"Ada apa ini?" Alvin muncul dengan tiba-tiba, laki-laki yang menunggu di luar ruangan tadi tampak sangat pucat."Kenapa kamu kesini lagi?" tanya Alvin pada Viona."Ada yang ingin saya tanyakan pada Marcia," jawab Viona dengan berbohong. Karena tujuan utamanya kesini ingin melihat apa benar Damar ada disini."Memangnya kenapa? Kamu pikir aku akan melepaskan Marcia begitu saja? Tentu tidak, aku akan membuat ia merasakan sakit seperti yang aku rasakan." Alvin berkata sambil membuka pintu kamar Marcia. Viona sudah bersiap-siap dengan kamera ponselnya. Sedangkan laki-laki yang disuruh menunggu Marcia tampak sangat ketakutan.Ceklek! Viona mengikuti langkah kaki Alvin. Dugaan Viona benar, ada Damar dan Marcia di dalam kamar. Marcia berbaring di tempat tidur dan Damar duduk di kursi sebelah tempat tidur.Bisa dibayangkan bagaimana wajah Marcia dan Damar, begitu juga dengan Alvin. "Ngapain kamu kesini lagi?" tanya Alvin pada Damar. Damar diam tak berkutik, seperti maling yang ketahuan sedan
"Pa, lihat ada mobil Mas Damar disini," kata Danish pada Pak Yuda."Kebetulan sekali. Nanti didalam jangan bicara macam-macam. Kita seolah-olah tidak tahu apa yang sedang terjadi." Pak Yuda mengingatkan Danish."Biar nanti Papa yang bicara," lanjut Pak Yuda.Setelah Pak Yuda meminta Viona untuk istirahat, Pak Yuda mengajak Danish pergi ke rumah Adel. Rencananya mau membicarakan masalah Damar dan Viona pada Mama Laras dan Adel beserta suaminya. Mencari solusi atas masalah mereka.Danish membuka pintu rumah Adel yang memang tidak terkunci. Semua yang di dalam rumah terkejut dengan kedatangan Pak Yuda dan Danish, mengingat ini sudah larut malam."Kok malam-malam kesini, Pa?" tanya Adel."Memangnya nggak boleh kesini?" Pak Yuda duduk di sofa yang ada."Bukan begitu, Pa. Ini kan sudah terlalu malam, biasanya Papa paling malas kalau diajak keluar malam." Adel memberikan alasannya."Kangen sama Mama," sahut Pak Yuda sambil tertawa."Ih, Papa kok kayak anak muda saja." Mama Laras tersipu malu
Selesai salat subuh, Pak Yuda dan Danish mengantar Viona untuk pulang mengambil pakaiannya. Motornya ia tinggal di rumah Pak Yuda. Dengan menggunakan kunci cadangan, Viona bisa masuk ke dalam rumah. Viona segera masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ke kamarnya. Tampak Damar yang masih tertidur lelap. Perlahan Viona memasukkan pakaiannya dan surat-surat berharga miliknya, seperti ijazah dan yang lainnya. Saking terlelapnya Damar tidur, ia tidak tahu kalau Viona mengemas barang sampai selesai. Barang yang ia bawa pulang merupakan barang yang ia bawa ketika masuk rumah ini. Ada dua koper barang yang dibawa Viona dan satu ransel. Viona keluar dari kamar, sambil mendorong koper-kopernya."Mana Damar?" tanya Pak Yuda ketika melihat Viona keluar dari kamarnya. Tadi Pak Yuda melihat ada mobil Damar di garasi."Masih tidur, Pa." Viona menjawab dengan pelan."Apa ia tidak terbangun waktu kamu beres-beres tadi?" "Enggak, Pa. Mungkin dia kecapekan."Dengan perasaan yang kesal, Pak Yuda mas
Damar baru selesai mandi ketika pintu rumahnya diketuk. "Siapa sih malam-malam kesini, padahal aku mau istirahat," gumam Damar. Hari ini ia merasa sangat lelah karena banyak yang harus dikerjakan di kantor. Pulang dari kantor tadi ia ke rumah sakit, siapa tahu ia bisa bertemu dengan Marcia. Ternyata Marcia sudah keluar dari rumah sakit. Damar berjalan menuju ke ruang tamu dan membuka pintu rumahnya. Sudah ada orang tuanya dan Danish. Belum sempat Damar mempersilahkan masuk, mamanya langsung nyelonong masuk ke dalam rumah.Mereka semua duduk di ruang keluarga. Mama Laras tampak sangat marah."Damar, kamu tahu, Mama sangat malu dengan kelakuanmu. Untuk bertemu dengan Viona saja Mama sudah tidak punya muka, apalagi bertemu dengan orang tuanya. Karena itu Mama sengaja tidak menemui Viona. Apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya Mama Laras."Ya menjalani hidup seperti biasa." Damar menjawab dengan santainya."Kamu tidak memikirkan istrimu dan anak yang ada di kandungannya?" tanya Ma
"Sebenarnya apa yang terjadi?" Irfan mengulang pertanyaannya. Damar menarik nafas panjang."Viona pulang ke rumah orang tuanya." Damar menjawab dengan pelan."Kenapa? Apa ia mau melahirkan disana? Bukankah masih lama waktunya?""Dia minta dipulangkan dan diantar sama Papa.""Apa? Apakah sebuah masalah besar?""Sebenarnya masalah sepele. Viona saja yang terlalu membesarkan masalah.""Damar, perempuan hamil itu emosinya tidak stabil. Sebagai suami kamu harus bisa memahami dan selalu mendukungnya. Takutnya nanti berpengaruh pada bayimu. Kenapa kamu nggak ikut mengantarnya?""Dia sudah minta pada Papa untuk mengantarnya. Ya sudah, aku bisa apa?""Memang masalah apa sih?" Irfan menjadi sangat penasaran."Hanya gara-gara aku menjenguk Marcia. Viona jadi baperan. Sepele, kan?"Damar bercerita kejadian hari itu. Termasuk ia yang dipukuli oleh Alvin."Itu bukan masalah sepele, Damar? Kamu sudah salah, menjenguk mantan pacar dan hanya berdua saja di kamar itu. Wajar saja kalau Viona marah. Apal
Setelah melewati perdebatan panjang, akhirnya Damar mengalah dan ikut pergi ke rumah Viona. Sepanjang perjalanan Mama Laras masih saja ngomel nggak karuan."Ma, apa Mama nggak capek dari tadi ngoceh terus?" tanya Pak Yuda."Diocehin saja Damar nggak ngerti-ngerti kok, apalagi Mama hanya diam saja." Mama Laras membela diri."Damar, usia kehamilan Viona sudah berapa bulan ya?" tanya Mama Laras lagi."Waduh, bakal ngomel lagi kalau aku jawab nggak tahu," kata Damar dalam hati."Sekitar tujuh bulan, Ma." Damar menjawab asal-asalan, karena ia sendiri tidak tahu secara pasti."Berarti dua bulan lagi Viona melahirkan. Nanti menjelang Viona melahirkan, kamu ambil cuti. Kamu dampingi Viona, biar ia merasa nyaman dan tenang. Kamu harus selalu jadi suami siaga."Damar mulai pusing mendengar ocehan mamanya. Untung saja bukan ia yang menyetir, bisa-bisa malah mengganggu konsentrasi. Danish yang sedang menyetir hanya senyum-senyum saja, melihat kakaknya diomelin oleh sang mama.Mama Laras akhirnya
"Siapa ya mengirimiku foto Mas Damar di rumah sakit itu ya? Kok nomornya tidak aku kenal? Bagaimana ia tahu nomorku?" Viona bertanya-tanya sendiri. Ia sedang mengaktifkan nomor ponsel lamanya. Beberapa bulan ini ia menggunakan nomor yang baru. Nomor baru itu hanya beberapa orang saja yang tahu, termasuk Hana. Viona sudah mengundurkan diri dari tempat ia bekerja. Ia ingin fokus pada bayi dalam kandungannya. Viona mulai bekerja secara online menjadi data analis dan beberapa job online part time. Waktunya sangat fleksibel, penghasilannya juga lumayan. Tanpa bekerja pun orang tuanya mampu membiayai hidupnya. Ia juga menjadi afiliator produk di medsos. Karena itu ia aktif di berbagai medsos menggunakan akun baru.Ia membuka lagi foto-foto itu, hatinya terasa nyeri mengingat kembali luka yang hampir mengering. "Mas, apakah aku benar-benar tidak pernah ada dihatimu? Jadi waktu kamu pernah bilang cinta dan sayang padaku itu hanya bohong saja?""Seharusnya kita bisa menjadi keluarga yang ba
"Waalaikumsalam." Pak Baskoro menjawab salam dari seseorang. Ia pun segera membuka pintu depan. Ceklek!"Apa kabar Baskoro?" sapa Pak Yuda yang sudah ada di depan pintu. Pak Baskoro benar-benar terkejut melihat Pak Yuda ada di depan rumahnya."Apa aku nggak dipersilahkan masuk?" tanya Pak Yuda."Oh, ya, mari masuk." Pak Baskoro mempersilahkan Pak Yuda dan Danish masuk ke dalam rumah.Pak Baskoro tampak sangat gugup. Ia sedang ada di rumah sendirian. Dua hari yang lalu ia baru pulang karena ada yang mau dikerjakan. Viona dan istrinya tetap tinggal di suatu tempat yang sengaja dirahasiakan oleh Pak Baskoro."Kenapa kamu kok kaget seperti itu?" tanya Pak Yuda sambil duduk di sofa yang ada."Nggak apa-apa, Yud. Aku hanya kaget saja melihatmu ada disini.""Kok sepi?" "Iya. Sebentar ya, aku buatkan minum dulu." Pak Baskoro segera beranjak da duduknya, ia berjalan menuju ke dapur dan meminta Rudi untuk membuatkan minuman.Tak lama Pak Baskoro masuk lagi ke ruang tamu."Sebentar ya, minumny
"Eh malah asyik pacaran disini, sampai-sampai lupa sama anaknya sendiri." Mama Laras berkata sambil tersenyum menggoda Damar dan Viona."Mama?" Viona tersipu malu."Apa sih yang kalian bicarakan? Masa depan?" tanya Adel dengan penasaran."Nggak ada apa-apa kok, Mbak. Hanya membuatkan kopi lagi untuk Mas Damar. Soalnya kopi yang aku buat tadi sudah dingin karena Mas Damar ketiduran." Viona menjelaskan. Damar hanya tersenyum."Ayo kita kesana saja, nggak enak ngobrol di dapur," ajak Viona. Mereka pun menuju ke ruang keluarga."Mumpung ada kalian berdua disini. Apakah ada kemungkinan kalian untuk rujuk? Ingat lho, ada Arka yang membutuhkan kalian berdua." Mama Laras mulai berbicara."Sepertinya memang kita yang harus bergerak, Ma. Kalau menunggu mereka berdua, kelamaan. Terus terang kami sangat menginginkan rujuknya kalian berdua. Apalagi ada pengikat di antara kalian yaitu Arka." Tanpa basa basi, Adel langsung bertanya pada Viona. Viona menjadi salah tingkah. "Ini kesempatanku untuk m
"Arka, Arka," gumam Viona. Damar bingung harus berbuat apa."Arka, Arka." Viona mengigau lagi. Damar memegang dahi Viona, ternyata Viona demam.Damar mencari-cari tas Viona. Biasanya Viona selalu membawa obat-obatan di tasnya. Tas Viona ada di bawah tempat tidur Arka. Dengan perlahan ia membuka tas tersebut. Ternyata benar, di dalam tas Viona ada beberapa obat, seperti Paracetamol juga asam mefenamat.Setelah mengambil Paracetamol dan air mineral, Damar pun mengambil mendekati Viona lagi. "Viona," panggil Damar dengan pelan. Perlahan Viona membuka matanya."Mas, jangan ambil Arka dariku. Aku janji akan merawat dia dengan baik." Tiba-tiba Viona langsung berkata seperti itu sambil menangis. Damar hanya bisa bengong mendengar ucapan Viona.*Aku mohon, Mas." Tangis Viona semakin menjadi-jadi."Vio, tidak ada yang mau mengambil Arka darimu. Aku juga tidak, aku percaya kalau kamu merawat Arka dengan baik." Damar berusaha meyakinkan Viona."Tapi tadi Mas memaksaku menyerahkan Arka." Viona m
"Arka kenapa?" Viona mengelus-elus kepala Arka. Arka masih saja menangis."Arka kenapa, Nak? Bilang sama Bunda, apa yang Arka inginkan?" Suara Viona bergetar, menahan sesak di dada. Sebenarnya ia ingin menangis, tapi tetap berusaha untuk tidak menangis. Jangan sampai menangis di depan Arka."Tangan sakit." Suara Arka sangat lemah. Viona melihat ke tangan Arka, tampak agak membengkak. Viona sangat kaget, kemudian ia melihat ke arah botol infus dan mengamatinya. Ternyata infusnya tidak menetes, Viona menjadi semakin ketakutan. Ia segera memencet bel.Tak lama kemudian masuklah seorang perawat."Ada yang bisa dibantu, Bu?" Perawat itu bertanya dengan sopan."Infusnya kok nggak menetes ya?" tanya Viona. Perawat itu segera memeriksa botol infus dan saluran infus yang menempel ke tangan Arka."Apa adik ini banyak bergerak, Bu?""Enggak, tadi habis saya gendong ke kamar mandi karena mau buang air kecil."Perawat itu tersenyum."Lihatlah tangan adik ini, mungkin tadi waktu bergerak jarumnya
"Arka sangat dekat dengan ayahnya, apa nggak sebaiknya kalian rujuk saja. Kalau misalnya Damar mengajakmu rujuk, apa kamu mau?" Deg! Jantung Viona berdebar-debar. Pipinya merona tersipu malu."Nggak tahu, Mbak. Lagipula nggak mungkin Mas Damar mengajakku rujuk. Dia kan sudah mau menikah?" sahut Viona, ia pun menyibukkan diri dengan kegiatan menggoreng nugget tadi. Malu kalau sampai ketahuan ia merona.Viona memang masih mencintai Damar, walaupun ia tahu kalau Damar tidak mencintainya. Susah untuk menghilangkan rasa itu, tapi untuk berharap kembali bersama, sepertinya jauh panggang dari api."Siapa bilang? Hubungan Damar dan Jihan sudah selesai.""Bukankah mereka sudah tunangan?" tanya Viona untuk meyakinkan berita itu."Iya, tapi nyatanya nggak bisa dilanjutkan lagi.""Kasihan Mas Damar, pasti sangat kecewa berpisah dengan orang yang dicintainya." Ada rasa perih di hati ketika mengucapkan itu."Kamu tahu, mereka putus gara-gara kamu." Ucapan Adel tak khayal membuat Viona tampak sanga
Semua menjadi panik karena tidak menemukan sosok Arka. Mereka tadi asyik membahas tentang ide rujuknya Damar dan Viona. Damar beranjak dari duduknya dan berjalan ke depan, takutnya Arka keluar. Mama Laras mencari ke dapur, siapa tahu Arkq sedang bermain bersama Lina. Tapi ternyata Lina tidak ada. Mama Laras pun menuju ke ruang keluarga, tempat mereka berkumpul dan bermain bersama Arka tadi."Ketemu nggak?" tanya Damar dengan panik. Tentu saja ia sangat panik melihat Arka menghilang dari pandangan mereka berempat.Semua menggelengkan kepalanya masing-masing. "Papa, bagaimana ini? Aku nggak tahu harus ngomong apa sama Viona." Damar sangat kebingungan. "Tenang, pasti Arka ketemu." Pak Yuda berusaha menenangkan Damar."Lina, kamu melihat Arka?" tanya Damar ketika melihat Lina berjalan menuju ke arah mereka"Arka? Ada kok." Lina menjawab dengan tenang tampak santai."Dimana?" tanya Damar, wajahnya langsung ceria."Saya bawa ke kamar Mas Damar. Arka sedang tidur.""Kok bisa?" Damar masih
"Ayah!" Terdengar teriakan bahagia dari seorang anak kecil yang bernama Arka. Tampak Viona berdiri di samping Arka. Arka langsung memeluk ayahnya, kemudian menarik tangan ayahnya untuk masuk ke dalam.Damar tampak ragu, ia pun melirik ke arah Viona. Viona mengangguk kecil, menandakan kalau ia menyetujui tindakan Arka. Damar dan Arka masuk ke dalam, disusul Viona yang selesai menutup pintu. Dari saat mengetuk pintu tadi sampai sekarang, jantung Damar masih berdetak dengan kencang, ia tampak canggung berhadapan dengan Viona. "Maafkan aku, Mas. Seharusnya aku tidak merepotkan Mas pagi-pagi seperti ini," kata Viona dengan pelan ketika mereka bertiga duduk di sofa."Nggak apa-apa. Aku akan selalu melakukan apapun permintaan Arka. Ini aku bawakan sarapan untukmu." Damar menyerahkan bungkusan yang tadi ia bawa. Ia masih berusaha untuk menetralisir suasana hatinya. Entah kenapa, melihat Viona hari ini membuat Damar merasa sangat bahagia. Mungkin karena ia diizinkan mengajak Arka jalan-jalan.
"Ayah nanti pulang kelja bobok sama Alka ya?" kata Arka dengan penuh harap. Suara cadelnya membuat yang mendengarkan menjadi gemas. Tak khayal, ucapan Arak membuat Damar dan Viona tampak sangat kaget. Mereka tidak menyangka jika Arka akan berkata seperti itu."Iya, sayang. Sekarang Arka sama Bunda dulu ya?" bujuk Damar. Arka mengangguk, kemudian memeluk ayahnya. "Ayo Nak, kita pulang," ajak Mama Laras. Arka pun jalan bersama bunda dan omanya. Dengan berat hati, Arka mengikuti Oma dan bundanya. Ia pun melambaikan tangan pada ayahnya.Dama tampak terharu dengan perlakuan Arka kepadanya. Ia tidak menyangka jika Arka sangat dekat dengannya. Padahal selama ini ia tidak mendampingi keseharian Arka. Mungkin inilah yang namanya ikatan batin antara anak dan ayah. Walau terpisah, tapi tetap merasa dekat."Bundamu hebat, Nak. Tidak mengajarimu untuk membenci Ayah," kata Damar dalam hati."Ayo ke kantor lagi! Suara Irfan membuyarkan lamunan Damar. Damar dan Irfan berjalan menuju ke tempat parkir
"Boleh saya bertemu dengan Jihan?" pinta Damar."Untuk apa?" Mega masih saja menanggapi dengan ketus. Ia belum bisa menerima kalau hubungan Jihan dan Damar selesai. Ia masih membayangkan bagaimana komentar saudara, teman dan tetangga tentang putusnya hubungan Damar dan Jihan. Mereka pasti akan mencibir dan membicarakannya, bakal jadi trending topik di komplek ini. Mega mengkea nafas panjang."Ingin berbicara sebentar, Bu.""Saya rasa nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semua sudah selesai. Silahkan pulang." Mega mengusir Damar."Bu, Damar kesini sebagai tamu, tidak baik seperti itu. Apa salahnya kalau ia bertemu dengan Jihan sebentar saja." Dedi berusaha menenangkan istrinya."Tamu tapi membuat tuan rumah sakit hati. Aku nggak mau melihat Jihan bersedih lagi. Silahkan pergi sebelum saya berteriak." Mega tetap bersikeras."Sebentar saja, Bu." Damar masih memohon pada Mega."Pergi! Pergi!" Mega berteriak sambil menunjuk-nunjuk wajah Damar."Maaf, Pak. Saya permisi pulang," pamit Dama
"Viona." Mama Laras menutup mulutnya, ia seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya."Iya, Ma. Ini Viona." Viona mendekati Mama Laras kemudian mencium tangan dan memeluknya.Mama Laras meneteskan air mata karena terharu melihat siapa yang datang. "Mama jangan nangis," kata Viona ketika melepaskan pelukannya."Mama bahagia melihat kamu datang." Mama Laras segera menghapus air matanya."Arka, kasih salam sama Oma." Viona berkat pada Arka."Ini Oma, Sayang. Sudah lupa, ya?" Mama Laras menggendong Arka. Arka hanya terdiam, ia masih bingung dengan situasi ini."Arka sudah besar ya, sudah berat." Mama Laras mencium Arka."Ayo ke dalam," ajak Mama Laras pada Viona."Iya, Ma."Viona mengikuti langkah kaki Mama Laras menuju ke ruang keluarga."Opa, lihat siapa yang datang," kata Maam Laras pada suaminya yang sedang asyik menonton berita di televisi. Pak Yuda menoleh ke arah istrinya."Viona? Arka." Pak Yuda tak kalah terkejutnya dengan kehadiran Viona dan Arka. Viona segera mendekati Pak