“Jangan sentuh aku,” tukas Madeline dengan jijik, “Jangan sentuh aku dengan kedua tanganmu yang sudah menyentuh perempuan lain. Aku merasa jijik.”Jeremy merasa seolah-olah ada sesuatu yang menusuk hatinya setelah mendengar kata-kata Madeline yang penuh dengan kebencian.Ternyata kata 'jijik' bisa memiliki kekuatan yang begitu besar.Namun, dulu dia terus menggunakan kata ini sebagai senjata untuk menyerang gadis ini, lagi, dan lagi.Madeline menarik nafas dalam-dalam saat Jeremy tidak mengatakan apa-apa. Dia menatap Jeremy dengan kedua matanya yang dipenuhi amarah. Dia mengejek, berkata, “Kenapa? Kau tidak senang ya kuperlakukan seperti ini? Siapa kamu berani tidak senang dengan ini? Apa kau lupa bagaimana dulu kau memperlakukan aku? Kau bilang aku adalah pelacur tak bermoral. Kau bilang aku membuatmu jijik. Kau bilang aku tidak layak menjadi isteri Jeremy Whitman. Apa kau lupa semua itu?”Setelah Madeline selesai menanyainya, Jeremy mengerutkan kening.Madeline menceritakan semua yan
Madeline menyelesaikan kata-katanya tanpa ragu-ragu. Tatapan tajamnya memindai wajah Jeremy sebelum dia pergi.Jeremy meraih tangan Madeline, membuatnya menghentikan langkahnya. Dia menatap pria itu dengan tatapan dingin. "Ada apa? Kau ingin menghukumku dengan cara barbarmu? Jeremy, aku bukan lagi Madeline yang mengizinkan kamu menghina dan mempermalukan dia. Aku tidak takut padamu!”Dia menatap sepasang mata dalam pria itu tanpa rasa takut. Ada ekspresi tak terkalahkan di kedua matanya yang membuatnya terlihat mendominasi dan angkuh bagaikan seorang penguasa.Jeremy tidak marah. Sepasang matanya yang penuh gairah terpaku pada wajah sempurna Madeline saat dia menatap lurus ke arah gadis itu.Sebenarnya, dia sudah tahu semua hal yang gadis itu katakan padanya selama ini hanyalah kebohongan.Dia hanya akan memiliki kesempatan untuk berdekatan dengan gadis itu selama dia terus berbohong pada dirinya sendiri.Akhirnya, hari ini tetap datang menabraknya.Setelah berdiam diri, Jeremy berkat
Karen kaget. Tapi, dia tak punya keinginan untuk pergi. Sebaliknya, dia berjalan ke depan Jeremy.“Jeremy, ada hal penting yang ingin kukatakan padamu!" Karen tampak panik. “Madeline belum mati! Dia adalah Vera Quinn! Dia mengakuinya dua hari yang lalu! Dia benar-benar Madeline!” Karen berkata dengan bingung. Namun, dia melihat Jeremy tidak terusik. Sesuatu muncul di otaknya. “Jeremy, kau… Kau sudah tahu? Kau tahu bahwa pelacur itu adalah Madeline?”Setelah mendengar Karen mengatakan itu, Jeremy mengangkat pandangannya untuk menatap ibunya.Sepasang matanya sedingin es, membuat Karen menutup mulutnya saat melihat itu.Jeremy bangkit dengan dingin dan pergi tanpa membawa apa pun.Karen mengejarnya. “Jeremy, a-apa yang terjadi sekarang? Apa kau cuma akan mengabaikan Madeline? Kau tahu apa yang dia lakukan dalam dua hari terakhir ini? Jangan terlalu santai, Jeremy. Perempuan itu kembali untuk membalas dendam! Jeremy, Jeremy!”Tak peduli berapa kali Karen memanggilnya, Jeremy tak menaruh p
Madeline memprotes dan menanyai pria itu saat Jeremy teringat kembali akan apa yang terjadi di hari itu.Jeremy mengingat semuanya dengan jelas. Hari itu adalah hari yang berangin dan bersalju. Madeline gemetar hebat saat mendekap guci dengan kedua tangannya, gigi-giginya berlumur darah. Gadis itu terlihat begitu menyedihkan bagaikan seonggok boneka yang telah dikalahkan. Namun, kedua matanya dengan tegas memprotes apa yang sedang dia lakukan.Saat itu gadis itu berkata, “Bunuh aku, Jeremy. Aku tak sudi melihatmu lagi.”Gadis itu juga berkata, “Kau akan menyesali ini, Jeremy!”Akan tetapi, saat itu, dia telah menjawab dengan angkuh, “Tak ada kata ‘menyesal’ di kamusku.”Madeline mencemooh ketika melihat Jeremy tenggelam dalam pikirannya.“Ada apa? Apa kau ingat semua yang telah kau lakukan? Apa kau ingat bagaimana dirimu sangat yakin kalau anak kita adalah anak haram yang tak sabar ingin kau gerus tulang-tulangnya jadi debu?”Jeremy kembali ke alam sadarnya setelah Madeline mengatakan
Jeremy tak pernah mencintainya. Sedikit pun tidak.Saat dia ketahuan kalau berpura-pura sebagai gadis kecil di pantai itu, dia bukan siapa-siapa buat Jeremy. Dia bahkan bukan orang asing lagi meskipun mereka berdua punya seorang putra.“Sepertinya kau terlihat sudah tahu kalau sesuatu akan terjadi,” ucap Jeremy dingin. Tubuh tinggi pria itu mendekatinya bersama dengan aura mendominasinya yang membuatnya takut.Meredith menggelengkan kepalanya dengan polos. “Aku tak tahu apa maksudmu, Jeremy.”Dia memaksakan air mata menggenangi kedua matanya agar dia tampak benar-benar sedih.“Jeremy, demi hubungan kita dan demi Jack, bisakah kau mengeluarkan aku dari sini? Aku benar-benar korban salah tuduh—”“Heh.”Sebelum Meredith bisa menyelesaikan kalimatnya, dia disela oleh cemoohan Jeremy.“Kau tahu kenapa kau masih hidup?” Tiba-tiba pria itu bertanya.Meredith menatap dengan bodoh pria yang seiring berlalunya waktu semakin menakutkan itu.“Karena selama ini aku menunggu jawaban Maddie.”“...” M
Niat membunuh di balik tatapan Jeremy menghilang.Dia mencengkeram kerah Meredith dan menyeret gadis itu ke depannya. “Ulangi lagi apa yang kau katakan barusan.”Meredith menghirup aroma Jeremy dengan rakus saat dia mulai menangis dengan menyedihkan.Meskipun pria itu menatapnya dengan dingin, sepasang mata dan wajahnya yang tampan tetap menjadi hal yang dia rindukan meskipun pria itu dalam keadaan marah sekarang.“Jeremy, meski aku telah melakukan banyak hal buruk, perasaanku padamu murni. Aku benar-benar mencintai—”“Jika kau tak mau menderita, jawab pertanyaanku. Apakah anakku bersama Maddie masih hidup?” Jeremy memotong dengan tidak sabar. Kedua matanya yang menyeramkan membuat tubuh Meredith menjadi dingin.Dia gemetaran sembari menatap kedua mata Jeremy. Dia mengangguk. “Anak itu belum mati. Putramu masih hidup…”Bunga es di sepasang mata Jeremy meleleh. “Di mana dia? Di mana anak itu?”Meredith menggigit bibir keringnya. “Aku ingin keluar dari sini, Jeremy.”“Kau kira kau punya
Lima tahun telah berlalu dan inilah pertama kalinya Jeremy merasa suara Jackson terdengar merdu sekali saat anak itu memanggilnya ‘Daddy’.Dia menghampiri Jackson dan berjongkok. Dia memandang wajah mungil itu dengan tatapan lembut. Mungkin karena efek psikologis, namun saat ini, dia merasa anak di depannya ini makin terlihat seperti Madeline.“Jack,” panggilnya lembut sambil menekan emosi di hatinya.Jackson mengangguk. “Daddy, kapan aku bisa pulang? Aku kangen Mommy. Bukan ibuku, tapi Vera.”Jackson menekankan.Jeremy merasakan hatinya menegang. “Jack, Vera adalah ibumu. Kau cuma punya satu ibu. Ingat itu.”“Aku ingat.” Jackson mengangguk. Dia melambaikan benda di tangannya. “Aku akan menyelesaikan kelinci ini secepatnya. Setelah selesai, aku akan memberikannya kepada Mommy untuk melindungi dia.”Bocah itu mulai memperkenalkan gawainya.Jeremy akhirnya mengerti bahwa itu adalah sebuah perangkat pertahanan diri mini.Dia terkejut karena anak berumur lima tahun itu sudah punya bakat se
Praang!Cangkir teh di tangan Eloise tergelincir dan pecah menghantam lantai.Tangannya yang lemas membeku di udara dan tak bisa digerakkan.“A-apa kau bilang… Vera adalah Maddie…” Eloise bergumam saat air mata dengan cepat menggenangi kedua matanya dan memburamkan pandangannya. Satu-satunya hal yang bisa dia lihat sekarang hanyalah wajah menawan Madeline.Eloise tak mencurigai apa pun. Wajar kalau dia berharap putrinya masih hidup dan baik-baik saja di dunia ini. Ditambah lagi, selama periode ini, dia sudah mulai menyukai Vera.Dia tahu dirinya seharusnya gembira, namun entah mengapa, hatinya merasakan sakit yang tak tertahankan.Sean keluar saat mendengar suara sesuatu pecah. Ketika melihat Eloise berdiri di sana tampak kusam dan lesu sembari terisak, dia mendekat dengan perasaan khawatir dan penasaran.“Ada apa, Ellie? Kenapa kau menangis?” Sean prihatin. Dia menatap Jeremy dengan bingung. “Mr. Whitman, kapan kau tiba di sini? Kenapa Ellie begitu sedih? Apa kau mau membawa Jack pula