanya mata. Berat, seperti ada perekat yang membuat kelopak matanya menempel. Kayla kembali akan menutup netranya, namun suara Kayra mencegahnya untuk melakukan hal itu.“Bun, bangun, sudah siang, aku lapar… “ rengek Kayra sembari memegang perutnya.Pelan-pelan, Kayla kembali membuka mata. Dilihatnya Kayra yang juga tengah menatapnya. Ah, ternyata aku masih hidup, pikir Kayla. Kenapa aku harus melihat dunia lagi?Ia kembali mengumpulkan kekuatan dan semangat untuk menjalani hari-harinya yang berat.“Bun, aku lapar, mau makan,” rengek Kayra lagi. Semalam ia hanya makan dua suap, dan sekarang perutnya sudah meronta-ronta minta diisi. Cacing-cacingnya sudah pada demo.“Iya, sebentar ya, nak.”Kayla ingat, sup daging sisa semalam masih banyak dan sudah ia masukkan ke kulkas. Ia hanya tinggal sedikit memanaskan.Kayla berniat