Hari sudah sangat gelap, dan Madeline membantu Ava yang mabuk masuk ke dalam taksi.Saat mereka sampai, ia terkejut mendapati Jeremy sedang berdiri di depan.Dengan santai pria itu bersandar di mobilnya. Dia memasukkan salah satu tangannya ke saku celana sementara tangan yang lain memegang rokok. Ujung rokok itu menyala sebentar sebelum sedikit demi sedikit meredup dalam dingin malam. Dia terlihat kesepian.Jantung Madeline melewatkan satu detakan. Ia tidak tahu apakah dirinya gelisah. Ia ingin berada jauh-jauh dari pria itu, namun Jeremy sudah terlanjur melihatnya.Tatapan dinginnya mendarat di wajah Madeline. “Masuk.”Jeremy selalu memerintahnya, tidak pernah memberi Madeline kesempatan untuk memilih.Dengan tenang Madeline mengalihkan pandangannya dari pria itu. “Maafkan aku, Mr. Whitman. Sebaiknya besok saja kita bicara. Sekarang sudah terlalu malam.”Jeremy mengerutkan kening. Dia berdiri di depan Madeline dengan tatapan frustasi. “Aku menyuruhmu untuk masuk.”“Siapa itu? Kenapa b
Madeline menyadari kalimat terakhir Ava sudah benar-benar menyinggung Jeremy.Tiba-tiba pria itu mematikan rokoknya dan terlihat bagaikan setan dari bawah tanah. Lalu, dia menarik Madeline ke arah dadanya.Ava, yang baru saja kehilangan pegangan Madeline, limbung, dan terjerembab ke tanah dengan suara keras.“Ava!”Madeline berteriak dengan panik sembari mencoba berlari dan menolong Ava. Akan tetapi, Jeremy secara paksa mendorongnya ke dalam mobil.Pria itu sudah dirasuki kebencian. “Madeline, inikah yang kau lakukan? Kau berbohong pada sahabatmu bahwa aku mengecewakanmu dan menempatkan dirimu sendiri sebagai korban? Kau benar-benar luar biasa.”Jeremy menatap tajam-tajam Madeline dengan marah. Seakan-akan dia ingin menembus tubuh Madeline dengan matanya.“Janji di antara kita? Janji apa yang sudah aku buat untukmu? Bisakah kau berhenti bermimpi?”Sekali lagi, pria ini menghapus semua janji dan kesepakatan yang dia buat untuknya dulu.Madeline tidak lagi mengharapkan Jeremy untuk mengi
Suaranya dingin, membuat Madeline seketika menghentikan kegiatannya. Kemudian, ia berkata, “Mencuci.”Jeremy mendekat dan melirik kemeja hitam di tangan Madeline. Tiba-tiba badai sudah mengambil ancang-ancang di bawah kedua matanya. “Kau mencuci pakaian laki-laki lain di rumah ini?”Pria itu murka dan menendang ember di depan Madeline.Air mengguyur tubuh Madeline, seketika membuatnya basah kuyup.Madeline berdiri dalam ketakutan, sweater putihnya basah menempel di tubuhnya saat lekuk indah tubuhnya jatuh ke pandangan Jeremy.Seakan-akan es dan api bertabrakan di belakang mata Jeremy. Sebuah dorongan primitif menggelora di dalam tubuhnya.Jeremy mengulurkan tangannya dan menarik Madeline ke dalam dekapannya. Kemudian, dia mencubit dagu gadis itu, memaksa Madeline untuk menatapnya.“Sepertinya setelah tiga tahun dalam penjara, tidak hanya tidak belajar bagaimana bersikap, tapi kau juga belajar bagaimana memprovokasiku, hmm?”Nafas lembut pria itu menerpa wajah Madeline.Madeline tak bis
Jeremy menatap Madeline dalam-dalam sembari mengerutkan kedua alisnya. Api yang mengamuk di matanya seperti padam dengan tiba-tiba.Dia merendahkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Madeline. Kemudian, pria itu mendorong beberapa rambut yang menjuntai di kening gadis itu ke belakang. Nada bicaranya kali ini lembut, sangat berbeda dari biasanya, saat dia berkata, “Kau bilang bahwa kau hamil anakku sebelum kau dipenjara. Bagaimana kau kehilangan anak itu?”Sebenarnya akan baik-baik saja kalau Jeremy tidak menanyakan hal itu. Tepat di saat dia bertanya, luka yang belum sembuh di hati Madeline kembali terbuka. Darah mulai deras mengalir dari luka itu.Ia menatap Jeremy yang tiba-tiba menanyakan hal itu dengan tatapan geli. “Seperti yang kau bilang, Mr. Whitman. Putriku sudah mati, jadi buat apa repot-repot bertanya? Apakah dia akan bisa hidup kembali?”“Madeline, jawab aku.”Jeremy menatap Madeline yang memasang seulas senyum palsu di wajahnya. Jantung Madeline seakan dijepit kuat-kuat oleh
Madeline tersenyum. Ketika ia hendak pergi, ia melihat Jeremy sedang menatapnya. “Ayo kita sarapan dulu.”APA?Madeline menghentikan langkahnya sembari bengong tidak percaya.Kapan pria ini bicara padanya dengan nada bicara yang begitu lembut dan kapan ia pernah makan berdua saja dengan Jeremy, terutama makan pagi yang terasa intim?“Madam, makanan Anda sudah siap.” Mrs. Hughes tersenyum ramah pada Madeline.Setelah agak ragu-ragu sejenak, Madeline berjalan mendekat.Ia menatap isi meja makan. Di situ sudah ada semangkuk sereal dan dua piring roti bakar bersama beberapa roti rumahan buatan Mrs. Hughes. Madeline menyukai menu makan pagi seperti ini.“Duduklah di sini.” Jeremy menarik sebuah kursi di sebelahnya.Sambil melihat sekilas ke arah pria itu, ia berkata, “Tidak, itu terlalu dekat. Aku takut nanti aku akan mengotorimu, Mr. Whitman.”Kemudian, ia duduk di seberang Jeremy.Seketika wajah Jeremy menggelap. Seakan-akan badai sudah hampir datang.Melihat itu, ia merasa gelisah. Ia me
Ketika Meredith mendengar jawaban Jeremy, dia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. “Jeremy, aku datang mencarimu langsung setelah aku bangun tidur. Aku bahkan belum sarapan. Apa yang harus aku lakukan kalau kau pergi?”Jeremy tidak berbalik. “Kau bisa menghabiskan waktumu dengan makan pagi.”“...” Meredith berdiri di tempatnya dengan tatapan kebingungan. Dia melihat ke arah Jeremy yang mengabaikannya dan malah berjalan menyusul Madeline. Dia mencengkeram tasnya kuat-kuat, merasa seolah-olah dia sudah hampir meledak.Madeline juga kaget dengan tindakan Jeremy. Namun, terlihat sepertinya pria itu serius melakukan itu. Saat Jeremy melewatinya, dengan sengaja pria itu memperlambat jalannya dan menatapnya dalam-dalam. “Ikuti aku.”Madeline tidak mengerti mengapa Jeremy melakukan ini, namun saat ia melihat wajah murka Meredith, ia tersenyum dan menurut. Ia masuk ke dalam mobil Jeremy.Untuk menghindari segala bentuk perdebatan yang tidak perlu, Madeline tidak mengucapkan sepatah kata pun
Madeline sekarang merasa tersinggung. Bagaimana mungkin pria itu merasa menyesal?Meskipun iya, sudah sangat terlambat.…Madeline perlahan bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Semua rekan kerjanya sangat ramah dan mereka sedang mendiskusikan sebuah perayaan untuk Madeline si anak baru sembari makan siang.Semua karyawan sedang ramai berbicara soal apa yang akan mereka makan untuk makan siang ketika Elizabeth Snow memasuki ruangan.Elizabeth masih muda dan sangat cantik. Dia juga memakai pakaian kerja yang sangat bergaya. Sesaat setelah masuk, dia menepukkan kedua tangannya dan berkata dengan serius. “Kita baru saja menerima sebuah proyek yang sangat penting. Seorang influencer yang sedang naik daun, Lolly Tate, akan bertunangan dengan kekasihnya. Mereka menemui Mr. Whitman dan meminta kita untuk mendesain sepasang cincin, sebuah kalung, dan sebuah gelang untuk pasangan itu. Mereka akan membayar biaya kustomisasi sebanyak $10 juta. Kalau kita bisa mendapatkan kesepakatan ini,
Madeline memegangi pipi kanannya yang terasa sakit. Ia bingung.“Madeline, dasar kau perempuan keji! Nenek sihir durjana!” Eloise berteriak sembari menunjuk hidung Madeline.Madeline tidak mengerti kenapa ia merasa sangat ngeri saat melihat tatapan menusuk Eloise.“Mrs. Montgomery, mengapa kau menamparku?” Madeline berusaha untuk tetap tenang namun jantungnya berdegup dengan ganas.“Kau masih punya muka buat bertanya mengapa?” Eloise menunjuk-nunjuk Madeline dengan murka. “Bersama orang lain kau menculik cucuku dan kau pun merundung putri kesayanganku, Meredith. Sekarang, kau bahkan menghasut lelaki lain lagi untuk membuatnya berada di pihakmu. Laki-laki itu mengirimi Mer surat dari pengacaranya dan berkata kalau putriku dengan sengaja menganiaya seseorang menggunakan kopi panas!”Sembari mengatakan itu, dengan marah Eloise melemparkan surat itu ke wajah Madeline.“Madeline, kau benar-benar wanita kejam! Syukurlah kedua orang tuamu lebih dulu meninggal, kalau tidak, mereka akan mati ka