Terima kasih sudah membaca.
Ratna menatap mobil itu hingga membalikkan badan. Sang Sopir--Pak Arif merasa heran dengan apa yang dilakukan oleh nyonya majikannya itu. Ratna bergumam, tetapi masih bisa terdengar di telinga Arif. Mama mertua Amelia tampak seperti baru saja melihat hantu. "Ada apa, Nyonya?" tanya Arif dengan sopan sambil memandang majikannya dari spion. "Rif, antar aku ke Panti Asuhan Mentari." Ratna merasa tidak yakin dengan apa yang dilihatnya itu. "Lho? Memang Tuan Besar ada di panti asuhan?" Arif mengernyit heran saat majikannya meminta diantar ke panti asuhan padahal hari sudah gelap. "Duh! Ga usah banyak tanya. Saya mau ke panti asuhan dulu sekarang. Ga tahu keberadaan papanya Arsa. Biarkan saja dia mau kemana. Lagia hobi banget pergi tanpa pamit!" Pertanyaan Arif membuat Ratna bertambah kesal saat ini. "Ba-baik, Nyonya." Arif tidak berani lagi membantah ucapan majikannya saat ini. Butuh waktu satu setengah jam untuk sampai di Panti Asuhan Mentari. Keluarga Ratna menjadi donatur tetap di
Semua tidak mungkin terjadi secara kebetulan. Setidaknya itu yang ada di dalam benak Amelia saat ini. Tangannya masih sibuk dengan ponselnya. Ia menyimpan nomor itu dengan nama 'aneh' agar Arsa tidak curiga ketika membuka ponselnya. "Mel, kamu kaya orang bingung gitu? Ada apa?" tanya Arsa dengan lembut. Amelia mendongak dan menatap sang suami. Setelah sekian lama, Arsa bisa bertutur kata dengan lembut. Biasanya hanya ada amarah dan caci maki yang keluar dari mulut laki-laki yang hingga kini masih menjadi suami Amelia itu. Amelia mendengkus kasar saat melihat perubahan suaminya itu. "Ga ada apa-apa." Amelia menjawabnya dengan dingin. "Sejak kapan kamu bisa bertutur kata dengan lembut? Oh ... aku lupa, sejak bersama wanita itu," lanjut Amelia dengan nada dingin dan tak bersahabat sama sekali. Entah mengapa justru kalimat itu yang keluar dari mulut Amelia. Seolah ingin memperlihatkan amarahnya pada sosok yang kini terdiam dengan perasaan bersalah itu. Amelia jelas sedang mengeluarkan
Arsa menatap sang tamu yang tak lain adalah ketua rt di kompleks ini. Pak Rano yang saat ini berdiri di depan sepasang suami dan istri itu sepertinya sedang memerlukan bantuan. Beliau tidak pernah bertamu saat hari sudah hampir tengah malam. Arsa pun mendekat ke arah laki-laki paruh baya itu. "Ada apa, Pak? Sepertinya ada keadaan genting sekali?" tanya Arsa yang saat ini tampak sangat panik. Arsa takut jika pertengkarannya dengan sang istri didengar oleh banyak warga. Ia tidak mau aibnya diketahui banyak orang. Egois, siapa yang membuat aib itu? Arsa-lah yang membuatnya. "A-anu, maaf, Pak dan Bu Arsa, saya mau minta bantuan. Itu ada pertengkaran antara Pak Bimo dan istrinya juga wanita simpanannya yang datang melabrak Pak Bimo. Saya dan warga sudah berusaha memisahkan mereka sejak kemarin. Tapi, wanita itu datang lagi dan meminta pertanggungjawaban pada Pak Bimo karena sedang mengandung." Arsa menelan ludahnya dengan susah payah saat ini. "Wanita simpanan Pak Bimo mengancam akan mem
"Ta-Tante? Ada apa?" tanya Arsa saat melihat Salina berdiri di depan pintu rumahnya. Salina tersenyum ramah pada Arsa--anak sahabat baiknya itu. Ada Sashi yang mengintip dari balik tirai dan juga Aron. Lucu sekali tingkah cucu sahabatnya itu. Salina merentangkan tangan; memberikan tanda agar kedua anak manis itu mendekat. "Kemarilah, Nenek bawakan banyak makanan juga yang lainnya." Salina menyerahkan satu paper bag berisi banyak kue yang dibelinya dari salah satu toko roti yang terkenal di toko ini. Sashi menatap sang papa untuk meminta izin mendekat pada Salina. Wanita yang usianya jelang setengah abad itu masih tampak sangat cantik hingga saat ini. Wajah itu seolah menolak tua. Setidaknya itu pendapat beberapa orang tentang Salina. "Kamu tadi tanya ada apa aku datang, Sa?" Salina tersenyum pada Arsa. "Aku hanya ingin mengunjungi kalian. Aku seneng bisa mengobrol dengan Amelia, istri kamu itu. Rasanya seperti punya teman diskusi," lanjut Salina dan membuat Arsa tampak sangat terk
Helaan napas kasar keluar begitu saja dari mulut Arsa. Ia tidak suka saat ini kedua orang tuanya datang. Entahlah, firasatnya mendadak tidak enak. Ia takut sang mama membuat Amelia sedih. "Ngapain sih datang ke rumah aku?" Arsa merasa tidak nyaman dengan kedatangan kedua orang tuanya itu. "Papa juga kemarin dari sini 'kan?" lanjut Arsa dengan wajah tidak mengenakkan. "Kamu ini! Mana sopan santun juga rasa hormat kamu sebagai anak pada orang tua? Mama dan Papa datang kok malah seperti itu." Ratna merasa tidak suka dengan ucapan putra kesayangannya itu. "Kamu kapan, Mas, datang ke rumah Arsa ini?" tanya Ratna sambil menoleh ke arah sang suami yang kini tampak pias. "Ya, kemarin aku datang. Aku kangen sama tiga cucuku itu. Mereka paling jarang ke rumah kita." Mendadak Subianto menemukan jawaban yang sekiranya bisa masuk akal. "Harusnya kamu bilang. Jadi, kita bisa datang sama-sama. Datang untuk melihat wajah cucu kita yang jauh dari kata layak," ejek Ratna pada Amelia yang kini menund
Semua menatap ke arah perempuan dengan dua anaknya. Arsyila--kakak kandung Arsa yang kebetulan lewat depan rumah sang adik dan singgah sebentar. Mereka sudah sangat lama tidak bertemu. Apalagi dengan kesibukan masing-masing membuat jarak seolah menjadi jauh. "Si-Syila? Kamu datang sendiri?" tanya Ratna gagap karena terkejut saat melihat kedatangan anak sulungnya itu. "Enggak, dong. Aku datang sama anak-anak dan juga suamiku. Mas Agung lagi di depan markir mobil dulu," kata Arsyila sambil tersenyum lebar. Salah satu anggota keluarga Ratna yang tidak pernah merendahkan Amelia adalah Arsyila. Ia benar-benar menyayangi saudara iparnya itu. Ia juga tidak suka ketika Ratna merendahkan istri adiknya. Mereka memang cocok satu dengaj lannya. "Amelia mana? Ada acara apa ini?" tanya Arsyila yang memecah keheningan di ruangan ini. Oh, Mbak. Enggak ada acara apa-apa, kok. Ga tahu nanti kalo ada acara lamaran mendadak." Amelia berjalan menuju ke arah Arsyila yang wajahnya tampak bingung. Arsa
Wajah Ratna saat pias karena Agung sudah angkat bicara. Menantunya itu jelas tidak akan menyukai adanya perceraian dalam rumah tangga. Pengalaman masa kecil Agung membuatnya trauma. Bertemu dengan Arsyila adalah anigrah dan bisa mengurangi trauma itu perlahan. "Memang apa yang, Mas, lihat?" Arsyila kini menatap sang suami dengan tatapan penuh tanda tanya. "Ada video yang beredar ramai di media sosial. Ada wanita yang katanya dari anggota kepolisian menampar Amelia. Jadi, Arsa belum juga menyelesaikan masalah itu?" tanya Agung sambil menatap adik iparnya bergantian dengan Amelia. Arsa salah tingkah saat ini. Seolah, mendadak bapak tiga anak itu menjadi tersangka sebuah kasus besar. Tatapan Agung menguliti Arsa yang kini memilih menunduk. Amelia hanya bisa diam dan tersenyum saat ini. "Tidak akan pernah selesai masalahnya jika masih ada pertimbangan yang tidak masuk akal." Amelia meninggalkan ruang tengah setelah mengatakan hal itu karena kebetulan Aron mengantuk. Agung dan Arsyila
Ratna segera mengambil tas itu. Masih ada isinya berupa lingerine. Jelas bukan miliknya, karena Subianto sudah tidak pernah membelikan lagi pakaian dinas malam itu sejak lama. Alasan kelelahan bekerja membuat hubungan keduanya merengang. Napas Ratna kembang kempis saat melihat sang suami langsung berada di ruang kerjanya. Harus menunggu sosok berusia setengah abad lebih itu keluar dari ruangan menyebalkan itu. Hingga saat ini, Ratna tidak paham fungsi ruang kerja yang dibuat sang suami. Sebab, ruang itu lebih mirip ruang santai saja. "Mbak, nanti kalo Bapak keluar dari ruangan kerja, tolong kabari saya," kata Ratna pada salah satu asisten rumah tangganya itu. "Baik, Bu." Asisten rumah tangga itu menjawab sambil menunduk. Saat Subiato masuk ke dalam rumah dan membuang sembarang kunci mobil, asisten itu sudah tahu jika pasti pasangan majikannya itu sedang bertengkar. Mereka seolah sedang menunjukkan kekuatannya masing-masing. Entahlah karena sebagai asisten rumah tangga, rasanya tida
Semenjak kejadian itu, Sashi memilih tinggal bersama dengan Arusha--saudara kembarnya. Sudah enam bulan dan Aditya sama sekali tidak mencarinya. Entah apa yang mereka lakukan setelah Sashi keluar dari neraka yang mereka sebut rumah. Arusha merasa geram dengan ulah Santika."Mending kamu ajukan gugatan. Apa yang mau kamu pertahankan bersama dengan dia? Sejak awal, aku udah rasa jika mereka hanya akan memanfaatkan kamu saja." Arusha mengepalkan tangan karena merasa tidak terima saudara kembarnya diperlakukan tidak adil oleh mereka semua. "Aku menggugat cerai? Tidak, tidak akan aku lakukan. Aku ingin membuat mereka paham, siapa aku dan siapa mereka. Aku sedang menunggu kehancuran mereka satu per satu." Sashi tampak tidak setuju dengan pendapat saudara kembarnya."Kamu pikir dengan menunggu mereka akan hancur? Bodoh! Mereka justru sedang berbahagia sekarang. Lihat, gundik Aditya sedang memamerkan test pek ini," kata Arusha menyerahkan ponselnya pada Sashi.Sekuat apa pun Sashi, tetaplah
Anak-anak Amelia bersama Arsa sudah dewasa. Sashi bahkan sudah menikah. Hidup Amelia pun bahagia bersama dengan Sultan. Ia benar-benar merasa diratukan oleh laki-laki yang tepat."Ma, kenapa dulu Mama mengambil keputusan cerai?" tanya Sashi yang siang ini berada di rumah sang mama. Wajah Sashi seperti sedang menahan kesedihan yang luar biasa dalam. Amelia menatap sang putri yang sudah dua tahun menikah dengan tatapan benyak pertanyaan. Selama ini, Sashi tidak pernah menceritakan masalah rumah tangganya pada siapa pun. Ia menutup rapat-rapat masalah keluarga."Kenapa tanya seperti itu?" tanya Amelia yang merasa aneh pada pertanyaan sang putri.Sashi meraih piring di depannya dan mulai memakan buah potong. Amelia menyuguhkan camilan buah untuk sang putri. Ia tahu jika Sashi tidak begitu suka kue atau kudapan yang berbahan dasar tepung. Bukan diet, hanya saja Sashi memang kurang suka."Hanya tanya saja, Ma. Apa karena ada perempuan lain?" tanya Sashi dengan santai agar sang mama tidak c
"Terima kasih, Sayang, penantianku selama dua puluh satu tahun ga sia-sia. Akhirnya kamu menerima kamu." Sultan memeluk sang istri yang tak lain adalah Amelia putri.Mereka menikah setelah Amelia menjanda selama lima tahun. Tidak mudah bagi Sultan untuk meyakinkan hati sang istri. Amelia punya trauma luar biasa pada pernikahan. Apalagi Sultan punya semua yang wanita inginkan. "Maaf, aku belum sepenuhnya bisa percaya pada laki-laki." Amelia mengatakan terus terang pada sang suami.Menerima lamaran Sultan secara resmi pun karena ketiga putranya yang memintanya. Sejak kematian Arsa, Amelia memilih untuk menyibukkan diri dengan bekerja. Ia seolah menjaga jarak dengan banyak laki-laki. Cenderung galak pada laki-laki yang datang mendekatinya.Sejak Suriyana meminta Amelia membuka hati untuk Sultan, ternyata keduanya cocok. Ditambah lagi, ketiga anak Amelia sangat lengket pada Sultan. Mereka membutuhkan sosok seorang ayah yang tidak didapatkan dari mendiang Arsa. Sultan memberikan semua hal
Mita tersenyum ke arah Ratna yang saat ini ketakutan. Entah mengapa, sejak menjalani sidang, Mita adalah sosok yang menakutkan bagi Ratna. Padahal, mereka sama sekali tidak bersinggungan satu dengan lainnya. Mita tidak ditunjuk menjadi tim penyidik kasus besar ini. "Apakah aku begitu mengerikan di matamu? Hai! Ternyata kamu juga dalang penculikan anak-anak di kota ini. Kamu menikmati uang dari itu semua. Ck! Ternyata otakmu luar biasa. Ya, tapi semua harus berakhir di sini sekarang. Nikmati sisa usia kamu!" Mita langsung meninggalkan Ratna setelah sukses membuat mama Arsa itu ketakutan dan histeris.Mita lantas meninggalkan RSJ tempat Ratna dirawat. Hanya tinggal satu orang yang akan dibuat gila lagi. Dia adalah Prita. Wanita yang menjadi duri dalam rumah tangganya. Mita juga tidak ingin Prita hidup tenang dalam penjara."Antar aku ke penjara. Aku ingin ketemu Prita," kata Mita pada sopir pribadinya."Baik, Bu!" Sopir itu menjawab dengan tegas.Rupanya hari ini adalah jadwal para nar
Satu per satu dari mereka yang ditetapkan sebagai terdakwa harus menjalani proses sidang. Hari ini adalah sidang Prita dan Arsa. Mantan suami Amelia putri sebelumnya datang ke sidang putusan cerai. Ia menangis ketika harus melepaskan Amelia."Aku titip anak-anak," kata Arsa setelah selesai sidang putusan perceraian mereka berdua kepada Amelia.Arsa berlinang air mata saat mengatakannya. Amelia baru pertama kali melihat mantan suaminya menangis. Sebelumnya sama sekali tidak pernah. Akan tetapi, hatinya sudah benar-benar mati rasa saat ini."Ya. Sudah kewajibanku mendidik dan membesarkan mereka. Aku ikhlaskan agar suatu saat kamu bersama Prita." Amelia menegaskan hal itu lalu pergi meninggalkan Arsa.Arsa sadar, hidupnya setelah ini tidak akan baik-baik saja. Ia harus bertanggungjawab atas semua kesalahan di masa lalunya. Penjara sudah menanti dan jabatannya pun dicopot begitu saja oleh pihak kepolisian. Terlalu banyak kejahatan yang diperbuat oleh Prita dan Arsa.Hanya saja, Arsa mungk
"Mau mengamuk silakan. Kamu akan ditangkap oleh rekan kerja sendiri. Kalian yang selama ini menutupi kebusukan suami saya, juga sudah saya laporkan." Mita menunjuk dua orang ajudan Joko yang kini wajahnya pias."Argh!" Joko frustasi saat ini menghadapi sang istri.Atasan Joko dikenal tidak bisa kompromi sama sekali. Sudah jelas jabatan akan diturunkan atau dipecat. Hanya tinggal menunggu nasib baik saja yang memihak. Ternyata selama ini diam-diam Mita mengintai semua kegiatan Joko. Satu bulan setelah masa penyidikan dan ketiga tersangka pembunuhan Salina harus disidang di pengadilan. Ditambah satu lagi; Joko. Joko dianggap ikut terlibat karena berselingkuh dengan korban. Ratna adalah sosok yang pertama kali disidangkan. Sesuai dengan janjinya, Dandi tidak melibatkan Mita.Salina jatuh terduduk seorang diri bukan karena didorong. Setelahnya dibunuh dengan ditembak tepat pada kepalanya. Sebenarnya bukan kasus yang rumit. Menjadi rumit karena banyak pihak yang terlibat karena dendam. "
Dandi menerima rekaman cctv itu dengan banyak tanya di dalam kepalanya. Apa hubungan Mita dengan Salina? Astaga! Rumit sekali masalah ini. Baru kali ini ada kasus pembunuhan yang melibatkan banyak orang. Entahlah, siapa yang benar dan siapa yang berbohong.Dandi membuka rekaman itu setelah disambungkan pada komputer di meja kerjanya. Mita menunggu dengan harap-harap cemas saat ini. Ia pun sudah siap jika setelah ini juga menjadi seorang pesakitan seperti Prita."I-ini apa maksudnya, Kak?" tanya Dandi saat melihat rekaman itu.Mita mengusap air matanya. Wanita itu benar-benar terpukul karena penghianatan suaminya. Sosok yang dicintainya memilih bermain dengan wanita lain saat dirinya sedang berusaha untuk bisa hamil. Salah satu wanita itu adalah Prita. "Sekarang kamu tahu 'kan, kenapa aku selalu membuat jebakan dan mengintai Prita? Dia salah satu simpanan suamiku." Mita mengatakan dengan lirih sambil mengusap air matanya. "Aku sudah curiga sejak lama hubungan mereka. Rumah yang diakui
Joko tentu saja terkejut dengan semua ucapan Amelia. Rencana yang sudah disusun gagal total di tangan Amelia. Wajah wanita itu tampak sangat tegas dan tidak ingin dibantah sama sekali. Amelia sedang tidak ingin berkompromi dengan siapa pun dan apa pun itu."Silakan tinggalkan tempat ini. Kita tidak saling kenal," usir Amelia tanpa basa-basi sama sakali saat ini."Baiklah. Tapi, aku jamin suatu saat kamu membutuhkan bantuanku. Tidak sekarang, tapi pasti akan butuh." Joko berkata dengan penuh nada ancaman."Tidak. Aku dikelilingi oleh banyak orang baik. Aku hanya membutuhkan mereka semua." Amelia tidak takut sama sekali pada Joko saat ini. Joko tertawa miris. Ia kalah begitu saja dengan wanita rendahan. Bu Dibyo hanya diam dan memperhatikan interaksi keduanya. Ia tidak mau ikut campur terlalu jauh pada masalah ini. Ia belum tahu, apa yang membuat Amelia bersikap sinis pada Joko.Joko akhirnya meninggalkan rumah sakit. Ia marah sekaligus kecewa, tetapi tidak bisa berbuat banyak. Jika me
Prita bisa kabur dari tahanan. Ia bekerja sama dengan polisi yang berjaga. Wanita simpanan Arsa itu menjanjikan sejumlah uang pada petugas. Entah apa yang dicari Prita saat ini.Amelia tidak mungkin menang melawan wanita yang datang bersama dengan empat orang laki-laki. Mereka semua berperawakan tinggi besar. Preman itu disewa Prita untuk meneror Amelia saat ini. Prita merasa, istri Arsa itu telah menjebaknya."Dia yang bikin aku dalam masalah harus dapat hukuman. Cari barang bukti itu!" Prita memerintahkan anak buahnya agar bekerja dengan cepat. "Beruntung aku bisa membuka pintu itu dengan mudah," kata Prita lagi yang seolah tidak takut apa pun.Prita sangat marah karena Amelia dianggap lancang telah membuat masalah. Bukan hanya itu, Prita kini tidak bisa mengelak tentang senjata api yang saat ini digunakan sebagai barang bukti. Memang tidak ada sidik jari yang menempel, tetapi polisi sudah tahh bagaimana cara kerja Prita itu. Tuduhan itu membuat Prita marah dan mendendam pada Amelia