Kedua preman itu segera berlari ke ruangan yang gelap, meraba-raba karena tidak ada sumber cahaya untuk memandu jalan mereka. Tepat di saat mereka akan mengambil ponsel mereka, mereka melihat sesosok bayangan hitam melewati mereka dari dinding di belakang. Keduanya dengan cepat menoleh ke belakang. Menggunakan selang waktu, Madeline melemparkan kursi di tangannya ke arah mereka sebelum berbalik dan berlari keluar. Kedua preman itu secara refleks mengulurkan tangan untuk melindungi diri mereka. “Brengsek! Cewek itu benar-benar ada di sini!” “Tangkap dia!” Tahu kalau sekarang tidak ada gunanya terus bersembunyi, Madeline memutuskan bahwa dia tidak akan duduk dan menunggu mereka menemukannya. Menggunakan titik buta mereka untuk melawan mereka, Madeline berlari keluar tepat saat mereka memasuki ruangan. Namun, tidak ada cara yang sangat mudah untuk mencegahnya terlihat. Setelah keluar dari ruangan yang gelap, Madeline dipertemukan dengan Meredith yang kulitnya memerah dan tidak menge
“Selamat bersenang-senang, Vera Quinn! Mereka tidak terlalu buruk!” “Apa kau tidak tahu malu, Meredith Crawford?” “Hahaha… Mungkin jika kau memohon, aku mungkin mempertimbangkan untuk melepaskanmu. Sayang sekali, jika kau begitu keras kepala, maka kau lebih baik mati saja!” Kedua mata Meredith mengeras saat seulas senyum jahat muncul di wajahnya yang diperban. Madeline menolak untuk membiarkan Meredith menyakitinya lagi, terutama sebelum dia membalas dendam atas semua yang dilakukan Meredith padanya dulu.Melihat keempat preman itu mendekatinya, Madeline perlahan mengangkat kedua tinjunya. Ia akan bertarung sampai mati sebelum membiarkan dirinya jatuh ke tangan semua laki-laki ini. Ketika sepasang matanya jatuh ke sebuah tongkat kayu di dekat tembok, ia bergegas mengambilnya sebelum semua preman itu bisa menghentikannya. “Oh? Penuh semangat. Aku suka itu." Preman dengan bekas luka itu tersenyum mengerikan sambil tangannya mengusap dagunya saat menatap dengan tidak setuju pada ton
Kepala Madeline terasa keruh karena pengaruh obat. Dia samar-samar mengira dirinya telah mendengar sebuah suara di telinganya, memanggilnya Madeline dan memberitahunya bahwa semua akan baik-baik saja.Madeline berjuang untuk membuka kedua matanya supaya bisa melihat siapa itu, namun kedua kelopak matanya setiap detik terasa semakin berat. Secara naluriah, dia meringkuk ke pelukan pria yang menolak untuk melepaskannya itu. Mungkin karena pria itu memberinya sebuah rasa aman. Mungkin inilah pertama kalinya Madeline merasakan bagaimana rasanya dilindungi. Yang dia alami beberapa tahun terakhir ini hanyalah penyiksaan. Setiap kali berharap seseorang akan membantunya, yang dia terima hanyalah lebih banyak lagi rasa sakit. Dirinya telah sampai pada titik di mana dia menyerah untuk berharap karena hatinya lelah dengan semua kekecewaan. Saat ini, dia akhirnya mengerti bagaimana rasanya memiliki seseorang yang melindunginya dan itu terasa sangat hangat... Jeremy merasakan wanita di pelu
Menekuk jarinya, Jeremy hendak menarik tangannya kembali ketika kata-kata tegas Ava dan Daniel bergema di kepalanya. ‘Dia adalah Maddie!’‘Aku menolak untuk percaya kalau ada dua orang di dunia ini yang bisa begitu persis sama!’Bagaimana mereka bisa begitu yakin? Kecuali karena mereka melihat satu macam tanda pengenal? Tanda pengenal?Jeremy teringat dengan tahi lalat di atas dada kiri Madeline. Jeremy ingat bagaimana cengkeraman Vera di handuk mengencang saat gadis itu keluar dari kamar mandi ketika menginap untuk menemani Jackson. Mungkinkah gadis itu melakukannya bukan karena malu tapi karena takut dirinya menyadari sesuatu? Detak jantung Jeremy bertambah cepat saat memikirkan itu. Menatap Madeline yang masih tertidur lelap, salah satu jarinya menyentuh kancing gaun rumah sakit gadis itu. Kancing pertama, kedua, dan ketiga dengan cepat dibuka secara berurutan. Klik. Pintu bangsal terbuka saat tangan Jeremy masih di gaun Madeline. “Apa yang kau lakukan, Jeremy?” Feli
Untuk sesaat, Jeremy mengira dia mendengar seseorang memanggil nama ‘Jez’. Dugaan ini menyentakkan dirinya kembali ke kenyataan saat tatapan bingungnya mendarat di wajah Madeline. Dia melihat kedua alis indah gadis itu berkerut dan sepasang bibir bunga sakuranya terbuka seakan-akan dia sedang mengigau. “Kenapa…” Kedua alis Madeline mendadak berkerut semakin dalam saat dia mengucapkan pertanyaan itu. ‘Kenapa?’ ‘Apakah dia baru saja berkata kenapa?’ Dimulai dari ekspresi tertekan pada wajah Madeline, Jeremy mendekatkan tubuhnya untuk mendengarnya lebih jelas. “Kenapa kau tak mempercayai…” Braaak!Tepat di saat Jeremy hendak mendekatkan wajahnya ke telinga Madeline, pintu bangsal dibuka dengan suara keras.Dia disela tepat sebelum dia bisa mendengar seluruh kalimat Madeline. Kedua alis tajamnya berkerut saat Jeremy mengangkat pandangannya yang dipenuhi dengan ketidaksenangan yang ekstrim. Eloise menerobos masuk ke kamar dengan terengah-engah. “Bagaimana bisa kau bera
Kenangan kabur dari sebelum dia menyerah pada kegelapan akhirnya hilang, dan dia ingat bagaimana Jeremy tiba-tiba muncul untuk menyelamatkannya tepat pada waktunya.Dia ingat bagaimana pria itu memeluknya dengan erat dan menghiburnya serta bagaimana dirinya bersandar ke pelukan Jeremy dari betapa terasa amannya dia dibuat oleh pria itu… Jantung Madeline mulai berpacu, memukulkan debar yang akrab buatnya di dadanya. Ia menggigit bibirnya dan mengepalkan kedua tinjunya. ‘Tidak. Bagaimana mungkin aku jatuh cinta pada pria itu lagi?’ ‘Aku bendi dia!’ ‘Cinta di dalam diriku telah mati dengan setiap dorongan menuju ujung yang dalam, yang pria itu paksakan padaku untuk mengambilnya.’ ‘Bagaikan orang yang selamat dari musibah tenggelam yang tak pernah lagi merindukan laut.’‘Namun aku berjanji, aku akan membuatmu tahu bagaimana rasanya tercekik, Jeremy.’… Eloise kembali ke kamar Meredith di mana Jeremy tiba tak lama setelah dia. Eloise terlihat bangga pada dirinya sendiri dengan ke
Sejujurnya, Madeline adalah satu-satunya gadis yang pernah dilihatnya telanjang. Jeremy ingat benar-benar mabuk dua kali dia membuat Meredith 'hamil'. Hanya dari kata-kata Meredith keesokan paginya dia mengetahui bahwa mereka telah tidur bersama. Namun saat ini, dia mendapati dirinya merasa jijik melihat siluet samar Meredith di kamar mandi. “Hiks, hiks… Mengapa, hiks…” Ratapan pilu Meredith terdengar dari dalam. Mendengar itu, Jeremy mengambil sprei dan berjalan ke kamar mandi dengan pandangan tertunduk, membungkuskannya di sekeliling Meredith. “Keluarlah.” Menarik gadis itu keluar dari kamar mandi, dia menyadari bahwa kedua kaki Meredith baik-baik saja. Ketidaksenangan menyerbu kedua matanya yang dingin saat amarah mulai muncul di antara kedua alisnya. “Jeremy!” Meredith berjalan mendekat sembari menerjunkan dirinya ke dada Jeremy, kedua lengannya melingkari tubuh pria itu seperti gurita. “Kenapa, Jeremy? Mengapa hal seperti ini terjadi padaku? Mereka bergantian menyi
Meskipun sudah berusaha keras memberi penjelasan, kedua mata Jeremy tetap penuh dengan kekecewaan dan ragu. “Jeremy…” “Kau sama sekali berbeda dari kau yang dulu saat kita muda.” Jeremy mencemooh. “Hingga ke titik di mana aku tak bisa menahan diriku untuk tidak berpikir bahwa kau bukan gadis yang aku temui saat aku muda.” Kedua pupil mata Meredith mengerut gugup mendengar kata-kata Jeremy. “Tak mungkin! Aku adalah Linnie-mu, Jeremy!” “Linnie.” Jeremy menatap Meredith dengan penuh perhatian saat pria itu mengucapkan nama itu sebelum menarik kembali tangannya. “Aku akan menyelidiki kasus ini dengan lebih dalam. Sebaiknya kau berharap ini benar-benar tak ada hubungannya denganmu.” “...” Meredith mati ucap di saat dia berdiri tegak di tempat. Dia hanya bisa memandangi Jeremy yang berbalik dan pergi. Dia mengencangkan rahangnya dan menghentakkan kakinya dengan frustasi. Jeremy tak boleh tahu keterlibatannya dalam hal ini, apapun yang terjadi! ...Dua hari kemudian, Madeline m