"Oke. Dua ratus ribu, kalau begitu. Mau, ya, Rio." tawar Bu Mira dengan wajah yang sedikit putus asa.
Sebenarnya aku ingin menolak permintaan Bu Mira padaku. Namun, mengingat keadaanku yang membutuhkan uang untuk membawa istriku berobat, jujur aku mulai tergiur dengan tawarannya. Tapi tak ada salahnya kucoba, mungkin ini cara Allah menolongku yang tengah kebingungan.
"Baiklah, Bu. Saya mau," jawabku menerima tawaran kerja darinya. Tidak baik bukan bila menolak rejeki yang datang.
.
.
.
Setiba di dalam rumah Dimas, aku terkejut dengan ukuran kolam ik
Hai, para PNS (pembaca novel setia) Terimakasih sudah mengikuti cerita saya sampai sini. Jangan lupa tinggalkan jejak kalian yah.. Salam ketjup. IN
Kehadiran bu Mira yang mengabariku akan kepergiannya keluar rumah, memunculkan sedikit perasaan tak tenang di hatiku. Sementara kolam ikan hias miliknya sudah hampir rampung kukerjakan. Aku takut kepergiannya hanya alasan untuk menghindari ku, jadi sebelum aku benar-benar terpedaya olehnya aku minta saja separuh upahku. "Kalau gitu saya bisa, minta pembayaran setengahnya Bu, biar tambah semangat," ucapku Tanpa malu. Mendengar permintaanku, raut bu Mira tampak masam. Namun, ia masih mau menurut dengan permintaanku. Sebuah dompet tebal berwarna coklat keluar dari tas yang bermotif FF, mempertontonkan tumpukan uang berwarna merah dan biru dari dalamnya. Melihat banyak uang yang Bu Mira miliki, membuatku berpikir ia akan memberikan seluruh upahku. Namun, dasar wanita licik ia hanya berniat pamer saja. Karena hanya selembar
Kumandang adzan subuh tertangkap runguku dengan jelas. Aku yang tengah bermimpi buruk sontak bangun terselamatkan panggilan-Nya. Namun, bukan merasa tenang, aku makin gelisah. Pasalnya aku bermimpi ditinggalkan Istri dan anakku. Sementara saat ini aku bangun, tanpa istri dan anakku. "Aaah," desahku menahan rasa sakit yang menghantam kepala. Entah bagaimana caraku pulang tadi malam. Aku hanya ingat pergi ke sebuah Pub, bersama Dimas. Dengan perasaan yang kalut, aku paksa tubuh yang masih terasa berat ini bangkit. Memastikan istri dan anakku, tak benar-benar pergi meninggalkanku. Keluar dari kamar yang langsung menghadap ruang tamu. Tubuh ini langsung luruh dengan sendirinya. "Alhamdulillah," ucapku penuh rasa syukur.
Kami sampai juga di puskesmas. Tadinya aku hendak membawa Diana ke rumah sakit. Tapi aku teringat ucapan Beby yang menyarankan membawa istriku ke puskesmas saja. Kebetulan, ketika aku membeli sarapan tadi pagi. Aku bertanya pada Bu Syamsiah penjual nasi uduk. Wanita tua yang dulu berteman baik dengan ibuku, menjelaskan saran yang sama seperti Beby. "Ini kenapa?" Tanya dokter yang tengah memeriksa kening Yoga. "Dia terantuk dinding, Dok waktu bermain," jawab Diana. Aku merasa ganjil dengan jawaban yang dilontarkan Diana, karena tak sama seperti yang Iqbal katakan. Ah, sudahlah yang penting dokter mengatakan Yoga baik-baik saja dan tak mengalami luka serius. Begitu juga Diana, tapi kata wanita berkacamata itu, Diana tak boleh banyak pikiran dan bekerja terlalu berat. Berat apanya? Diakan hanya dirumah mengurus anak. Tak seperti aku yang bekerja membanting tulang di luar sana.
Akhirnya rungu ini terdiam mengalah, saat kata cerai terlontar begitu saja dari bibir merah istriku. Setengah jam aku mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu, tetap tak ada nyaliku meminta maaf padanya. Aku terlalu gengsi untuk membujuk istriku sendiri. Hati meronta berbisik meminta maaf, tapi runguku tetap pada pendiriannya. Jengah dengan keadaan yang canggung ini, aku putuskan ke kost Beby, untuk menyelesaikan masalah yang belum sempat aku selesaikan dengannya.***Sesampainya di kost Beby, niatku yang ingin membahas perhiasan Bu Mira berubah. Kedatanganku yang disambut hangat oleh janda muda itu, membuatku lupa akan tujuanku. Perhatian yang diberikan Beby, membuatku mencurahkan permasalahan yang sedikit mengusik harga diri ini.Beby memang wanita ya
Hari ini aku pergi mengunjungi Bang Rio di lapas. Ini adalah kunjungan pertamaku, semenjak dua bulan lalu Bang Rio dipindahkan. Sebelum dipindahkan kemari, bang Rio sempat dirawat di rumah sakit untuk melakukan operasi. Satu kaki Bang Rio, terpaksa diamputasi karena kecelakaan yang juga merenggut nyawa Rina, anak perempuan kami. Jantungku berdebar tak karuan saat berada di ruang kunjungan. Namun, bisa kupastikan ini bukan debaran cinta maupun rindu terhadap suamiku. Sebab dua perasaan itu, habis tak tersisa semenjak aku kehilangan, Rina. "Diana, akhirnya kamu datang juga. Abang rindu sekali denganmu, Dek," ucap bang Rio saat melihatku. Senyuman hangat yang ia berikan padaku, tak lagi mampu menghangatkan yang terlanjur mati di dalam sini. "Anak-anak ke
Ternyata Tiara membawaku ke warung bakso langganan kami semasa SMA. Dulu setiap sepulang sekolah, kami sering mampir kemari. Selain tempatnya yang nyaman melepaskan penat sehabis seharian belajar. Warung bakso Kang Warjo menjadi tempat kami cuci mata, karena rata-rata pelanggan warung bakso Kang Warjo kebanyakan anak sekolah dari berbagai sekolahan. Aku dan Tiara kini sudah duduk di tempat favorit kami, meja yang didesain khusus memanjang layaknya meja bar menghadap bartender. Namun, untuk meja warung ini menghadap sungai. Selesai memesan pesanan, sembari menunggu aku hanyut pada pemandangan yang ada di hadapanku. "Kalau berat, bagi dong? Kebetulan ni, aku lagi gak ada masalah," ucap Tiara membuka obrolan. Aku hanya tersenyum kecil menertawai godaan sahabatku. "Ih, aneh malah ketawa. Udah sini bagi masalahnya. Aku lagi butuh masalah ni biar hidup lebih berwarna." lagi Tiara selalu ber
Beberapa bungkusan, mengganjal pintu masuk rumah. Aku sendiri tak tau apa isi dalam bungkusan itu. Semenjak bang Rio masuk penjara, aku kini memilih bekerja di luar. Bekerja di toko roti yang tak terlalu jauh dari rumahku. Aku yang sudah lelah bekerja di luar, enggan melakukan pekerjaan rumah karena terlalu lelah. "Siapa ya?" tanyaku pada wanita yang berdiri di depan rumahku sambil menenteng dua bungkusan plastik yang ada di kedua tangannya. "Saya asistennya Ci Fely, Bu. Ini ada baju-baju bekas Ci fely minta di kasih ke Ibu Rina. Ini rumah bu Rina kan?" tanya wanita itu mencari jawaban dari wajahku. Ternyata wanita itu adalah asisten Ci Fely, salah satu pelangganku, sewaktu aku berjualan jajanan gorengan di depan rumah. "Oh … letakan saja disitu. Nanti saya ambil. Pintu saya lagi macet. Susah di buka," ujarku berbohong. Selain aku trauma menerima orang asing datang kerumah, aku juga malu dengan keadaan rumah yang berantakan. Wanita itu hanya mengangguk. Ia menatapku dengan tatapa
Aku sudah berada di toko roti bersama Iqbal. Namun, aku dan Iqbal tak bersama. Kami terpisah oleh pintu dan dinding kaca, yang membatasi. Aku berada di dalam sedang bekerja, sementara Iqbal duduk diluar menonton kendaraan yang lewat bersama seekor kucing. "Ibu dimana?" seorang wanita muda, bertanya padaku. "Ibu, ada di atas kak" jawab Delia, yang merupakan rekan kerjaku. "Itu, Bu Melati. Dia anaknya Bu Heny." Sambung Delia padaku. Bukannya, mendengarkan pemberitahuan Delia. Pandanganku malah tertuju pada lolipop gratis yang ada di samping mesin uang. "Del, aku boleh minta permen gratismu?" tanyaku mendekati meja kasir Delia. "Kakak mau, kebetulan tadi beberapa yang beli gak mau ambil," ujar Delia menyodorkan dua tangkai lolipop warna-warni padaku. "Buat anak kecil yang di depan itu, ya, Kak?" tanya Delia menunjuk Iqbal. Sepertinya Delia menyadari, jika aku terus memperhatikan Iqbal dari sini. "Iya, dia anakku." aku tertunduk malu menjawabnya. "Anak,
Tiara sudah berada di klinik yang tak jauh dari rumah Diana. Sementara wanita yang seharusnya memiliki tiga anak itu, masih mengontrol rasa takutnya. Tubuh Diana terus saja gemetar. Kejadian Tiara hilang kesadaran, bertemu orang asing dan harus berhadapan dengan tenaga medis, membuat Diana mengingat Rina, anak perempuannya yang sudah berpulang. "Na," panggil Tiara yang susah siuman. Diana yang duduk tak jauh dari ranjang Tiara menoleh. "Hey, ini Aku yang pingsan apa kamu. Kenapa kamu yang pucet gini, Na?" tanya Tiara dengan suara yang masih lemah. "Kamu, jangan masuk lagi ke rumahku ya, Ra.""Kenapa?" tanya Tiara bingung. "Rumahku kotor, kamu akan seperti ini lagi nanti," jawab Diana mulai tergugu. Diana mulai menangis, tapi dia bingung sendiri. Apa pemicu yang membuat ia menangis. Apa tentang Tiara yang pingsan, atau karena ingat anak perempuannya."Kita bersihkan yah, Na," kata Tiara lembut. "Iyah, nanti aku saja yang membersihkannya, tapi selama rumahku masih seperti itu kam
Entah apa yang membuat Diana tetap menikmati aktivitasnya melayani pelanggan toko roti. Hingga tanpa ia sadari jam sudah menunjukan pukul 11 siang, merasa keadaan sudah tenang Diana pun naik menemui Henny.Sesampainya di depan kantor Henny, terdengar suara tawa Iqbal yang renyah dari dalam sana. Diana menahan langkahnya untuk masuk kedalam.ia sudah lama tak mendengar tawa putra bungsunya itu, jadi ia ingin mendengarnya sedikit lama. Tok tok tok"Permisi Bu," sapa Diana saat ia sudah puas mendengar tawa Iqbal.Henny yang berada di samping Iqbal menoleh. Ada pemandangan yang cukup janggal disana. Dimana Iqbal duduk di kursi kerja Henny sambil menonton sesuatu dari laptop milik Henny. Sementara Henny sedang bergumul dengan beberapa kertas yang ada di hadapannya. "Diana, kemarah," titah Henny.Diana menurut dia mendekat menghampiri Henny."Bu, saya sudah putuskan," ujar Diana tak ingin berbasa-basi. Namun, belum selesai ia berbicara, Henny memotong ucapannya."Diana," panggil Henny. "Apa
Setelah sekuat tenaga Tiara mencoba meredam emosi ibu dua anak tersebut. Diana akhirnya berhenti mengamuk. Kini ia tengah menangis tersedu di pelukan Tiara, seakan menumpahkan semua beban yang selama ini ia simpan dan telan sendiri."Iqbal mau kemana sayang," tegur Tiara melihat Iqbal mengekori abangnya yang hendak pergi sekolah. Sedikit lucu namun sebenarnya penampilan Iqbal membuat Tiara merasa sakit. Baju dan celana Iqbal tampak tak rapi. Bisa Tiara pastikan Iqbal memakai pakaian sendiri atau ia terburu-buru mengenakannya.Iqbal berhenti menatap sahabat ibunya yang ia panggil dengan sebutan Tante. "Iqbal mau ke sekolah bang Yoga, sebentar lagi, Ibu akan bekerja, jadi Iqbal di menunggu di sana," kata Iqbal polos.Benar-benar kehidupan yang Diana dan kedua anaknya sungguh pelik. Sebagai sahabat Tiara merasa kurang peka. "Yoga dan Iqbal sudah sarapan, sayang," tanya Tiara lagi ambil menarik lembut tangan Iqbal mendekat, kemudian merapikan baju dan celana Iqbal yang terlihat sudah keke
Lagi saat Diana hendak membuka pintu, ia harus kembali menyingkirkan bungkusan-bungkusan besar yang menghalangi akses keluar masuk rumahnya. Dia begitu ceroboh, tadi malam saat merapikan barang-barang tersebut, sebagian besar sengaja ia letakan di dekat pintu. Awalnya itu hanya sementara karena memang tak ada ruang lagi untuk meletakan barang yang sudah ia pilah. Namun, tubuhnya yang mulai merasa lelah, membuat Diana melupakan barang-barang tersebut dan pergi tidur."Sebentar yah, pintu saya macet." Lagi, Diana berbohong.Tak ada jawaban di balik pintu tersebut, Diana terus menyingkirkan bungkusan plastik tersebut dengan cepat. Akibatnya rumah Diana kembali berantakan tidak jelas. Sedikit Ruang untuk membuka pintu telah siap. Diana membuka pintu dengan sedikit celah."Lama amat sih," ucap sosok yang menunggu di depan sana."Tiara!" Ucap Diana terkejut. Ia tak menyangka Tiara akan kembali datang. "Ana, kamu nggak mau mempersilahkan aku masuk gitu?" tanya Tiara yang kebingungan melihat
"Diana, ayo duduk dulu sini. Kita selesaikan masalah ini baik-baik. Kamu jangan ambil hati perkataan anak saya," bujuk Henny menenangkan Diana yang tampak emosi."Maaf Bu. Apa yang anak Ibu bilang mungkin memang benar. Disini bukan, apa itu, tempat penitipan anak," ujar Diana kesulitan mengulang kata Daycare. "Saya ini hanya karyawan, Bu. Saya pribadi juga tidak akan merasa enak hati, jika saya menitipkan anak saya untuk tidur di kantor, Ibu," ujar Diana berhati-hati."Dan untuk Mbak, saya sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjadikan anak saya untuk mencari uang tambahan. Jujur, saya juga sedih, melihat anak saya di anggap pengemis oleh orang-orang termasuk Mbak Bu Henny. Ini juga pertama kalinya saya membawa anak kemari."Melati yang sudah mendengarkan sedikit cerita tentang Diana, yang diceritakan oleh sang ibu, semakin merasa bersalah."Begini saja Diana, mungkin saat ini kamu sedang emosi. Saya paham keadaanmu saat ini cukup berat. Biasanya mengambil keputusan saat emosi, aka
hai, sebelumnya terimakasih yang masih bersedia mampir membaca kisah ini. Maaf saya terlalu lama Hiatus. sebelumnya saya benar-benar stuck dan tidak sanggup melanjutkan kisah ini. karena saya merasa saya tidak sanggup menulis cerita drama rumah tangga dengan baik. Namun, kali ini saya mau mencoba lagi. bagaimana pun saya harus menyelesaikan kisah ini untuk kalian yang sudah terlanjur membaca. Saya juga minta maaf kalau cerita ini sedikit berantakan dan membosankan. namun, ini adalah cerita pertama yang saya buat. jangan lupa meninggalkan komentar yah. kritik dan saran kalian sangat saya butuhkan untuk menjadi cambuk semangat saya. salam sehat dan bahagia selalu. untuk kalian yang membaca kisah ini.
Dengan hati berdebar, Diana masuk kedalam ruangan Heny. "Permisi Bu. Ibu panggil saya?" tanya Diana saat memasuki ruang kerja pemilik toko roti tersebut. Wanita keturunan Tionghoa itu lantas menoleh ke arah Diana."Diana, kamu kenal anak yang ada di depan toko?"Diana mengangguk pelan, tak menjawab tapi pikirannya sudah berlari jauh entah kemana. "Tolong kamu bangunkan dia dan minta dia pulang. Tak enak kalau di lihat pelanggan," titah Henny dengan wajah prihatin.Henny kemudian mengambil uang 10.000 dari dompetnya, kemudian mengulurkan uang tersebut ke arah Diana. "Kasih ini sama dia yah, biar mau dia pulang," bujuk Henny lagi.Lagi, untuk kesekian kalinya. Diana kembali tertampar. Anaknya benar-benar dianggap pengemis oleh setiap orang."Ma-maaf, Bu," ucap Diana ragu-ragu. "Anak yang di depan toko, sebenarnya anak saya?"Mendengar perkataan Diana,Henny dan putrinya Saling bertatapan. kemudian menatap Diana bersamaan."Di sini toko, bukan Daycare!" Bahu Diana tersentak kaget, s
Aku sudah berada di toko roti bersama Iqbal. Namun, aku dan Iqbal tak bersama. Kami terpisah oleh pintu dan dinding kaca, yang membatasi. Aku berada di dalam sedang bekerja, sementara Iqbal duduk diluar menonton kendaraan yang lewat bersama seekor kucing. "Ibu dimana?" seorang wanita muda, bertanya padaku. "Ibu, ada di atas kak" jawab Delia, yang merupakan rekan kerjaku. "Itu, Bu Melati. Dia anaknya Bu Heny." Sambung Delia padaku. Bukannya, mendengarkan pemberitahuan Delia. Pandanganku malah tertuju pada lolipop gratis yang ada di samping mesin uang. "Del, aku boleh minta permen gratismu?" tanyaku mendekati meja kasir Delia. "Kakak mau, kebetulan tadi beberapa yang beli gak mau ambil," ujar Delia menyodorkan dua tangkai lolipop warna-warni padaku. "Buat anak kecil yang di depan itu, ya, Kak?" tanya Delia menunjuk Iqbal. Sepertinya Delia menyadari, jika aku terus memperhatikan Iqbal dari sini. "Iya, dia anakku." aku tertunduk malu menjawabnya. "Anak,
Beberapa bungkusan, mengganjal pintu masuk rumah. Aku sendiri tak tau apa isi dalam bungkusan itu. Semenjak bang Rio masuk penjara, aku kini memilih bekerja di luar. Bekerja di toko roti yang tak terlalu jauh dari rumahku. Aku yang sudah lelah bekerja di luar, enggan melakukan pekerjaan rumah karena terlalu lelah. "Siapa ya?" tanyaku pada wanita yang berdiri di depan rumahku sambil menenteng dua bungkusan plastik yang ada di kedua tangannya. "Saya asistennya Ci Fely, Bu. Ini ada baju-baju bekas Ci fely minta di kasih ke Ibu Rina. Ini rumah bu Rina kan?" tanya wanita itu mencari jawaban dari wajahku. Ternyata wanita itu adalah asisten Ci Fely, salah satu pelangganku, sewaktu aku berjualan jajanan gorengan di depan rumah. "Oh … letakan saja disitu. Nanti saya ambil. Pintu saya lagi macet. Susah di buka," ujarku berbohong. Selain aku trauma menerima orang asing datang kerumah, aku juga malu dengan keadaan rumah yang berantakan. Wanita itu hanya mengangguk. Ia menatapku dengan tatapa