"NIELA!" Sebuah suara teriakan menghentikan pergerakan Niela.
Salah 1 kaki yang sempat naik pun kembali turun ke lantai. Tubuh kurus itu bergetar tak terkendali, akibat dari kombinasi hati kacau dan udara dingin yang menyapu kulit."Berhenti di sana!"Niela menoleh mendapati Kindly berteriak dari seberang sana. 'Ah mereka sudah selesai rupanya'.Entah definisi apa yang menggambarkan ekspresi wajah sang suami, apakah khawatir atau marah? Niela sulit membedakan. Apakah lelaki itu berteriak karena tak mau kehilangan atau ada alasan lain yang bisa membunuh batin Niela lebih kejam dari pada ini? Niela penasaran apa yang akan dilakukan pria itu."Jangan lakukan apapun, tunggu aku di sana!" Perintah Kindly kemudian berlari meninggalkan Alika yang tampak ikut shok.Gadis itu hanya mematung saling tukar pandang dengan Niela. Jujur saja dia merasa tidak enak sebab Niela sudah berstatus sebagai istri sah Kindly. Tapi dia juga tidak rela melepas hubungan mereka begitu saja. Alika bingung harus berbuat apa. Ingin bicara tapi lidahnya canggung menyapa. Apa lagi dia tahu sudah jadi duri dalam pernikahan Niela.Tap..tap..tapSuara langkah kaki semakin mendekat. Kindly menarik kasar Niela dari pinggir balkon, menyeretnya lalu di hempaskan ke kasur."Apa kau gila hah?" Bentak Kindly. Amarah sudah sangat menguasainya, terbukti dari wajah yang memerah.Niela hanya diam berpandangan kosong. Dia kira Kindly akan datang menenangkan tapi nyatanya lelaki itu tetaplah Kin yang pemarah dan kejam. Nyawa nya tidaklah sepenting itu bagi sang suami."Berhenti membuat masalah! Apa kau tidak merasa cukup sudah menghancurkan hidupku?" Tambahnya lagi tak mampu menahan emosi.Namun kali ini Kindly berusaha tidak bermain tangan. Meski benci, dia bisa melihat kerapuhan Niela di balik sikap diamnya. Tapi lagi-lagi ada ego yang menahan rasa iba meski hanya sekedar berucap tenang."Kenapa?" Akhirnya suara Niela menyahut pelan dan bergetar. "Bukankah jika aku mati hidupmu tidak akan hancur lagi? Kenapa menghalangiku?" Niela sungguh ingin mendengar jawaban Kindly."Apa kau bodoh? Kita baru menikah. Aku bukan orang kecil sepertimu. Berita kematianmu akan mempengaruhi keluargaku. Aku tidak mau namaku hancur karena masalah yang kau buat." Ucap Kindly dengan kesal. Merasa bersalah? Agak mustahil manusia keras kepala itu mau mengaku.'Oh jadi hanya masalah karirnya yah? Lucu sekali aku berharap hal lainnya tadi' batin sedih Niela. Jika tahu begini Niela menyesal mendengarkan suaminya untuk berhenti naik pagar pembatas. Seharusnya dia tetap terjun agar tidak mendapat hinaan lagi."Ap... Apa kamu tidak ada rasa khawatir sedikit saja terhadap bayi ini?" Tanya Niela memastikan sembari memegang perutnya. Dia memberanikan diri menatap mata sang suami."Dia ada karena kesalahan bukan keinginanku."Bodoh seharusnya Niela tidak usah bertanya.Kindly menutup pintu balkon dan menyimpan kuncinya."Behenti melakukan aneh-aneh lagi. Aku tidak mau buang waktu untuk pemakamanmu." Ucap Kindly sebelum hendak melangkah."Kin."Kindly mebalikkan badan mendapati Niela yang sedang berjalan mendekat ke arahnya.PlakSebuah tamparan mendarat di pipi Kindly. Tidak sakit memang, tapi tentu saja seorang Kin tidak akan menerima perlakuan demikian. Wajahnya mengeras dengan bola api di matanya."Kamu pikir aku mau dihamili orang brengsek sepertimu? Kamu sendiri yang memaksaku waktu itu." Geram Niela meluapkan rasa dalam dada. Tak ada ketakutan di wajah baru itu."Jadi begini sifat aslimu?" Kindly terkekeh menyepelekan amarah Niela. Bukan menyerap makna perkataan Niela tapi lelaki itu malah fokus ke sikap kasar Niela yang baru dia lihat."Binatang pun masih punya hati melindungi pasangannya meskipun tanpa di didik." ucap Niela pelan.PlakSebuah tamparan yang lebih kasar membalas pipi Niela hingga wanita yang tengah hamil itu jatuh terduduk ke lantai. Tangannya refleks menahan perut.Kindly jongkok berhadapan lalu menarik kasar rambut Niela sampai mendongak."Ingat ini wanita jalang. Kau tak punya hak menuntut apa-apa di sini. Jangan bertingkah seolah kau adalah nyonya!" Tegasnya lalu menghempas kasar tubuh Niela.Kindly menatap jijik Niela kemudian berlalu dari ruangan itu.Bagai hantaman berlipat ganda, Niela tidak bisa berpikir jernih lagi. Kepalanya terasa pusing dengan argumen-argumen yang meronta di otak. Ingin sekali menghilang dari bumi ini.'Kenapa aku harus menanggung kesalahan yang tidak kubuat?''Bukan aku yang meminta untuk dinikahi apa lagi kehamilan ini. Tapi seolah Kin hanya mau melampiaskan semuanya padaku dan menutup mata pada kebenaran yang sebenarnya dia tahu.'Matanya terasa berat. Kelopak itu perlahan turun menutup cahaya. Gelap.***"Bagaimana keadaannya?" Tanya Alika saat Kindly kembali ke kamarnya.Tak ada jawaban. Kindly duduk menyandarkan tubuh dan kepalanya dengan mata terpejam. Pikirannya cukup kacau sekarang. Alika duduk di samping Kindly lalu menuangkan air ke gelas yang tersedia di meja."Ini minumlah." Ucapnya lembut. Gadis itu berharap semuanya akan baik-baik saja.Kindly meletakkan gelas usai meminum semua isinya. Air dingin itu sedikit membantu meredakan emosi. Atau mungkin karena yang memberikan adalah Alika."Apa kalian bertengkar?" Tanya Alika lagi."Kapan kami tidak bertengkar? Sudahlah aku tidak mau membahas tentangnya lagi.""Maaf, aku membuat kalian jadi lebih rumit." Kata Alika menunduk. Dia tentu sadar hubungan mereka bukanlah hal yang pantas. Sudah ada tembok besar yang menghalangi ke-2 nya bersama. Kecuali kalau Kindly dan Niela bercerai."Berhenti merasa bersalah. Kau korban juga di sini." Ucap Kindly sembari menggenggam tangan mulus Alika."Jika dia tidak muncul, seharusnya kau yang menjadi istriku sekarang." Lanjut Kindly lagi dengan sikap ramah dan senyum yang belum pernah Niela lihat."Tapi mau sampai kapan kita begini Kin? Rasanya sudah tidak ada harapan lagi untuk kita." Lirih Alika. Mata berembun itu menatap lurus pada Kindly."Beri aku waktu. Aku hanya perlu membuat mama benci wanita sialan itu."Alika terdiam. Ada rasa tidak tega mendengar penuturan Kindly. Bagaimana pun Niela sedang mengandung anak Kindly. Harusnya wanita itu dapat perhatian lebih dari sang suami bukan seperti ini."Aku... Aku merasa jahat jika kau lakukan hal itu untukku.""Dia yang jahat Alika. Dia menggodaku agar punya alasan kuat untuk menikah denganku. Dia hanya bertingkah jadi korban." Katanya meyakinkan Alika. "Apa kau mau merelakanku dengan wanita licik seperti itu?"Alika sepontan menggeleng. Alasan ini yang membuat Alika tidak bisa melepaskan Kindly begitu saja. Kindly selalu berucap bahwa Niela bukan wanita yang baik."Terserah kamu saja. Tapi aku akan mundur jika sudah merasa harus.""Tenanglah. Aku akan berusaha agar kita tetap bersama."***Malam hari pukul 8, Niela bangun merasakan sakit di bagian perut bawahnya. Tak ada yang tahu keadaan gadis malang di kamar gelap itu. Niela berusaha bangun perlahan menahan sakit yang kian menghantam. Semakin bergerak, semakin perih."Argh.. hhh.. sakit sekali." Gumannya.Sadar tak akan ada yang mau bantu, Niela pun mencoba menolong diri sendiri. Tubuh lemah itu berjalan tertatih keluar kamar usai meraih ponsel dan tas salempangnya. Berpegangan pada tembok dan benda apa pun yang ada di sekitar menjadi pilihan agar bisa menjaga keseimbangan.Tapi pusing di kepala mendera kencang ketika Niela mencapai anak tangga terakhir. Dia pun duduk di sana sembari menyembunyikan wajah di ke-2 lutut. Matanya terpejam menikmati kesakitan yang datang bertubi-tubi.Kindly yang sedang duduk menikmati kopi di ruang keluarga beralih menatap Niela di ujung tangga. Layar ponsel yang tadinya di utak-atik terabaikan.Seorang pelayan yang baru masuk setelah membuang sampah melirik Niela di sana. Pelayan itu berlari kecil mendekat untuk memeriksa keadaan Niela."Nak, kamu kenapa?" Ucapnya perhatian sembari mengusap rambut Niela.Niela mengangkat kepalanya. Pelayan itu panik saat melihat wajah pucat Niela dan lebam di pipi kiri."To.. tolong antar aku ke rumah sakit." Pintanya memohon. Suaranya sangat pelan persis orang skarat."Ya ampun, tunggu di sini! Bibi pangilkan pak Jeri dulu." Katanya lalu buru-buru pergi meninggalkan Niela."Ssssh argh ku mohon jangan dulu." Lirihnya berharap rasa sakit itu bisa reda. Dia menggigit bibir keringnya guna menyalurkan rasa.Kindly hanya diam menonton. Ada begitu banyak keraguan dalam dirinya untuk melangkah. Rasa tidak ingin di perdaya, dan gengsi yang tidak ingin diturunkan. Belum lagi rasa tidak percaya pada wanita itu."Ayo, ayo cepat!" Suara pelayan yang diikuti Jeri, supir keluarga Kindly."Langsung gendong saja!" Sekali lagi pelayan itu berucap panik.Jeri pun mengangkat Niela yang terkulai lemas, tak punya daya lagi untuk sekedar membantah. Mereka melewati Kindly yang sedang sibuk dengan ponsel. Ah, orang-orang di sana sudah cukup tahu bagaimana tidak pedulinya sang tuan terhadap istrinnya sendiri. Hingga hal gawat seperti ini pun tidak perlu di laporkan.Kindly meneguk kopinya sampai habis lalu meletak kasar gelasnya hingga mengahasilkan suara tamparan kaca.Mata Kindly dan Niela sempat bertemu sebelum pelayan dan supirnya datang. Tak bertahan lama, wanita itu segera membuang muka dan memilih meringis sendirian."Dia bahkan tidak memohon padaku." Monolog Kindly.'apa dia baik-baik saja?' lanjutnya dalam hati.'Aku hancur. Aku lebih hancur darimu. Aku tidak baik-baik saja.' Ucapan hati Niela ketika saling menatap singkat dengan sang suami tadi.Bagai dejavu, Niela pulang seorang diri dari rumah sakit setelah di rawat beberapa hari. Sama seperti sebelumnya. Sang suami tak pernah menjenguk sekalipun. Kali ini dia memilih ke rumah sakit berbeda agar tak ada lagi yang mengadu pada Sena. Tak ada dokter yang mengenalinya di rumah sakit itu. Untung saja Sena masih di luar negeri jadi mempermudah Niela untuk menyembunyikan sakitnya.Niela menyempatkan diri singgah ke sebuah cafe untuk sekedar menikmati waktu santai. Padahal batinnya tak akan sembuh semudah itu. Setidaknya memanjakan mata dengan suasana baru akan menyenangkan hati meski sebentar saja. Kalau saja Niela punya rumah, dia akan memilih pulang ke sana. Sayangnya sebelum menikah, Niela hanya tinggal di sebuah kontrakan sederhana. Tapi kesederhaan itu jauh lebih nyaman dari pada tempatnya yang sekarang."Niel?" Sebuah suara menyadarkan Niela dari lamunannya.Dia menatap ke arah samping kanan di mana orang itu berdiri. Matanya menyipit berusaha mengingat orang yang tampak ti
Salah satu dari perampok itu mengambil keputusan gegabah. Dia panik mendengar suara Niela yang bisa menggagalkan rencana mereka. Tanpa keraguan, dia menarik pisau bersamaan dengan padamnya listrik. Tapi kegelapan tidak menghentikan aksinya hingga...JlebTetesan darah jatuh mengotori lantai. Tak ada yang dapat melihat bagaimana kondisi orang yang terkena tusukan."Dasar bodoh, kau menambah masalah." Ucap rekannya. Mereka buru-buru melangkah menebak arah keluar sembari meraba senter dalam tas bawaan. Tapi sebuah hantaman membuat mereka beku di tempat beberapa saat.Lampu kembali menyala. Detik berikutnya ke-3 perampok itu lari ketika melihat 2 lelaki berbadan kekar ada di sebelah mereka. Kindly dengan darah di tangannya bersama Jeri sang supir. Sementara Niela terdiam di tempat, tubuhnya mendadak kaku digerakkan. Tak sejalan dengan otak yang ingin sekali mencari tempat pelarian aman.Kindly yang emosi mengejar para perampok. Tak ada ampun untuk mereka yang berani mencari masalah denga
"Apa anda sudah buat janji dengan beliau?" Tanya resepsionis ramah."Iya, janjinya hari ini.""Kalau begitu bisa tunggu sebentar? Tuan Harell sedang rapat saat ini.""Oh baiklah."Niela beralih ke kursi tunggu yang tersedia. Jam yang melingkar di lengan rampingnya menujukkan pukul 10 lebih 12 menit."Sial, aku terlambat." Gumamnya merutuki diri sendiri.Niela kehilangan insomnianya tadi malam. Untuk pertama kalinya dia bisa tidur nyanyak sampai hampir pukul 8 pagi. Penyebab dirinya terlambat, di tambah kemacetan jalan kota."Ugh kok jadi gugup begini yah?"Niela jadi ingat pengalaman dulu sewaktu melamar di perusahaan Kindly yang sudah berstatus sebagai suaminya sekarang. Bedanya kali ini dia duduk sendiri tanpa ramai-ramai menunggu antrian masuk. Tapi hawa dingin waktu itu seolah mengikutinya ke tempat sekarang. Niela juga tak menyangka perusahaan milik Harell semegah ini. Sudah hampir 1 jam Niela menunggu. Kegugupan pun semakin bertambah.'Apa aku pulang saja? Gedung ini lebih mega
Kindly tak bisa menjawab. Tangannya terkepal kuat hingga urat bermunculan di balik kulitnya. Ingin sekali dia menekan Niela agar lebih patuh tapi ada sesuatu yang menahan keinginannya. Ada pertimbangan yang mengurungkan niat untuk menyakiti. Dia benci respon tubuhnya itu. Dia benci terlihat lemah di hadapan orang yang di benci.Akhirnya Kindly pergi meninggalkan Niela tanpa sepatah katapun. Pria itu berkendara ugal-ugalan membelah jalan raya kota. Melampiaskan emosi yang terus menguar. Entah kepada siapa amarah ini ditujukan.Niela meraba pipi bekas tamparan sang suami yang meninggalkan ruam merah. Dia menatap dirinya yang sedang duduk di depan cermin rias. Wanita itu merasa air matanya sudah terkuras habis hingga mengering."Menyedihkan sekali." Gumamnya pada diri sendiri.Deskripsi kata hancur adalah kata paling tepat untuk kondisinya sekarang. Tak ada masa depan yang cerah sesuai ekspektasi ketika menikah. Sebaliknya, suram dan gelap.'Kuat, kamu harus kuat Niel. Semangat!' batinny
Niela duduk berhadapan dengan Alika, kekasih sang suami. Mereka berada di ruang tamu. Niela kira Alika akan kencan dengan Kindly, tapi ternyata Alika sengaja datang untuk bertemu dengannya."Maaf, aku menganggu yah?" Ucap Alika yang kembali berbicara.Wajah cantik nan anggun itu menatap teduh Niela. Sebenarnya kalau dinilai dari luar Alika lebih terlihat santun dan ramah. Cara berpakaian selalu modis, tak bosan di pandang. Kindly memang tahu memilih pasangan yang menarik."Tidak apa. Jadi apa yang mau kau bicarakan?"Alika tampak berpikir penuh pertimbangan. Ini adalah pertama kali mereka mengobrol jadi tentu saja ada kecanggungan yang terselip."Kau tahu, aku dan Kin sudah jadi pasangan selama lebih dari 3 tahun." Ucapnya tanpa keraguan. "Dia pernah berjanji akan menikahiku."Pedih. Niela berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Mendadak dia merasa jadi penghancur hubungan. Wajar saja Kindly selalu bersikap kasar. Tapi apakah Niela harus mengabaikan kehancuran hatinya dalam masal
Menjadi tempat pelarian itu sakit untuk orang yang tulus. Niela sadar dia hanyalah pendatang baru dalam hidup Kindly. Tidak mungkin mereka bisa langsung beradaptasi. Perlu waktu untuk saling mengenal. Namun jika dalam waktu menunggu itu selalu melukai batin maka Niela akui tak sanggup. Mentalnya perlu di jaga demi kewarasan. Wanita itu tak punya siapapun dan selalu berjuang di atas kakinya sendiri. Jadi jika mau tetap hidup, sepertinya kata cerai adalah solusi."Sudah selesai mengetik?" Perhatian Niela beralih pada Harell yang berdiri di depannya dengan bersilang tangan."Eh? Oh.. sisa sedikit tuan. Sebentar lagi." Jari-jari rampingnya kembali menari di atas keyboard komputer.Harell mengernyit mendengar panggilan baru Niela untuknya. Ada rasa tidak senang dari panggilan itu. "Tuan? Apa kamu berubah jadi orang asing sekarang?"Sontak jari Niela berhenti. "Bukan begitu. Kak Harell kan memang tuannya Niel." ucap Niela dengan wajah polosnya. Dia tidak mau dianggap tidak sopan oleh karyaw
Semua orang terkejut mendengar pernyataan Niela termasuk Kindly. Dia tidak tahu menahu soal ini. Tapi siapa yang mau dia salahkan? Sebab dia sendiri tak pernah bertanya keadaan sang istri. Beberapa kali masuk rumah sakit tak dijenguk. Bahkan sekedar bertanya 'Apa kau baik-baik saja' tidak pernah.Sena sulit berkata, dia tertegun di tempatnya berdiri. Wanita paruh baya itu sudah menanti kelahiran cucu pertamanya. Tak pernah terbesit di otaknya akan mendengar kabar duka ini. Niela sendiri tidak bercerita apapun. Jadi Sena mengira semua dalam keadaan baik."Ap... Apa mama tidak salah dengar?""Niel minta maaf."PlakSena menampar Kindly penuh emosi. Saat Sena memamerkan oleh-olehnya tadi, Kindly tidak menunjukkan rasa duka sedikitpun. Hal itu cukup menjawab bahwa dia sendiri tidak tahu kabar keguguran anaknya. Andri hanya diam. Dia juga terluka mendengar penuturan Niela."Apa kau tahu istrimu keguguran?" Suara Sena bergetar namun menyiratkan emosi. Matanya menatap nyalang Kindly yang tak
Umumnya orang dewasa malas memulai hubungan baru jika menyangkut pasangan hidup. Apa lagi kesibukkan kerja yang menyita banyak waktu. Mencari yang lain adalah hal rumit. Terlebih harus mulai dari awal untuk menyesuaikan diri dengan pasangan baru. Saling percaya merupakan salah satu bagian paling susah. Hal inilah yang dialami Kindly. Pria 30 tahun itu muak didatangi banyak wanita demi menikmati harta berlimpahnya. Dulu pernah ada yang mengaku hamil dan menuntut Kindly bertanggung jawab. Bukan orang asing tapi wanita itu temannya sendiri. Dia menjebak Kindly yang dalam keadaan mabuk. Waktu itu mereka berpesta usai wisuda. Bangun-bangun Kindly sudah berada di sebuah kamar dengan tubuh polos tanpa pakaian. Di pinggir kasur si wanita menjalankan aksi menangisnya seolah menjadi korban pelecehan. Sayang, usahanya gagal total sebab dia tidak berhasil dibuahi. Apa lagi ada wanita lain yang memberikan bukti kalau semuanya hanyalah jebakan. Nyaris terkecoh, wanita pemberi bukti itu ternyata sa
Menghilangnya Kindly telah membukakan jalan lebar bagi rivalnya beraksi. Inilah alasan Kindly melarang Niela sembarang keluar rumah tanpa penjagaan. Namun dia kurang perhitungan dalam penyediaan tenaga bayaran.Orang-orang itu mentargetkan Niela dalam penculikan. Mereka membuat kedua pengawal tumbang dan meninggalkan Sena yang histeris. Sena sempat melakukan perlawanan untuk merebut Niela dan pada akhirnya pingsan setelah tengkuk kepalanya di hantam benda tumpul.Pertolongan baru datang usai mereka berhasil lari.Niela tidak tahu apa yang dia alami selanjutnya. Pandangannya menggelap ketika sebuah kain beraroma tajam menutup mulut dan hidungnya. Dia kira akan terbangun di tempat kumuh seperti gudang berdebu, tempat penyekapan yang sering muncul dalam film.Salah.Begitu kelopak matanya terbuka, yang pertama dilihatnya adalah langit-langit putih yang terlampau terang akibat biasan lampu bagian tengah. Menoleh kiri kanan, ini merupakan kamar yang nyaman ditiduri.Tunggu.Apa Andri suda
Tak ada petunjuk. Tak ada saksi. Cctv terhapus secara misterius.Kindly benar-benar menghilang tanpa jejak. Polisi turun tangan dalam pencarian. Andri mengerahkan segenap kekuasaannya.Niela menggila, uring-uringan di jalanan tanpa arah. Fokusnya mencari batang hidung Kindly di mana pun. Para pengawal hanya sanggup mengantar dan mengikuti intruksinya. Selama empat hari ini Sena dan Andri berusaha bersikap tenang, memutuskan menemani Niela juga menginap selama Kindly belum ditemukan.Sena terpaksa mengurung Niela yang memaksa keluar mencari sang suami. Wanita itu menolak makan, sering melamun, dan menangis tanpa suara. Dia juga lebih banyak menyendiri di balkon kamar, menatap langit dalam keheningan. Wajahnya pucat karena kurang nutrisi. Kantung matanya menebal, separuh lingkaran hitam membingkai bawah matanya.Dari pintu, Sena memperhatikan dengan helaan nafas lesu. Dia merasa kehilangan, tentu. Tapi sang menantu pasti punya tanggungan kesakitan yang berbeda. Antara bersyukur karena
Secepat kilat menyambar, sama cepatnya dengan aksi bunuh diri Alika. Tak ada yang bisa dilakukan lagi. Alika mengalami pendarahan hebat, kepalanya pecah, tangan kirinya bengkok terlindas bola depan mobil. Kana meraung dalam bahasa sedih. Kindly berlari, berusaha meraih tubuh Alika yang separuhnya terjebak di bawah kolong mobil. Jalanan ribut suara-suara ringisan, prihatin, dan bercampur dengan bunyi klakson dari belakang (mereka tidak tahu situasi di depan).Alika menghembuskan nafas terakhirnya. Meninggalkan luka pukulan besar sekaligus kenangan terburuk.Pemakaman di laksanakan dua hari kemudian. Tangis pilu mengelilingi petinya. Kana sudah kehabisan air mata. Dia menatap penuh dendam pada Kindly yang datang bersama Niela. Mungkin ingin memaki dan marah-marah jika tidak di depan umum. Seluruh keluarganya pun tak mau repot-repot menyapa. Itu wajar. Niela sudah menduga skenario ini sebelum tiba.Kindly berdiri bak mayat hidup. Wajahnya datar, lebih seperti melamun. Binar matanya meng
Kana tersenyum percaya diri. Memaksimalkan drama, bertingkah sebagai korban paling tersakiti. "Kin, istrimu memukul Alika."Kindly masih berdiri di ambang pintu, menatap bergantian antara Niela dan Alika. Matanya tajam seperti biasa. Aroma parfum maskulinnya berbaur dengan wangi roti panggang mentega.Niela diam menunggu penasaran apa yang akan dilakukan sang suami. Bunyi sepatu Kindly adalah satu-satunya yang terdengar. Bagaikan latar musik horor mendekati puncak kemunculan setan. Perlahan dia berjalan mendekat, dan berhenti di hadapan istrinya."Apa yang kau lakukan?" Tanyanya dengan suara rendah.Niela diam, menatap lekat mata Kindly. Membaca situasi hati lelaki itu. Terbesit keraguan dalam dirinya ketika mendapati sorot mata yang sulit ditebak."Dia memukul Alika." Ulang Kana memanasi. "Dia sangat kasar dan...""Aku bertanya padamu." Kindly menoleh pada Kana. "Ada apa kau datang mengganggu istriku lagi?"Mulut Kana menganga, bingung. Kepercayaan dirinya luntur sesaat. "Kau membela
Beberapa pelanggan yang baru datang dan pejalan kaki yang lewat menyaksikan perdebatan di depan toko roti itu. Si ibu pemilik toko berkacak pinggang, melontarkan kalimat-kalimat gerutuan. Suaranya nyaring, sanggup menenggelamkan suara Kana.Si pengawal (dua orang) memasang badan, mencegah Kana melewati batas pintu. Wajah mereka tak banyak berubah, datar, tampak seperti melawan anak ayam.Kana sudah kehilangan akal sehatnya. Dia benci diperlakukan kasar. Dia benci orang-orang memandangnya rendah. Emosi itu membakar dirinya hingga lupa sedang berada di tempat umum dan memancing atensi banyak orang. Sial, ini sangat buruk.Pintu kaca terbuka. Seseorang menariknya dari dalam. Niela keluar, menatap Kana. Perdebatan mereka terintrupsi."Apa yang kau lakukan Kana?" Tanya Niela, berpura-pura tidak mengerti kondisi."Ah maaf nona, kenyamanan anda terganggu karena orang ini." Ucap si wanita pemilik toko.Niela memborong banyak roti, pun wajahnya sudah dikenal karena terlalu sering membeli bebe
Keadaan berubah. Kini Niela yang merasa bersalah dan memaki dirinya sendiri dalam hati. "Kau salah mengerti." Ralat Niela dengan mata berkaca-kaca."Apa pun yang kau tidak suka dariku. Bisakah kita membicarakannya bersama?"Niela pun tak tahan. Dia menghadapkan tubuh pada Kindly dan meraih wajah itu ke dalam dekapannya. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Biasanya Niela yang di dekap, ditenangkan, dibisiki kata-kata hangat. Berbeda dengan sekarang. Dia merasakan kerapuhan lelaki yang selalu menunjukkan wajah garang. Hampir mustahil mempecayai momen ini terjadi jika mata tak melihat langsung.Apa Kindly juga begini pada Alika? Oh sialan, pikiran negatif begitu tak membantu."Baiklah, maaf kalau aku menyudutkanmu, bukan maksudku." Ucap Niela sembari mengusap punggung sang suami."Jangan katakan hal itu lagi padaku." Suara Kindly masih serak, namun tidak lagi sumbang.Niela mengangguk. "Selama kau tidak berbuat macam-macam, aku tidak akan mengatakannya lagi. Kau sadar? Hubungan kita sep
Perjalanan pulang begitu hening. Wanita bermata kosong di samping kemudi lebih tertarik pada hamparan luar kaca mobil. Kindly tidak bodoh untuk mengetahui isi pikiran istrinya. Dia membiarkan sejenak. Tangannya ingin menyetel lagu namun lupa caranya bergerak karena tidak ingin memperburuk suasana."Dia teman semasa sekolahku. Kami dekat--""Aku tahu." Sela Niela cepat, tak ingin mendengar penjelasan lebih rinci lagi. "Mama sudah cerita saat kau asik mengobrol dengannya."Ini bukan sesuatu yang perlu dikejutkan lagi. Justru aneh kalau wanita itu merespon biasa saja. "Hmn, dia bukan sainganmu dan sudah punya calon suami. Dia bilang ingin memiliki hubungan yang baik denganmu." Kindly melirik sekilas wajah datar itu. "Katanya ingin berteman denganmu.""Kak Harell juga bukan sainganmu, tapi kau memukulnya waktu itu."Kindly tergugu. Kata-katanya gagal terucap. Perasaannya berubah was-was sekarang. Menentang dengan alasan apa pun akan terdengar konyol saat ini.Niela menoleh, masih dengan w
Mereka tidak memilih ruang privat, melainkan meja yang berjejer rapi di area luas. Masih dalam restoran yang sama. Kindly bicara berdua dengan Saira, sementara Niela kembali ke meja dimana orangtua mereka berada."Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini malam ini. Aku memang berencana menemuimu, tapi belum sempat karena baru tiba kemarin sore." Saira bercelatuk bebas di depan Kindly. Kentara sekali sudah terbiasa hingga tak mau repot-repot bertingkah anggun."Yah, aku juga hampir lupa tentangmu. Kau terlalu lama menghilang.""Karena ayahku. Kau mengenalnya kan? Dia lelaki yang ketat aturan."Kindly mengangguk tertawa pelan. "Aku ingat dia pernah memelototiku karena terlambat mengantarmu pulang.""Dan ibu mengejarmu untuk minta maaf."Tawa mereka beradu. Hubungan mereka tidak diragukan lagi. Meski lama berpisah, namun kehangatan dan kenyamanan itu tidak surut. Rasanya senang ketika mengingat momen masa remajamu bersama orang terdekat. Hal buruk pun akan terdengar lucu dan sed
Toilet resto berbintang memiliki bentuk dan kebersihan ternyaman. Tak ada bau pesing atau coret-coretan di dinding. Lampu bersinar terang, membuat kulit tampak putih bersih saat terpapar. Berlama-lama sambil menambal make up pun tak masalah. Kualitas perlengkapan alat-alatnya sebanding dengan kantong orang berkelas. Cermin pun sering jadi sasaran tempat berpose depan kamera. Berbeda jauh dengan rumah makan kecil-kecilan yang sering Niela kunjungi, bahkan justru ada yang tidak menyediakannya. Wanita itu melihat jelas bagaimana perubahan hidupnya yang naik ke atas melompati banyak tangga sekaligus. Keluarga Kindly punya kekayaan sebanyak itu.Air dinyalakan, mencuci tangan yang sebenarnya tidak kotor. Niela mendesah berat, menunduk menatap titik air di watafel yang baru selesai digunakan. Pandangannya kosong, melamun. Sebenarnya dia tidak memiliki kepentingan ke toilet, hanya ingin menjauh saja. Nafsu makannya hilang sebagian.Mengetahui Kindly keluar kantor entah ke mana, membuatnya b