Flashback.Time goes by.Hari ini Alan diwisuda. Setelah berjuang selama hampir empat tahun, akhirnya ia berhasil mendapatkan gelar sebagai Sarjana Ekonomi. Rona bahagia terpancar jelas di wajahnya.Kayla turut merasakan kebahagiaan Alan. Suatu saat nanti ia berharap bisa menyusul Alan. Tamat dengan nilai memuaskan, lalu bekerja di perusahaan bonafide.Alan mengenalkan Kayla pada keluarganya. Dengan orang tuanya serta kakak laki-lakinya. Dan yang membuat Kayla merasa surprise, kakak laki-laki Alan adalah Fabian, asisten dosen yang mengajar di kelasnya. Pantesan waktu itu Kayla melihat Alan ikut naik ke mobil Fabian. Kejadiannya memang sudah cukup lama. Tapi Kayla masih bisa mengingatnya dengan jelas.Orang tua Alan terlihat kurang begitu suka pada Kayla. Itu tergambar jelas dari sikap dan sambutannya yang tidak hangat dan kurang ramah. Kayla yang sensitif dapat merasakannya.Kayla mengambil sikap dan menjauh dari Alan. Ia memutuskan bergabung bersama Nina dan teman-teman lainnya yang
Hari ini papa datang mengunjungi Kayla di rumah sakit. Melihat kehadiran papa, Kayla kembali teringat kedua orang tuanya. Pertanyaan demi pertanyaan berdesakan di kepalanya. Kenapa yang datang setiap hari malah orang asing? Kenapa yang datang bukan orang tuanya? Kenapa sahabatnya Nina tidak pernah datang?"Apa kabar, Kayla?" tanya papa pelan. Kayla menatap papa sedemikian rupa. Ia mencoba mengingat-ingat apa sebelumnya pernah bertemu dengan papa. Tapi ingatannya tidak bekerja dengan baik. Yang hadir di pikirannya malah orang-orang dari masa lalu, seperti Alan, Nina, teman-teman kuliah dan juga kedua orang tuanya. Kenapa tidak satu [un dari mereka ada di tempat ini? Kenapa malah orang-orang tak dikenal yang menampakkan diri?"Baik, Pak," jawab Kayla lirih. Ia masih terus memaksakan ingatannya agar bisa mengingat tentang laki-laki sudah berumur yang berada di hadapannya kini."Kayla, saya teman orang tua kamu, yang biasa kamu panggil Papa," kata Papa memberitahu."Papa?" ulang Kayla."
Kayla mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Ia mengamati satu persatu benda-benda yang ada di kamar ini dengan seksama. Foto-fotonya dengan berbagai pose menempel indah di dinding. Sepertinya foto-foto itu diambil pada waktu dan tempat yang berbeda. Namun semuanya mempunyai kesamaan. Di semua potret itu ia hanya sendiri. Tidak ada siapa pun. Tidak ada orang tua, sahabat, apalagi kekasih.Pandangannya beralih pada pergelangan tangan kiri. Ada bekas luka di sana. Nabil bilang itu karena ia terjatuh. Tapi Radit mengatakan itu adalah bekas luka karena ia mencoba bunuh diri. Pernyataan-pernyataan mereka begitu kontras. Membuatnya semakin dirajai kebingungan. Kayla tidak tahu harus memercayai siapa. Mungkin ia akan memilih untuk percaya pada Nabil karena kata-katanya selalu bermakna positif. Sedangkan Radit, hanya pernyataan-pernyataan negatif yang disampaikannya.Ngomong-ngomong, sudah dua hari Kayla tinggal di sini. Dan ia sudah jarang melihat Radit. Radit tidak pernah ada saat ia ma
Kayla menarik tubuhnya dari Radit. Tiba-tiba saja ia tersadar kalau sedari tadi berada dalam pelukan laki-laki itu. "Maaf," ujarnya malu."Nggak apa-apa," jawab Radit, tak rela kebersamaan singkat itu harus berakhir."Dit, sekarang kita cari Alan ya," pinta Kayla penuh harap dengan muka memelas begitu mereka berjalan bersisian menuju motor yang diparkir diluar area pemakaman."Aku nggak tahu rumah dia," kata Radit dengan nada tidak suka. Rasa bahagia yang tadi menyelimuti hatinya karena tadi Kayla sudah melunak, kini menguap begitu saja."Tapi aku tahu, Dit.""Kayla, ini hampir sore, besok aja ya." Radit berusaha mengulur waktu dan berharap Kayla bisa melupakan keinginannya."DIt, aku mohon, aku mau ketemu Alan sekarang," Kayla mengatupkan kedua tangannya di dada agar Radit mau mengabulkan permintaannya.Berat bagi Radit untuk memenuhi keinginan Kayla. Coba bayangkan, gimana rasanya mengantarkan seseorang yang sangat kita cintai bertemu dengan orang yang pernah sangat berarti dan me
Radit pun membawa Kayla pulang. Begitu sampai di rumah Kayla langsung masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Ia butuh waktu sendiri untuk merenungi semuanya.Radit ikut mengunci diri di kamarnya. Hari ini sangat melelahkan. Bukan saja bagi fisik, tapi juga hati dan pikirannya. Entah berapa lama lagi kondisi ini akan berlangsung.Radit merogoh handphone di kantong celananya. Seharian ini ia belum memeriksa benda itu karena tadi sibuk mengantar Kayla ke mana-mana. Tidak ada yang penting dan pasti tidak ada yang menghubungi karena semua orang sudah menjauh sejak keadaannya berubah. Meski demikian, Radit masih menabur harapan akan ada kabar baik untuknya.Ada beberapa kali panggilan tak terjawab serta email. Radit langsung duduk begitu membaca email yang masuk. Ia meyakinkan diri kalau penglihatannya masih berfungsi dengan baik.Di layar handphonenya Radit membaca sebuah email dari sebuah perusahaan start up e commerce yang memberitahukan bahwa dirinya diundang untuk interview besok. Seul
Pagi-pagi sekali Radit sudah bangun dan bersiap-siap. Setelah bertahun-tahun, akhirnya hari ini ia akan kembali mengikuti interview layaknya karyawan baru atau pun fresh graduate. Ada sedikit rasa grogi, gugup, nervous atau apapun namanya serta sedih mengingat selama ini dirinyalah yang menginterview. Tapi sekarang malah sebaliknya."Kamu mau ke mana, Dit?" tegur Papa saat melihat Radit sudah berpakaian rapi dan wangi."Pagi ini saya ada interview, doain ya, Pak," jawab Radit singkat.Rona di wajah papa yang tadi biasa langsung berubah. Lelaki berumur hampir tujuh puluh tahun itu merasa terharu mendengar kata-kata anaknya. "Iya, Papa selalu doain kamu, nak," ucapnya tak bisa menyembunyikan rasa bahagia. "Mulai saat ini tolong jangan panggil bapak lagi sama Papa.""Iya, Pa," jawab Radit kaku. Lidahnya terasa kelu saat mengucapkan kata itu.Papa tersenyum tipis. Rasa bahagia, haru, gembira, serta rasa-rasa yang indah lainnya memenuhi ruang hatinya.Radit mengedarkan pandangannya dan mel
Sudah larut malam, tapi Kayla masih belum mampu memejamkan mata. Ada sesuatu dalam pikirannya yang terus menggelitik. Tentang diri, tentang keluarga, serta tentang kehidupannya yang tak mampu ia ingat. Dan satu-satunya orang yang bisa memberikannya penjelasan serta gambaran tentang hal itu adalah Radit, meskipun fakta yang dibeberkannya seringkali menyakitkan.Kayla keluar dari kamarnya lalu berjalan pelan menghampiri kamar Radit. "Dit ...," panggilnya pelan.Tak lama pintu terbuka. Ternyata Radit belum tidur. "Ada apa, Yang?" "Ada yang mau aku tanya.""Tentang apa?"Kayla tidak menjawab tapi langsung masuk ke kamar Radit. Sikapnya sudah lebih baik dari sebelumnya. Sudah jauh lebih lunak walaupun masih jinak-jinak merpati."Kalau memang aku sudah lulus kuliah, ijazah dan transkrip nilaiku mana?" Kayla bertanya setelah duduk di kursi palstik yang ada di kamar Radit."Ada di lemari. Kamu mau lihat?"Kayla mengangguk.Radit pun mengambil dokumen yang dibutuhkan Kayla dan memberikannya.
Kemacetan lalu lintas langsung menghadang begitu Radit memasuki jalan protokol.Antrian panjang kendaraan membuatnya nyaris stress. Masalahnya, ini adalah hari pertamanya bekerja. Radit tidak ingin memberikan kesan buruk dengan datang terlambat tepat di hari perdananya.Sebagai seorang mantan pimpinan, Radit tahu betul cara penilaian seorang atasan terhadap bawahan.Saat lampu merah menyala, Radit ikut antri bersama ratusan pengendara motor lainnya di sisi sebelah kiri deretan mobil yang juga tak kalah mengular.Suara klakson yang saling bersahutan akibat kesabaran yang sudah tergerus menyadarkan Radit. Bisa-bisanya ia melamun dalam keadaan begini.Ternyata lampu merah sudah mati, berganti dengan lampu hijau yang kini menyala, dan itu pun tidak lama.Beruntung, Radit bisa lolos melewati perempatan yang terkenal dengan kemacetannya yang sangat panjang dan lama, sehingga ia tak perlu terjebak lampu merah untuk kedua kalinya.Radit menyadari kalau ia datang kepagian begitu sampai di kan
-Terkadang, kita harus terluka dulu untuk bahagia-***Dea berdiri di depan cermin, lalu menatap refleksi dirinya disana. Pemilik tinggi badan seratus tujuh puluh tujuh senti itu terlihat jauh lebih anggun dengan pakaian tertutup yang membungkus tubuhnya dari ujung kaki sampai puncak kepala. Rambutnya yang panjang yang dulu selalu tergerai bebas sekarang terbungkus rapi dan tersembunyi di balik hijab yang ia kenakan. Tidak ada lagi Dea yang dulu suka menggunakan dress selutut atau pun blouse berbelahan dada rendah. Ia benar-benar sudah berubah dan bertransformasi total. Penampilannya jauh lebih tertutup dan rapi, namun tidak sedikit pun mengurangi kesan anggun yang memang sudah melekat dalam dirinya.“Lan…!!! Sudah siap belum?” Terdengar suara seorang perempuan memanggil namanya diiringi dengan ketukan di pintu.Dea menatap sekali lagi pantulan dirinya di cermin, lalu meninggalkan senyum sebelum berlalu pergi.“Wulan…!!!” panggilan itu terdengar lagi.“Iya, sebentar,” Dea menyahut, ke
-Kadang, kita mencintai seseorang sebegitu rupa sampai tidak menyisakan tempat bagi yang lain. Membuat kita lupa untuk sekadar bertanya, inikah cinta sebenarnya-*Puluhan detik lamanya Nabil berdiri di depan pintu setelah menekan bel. Namun, hingga detik ini masih belum ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Mungkin dia sedang berada dan sibuk di belakang, pikir Nabil. Nabil memutuskan untuk menekan bel sekali lagi. Tapi, baru saja tangannya terulur untuk menyentuh bel, daun pintu terbuka, diiringi dengan seraut wajah manis yang mengembangkan senyum padanya.“Maaf, Yah, tadi bunda lagi di belakang,” ujar perempuan berkerudung itu seraya menyalami tangan Nabil dan menciunm punggung tangannya.“Tidak apa-apa, Nda,” jawab Nabil penuh pengertian. “Rasya mana, Nda?” lanjutnya kemudian.“Lagi tidur di kamar, Yah.”Nabil segera masuk ke kamarnya. Disana, tepatnya di atas sebuah tempat tidur, sedang terbaring seorang anak laki-laki dengan mata terpejam. Ya, dia sedang tidur. Hal pertama yang di
“Kayraaa!!! Ayo sarapan dulu!” seru Kayla dari ruang makan.“Iya, Bun…” Kayra menyahut lalu keluar dari kamar menuju ruang makan.“Ya ampun… rambut kamu belum disisir ya,” ujar Kayla melihat rambut Kayra yang masih berantakan, sementara tubuhnya sudah terbalut seragam sekolah. Kayla mengabaikan sejenak urusan meja makan dan melangkah tergesa ke kamar Kayra untuk mengambil sisir.“Bunda…!!! Crayon aku patah…”Baru saja Kayla akan menyisir rambut Kayra, terdengar teriakan Kiran dari ruang tengah.“Iya, sayang, sebentar ya, Bunda sisirin rambut kakak dulu.”Dengan telaten Kayla membagi rambut Kayra menjadi dua bagian sama banyak, lalu mengepangnya dengan rapi.“Bunda… gimana nih, crayon aku patah…” Kiran yang sudah tidak sabar kembali berseru memanggil Kayla.Menyeret langkah panjang, Kayla bergegas ke ruang tengah. Disana, putri keduanya itu tampak sedang merengut. Di hadapannya terbuka lebar sebuah buku mewarnai dengan sekotak crayon beraneka warna.“Mana yang patah, nak?” tanya Kayla
Hari itu sudah semakin dekat. Hari dimana Kayla akan menyerahkan hidupnya pada garis takdir. Kayla sudah ikhlas jika memang seperti itu nasib yang harus diterimanya. Dan, hari ini Kayla kembali mengunjungi pusara Radit. Ia tidak sendiri, tapi bersama Kayra, sang putri tersayang.Dulu ia sangat rajin berkunjung kesini. Mengadukan luka batinnya dan kesendirian yang membuatnya semakin tersiksa. Tapi seiring waktu, frekuensi kunjungannya juga berkurang. Bukan Kayla tidak ingat Radit lagi, tapi Kayla hanya sedang berusaha menyembuhkan lukanya secara pelan-pelan.Lama Kayla termangu di pusara Radit. Kayla merasa keputusannya untuk menikah dengan Nabil adalah sebuah bentuk pengkhianatan pada Radit. Tapi ia tidak punya pilihan lain yang lebih baik.“Maafin aku, Dit, tapi aku melakukan semua ini demi anak kita,” gumamnya di sela isak.“Bunda kenapa minta maaf sama papa? Bunda salah apa?” Kayra yang keheranan melihat Kayla berurai air mata bertanya polos. Berbagai pertanyaan bertumpuk di hatiny
Kayla masih merenungi semua yang sudah dilakukan dan dikatakannya pada Nabil. Rasanya semua seperti di luar kontrol dan berasal dari alam bawah sadarnya. Menikah dengan Nabil untuk ke dua kalinya sama sekali tidak pernah ada dalam opsi hidupnya. Bagaimana mungkin ia menikah dengan orang yang tidak ia cintai? Namun, di dalam hidup terlalu banyak pilihan-pilihan sulit, dan kita harus memilih salah satu di antaranya. Kayla mengalihkan pandangan pada Kayra yang sedang tidur. Wajahnya tenang dan begitu damai. Sungguh, Kayla tidak sanggup melukai dan menyakiti hatinya. Dia masih terlalu kecil. Sudah terlalu banyak hal-hal mengiris batin yang dialaminya dalam usia sedini itu. Kayla berjanji, ia tidak akan lagi menambah luka pada anaknya itu.Mata Kayla berpindah pada kantong plastik putih dengan label rumah sakit yang dikunjunginya tadi. Perlahan, dibukanya kantong itu dan mengamati satu demi satu butiran pil berbentuk bulat yang kini memenuhi ruang matanya.Pandangan Kayla berpindah pada
Seperti permintaan Kayla, Nabil pun menjemput Kayra ke sekolahnya. Ternyata Nabil datang lebih cepat. Dengan sabar ia pun menunggu sampai Kayra pulang. Ia duduk di bangku berwarna-warni yang tersedia disana dan memandang lepas pada kerumunan anak-anak yang menampilkan beragam ekspresi.Dari jauh Nabil memperhatikan Kayra yang sedang bermain bersama teman-temannya. Nabil rasa usulnya pada Kayla agar menyekolahkan Kayra tidak sia-sia. Buktinya, sekarang Kayra jauh berubah, malahan amat sangat jauh. Wajahnya yang biasa tersaput mendung, sekarang diselimuti awan-awan ceria. Tidak pernah lagi Nabil melihat rona kesedihan di mukanya. Memandang muka Kayra, Nabil seperti sedang menatap Radit. Mereka memang mirip. Siapa pun tidak ada yang akan membantah kalau Kayra adalah anak Radit. Ingat Radit, pikiran kembali membawanya pada hari terakhir Radit bersamanya.Saat itu mereka duduk berdua di kursi teras rumah sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain di pekarangan. Dari yang awalnya mere
“Kay, blush on-nya kenapa tebel banget? Udah gitu belepotan sampai ke hidung,” ujar Nadin hari itu saat berkunjung ke rumah Kayla. “Masa sih? Aku enggak pake blush on padahal,” timpal Kayla seraya memegang pipinya dengan kedua tangan.Nadin mendekatkan mukanya, lalu menyipitkan mata mengamati Kayla baik-baik. Ditempelkannya telunjuk ke pipi dan hidung Kayla. Permukaan wajahnya terasa kasar. Kayla benar, dia tidak memakai blush on, tapi ini…“Alergiku kambuh lagi, Nad, tempo hari Kayra pengin makan ikan kalengan, iseng, aku juga ikut makan,” beber Kayla.Nadin menjauhkan telunjuknya dari muka Kayla setelah mendengar penuturannya.“Tapi kayaknya parah banget, Kay,” kata Nadin sedikit meringis. “Dibawa ke dokter aja ya!”“Enggak perlu pake ke dokter kali, Nad, tinggal dikasih salep juga bakal hilang kok.”“Oh gitu ya? Ya udah.” Nadin tidak lagi membahas masalah itu.Sunyi, sepi, dan hening yang tersisa saat Nadin sudah pergi. Kayra juga tidak di rumah karena sejak tadi dibawa Nabil. Be
Sudah tiga hari Kayra menghabiskan paginya di play group dekat rumah. Seperti yang ia janjikan, Nabil memang mengantarkan sang ponakan kecil, dan, Kayla yang bertugas untuk menjemputnya.Kayra terlihat jauh lebih ceria dibanding hari-hari biasa. Dia seperti menemukan dunia baru yang selama ini seolah tersembunyi di belahan bumi bagian lain. Bertemu teman-teman seusianya dan bisa bermain bersama merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Kayra.“Kamu lihat sendiri kan, Kayra senang banget,” ujar Nabil yang berdiri di samping Kayla sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain ayunan. Kebetulan hari itu hari sabtu, Nabil tidak kerja, jadi selain mengantar Kayra, ia juga bisa menemani Kayla menjemput Kayra pulang.“Iya,” timpal Kayla dan ikut tersenyum memandangi Kayra. Ya, Kayla memang sudah bisa tersenyum sekarang.“Bunda… !” Kayra yang melihat Kayla dan Nabil langsung berseru riang dan berlari mendekati kemudian menghambur ke pelukan Kayla.“Sudah selesai mainnya, nak?” tanya Kayla sembar
“Bun… Bunda… bangun, Bun!” Kayra mengguncang-guncang Kayla yang masih tertidur lelap. Karena tak henti-hentinya mendapat serangan guncangan, Kayla pun terusik. Dibukanya mata. Berat, seperti ada perekat yang membuat kelopak matanya menempel. Kayla kembali akan menutup netranya, namun suara Kayra mencegahnya untuk melakukan hal itu.“Bun, bangun, sudah siang, aku lapar… “ rengek Kayra sembari memegang perutnya.Pelan-pelan, Kayla kembali membuka mata. Dilihatnya Kayra yang juga tengah menatapnya. Ah, ternyata aku masih hidup, pikir Kayla. Kenapa aku harus melihat dunia lagi?Ia kembali mengumpulkan kekuatan dan semangat untuk menjalani hari-harinya yang berat.“Bun, aku lapar, mau makan,” rengek Kayra lagi. Semalam ia hanya makan dua suap, dan sekarang perutnya sudah meronta-ronta minta diisi. Cacing-cacingnya sudah pada demo.“Iya, sebentar ya, nak.”Kayla ingat, sup daging sisa semalam masih banyak dan sudah ia masukkan ke kulkas. Ia hanya tinggal sedikit memanaskan.Kayla berniat