Jeremy berkata sembari duduk. Meredith pura-pura menarik pria itu.“Jeremy, aku pikir itu bukan ide yang bagus. Maddie terlihat tidak senang.”Madeline ingin sekali melemparkan gelas jusnya ke wajah Meredith. Ia ingin menanyakan padanya, matanya yang sebelah mana yang melihat kalau ia tidak senang dengan hal ini?Di tengah keheningan, Madeline mendengar Jeremy berkata tenang, “Memangnya siapa dia berani menolak kita?”Hehe.Yeah, siapa dia?Dirinya selalu tidak ada artinya di hadapan Jeremy.Ketika Meredith melihat Madeline tidak berani mengatakan apa-apa, dia merasa sangat puas.Gadis itu meletakkan tasnya dan hendak duduk di sebelah Madeline. Namun, dia tidak menyangka Jeremy sudah lebih dulu menduduki kursi incarannya.Meredith kaget, di sisi lain, Madeline juga tidak kalah kaget.Namun, berdasarkan identitas mereka, tidak ada yang salah dengan Jeremy duduk di sebelah Madeline.Meskipun merasa sangat kesal dengan hal ini, Meredith tidak berani membuat keributan. Jadi, dia hanya bisa
“Aku akan mengantarmu kembali.” “...” Madeline terkejut. Sementara rasa terkejut menggelembung makin melebar di seluruh permukaan tubuh Meredith, dia mulai merengek dengan genit. “Tapi kau sudah berjanji akan pergi berbelanja denganku, Jeremy.” “Kau bisa menungguku dulu di sini.” Jeremy berjalan ke arah Madeline bahkan tanpa meluangkan waktu melirik Meredith. “Ayo pergi.” “Tidak perlu. Aku bisa kembali ke kantor sendiri.” Dengan cepat Madeline menolak tawaran Jeremy. Ia sama sekali tidak tahu apa yang sedang Jeremy mainkan, namun ia tidak menyukai atmosfer yang datang bersama dengan rencana Jeremy.“Adakah orang lain yang lebih kamu sukai untuk mengantarmu kembali, kalau bukan suamimu ini? Mungkin Mr. Whitman yang lain?” tatapan Jeremy intens menembus ke dalam tubuhnya, kata-kata yang tak sempat terucap tetap saja sampai kepadanya. Tidak ingin bertengkar lagi, Madeline berhenti protes dan membiarkan Jeremy mengantarnya kembali ke kantor. Madeline tak bisa menahan kegembiraan yang
Madeline merasakan jantungnya yang tadi berpacu seketika menjadi tenang dan saat bara itu meninggalkannya, darahnya membeku di dalam pembuluh darah. Haha. Berpikir kalau ia awalnya mengira bahwa pria itu cemburu. Menggelikan sekali. Ketika sebenarnya cuma seorang alpha male yang posesif, menegaskan dominasinya. Ia hanya sebuah barang belaka dalam permainan Jeremy. Madeline tersenyum tanpa emosi, saat ia merasa Felipe mendekat dari belakang. “Aku mempercayakan istriku di tanganmu, Uncle Felipe. Terima kasih sebelumnya telah menjaga Madeline,” Jeremy berterima kasih pada Felipe. Felipe tersenyum lembut. “Tentu saja.” … Sementara Madeline tidak membeli syal baru, ia membeli plester luka ringan untuk menutupi tanda merah yang Jeremy tinggalkan di lehernya. Ia duduk dan mulai bekerja. Tidak berapa lama kemudian, ia mulai menerima banyak pesan berisi caci maki dari beberapa nomor tak dikenal. Semua mendampratnya tentang betapa ia tidak tahu malu karena menggoda Jeremy. Terlalu mu
Dengan arogan, Meredith mengangkat kepalanya untuk menatap Madeline. Kemarahan gadis itu pasti dipicu oleh penghinaan yang dia rasakan karena tindakan Jeremy siang tadi. Madeline terkekeh ringan. “Lalu kenapa kau marah kalau kau sangat yakin Jeremy menciumku hanya untuk bersenang-senang? Kenapa menghabiskan banyak sekali uang untuk menyewa orang mengirimiku pesan-pesan itu?” “Kau…” Kata-kata membentuk gumpalan di tenggorokan Meredith, tak bisa diucapkan. Madeline mulai mengerti sekarang. “Itukah kenapa kau menyuruh pelayan Keluarga Whitman meneleponku? Buat apa kau meneleponku untuk datang ke sini?” “Tentu saja urusan penting.” Senyum Meredith berganti menyeramkan ketika tiba-tiba mencengkram pergelangan tangan Madeline, matanya kejam dan garang. “Kenapa kau tidak lenyap saja, Madeline? Berapa kali aku harus mengingatkanmu kalau Jeremy itu milikku? Kau seharusnya sekarang tahu apa yang terjadi saat kau merebut lelakiku.“Apa kau lupa kenapa kau dipenjara? Apa kau lupa bagaimana Jer
Perut Madeline menghantam sudut meja tamu lalu ia jatuh ke lantai dan menggigil saat rasa sakit menikamnya dan menyebar ke sekujur tubuhnya secara bergelombang. Selagi berusaha berdiri kembali dengan susah payah, ia ditampar lagi oleh Mrs. Whitman bahkan sebelum ia bisa menstabilkan dirinya. “Wanita iblis! Aku akan membuat hidupmu menjadi neraka dunia kalau sampai terjadi apa-apa dengan cucuku!” Mrs. Whitman dengan kasar memberi peringatan, sebelum akhirnya mendorong Madeline lagi. Karena kakinya sudah lemah, Madeline terjatuh kembali ke lantai saat Mrs. Whitman mendorongnya. Kali ini, kepalanya yang terbentur meja tamu. Akibatnya, keningnya robek dan darah mulai mengalir keluar dari lukanya. Bintik-bintik hitam muncul di depan pandangannya dan kepalanya berdengung. “Hatiku sakit, Jeremy! Kenapa Madeline harus selalu mengincarku sepanjang waktu?” Meredith mulai meratap dan mengeluh. Tatapan mengancam dan mengerikan Jeremy menyapu Madeline lagi sebelum akhirnya pria itu berbalik d
Dengan langkah berat, ia berbalik untuk pergi hanya untuk mendengar suara Jeremy yang tiba-tiba terdengar dengan keras di belakang. “Seorang wanita baru saja mendonasikan darahnya untuk anakku? Wanita yang mana?” “Hah? Oh, yang itu.” Mendengar jawaban perawat itu, Madeline menyembunyikan dirinya di pintu keluar darurat. Ia takut nanti Jeremy akan jijik kalau tahu bahwa itu adalah darahnya, namun menyelamatkan Jackson menjadi prioritasnya. Madeline bersembunyi di sudut, mengencangkan dagunya dan berjongkok saat melihat Jeremy lewat di depannya. Sekujur tubuhnya sakit dan pendonasian darah tadi membuatnya menggigil karena kedinginan. Menekuk tubuhnya di pojokan, ia melihat sosok Jeremy pergi dan menghilang dari pandangan, sama seperti kesadaran Madeline mulai memberi. Hari sudah berganti saat ia terbangun. Kedua kakinya kram oleh posisinya karena ia berdiri dengan tangan tertahan di tembok. Rasa sakit di tubuhnya masih ada dan luka di keningnya membakarnya. Sambil menyokong bera
Meredith melemparkan dirinya ke pelukan Jeremy dalam teror, dengan jelas menciptakan imaji seorang korban.Dia sudah pernah memainkan trik yang sama namun masih saja, Jeremy percaya tanpa ada rasa curiga sedikitpun.Semua orang mengeluarkan tatapan hina dan tidak percaya pada Madeline. Madeline sendiri sudah terbiasa dengan tatapan seperti itu, namun ia masih belum bisa terbiasa dengan tatapan ingin membunuh dan dingin yang Jeremy berikan padanya.Dalam otaknya, wajah itu tetap wajah yang ia cintai. Namun, wajah itu tidak lagi mempunyai kelembutan yang sebelumnya dipunyainya.Saat ini, sembari memeluk Meredith, mata dingin dan tajamnya menusuk Madeline."Ma. De. Line!"Dia menggertakkan gigi-giginya sembari meludahkan tiga suku kata itu, masing-masing dengan kekuatan yang seakan-akan bisa menelannya!Madeline merasakan hawa dingin merayap dari telapak kakinya melewati sekujur tubuhnya. Sangat menakutkan.Meredith yang masih bersandar di lengan Jeremy menangis tiada henti. “Jeremy, bagai
Madeline dipaksa menutup mulutnya. Ia menatap sekilas ke arah luar jendela. Di luar langit mendung seakan-akan sebentar lagi akan turun hujan.Menatap bagian dari jalan yang sepertinya familier, saraf Madeline perlahan mengencang.Mobil berhenti. Jeremy dengan bebas keluar dari mobil sementara Madeline diseret keluar.Melihat lingkungan di sekitarnya, mata Madeline melebar dalam ketidakpercayaan."Jeremy, kenapa kau membawaku ke sini!"Ia bertanya menghadap punggung Jeremy, namun pria itu mengabaikannya.Madeline diseret ke makam yang ia bangun untuk kakek dan anaknya. Ia tidak lagi punya kekuatan untuk berdiri, dan pengawal itu mendorongnya ke arah makam.Madeline jatuh ke tanah, meremas area di mana tumornya berada. Ia mengambil nafas dalam-dalam, menahan rasa sakit, dan membuka matanya.Jeremy berdiri di hadapannya, terlihat seperti bangsawan dan dingin, aura pria itu tidak bisa diganggu gugat dan dingin."Kenapa, di sini?" Madeline bertanya, menggertakkan gigi-giginya, pandangannya