Karen sangat takut hingga dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, dan pisau itu pun menggores punggung tangannya, menorehkan darah di irisan lukanya."Aaah!" Karen berteriak kesakitan. Dia kaget dengan tindakan bengis Lana. "Kau, kau—""Hmph." Lana mencibir dan menatap Madeline. "Bagaimana menurutmu, Eveline? Kau membenci ibu mertuamu, ‘kan? Aku membantumu untuk memberinya pelajaran. Tidakkah kau merasa senang?”Karen menatap luka berdarahnya. Saat mendengar kata-kata itu, dia menumpahkan amarahnya kepada Madeline. "Eveline, apa ini ulahmu? Perempuan ini jelas-jelas mengincar kamu! Jeremy jadi begini karenamu! Aku terluka sekarang juga karena kamu! Dasar pembawa sial!""Ck, ck, ck. Sungguh sepasang bibir yang menyebalkan." Lana melambaikan pisau tajam di tangannya dengan tidak sabar. "Eveline, karena mertuamu sangat menyebalkan, biarkan aku membantumu dan menutup mulut perempuan itu untuk selamanya."Ketika Karen mendengar itu, wajahnya langsung memucat karena ketakutan.Dia ingi
Karen memandang lantai di sekitar kaki Madeline dengan panik.Saat ini pertengahan musim panas dan Madeline mengenakan rok. Ada genangan di sekeliling kakinya.Genangan itu adalah air ketubannya!Jika air ketubannya pecah dan dia tidak dibawa ke rumah sakit tepat waktu, janin di dalam rahimnya mungkin akan mati lemas.Karen tak tahu berapa minggu usia kehamilan Madeline, tapi dia yakin kalau itu belum mendekati tanggal melahirkan. "E―Eveline! Berapa minggu usia kehamilan mu?"Madeline menghela napas. "Tepat 30 minggu.""Apa?! Baru 30 minggu?!"Jika usia kandungan Madeline baru 30 minggu, itu berarti masih sekitar dua bulan lagi dari tanggal melahirkan!Karen panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Ketika dia melihat Jeremy berdiri di samping dan tidak melakukan apa-apa, dia berteriak dengan cemas, "Jeremy, ada apa denganmu? Apa kau hanya akan berdiri disana dan menonton sementara istrimu dalam masalah?!""Istri?" Jeremy terkekeh dan melihat wajah Madeline memucat. Dia berbalik dengan a
Madeline menggunakan pandangan tepinya untuk melirik pria yang bahkan tidak ingin memandangnya itu. "Aku tidak punya pilihan lain."Dia berhenti menatap Jeremy dan menelan air matanya ke perutnya.Karen juga tak tahu harus berbuat apa lagi, jadi dia membantu Madeline berbaring di sofa dengan perlahan.Ketika Karen melihat ada dua pengawal lain di ruang tamu, dia mengusir mereka dengan marah. "Keluar! Keluar! Keluar kalian semua!"Dia menatap pria yang berdiri di dekat jendela besar, sedang menatap ponselnya."Jeremy, bahkan jika kau tidak mengenali Eveline, apa kau benar-benar begitu berdarah dingin untuk mengabaikannya dalam kondisi seperti ini? Apa kau akan mengabaikan nyawa seseorang dan anaknya yang belum lahir?"Jeremy mengerutkan alisnya, dan ketika dia berbalik, dia jelas sangat tidak senang.Dia baru saja akan memperingatkan Karen ketika dia melihat sekilas Madeline yang sedang berbaring di sofa, berkeringat dan pucat.Entah mengapa, Jeremy tiba-tiba merasakan sakit yang menusu
Jeremy tiba-tiba mendengar Karen berteriak pada Madeline dengan sangat cemas, dan dia pun terkejut.Dia melihat Madeline hampir tertidur, lalu dia berjalan kembali ke arah wanita itu.Keringat mengalir deras di sekujur tubuh Madeline dan wajah wanita itu seputih lembaran kertas.Dia bisa melihat betapa kerasnya wanita itu berjuang melahirkan bayinya, tapi wanita itu sepertinya tidak memiliki cukup energi.Madeline melihat pria itu berdiri di sampingnya dalam keadaan linglung, dan dia dengan sekuat tenaga mengulurkan tangannya ke arah pria itu. "Jeremy..."Dia terengah-engah dan menatap Jeremy dengan harapan di sepasang matanya yang basah dan berkabut.Waktu berlalu dalam diam, dan ketika dia melihat Jeremy mengabaikannya, Madeline tersenyum pahit sebelum perlahan-lahan menarik kembali tangannya yang lemah.Pada saat itu, Jeremy tiba-tiba mengulurkan tangan dan meraih tangannya.Sentuhan pria itu seolah menyuntikkan gelombang kekuatan ke tubuh dan pikiran Madeline.Dia membuka matanya y
Madeline membuka bibirnya yang sangat pucat dan tersenyum kecil. "Selama bayi itu anakku dengan Jeremy, tidak masalah bagiku memiliki anak laki-laki atau perempuan."Eloise awalnya sangat gembira, tapi ketika mendengar jawaban Madeline, matanya kembali basah.Dia meremas tangan Madeline dan berkata, "Dulu, kau memegang keyakinan yang sama dan mempertaruhkan nyawamu untuk melahirkan anaknya juga, bukan?"Madeline tersenyum tanpa menyangkalnya.Dulu…Dulu, dia sangat mencintai Jeremy hingga dia tak keberatan jika itu berarti kematian untuknya.Dia pikir sekarang pun masih tetap sama.Dia masih sangat mencintai pria itu."Laki-laki," ucap Eloise sambil menangis dan tertawa. "Bayi laki-laki yang jelek."Madeline juga tersenyum. "Ketika dia dewasa nanti, dia akan tampan. Aku yakin Jack juga jelek saat dia lahir," katanya, tiba-tiba terdiam.Dia belum pernah melihat bagaimana rupa Jackson saat anak itu lahir...Madeline menghabiskan lebih dari setengah bulan di rumah sakit untuk memulihkan d
"Jeremy," kata Madeline dengan gembira, "Apa kau datang untuk melihat bayi kita?"Jeremy menatap Madeline yang tersenyum dan berjalan ke jendela kaca dengan acuh tak acuh. Dia melihat bayi yang baru lahir itu terbaring di inkubator. Bibir tipisnya sedikit terbuka saat dia bertanya, "Yang mana bayi mu?"Nada suara pria itu sangat lemah hingga orang tak bisa membedakan emosi apa pun yang keluar darinya.Madeline tersenyum dan berkata, "Yang kedua di baris terakhir, yang paling kecil."Ada seberkas kegembiraan di mata indahnya saat jari-jarinya yang ramping menunjuk ke bayi mungil yang tertidur lelap itu. "Laki-laki. Dia mungkin akan terlihat seperti kamu nanti.""Bagaimana bisa anakmu mirip denganku?" Kata-kata pria itu tiba-tiba terasa seperti baskom berisi air dingin yang disiramkan ke kepala Madeline.Dia menatap pria dingin itu dengan heran. "Jeremy?""Kau masih memimpikannya? Jeremy, suamimu yang sudah meninggal," kata pria itu terus terang tanpa ampun, kata-kata kasar pria itu menu
Dia menatap sedih pria itu dan berbalik dengan tegas.Sebelum dia bisa mengambil langkah, bagian belakang lehernya dicengkeram oleh telapak tangan hangat pria itu dan Madeline dipaksa untuk berbalik. Pria itu membuat wajahnya berada tepat di depannya.Mata bulat tak berdasar pria itu menyelubungi penglihatannya bagaikan malam yang dalam dan tak bertepi."Apa kau tahu kalau kau cari mati jika terus bertindak seperti ini?""Jadi, apa kau akan membunuhku, Mr. Zimmerman?" Madeline dengan tegas menyapa sepasang mata sedingin es yang tajam dan menakutkan itu.Sepasang mata indah, jernih, dan menawan Madeline yang tampak seperti musim gugur tercermin di kedua matanya. Seolah-olah penampakan wanita itu menarik hati sanubarinya, membuatnya linglung untuk sementara waktu.Dia segera kembali sadar dan fokus ke mata Madeline."Jangan khawatir, aku tidak akan membunuhmu, tapi aku akan menunjukkan kepadamu konsekuensi karena menyinggung seseorang yang seharusnya tidak kau singgung."Kata-kata pering
Lana menatap tubuh Jeremy dengan sorot mata lapar.Fisik pria itu ramping dan sempurna, sebanding dengan model papan atas.Hal pertama yang menarik perhatian Lana tentang Jeremy adalah penampilan fisik pria itu. Setelah itu, dia tertarik pada kasih sayang yang pria itu berikan dan aura yang pria itu pancarkan.Dalam beberapa bulan terakhir, dia telah menyisihkan biaya tak terbatas pada tenaga dan sumber daya hanya untuk mendapatkan pria ini.Malam ini, kesempatannya akhirnya ada di sini.Jeremy turun dari treadmill dan menatap wanita yang mendekatinya, tapi tak ada riak-riak gelombang di hatinya—apalagi perubahan pada detak jantungnya.Lana mematikan puntung rokok, berdiri di depan Jeremy, dan menatap genit pada pria itu. Dia perlahan memejamkan kedua matanya.Jeremy menatap Lana yang sedang menunggu dengan mata terpejam. Dia mengangkat tangannya dan menekannya di belakang kepala Lana, tapi dia tak bisa menundukkan kepalanya dan mencium wanita itu sekeras apa pun dia berusaha.Ciuman d