Pagi hari, Niela mengerjapkan mata saat terbangun dari mimpi. Tenggorokannya terasa kering dan sakit. Mungkin akibat dari teriakan semalam. Manik mata hitam itu menjelajah isi ruangan yang bisa dijangkau. Tidak berbeda dari kemarin. Dia masih di tempat yang sama.CeklekPandangannya berpindah pada Kindly yang baru masuk. Kali ini Niela tidak berteriak ataupun berontak. Badannya cukup lemas bahkan untuk sekedar bangun. Tapi kabar baiknya dia kembali normal dan mengingat semua kejadian yang baru di alami. Hingga rasa takut akan kehadiran Kindly cukup membuatnya tidak nyaman."Hei sudah sadar?" Sapa Kindly sambil meletakkan kantung belajaan. Lelaki itu menarik kursi dekat kepala ranjang dan duduk di sana.Niela masih diam dengan tingkah aneh sang suami. Apa Kindly sungguh bertanya padanya? Perasaan baru kemarin pria itu menunjukkan sikap tak peduli."Mama baru pulang tadi. Jadi hanya aku yang berjaga." Lanjut Kindly menangkap mata polos Niela yang terkandung banyak pertanyaan."Lapar? Ma
" TIDAK TIDAK.. Kin asli menginginkanku mati. Dia bilang tidak mau mencintaiku." Racaunya menggeleng ribut.Bayang-bayang itu lebih terasa nyata dari pada situasi sekarang. Keringat di dahi pun bermunculan."Niel? Niel hei Niela." Kindly meraih wajah Niela yang terlihat gusar. Dia tahu istrinya trauma."TIDAK. KAU BUKAN KIN ASLI." Jeritnya. Mata indah itu mengalirkan air lambang kesedihan. "Kin ingin aku mati. Kin tidak sudi menyentuhku.""NIELA!""Kin benci, Kin jijik padaku. Aku tidak berharga baginya." Gumam Niela meyakinkan dirinya bahwa Kindly versi baru tidak ada. Hanya khayalan."Niel maaf.. maaf aku mengaku salah. Oke? Aku janji akan berubah untukmu Niel." Sesal Kindly sembari menarik wanita hiteris itu ke dalam dekapan."Kin pasti membuangku--""NIELA ISTRIKU." Teriak balik Kindly yang sukses mengembalikan otak waras Niela. "Kau mau apa? Aku akan melakukannya untukmu, tapi tenanglah." Bujuk Kindly dengan nafas tak kalah memburu. Detak jantungnya bahkan terasa di setiap ketuk
"Kak Harell?" Sapa balik Niela. Detik pertama dia senang melihat wajah yang sudah sekian hari tidak dia temui. Tapi tidak lagi saat genggaman Kindly mengerat kuat hingga terasa sakit. Senyuman Niela langsung luntur ketika menoleh dan mendapati wajah dingin sang suami."Argh." Ringis Niela menahan sakit."Siapa kau?" Tanya Kindly retoris. Rahangnya mengeras meninggalkan kesan aura dominan yang gelap. Dia tidak lupa wajah lelaki yang bersama dengan istrinya saat di resto kapan hari."Oh maaf, aku hanya ingin tahu keadaan Niel setelah beberapa hari ini hilang kabar." Katanya. Harell tersenyum ramah tanpa memperhitungkan betapa tidak sukanya Kindly akan kedatangannya."Maaf kak, Niel lupa mengabarkan soalnya...""Naik dan masuk ke kamar!" Perintah Kindly memotong ucapan Niela. Tatapan tajamnya pada Niela menjelaskan kalau dia tak mau mendengar alasan apa pun untuk membantah."Kin." Lirih Niela dengan wajah memelas agar diberi waktu bicara bersama Harell."AKU BILANG MASUK!" Bentak Kindly
"Niela." Panggil Kindly saat wanita itu sibuk melingkarkan perban di tangannya. Niela tidak mengatakan apapun selama mengobati. Dia fokus melakukan pekerjaannya tanpa mau banyak tahu. Tentu hal ini membuat Kindly heran."Hmm?" Sahut Niela masih menata perban."Tidak mau bertanya atau menjelaskan sesuatu?""Kau sendiri yang bilang tidak mau ditanya macam-macam."Kindly baru menyadarari, dia benar-benar tidak mengenal Niela. Dia tidak tahu bagaimana karakter sang istri. Kadang terlihat patuh, tapi kadang juga melawan. Kindly juga belum bisa membedakan apakah keterdiaman istrinya karena takut atau memang tidak mau mengganggu privasi."Oke maka aku yang akan bertanya. Siapa dia?" Tanya Kindly tenang."Dia pemilik perusahaan tempatku berkerja." "Kau baru beberapa hari bekerja di sana dan sudah seakrab itu sampai dia sendiri datang mencarimu?" Selidik Kindly yang curiga dengan kedekatan mereka. "Aku bahkan lebih banyak tidak mengenal bawahanku meski mereka sudah bekerja 1 tahun lebih."Ki
Obrolan mereka semakin random. Dari yang bahas hobi, kerja, uang simpanan, dan sekarang Niela menuntut hubungan bersih tanpa orang ke-3. Kindly mulai berpikir, apa Niela sedari tadi sengaja mencari kesalahannya? Tapi untuk apa?"Kau tidak bisa kan? Seharusnya kau iyakan saat aku minta cerai." Ucap Niela sebelum turun dari sofa. Dia pergi meninggalkan Kindly yang masih membisu. Detakkan jantung Niela mengetuk kencang seiring langkah. Dia sempat berharap di cegah Kindly tapi nyatanya itu hanya harapan konyol. Percobaan menguji sang suami berbuah pahit. Dia sebenarnya sudah bisa menebak. Mana mungkin dirinya dipilih sementara Alika punya segalanya. Kindly hanya merasa bersalah, pria itu tidak pernah melibatkan perasaan cinta, dia hanya kasihan. Apa mungkin dia juga jijik saat menyaksikan Niela dalam kondisi terburuknya di rumah sakit? Tampilannya yang awut-awutan, teriakannya seperti orang gila- coret, bukan seperti melainkan fakta. Niela menyesal hampir tenggelam dalam rayuannya. Air m
Memberi kesempatan tapi justru di balas penghianatan bagai ditusuk benda tajam transparan penuh bara. Sakit, panas dan sesak di dada berkumpul. Jika saja ada obatnya, Niela ingin menelan banyak kapsul sekaligus. Wanita itu berjalan tergesa-gesa keluar dari gedung yang besar dan megah. Dia tak peduli ketika menabrak seseorang atau menyambar beberapa barang hingga jatuh. Dia tak peduli pandangan orang yang menatapnya dengan makna berbeda-beda. Otaknya tak bisa berpikir jernih sekarang. Kabur! Pergi jauh! Hanya itu yang bisa dia pikirkan sekarang.Niela bosan terperangkap dalam penjara Kindly. Dia benci siklus kehancuran yang terjadi berulang kali. Jika sendiri, mungkin dia akan bisa lebih menikmati hidup tanpa merasa cemas di tikung. Katakanlah dia istri yang tidak tahu bersyukur. Tapi pernikahan ini memang terjadi tanpa kesiapan apapun sama sekali. Mentalnya belum siap menghadapi masalah rumah tangga.Tangan gemetarnya melambai menghentikan taksi. Setelah masuk, Niela tak kuasa menaha
"Terimakasih." Ucap Niela pada suster yang baru merawat tangan dan wajah Kindly. Suster itu tersenyum ramah lalu pergi. Kini mereka berada di rumah sakit untuk mendapat penanganan."Sakit?" Tanya Kindly meraih telapak tangan Niela yang sudah lebih dulu di perban.Niela menghela dan membuang nafas kasar. Rasanya ingin marah mengingat aksi nekat Kindly, tapi di lain sisi dia juga senang melihat bagaimana sang suami tidak mau meninggalkannya begitu saja. Artinya sudah ada perkembangan baik dalam hubungan mereka. Dari pihak Kindly kususnya."Bukan aku, tapi lukamu yang paling parah. Apa kau tidak merasa panas?" Kening Niela mengernyit ngilu melihat luka bakar yang mulai melepuh. Dia pernah mendapat luka bakar ketika menggoreng ikan. Dan rasa panasnya sangat menyengat semalaman. Padahal besarnya tak seberapa jika dibandingkan dengan yang dimiliki Kindly sekarang. Apa lagi tangan itu belum pulih dari bekas luka kemarin.Sekali lagi Kindly menarik Niela ke dalam dekapannya. Merasakan hembus
"Kau membodohiku yah?" Pekik Niela. Dia mulai sadar ketika Kindly tertawa saat di pukul bantal. Sepertinya dia dan bantal akan jadi 1 kubu jika dalam mode menyerang."Eh, tidak. Penyakit itu sungguhan ada." Sahut Kindly belum menyerah. Dia menangkap ke-2 tangan sang istri agar berhenti gerak liar."Aku tidak percaya." Seru Niela jengkel. "Kau pergi saja ke kamarmu! Sana, sana!!" Usirnya persis anak kecil merajuk."Oke oke. Aku tidak akan bicara lagi." Ucap Kindly mengangkat ke-2 tangan. "Kita damai yah?" Katanya. Lalu merebahkan diri dan mengatur nafas.Niela pun ikut berbaring. Dada mereka kembang kempis sesuai kecepatan nafas. Hening sejenak sembari menatap langit-langit kamar."Oh yah Kin, satpam di depan bertambah orang yah?" Tanya Niela mengingat orang asing yang dilihatnya sedari pulang dari rumah sakit."Hm. Supaya tidak ada perampokan lagi. Kalau yang lain berpatroli atau aku suruh sesuatu, maka yang lainnya bisa tetap tinggal di tempat untuk berjaga. Sekaligus bisa gantian tu
Menghilangnya Kindly telah membukakan jalan lebar bagi rivalnya beraksi. Inilah alasan Kindly melarang Niela sembarang keluar rumah tanpa penjagaan. Namun dia kurang perhitungan dalam penyediaan tenaga bayaran.Orang-orang itu mentargetkan Niela dalam penculikan. Mereka membuat kedua pengawal tumbang dan meninggalkan Sena yang histeris. Sena sempat melakukan perlawanan untuk merebut Niela dan pada akhirnya pingsan setelah tengkuk kepalanya di hantam benda tumpul.Pertolongan baru datang usai mereka berhasil lari.Niela tidak tahu apa yang dia alami selanjutnya. Pandangannya menggelap ketika sebuah kain beraroma tajam menutup mulut dan hidungnya. Dia kira akan terbangun di tempat kumuh seperti gudang berdebu, tempat penyekapan yang sering muncul dalam film.Salah.Begitu kelopak matanya terbuka, yang pertama dilihatnya adalah langit-langit putih yang terlampau terang akibat biasan lampu bagian tengah. Menoleh kiri kanan, ini merupakan kamar yang nyaman ditiduri.Tunggu.Apa Andri suda
Tak ada petunjuk. Tak ada saksi. Cctv terhapus secara misterius.Kindly benar-benar menghilang tanpa jejak. Polisi turun tangan dalam pencarian. Andri mengerahkan segenap kekuasaannya.Niela menggila, uring-uringan di jalanan tanpa arah. Fokusnya mencari batang hidung Kindly di mana pun. Para pengawal hanya sanggup mengantar dan mengikuti intruksinya. Selama empat hari ini Sena dan Andri berusaha bersikap tenang, memutuskan menemani Niela juga menginap selama Kindly belum ditemukan.Sena terpaksa mengurung Niela yang memaksa keluar mencari sang suami. Wanita itu menolak makan, sering melamun, dan menangis tanpa suara. Dia juga lebih banyak menyendiri di balkon kamar, menatap langit dalam keheningan. Wajahnya pucat karena kurang nutrisi. Kantung matanya menebal, separuh lingkaran hitam membingkai bawah matanya.Dari pintu, Sena memperhatikan dengan helaan nafas lesu. Dia merasa kehilangan, tentu. Tapi sang menantu pasti punya tanggungan kesakitan yang berbeda. Antara bersyukur karena
Secepat kilat menyambar, sama cepatnya dengan aksi bunuh diri Alika. Tak ada yang bisa dilakukan lagi. Alika mengalami pendarahan hebat, kepalanya pecah, tangan kirinya bengkok terlindas bola depan mobil. Kana meraung dalam bahasa sedih. Kindly berlari, berusaha meraih tubuh Alika yang separuhnya terjebak di bawah kolong mobil. Jalanan ribut suara-suara ringisan, prihatin, dan bercampur dengan bunyi klakson dari belakang (mereka tidak tahu situasi di depan).Alika menghembuskan nafas terakhirnya. Meninggalkan luka pukulan besar sekaligus kenangan terburuk.Pemakaman di laksanakan dua hari kemudian. Tangis pilu mengelilingi petinya. Kana sudah kehabisan air mata. Dia menatap penuh dendam pada Kindly yang datang bersama Niela. Mungkin ingin memaki dan marah-marah jika tidak di depan umum. Seluruh keluarganya pun tak mau repot-repot menyapa. Itu wajar. Niela sudah menduga skenario ini sebelum tiba.Kindly berdiri bak mayat hidup. Wajahnya datar, lebih seperti melamun. Binar matanya meng
Kana tersenyum percaya diri. Memaksimalkan drama, bertingkah sebagai korban paling tersakiti. "Kin, istrimu memukul Alika."Kindly masih berdiri di ambang pintu, menatap bergantian antara Niela dan Alika. Matanya tajam seperti biasa. Aroma parfum maskulinnya berbaur dengan wangi roti panggang mentega.Niela diam menunggu penasaran apa yang akan dilakukan sang suami. Bunyi sepatu Kindly adalah satu-satunya yang terdengar. Bagaikan latar musik horor mendekati puncak kemunculan setan. Perlahan dia berjalan mendekat, dan berhenti di hadapan istrinya."Apa yang kau lakukan?" Tanyanya dengan suara rendah.Niela diam, menatap lekat mata Kindly. Membaca situasi hati lelaki itu. Terbesit keraguan dalam dirinya ketika mendapati sorot mata yang sulit ditebak."Dia memukul Alika." Ulang Kana memanasi. "Dia sangat kasar dan...""Aku bertanya padamu." Kindly menoleh pada Kana. "Ada apa kau datang mengganggu istriku lagi?"Mulut Kana menganga, bingung. Kepercayaan dirinya luntur sesaat. "Kau membela
Beberapa pelanggan yang baru datang dan pejalan kaki yang lewat menyaksikan perdebatan di depan toko roti itu. Si ibu pemilik toko berkacak pinggang, melontarkan kalimat-kalimat gerutuan. Suaranya nyaring, sanggup menenggelamkan suara Kana.Si pengawal (dua orang) memasang badan, mencegah Kana melewati batas pintu. Wajah mereka tak banyak berubah, datar, tampak seperti melawan anak ayam.Kana sudah kehilangan akal sehatnya. Dia benci diperlakukan kasar. Dia benci orang-orang memandangnya rendah. Emosi itu membakar dirinya hingga lupa sedang berada di tempat umum dan memancing atensi banyak orang. Sial, ini sangat buruk.Pintu kaca terbuka. Seseorang menariknya dari dalam. Niela keluar, menatap Kana. Perdebatan mereka terintrupsi."Apa yang kau lakukan Kana?" Tanya Niela, berpura-pura tidak mengerti kondisi."Ah maaf nona, kenyamanan anda terganggu karena orang ini." Ucap si wanita pemilik toko.Niela memborong banyak roti, pun wajahnya sudah dikenal karena terlalu sering membeli bebe
Keadaan berubah. Kini Niela yang merasa bersalah dan memaki dirinya sendiri dalam hati. "Kau salah mengerti." Ralat Niela dengan mata berkaca-kaca."Apa pun yang kau tidak suka dariku. Bisakah kita membicarakannya bersama?"Niela pun tak tahan. Dia menghadapkan tubuh pada Kindly dan meraih wajah itu ke dalam dekapannya. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Biasanya Niela yang di dekap, ditenangkan, dibisiki kata-kata hangat. Berbeda dengan sekarang. Dia merasakan kerapuhan lelaki yang selalu menunjukkan wajah garang. Hampir mustahil mempecayai momen ini terjadi jika mata tak melihat langsung.Apa Kindly juga begini pada Alika? Oh sialan, pikiran negatif begitu tak membantu."Baiklah, maaf kalau aku menyudutkanmu, bukan maksudku." Ucap Niela sembari mengusap punggung sang suami."Jangan katakan hal itu lagi padaku." Suara Kindly masih serak, namun tidak lagi sumbang.Niela mengangguk. "Selama kau tidak berbuat macam-macam, aku tidak akan mengatakannya lagi. Kau sadar? Hubungan kita sep
Perjalanan pulang begitu hening. Wanita bermata kosong di samping kemudi lebih tertarik pada hamparan luar kaca mobil. Kindly tidak bodoh untuk mengetahui isi pikiran istrinya. Dia membiarkan sejenak. Tangannya ingin menyetel lagu namun lupa caranya bergerak karena tidak ingin memperburuk suasana."Dia teman semasa sekolahku. Kami dekat--""Aku tahu." Sela Niela cepat, tak ingin mendengar penjelasan lebih rinci lagi. "Mama sudah cerita saat kau asik mengobrol dengannya."Ini bukan sesuatu yang perlu dikejutkan lagi. Justru aneh kalau wanita itu merespon biasa saja. "Hmn, dia bukan sainganmu dan sudah punya calon suami. Dia bilang ingin memiliki hubungan yang baik denganmu." Kindly melirik sekilas wajah datar itu. "Katanya ingin berteman denganmu.""Kak Harell juga bukan sainganmu, tapi kau memukulnya waktu itu."Kindly tergugu. Kata-katanya gagal terucap. Perasaannya berubah was-was sekarang. Menentang dengan alasan apa pun akan terdengar konyol saat ini.Niela menoleh, masih dengan w
Mereka tidak memilih ruang privat, melainkan meja yang berjejer rapi di area luas. Masih dalam restoran yang sama. Kindly bicara berdua dengan Saira, sementara Niela kembali ke meja dimana orangtua mereka berada."Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini malam ini. Aku memang berencana menemuimu, tapi belum sempat karena baru tiba kemarin sore." Saira bercelatuk bebas di depan Kindly. Kentara sekali sudah terbiasa hingga tak mau repot-repot bertingkah anggun."Yah, aku juga hampir lupa tentangmu. Kau terlalu lama menghilang.""Karena ayahku. Kau mengenalnya kan? Dia lelaki yang ketat aturan."Kindly mengangguk tertawa pelan. "Aku ingat dia pernah memelototiku karena terlambat mengantarmu pulang.""Dan ibu mengejarmu untuk minta maaf."Tawa mereka beradu. Hubungan mereka tidak diragukan lagi. Meski lama berpisah, namun kehangatan dan kenyamanan itu tidak surut. Rasanya senang ketika mengingat momen masa remajamu bersama orang terdekat. Hal buruk pun akan terdengar lucu dan sed
Toilet resto berbintang memiliki bentuk dan kebersihan ternyaman. Tak ada bau pesing atau coret-coretan di dinding. Lampu bersinar terang, membuat kulit tampak putih bersih saat terpapar. Berlama-lama sambil menambal make up pun tak masalah. Kualitas perlengkapan alat-alatnya sebanding dengan kantong orang berkelas. Cermin pun sering jadi sasaran tempat berpose depan kamera. Berbeda jauh dengan rumah makan kecil-kecilan yang sering Niela kunjungi, bahkan justru ada yang tidak menyediakannya. Wanita itu melihat jelas bagaimana perubahan hidupnya yang naik ke atas melompati banyak tangga sekaligus. Keluarga Kindly punya kekayaan sebanyak itu.Air dinyalakan, mencuci tangan yang sebenarnya tidak kotor. Niela mendesah berat, menunduk menatap titik air di watafel yang baru selesai digunakan. Pandangannya kosong, melamun. Sebenarnya dia tidak memiliki kepentingan ke toilet, hanya ingin menjauh saja. Nafsu makannya hilang sebagian.Mengetahui Kindly keluar kantor entah ke mana, membuatnya b