= Rumah sakit St. Collins. Jam 13.00 ="Bagaimana papa?"Mendongak menatap suaminya, Lily mengangguk. "Sudah lebih baik. Setelah makan siang, ia telah diberi obat yang dapat membantunya untuk tidur."Terasa tangan pria itu mengelus kepalanya dan mer*mas bahunya pelan. Seperti biasa, sentuhan dari lelaki itu selalu mampu membuat tubuh Lily merasa rileks dan terlindungi."Lily. Ada yang perlu aku bicarakan denganmu. Penting. Papa-mu bisa ditinggal sebentar?"Merapihkan selimut ayahnya, kembali Lily mengangguk. Ia pun berdiri hati-hati dari duduknya."Tentu. Mau di kantin saja sekalian makan siang? Aku cukup lapar."Mengambil tangan isterinya, tatapan Gregory terlihat melembut. Ia menarik tangan mungil itu pelan."Ayo. Aku juga sudah lapar."Beberapa menit kemudian, pasangan itu telah menghabiskan hidangan yang ada di depan mereka hingga tandas. Sangat jelas, kalau keduanya kelaparan.Melap mulutn
Beberapa jam kemudian, tampak empat pria tadi berdansa dengan liar di antara kerumunan orang-orang yang tidak mengenal satu sama lain. Suara musik membahana di sekitar mereka, disertai dengan kilasan-kilasan cahaya lampu membutakan. Hormon-hormon yang kelaparan secara otomatis mencari pasangannya, dan beberapa dari pasangan itu melipir untuk mencari pojokan gelap demi memuaskan h*sratnya.Merasakan elusan di adik kecilnya, Fred menunduk dan tampaklah di depannya sosok gadis berusia tidak lebih dari 20 tahun yang dari tadi memepetnya di lantai dansa. Gadis itu memeluk lehernya erat dan mereka pun berciuman panas. Pria itu menanggapi dengan menangkup pipi b*kong wanita itu kencang dan memberi r*masan di sana. Ia mulai ter*ngsang. Seluruh otot-ototnya terasa berkedut meminta pelepasan. Memberi tekanan pada pinggang si gadis, Fred mengamati wajahnya lebih intens. Di antara kumpulan kabut n*fsu dan minuman keras yang tadi diteguknya, pikiran pria itu masih waras dan me
= Dua hari kemudian. Di salah satu bandara internasional kota CA, jam 07.00 pagi ="Masih ada waktu untuk minum kopi. Mau mampir sebentar ke sana?"Kepala Lily mengangguk dan tangannya pun digandeng suaminya. Keduanya berjalan santai menuju sebuah kafe kecil di area bandara. Tampak beberapa orang sudah duduk di sana dan menikmati sarapan pagi.Setelah memesan, Gregory langsung duduk di depan isterinya dan menggenggam tangannya. "Kamu tidak apa aku tinggal sebentar, kan?"Mer*mas tangan suaminya, Lily tertawa lembut. "Aku tidak apa-apa, Greg. Selama kamu memberi kabar dari sana dan baik-baik saja, aku sudah merasa cukup. Jangan terlalu khawatir begitu."Senyuman sangat samar muncul di bibir pria itu yang merah muda. "Baiklah kalau kamu bilang begitu.""Aku memang bilang begitu, Rory dan ini sudah ke sekian kalinya."Kekehan pelan terdengar dari mulut Gregory dan membuat Lily tersenyum lembut. Setelah beberapa ha
Lily baru saja menutup cover laptop-nya saat ponselnya tiba-tiba berdering. "Halo?""Baby? Kamu tidak apa-apa?"Belum terbiasa dengan panggilan itu, sejenak Lily tertegun. "Red? Baby? Kamu masih di sana?""Eh. Iya, Greg. Aku masih di sini. Kamu sudah sampai?"Pria itu terdengar terdiam di seberang sana. "Rory? Kamu dengar aku?""Aku ingin kita membuat komitmen mulai sekarang. Sebagai pasangan suami-isteri.""Hah?""Dari mulai panggilan. Aku ingin kamu memanggilku 'baby' dan bukan nama. Aku juga akan memanggilmu yang sama. Kamu setuju?"Berpikir sejenak, Lily menggelengkan kepalanya sambil tertawa renyah. "Jangan konyol, Greg. Akan aneh kalau kita berdua memanggil dengan sebutan yang sama begitu. Lagipula, aku tidak terbiasa memanggilmu seperti itu terlalu sering. Aku itu sudah mengenalmu sejak aku kecil, Rory.""Tapi aku..." Suara lelaki itu mengecil dan akhirnya terdiam.Perkataan pr
= Restoran Andromeda. Beberapa waktu kemudian ="Frederick."Sapaan itu membuat kepala Fred terdongak dan ia tersenyum. Pria itu sedikit berdiri dan menyalami orang yang baru saja datang menghampiri mejanya."Halo, Edward. Terima kasih sudah datang. Duduklah.""Tumben kau mau makan siang denganku, buddy. Biasanya kau selalu beralasan sibuk tiap aku mengajakmu bertemu di luar."Kekehan pelan terdengar dari mulut Fred. "Waktunya selalu tidak tepat, dude. Apalagi dulu aku masih harus membuktikan diri kalau aku pantas menggantikan ayahku. Baru-baru ini saja waktuku jadi agak senggang dan aku dengar, restoran baru ini masakannya sangat luar biasa."Cengiran lebar mampir di bibir pria berambut keriting itu."Kau harus mencoba steak-nya, bud. Luar biasa. Dan omong-omong, aku sama sekali tidak menyangka kalau paman Roderick masih galak. Untungnya, aku tidak jadi bergabung dengan Harrington."Kembali kekehan terdengar da
= Perusahaan security B2B Universal, kota B. Jerman. Jam 3 sore =Ketukan di pintunya membuat kepala berambut gelap itu mendongak."Masuk."Dari arah pintu yang terbuka, masuklah seorang pria tinggi berambut pirang gelap. Tampak kedua matanya yang biru bersinar cerah saat memandang orang yang masih terlihat duduk di kursi kerjanya."Reiss. Kau sibuk?""Ashley. Masuklah."Duduk di depannya, Gregory meletakkan laptop yang tadi ditentengnya dan langsung membukanya."Aku ingin melaporkan progress hari ini. Ada sedikit masalah di spek material yang kita pesan sebelumnya. Sepertinya akan ada perubahan spek untuk fasad di bangunan utara, tapi secara keseluruhan tidak akan mempengaruhi kualitas dan juga budget yang dikeluarkan. Hanya saja, waktunya akan sedikit mundur dari schedule karena menunggu pengirimannya sekitar 2 hari lagi. Jadi untuk mengisi kekosongan itu, rencananya akan dipadatkan untuk mengerjakan sisi lain dari ged
Sampai di hotelnya, Gregory langsung mandi dan bekerja di laptop-nya. Selama beberapa jam, ia tenggelam dalam pekerjaannya dan baru menyadari kalau jam telah menunjukkan tengah malam. Setelah mengecek kembali layarnya, pria itu menutup alat kerjanya dan menyimpannya di meja. Ia masuk ke dalam selimut dan menyangga kepalanya dengan kedua tangannya di bantal. Pandangannya mengarah ke atas.Mencoba untuk memejamkan matanya, pria itu menyerah untuk tidur dan akhirnya mengambil ponselnya. Tampak ia menggeser-geser layarnya sampai berhenti. Tatapan matanya meredup dan rahangnya mengeras. Tanpa diduga, mata yang biasanya memancar dingin itu memerah dan berair. Menutup matanya, Gregory baru saja akan meletakkannya kembali saat benda itu berbunyi.Nama yang tertera di layarnya, membuat pria itu berdehem pelan. Tanpa membuka isi pesan itu, Gregory langsung menelepon si pengirim pesan yang langsung menjawabnya."Rory? Kamu belum tidur?""Belum, babe. Sebenta
= Kediaman keluarga Walton. Kota CA, Amerika. Jam 7.30 malam =Pipi Lily tampak bersemu merah saat ia menutup sambungan teleponnya. Hatinya berbunga-bunga tiap kali ia mendengar suara suaminya tapi kali ini, letupan itu terasa lebih menguat. Ia merasa hubungannya dengan Gregory semakin membaik meski saat ini mereka tinggal berjauhan. Ternyata bercakap-cakap dengan pria itu tidak sesulit bayangannya selama ini, terutama saat ia masih kecil dulu.Menyimpan ponselnya di saku jaket, Lily baru saja akan melangkah pergi sambil menyeret kopernya saat ia menoleh ke atas. Wanita itu terdiam sejenak dalam berdirinya, sampai akhirnya ia memutuskan untuk naik ke lantai dua. Menelusuri lorong yang familiar itu, ia berhenti di depan sebuah pintu dan membukanya pelan. Tangannya menelusuri tembok dan menekan sakelar lampu, menerangi kamar yang tadinya gelap itu.Suasana di dalam belum berubah. Masih sama seperti yang diingatnya belasan tahun lalu. Tampaknya kedua orangtua
= Beberapa minggu, hampir satu bulan setelah kejadian di apartemen Kyle ="Apa yang kau lakukan, Kyle? Bukan seperti ini rencana kita! Kau bilang hanya ingin membuat Fred dan Andrea putus dengan membuatnya cemburu padaku! Tidak pernah kau bilang akan menyebarkan foto-foto Frederick yang seperti itu di kampus!" Kekehan terdengar dari Kyle yang masih santai dengan dumbbell-nya. Ia asyik menatap bayangannya sendiri."Memangnya kenapa? Semuanya mulus, kan? Frederick terkena batunya, seperti keinginan kita.""Tapi tidak dengan Andrea! Tidak ada rencana membuat Andrea dikeluarkan, bruv! Apa yang kau lakukan sudah kelewat batas! Aku akan mengatakannya pada prof. Dec untuk mempertimbangkan kembali!"Melihat Keith akan keluar ruangan dengan marah, dengan santai Kyle meletakkan dumbbell-nya ke lantai."Memangnya apa yang mau kau bilang ke orangtua itu? Kalau aku yang menyebarkan foto-foto Frederick? Apa kau punya bukti aku yang melakukann
Selama beberapa waktu, Lorelai latihan bersama Kyle di ruangan gym milik pria itu. Apartemen Kyle cukup mewah dan pria itu merubah salah satu kamar tamunya menjadi ruangan latihan yang berisi beberapa peralatan mahal. Pria itu senang menghabiskan waktu di sana untuk latihan, sekaligus mengagumi dirinya sendiri karena dinding-dindingnya diubah menjadi cermin yang besar dan memenuhi ruangan.Tampak lelaki itu membantu Lorelai untuk melakukan peregangan dan tangannya berada di perut gadis itu yang rata. Matanya yang hijau menelusuri tubuh gadis itu yang meski masih berusia 15 tahun, tapi sudah terbentuk sempurna. Kedua asetnya tampak menggiurkan dan kakinya yang jenjang terlihat seksi. Gadis itu sangat seksi, dan sayangnya ia tidak tertarik. Ia jauh lebih tertarik pada kakak-kakak lelakinya yang s*alnya, justru menunjukkan rasa tidak suka padanya.Karena kesal, tanpa sadar salah satu telapak Kyle justru mer*mas d*da Lorelai kuat dan membuat gadis itu tertegun. Kedua p
= Flashback hampir 18 tahun yang lalu. Salah satu cafe, kota CA. Amerika ="Aku akan melakukannya malam ini. Kau ikut?"Pria muda di depannya tampak menunduk menatap minumannya sendiri. Tampangnya gugup."Kyle... Apa kau yakin-""Kau ini mau membantuku atau tidak!?" Nada suara saudaranya yang tinggi membuat Keith mendongak. Ia menelan ludah saat melihat ekspresi Kyle yang keras dan penuh kemarahan."Aku tentu saja mau membantumu, bruv. Tapi cara ini...""Kau sudah lupa yang dilakukan orang s*alan itu padaku? Dia menghajarku habis-habisan, mate! Dan dia melakukannya setelah mel*cehkan aku! Saudaranya pun tahu kekurangan orang kurang ajar itu, tapi malah diam saja dan justru memusuhiku! Kau tahu dia tidak suka padaku, kan?"Menghela nafasnya, Keith memandang Kyle skeptis. "Tapi dia tidak ada hubungannya, bruv. Apa kau tega memanfaatkannya? Anak itu masih polos dan tidak harus bertanggungjawab untuk kelakuan kakak
Mata indah Claudia membesar, dan wanita itu perlahan mundur ke belakang."Keith...?"Di depan matanya, terlihat Keith menggenggam benda besi berkilat di tangannya. Pria itu menodongkannya ke arahnya dengan raut muka yang kosong dan datar.Jantung Claudia berdebar kencang dan ia mengangkat kedua tangannya hati-hati."Keith. Turunkan benda berbahaya itu. Kau tidak tahu cara menggunakannya."Komentar itu membuat Keith akhirnya mengeluarkan dengusan dan juga tawa kecil. Tatapannya tampak geli."Kau bilang, aku tidak tahu caranya? Justru aku sangat tahu, Kyle. Apa kau tidak tahu kalau paman Keifer sering mengajakku berburu menggantikanmu? Kau yang terlalu pengecut melihat darah, sering bersembunyi di balik alasan latihan untuk pertandingan. Aku bukan banci seperti dirimu, Kyle Young karena aku sangat tahu bagaimana cara menggunakan senjata api. Apapun jenisnya!"Rahang Claudia mengeras dan terdengar aliran nafas yang kencang
= Salah satu apartemen mewah. Kota NY. Sekitar 5 hari kemudian =Dalam apartemen yang hampir kosong itu, terserak beberapa kotak sudah penuh yang terisi berbagai macam barang. Apartemen yang tadinya mewah dan rapih itu kini terlihat kotor dan tidak terpelihara. Beberapa pajangannya sudah tidak ada karena dijual. Sisanya, sebagian masuk ke dalam kotak. Tampak seseorang yang sedang berdiri di tengah ruangan terlihat frustasi dan melempar ponselnya kesal ke arah sofa. Ia hampir saja membantingnya tadi ke lantai, kalau tidak ingat keadaannya saat ini.Salah satu kakinya menendang kotak yang berisi barang yang asal-asalan dimasukkan ke dalamnya."S*alan!?"Sangat kesal, Claudia berteriak sangat kencang dalam ruangan itu beberapa kali. Ia sangat frustasi, tapi tidak tahu harus melampiaskannya pada siapa. Ayahnya masuk penjara, sepupunya menghilang entah ke mana. Ia sendiri tidak bisa ke kantor YnY Inc. karena perusahaannya telah disegel dan masih menung
Setelah kepergian Maverick, pasangan suami-isteri itu tampak membereskan meja makan. Menatap Lily yang tengah melipat lap-nya, Gregory sedikit bersender ke meja pantry."Bagaimana menurutmu dia?""Dia? Maksudmu ayahmu?""Hmm."Menyimpan lap-nya di meja pantry, Lily ikut bersender di sebelah suaminya. Wanita itu tampak berfikir."Dia sebenarnya mirip denganmu. Kaku seperti kanebo kering. Pertama melihatnya pun aku sedikit takut.""Kanebo kering? Memangnya, aku sekaku itu?"Pertanyaan itu membuat Lily tertawa kecil. "Memangnya kamu tidak sadar? Kamu itu kaku, Greg. Dari dulu sampai sekarang, banyak orang yang takut padamu. Anak magang di kantor pun begitu. Mereka lebih suka bertanya pada Mike dibanding padamu. Mungkin kalau tidak sekaku itu, akan banyak orang mendekatimu. Termasuk para agen pemasaran di sebelah kantor kita."Baru sadar dengan kata-katanya, Lily terdiam. Wanita itu tampak berfikir dan memandang sua
"KEITH!? KAU MEMANG B*NGSAT!? B*JINGAN KAU!?"Tidak terhindar lagi, sebuah bogem yang keras mendarat di wajah Keith yang mulus dan membuat tubuh pria tampan itu terdorong ke tembok. Fred hampir saja maju lagi, saat melihat tetesan darah di lantai. Pria itu segera menahan saudara angkatnya yang juga ingin mendaratkan hantaman di wajah tamunya."Jangan, Greg. Dia terjangkit HIV. Lebih baik hati-hati."Kata-kata itu membuat Gregory mundur dan menghela nafasnya. Sepertinya, ia memang tidak boleh berbuat tindakan kekerasan lagi. Kepalanya menggeleng dan ia menyerahkan keputusan pada Fred yang menepuk pundaknya. Tampak bibir adiknya memberikan senyuman kecut padanya."Biar aku yang membereskannya. Hal ini tidak akan pernah selesai kalau dilanjutkan dengan kekerasan.""Enak saja kau ngomong begitu! Kau sudah puas karena telah menghajarnya, Frederick!"Kembali Fred menepuk pundak Gregory. "Sudahlah. Aku cukup khilaf tadi."Kedua
= Apartemen Gregory & Lily =Suara pintu yang tertutup membuat Lily menongolkan kepalanya dari dapur. "Greg? Kamu datang?""Yes, baby. Aku sudah pulang." Gregory menggantungkan mantelnya ke lemari dan menyimpan ranselnya.Langkah pria itu membawanya ke dapur. "Kamu masak apa?"Raut Lily tampak bersalah dan ia meringis. "Maaf, aku tidak memasak. Aku hanya menghangatkannya saja. Tapi aku pulang dari rumah sudah cukup sore, dan tidak sempat kalau masak."Memeluk isterinya, Gregory memberinya ciuman sayang. "Tidak masalah, Red. Asal jangan membuatmu capek saja, aku tidak masalah memakan masakan jadi."Bibir wanita itu mencium suaminya beberapa kali dan menariknya ke meja makan."Hanya sekali saja. Aku janji, kalau nanti rumah kita sudah jadi, aku akan memasak makanan enak untukmu."Pria itu terkekeh dan keduanya mulai menikmati makan malam mereka. Setelahnya, pasangan itu bersantai di ruang keluarga sambil menonton
= Kantor konsultan Ashley & associates. Kota SD ="Bagaimana kabarmu?""Saya baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya, Tuan Rothschild."Jawaban yang tulus itu membuat Maverick mengerjap. Ia menatap sosok anaknya yang terlihat jauh lebih lembut dan lebih positif dibanding tahun kemarin. Sangat jelas, pria itu bahagia dengan kehidupannya.Pria baya itu menghela nafasnya dalam. Matanya menelusuri sejumlah orang yang tampak lalu-lalang di luar ruangan kantor Gregory yang berjendela kaca. Semua orang tampak sibuk, mencerminkan cukup banyak project yang diterima konsultan akhir-akhir ini. Dalam hatinya, Maverick merasa bangga untuk anaknya."Aku tidak melihat isterimu. Dia tidak datang hari ini?"Suara rendah Gregory terdengar melembut samar. "Lily sedang ada di rumah kami, mengurus interior-nya."Kepala Maverick berpaling dan memandang anaknya. "Kalian sudah punya rumah sendiri?""Baru saja jadi, tapi interiornya