***Setelah melihat rekaman CCTV itu. Sakti keluar dari ruangan kontrol dengan amarah yang tertahan. Di tangannya sudah menggenggam hasil rekaman CCTV. Tapi sayang wajah pelaku tidak terlihat. Hanya nomor plat kendaraan yang mereka dapat.Di tempat parkir, mereka mulai mengatur strategi. Kali ini jangan sampai ada yang salah."Daff, hubungi Komandan Irwan sekarang. Minta tolong lacak nomor plat mobilnya!" perintah Sakti setelah menyerahkan Flashdisk di tangannya pada Daffa."Baik, Bos. Kira-kira siapa pelakunya?"Wajah Sakti sudah merah padam. "Hanya satu orang yang kita curigai, tidak ada orang lain yang punya dendam dengan keluarga Helmi. Sekarang malah Naima yang jadi korban. Sial!"Braakk!!Satu pukulan ringan Sakti berhasil membuat kap mesin mobil berbunyi keras. Kepalanya tertunduk dan matanya terpejam. Pukulan itu lumayan keras, sehingga Daffa pun tersentak mendengarnya. Itu baru sebagian kecil kemarahan yang dia luapkan.Daffa terdiam sejenak, lalu memberanikan diri untuk berb
***Semua orang tampak sedang sibuk saat ini, sudah dua jam sejak Naima menghilang dari rumah sakit. Usaha pencarian pun dilakukan. Dimulai dari melacak nomor polisi kendaraan pelaku. Memeriksa CCTV di setiap sudut kota. Hingga menugaskan beberapa anggota polisi untuk patroli di titik tertentu.Sakti, Daffa serta Bara menunggu dengan tenang di kantor polisi. Melihat orang-orang yang sedang sibuk bekerja. Mereka mempercayakan Komandan Irwan untuk melakukan apa pun. Bagi mereka yang terpenting adalah keselamatan Naima."Yeeaahh … dapat!" Seru seorang anggota polisi yang membuat semua orang menoleh padanya.Komandan Irwan langsung menghampiri, salah satu bawahannya yang sangat ahli meretas apa pun."Sudah dapat lokasinya, Jo?" tanya Komandan Irwan pada anggotanya yang bernama Joshua."Ini, Ndan." Joshua menunjukan titik koordinat di komputernya."Bagus, kita akan segera lokasi." Kemudian Komandan Irwan memberi kode pada asistennya. "Perintahkan anggota di lokasi terdekat untuk melakukan
***Setiap insan manusia di muka bumi ini pantas untuk mendapat kebahagiaan. Siapa pun itu, tak peduli dari tempat apa dia berasal.Mencari kebahagiaan bisa terlihat rumit bila dilihat dari rintangan hidup yang ada. Disadari atau tidak, ada banyak hal-hal baik di sekeliling kita yang sepatutnya disyukuri dan menjadi tanda bahwa kebahagiaan sebenarnya bisa kita ciptakan sendiri. Meski kebahagian tak selalu punya definisi yang sama. Namun, kebahagiaan adalah perasaan yang pasti ingin dimiliki semua orang.Lalu, kenapa ada saja orang-orang yang tidak puas dengan melihat kebahagian orang lain? Apa dengan begitu mereka bisa bahagia melihat orang lain menderita? Tidak, sebenarnya itu adalah bagian dari penyakit jiwa dalam dirinya. Kebahagiaan yang mereka rasakan hanyalah semu."Tidak, ini semua tidak benar. Bukan aku yang harus disalahkan." Naima bergumam sendiri.Rasa takut membuatnya berpikir yang tidak-tidak. Kenangan indahnya bersama mama dan papa mertuanya terlintas di benak. Ketika di
***Helmi terdiam ketika Bara meneriakinya sekeras itu. Bagai suara gemuruh menggelegar memekakkan telinga. Tak ada orang di rumah itu yang tidak terkejut mendengarnya. Andita yang duduk di depan Bara saja sampai menutup telinga. Apalagi Helmi yang wajahnya baru pertama kali ditunjuk oleh sosok pria yang memberinya kehidupan. Helmi pun mundur selangkah, tapi tatapannya kosong saking terkejutnya.Namun, saat dia tersadar. "Naima di mana, Ma?" tanyanya pada Andita tak peduli dengan teriakan Bara.Andita menatap sang suami yang sedang mengepalkan tangannya, menunduk menopang kepala. Begitulah cara Bara setelah meluapkan emosinya. Kemudian dia beralih melihat Helmi yang masih menunggu jawabannya."Ma, Naima baik-baik aja, Kan?" tanya Helmi sekali lagi."Mama mau bicara sama kamu." Andita menatap sekilas putranya dan pergi dengan wajah kesal.Helmi mengikuti langkah mamanya. Wanita itu membawanya menjauh dari Bara yang masih sangat marah. Membiarkan Helmi berada dekat dengan Bara akan sema
***Semalam pada saat kejadian itu. Bara dan pihak kepolisian tidak berhasil mengejar pelaku penculikan. Penjahat itu selalu waspada sebelum lokasi itu ditemukan polisi. Hanya jejak ban tertinggal di aspal yang bisa dijadikan petunjuk. Mereka melakukan pencarian hingga menjelang pagi, tapi mereka sudah kehilangan jejak.Namun, Bara tidak kehilangan akal kala itu. Dia punya suruhan yang bisa bekerja di luar batas kemampuan polisi. Keistimewaan dari sebuah benda yang dinamakan uang. Orang-orang yang mau bekerja demi uang sangat banyak. Bara hanya perlu menunggu hasilnya saja."Bagaimana, Pa?" tanya Andita yang menghampiri suaminya setelah selesai menelepon. Mereka kini ada di halaman belakang rumah.Bara menghela napas sejenak. "Tak selamanya bekerjasama dengan pihak kepolisian bisa berhasil. Orang kepercayaan kita telah menyewa detektif swasta. Kita tunggu saja, Ma."Andita percaya pada suaminya. Semua masalah pasti bisa teratasi. Hanya saja pikirannya masih terganggu dengan Helmi yang
***Helmi Antaraksa, pria yang kini telah menjadi pengangguran. Akibat dari keserakahan dirinya untuk memiliki cinta yang lebih dari dua orang wanita. Helmi yang dirampas haknya untuk mengendalikan kekuasaan, masih berharap untuk tidak terjerat dengan dua pilihan yang dia punya.Jika pria itu masih punya kesempatan untuk memperbaiki, masihkah ada waktu untuk membalikkan keadaan? Akankah Helmi menggunakannya dengan baik? Tidak, pertanyaannya bukan itu. Apakah Helmi masih ada harapan untuk memperbaiki kesalahan? Entahlah, jika dia punya kesempatan sekali pun, belum tentu dia masih ada harapan.Pagi berlalu hingga menjelang siang. Tubuhnya yang lelah, terlelap di kursi tunggu koridor dengan posisi duduk. Helmi yang kurang beristirahat semalam, tadinya ingin merebahkan badan sejenak di rumah, sebelum kembali lagi untuk menemani Sherra. Dia bahkan lupa istri keduanya itu akan keluar rumah sakit siang ini. Tak ada yang mempedulikan wanita itu di sana.Dua jam yang lalu Nara melihat Helmi
***Siang itu, Helmi membawa pulang Sherra ke rumah yang dibeli sendiri. Rumah yang disembunyikan dari Naima keberadaannya. Rumah yang ditempati untuk menyimpan rahasianya setelah bertemu dengan Sherra. Rumah yang dulu dia pikir adalah tempat yang bisa membuatnya bahagia selain dengan Naima. Namun, hari ini dia kembali tanpa sedikit pun kebahagiaan terpancar dari wajahnya.Sherra turun dari mobil. Dia mengabaikan Helmi yang hanya diam sepanjang jalan. Bahkan saat dia bercerita, Helmi tak menggubrisnya sama sekali. Entah suaminya itu lelah atau ada hal lain yang dia pikirkan. Sherra seperti anak kecil yang marah karena tidak dituruti permintaannya.Helmi membiarkan istrinya itu. Dia sangat lelah, mendengarkan ocehan Sherra yang kadang tidak terlalu penting untuk didengarkan. Saat Helmi kerepotan membawa barang bawaan yang begitu banyak. Tiba-tiba Sherra berteriak dari dalam rumah."Mas! Mas Helmi ...!"Barang-barang keperluan bayi yang dihadiahkan keluarga Sherra dibiarkan berserakan d
***Hari ini rasanya sangatlah panjang. Baru tadi pagi, Andita memulai hari yang dengan melelahkan setelah perdebatan. Sore harinya Helmi kembali, dan membuat harinya semakin tak karuan. Di hadapannya sekarang, sang putra dan wanita yang tak ingin dilihat batang hidungnya, berdiri di hadapan Andita."Apa apaan kamu, Helmi!"Andita menyeret Helmi ke ruang tengah. Setelah sebelumnya ia melihat sinis Sherra yang berperut buncit itu di pintu masuk."Ma, izinkan kami tinggal di sini. Rumah di sana gak ada air dan listrik.""Hal konyol apa lagi ini. Mati listrik dan air? Helmi benar-benar sudah kacau," batin Andita setelah melihat perubahan besar pada diri putranya."Mama sudah ingatkan sebelumnya, jangan cari mama kalau jika kamu dalam kesulitan hidup dengan wanita itu!" Andita melirik sekilas ke ruang tamu. Dia melihat Sherra telah duduk di kursi tanpa dipersilahkan. Hal itu membuatnya kesal, "Dasar wanita tidak tau sopan santun," batinnya lagi.Helmi meletakkan tangan di lengan sang mam
*** "Kamu meragukan dirimu sekarang, Fian? Apakah tekadmu hanya akan sampai di sini?" Naima bertanya melengkungkan alisnya. Tatapannya mengharapkan jawaban yang tak ingin ada keraguan. Bukankah hatinya kini bisa terbuka karena kegigihan pria dihadapannya."Tidak, bukan begitu, Ima. Apa aku tidak terlalu jahat jika nantinya memisahkan kebersamaan ayah dan anak? Aku tidak akan mundur, aku sungguh ingin hubungan kita berhasil, dan kamu akan aku jadikan wanita paling bahagia di dunia ini." Alfian tak ingin Naima salah sangka dengan perkataannya.Naima tersenyum simpul menanggapi hal ini. "Dokter Alfian, kamu meragukan keberhasilan hubungan kita karena Helmi?""Aku memikirkan anak-anak, Sayang." Dia mengungkapkan isi hatinya.Naima menghela napasnya sejenak, dia mengerti jalan pikiran kekasihnya saat ini. "Fian, nggak ada yang perlu kamu khawatirkan. Anak-anak tidak akan kekurangan kasih sayang dari ayahnya. Malahan mereka akan sangat beruntung mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari s
***Sementara itu di rumah sakit.Bara dan Andita masih berusaha mayakinkan Helmi untuk mendapatkan pengobatan secara intensif. Setelah dokter menyampaikan hasil tes hari ini. Helmi menjadi keras kepala. Dokter mengatakan bahwa Helmi terlalu banyak mengkonsumsi alkohol, ditambah lagi dengan pola makannya yang tidak teratur dan istirahat yang sangat sedikit. Sehingga kini dia mengalamai perlemakan pada hati. Helmi masih harus melakukan beberapa tes lagi setelah ini, untuk mendeteksi apakah ada gejala lain lagi pada hatinya. Perlemakan pada hati akan semakin parah jika tidak mendapatkan penanganan yang benar. Andita juga meminta Helmi untuk tinggal lagi bersamanya. Tinggal sendirian di rumah itu hanya akan memperparah kondisi Helmi. Tidak ada yang memperhatikannya secara intens."Helmi baik-baik saja, Ma. Ayolah ... Helmi hanya mau tinggal sendiri saja." Pria itu memohon lagi. Wanita kesayangannya itu masih memaksanya untuk pindah kembali ke rumah utama."Setelah apa yang terjadi sama
***Kembali dari rumah sakit Naima langsung bersih-bersih dan merebahkan diri di kasur. Efek lelah karena begadang semalaman, Naima ingin istirahat dengan tenang. Setelah kondisi Helmi dia sampaikan kepada keluarganya, mereka pun ikut lega mendengar hal itu . Sepuluh menit setelah berbaring, ponselnya berbunyi. Benda itu lupa dia bawa kemarin. Tentu banyak panggilan yang masuk.Semalam ketika Mamanya memberitahu bahwa Helmi berada di UGD, mereka semua bergegas ke rumah sakit. Hingga Naima lupa memberitahu Alfian tentang hal ini. Dia merasa bersalah kepada kekasihnya itu.Permukaan kasur dirabanya. Benar saja, ponsel Naima berbunyi karena panggilan masuk dari Alfian."Halo." Terdengar helaan napas dari pria itu. "Akhirnya kamu jawab juga, Sayang."Naima paham kenapa Alfian berkata seperti itu, dia pun langsung menjelaskan. "Fian? Maaf semalam aku di rumah sakit, lupa bawa ponsel. Aku juga minta maaf lupa kasih tau mama untuk ngabarin kamu." "Iya, aku udah tau kok. Semalam waktu aku
***Beberapa hari kemudian.Ketika jam makan siang, Rafka--sekretaris Helmi merasa sedikit khawatir, melihat sang bos tampak tidak sehat. Meskipun tau sedang tidak baik-baik saja, Helmi tetap memaksakan dirinya untuk pergi rapat dengan klien. Sore harinya, Andita ditelepon oleh sekretaris Rafka untuk mengabarkan tentang kondisi sang putra. Helmi menolak dibawa ke rumah sakit, sehingga sang sekretaris pun terpaksa mengantar pulang ke rumah. Andita dan Bara pun bergegas ke rumah Helmi untuk memastikan keadaannya.Saat masuk ke dalam rumah, Andita di sambut oleh ART. “Helmi udah pulang kan, Bi?”“Iya, Nyonya, Tuan Helmi udah naik ke kamarnya, baru lima belas menit yang lalu,” jawab sang ART menjelaskan. “Tuan Helmi kelihatannya tidak sehat, Nyonya. Tapi saat saya tanya, katanya nggak apa-apa.”“Iya udah, saya langsung naik aja.”“Baik, Nyonya, Tuan.”Pintu kamar Helmi langsung dibuka. Sang putra terlihat tengah berbaring di tempat tidur. Andita dan Bara langsung menghampiri. Saat mereka
Hari ini hari pertama Naima dan Alfian sebagai sepasang kekasih. Berita bahagia ini tak ingin disimpan lebih lama, Alfian bermaksud untuk mengatakan secara langsung kepada kedua orang tua Naima. Alfian pun mengantar Naima pulang kerja, sekalian bertemu dengan orangtua kekasihnya itu.Sebenarnya Naima masih mau merahasiakan ini dulu. Tetapi Alfian membujuknya untuk segera mempublikasikan kepada orang terdekat. Alfian ingin segera membagi kebahagiaannya dengan semua, yang pada akhirnya Naima pun menyetujui. Ketika Naima memasuki rumah, semua orang sedang berkumpul di ruangan keluarga. Mama, Papa, serta anak-anaknya ada di sana. Sedangkan Sakti dan Nara masih belum pulang dari bulan madu. Naima merasa sedikit gugup saat harus mengatakannya secara langsung. Begitupun Alfian, dia juga merasa sedikit gugup. "Naima, ada Alfian di sini, kenapa nggak kamu suruh duduk? Malah berdiri dua-duanya?" tanya Rinjani."Ini, Ma, Pa … Alfian mau ngomong sesuatu." Mata Naima beralih pada Kiran dan Arthu
"Kalau kamu tidak dengar, ya sudah? Bukan aku yang rugi." Naima memanyunkan bibirnya. Mengalihkan pandangannya ke arah lain. Wajahnya telah memerah, sedikit merasa malu dengan ucapannya sendiri."Aku dengar, aku dengar. Kamu nggak usah ulangi. Akhirnya, kamu menyukaiku? Kamu benar-benar menyukaiku?" tanya Alfian penuh semangat, dan menarik Naima hingga berhadapan dengannya. Mereka pun saling pandang, menatap dalam mata masing-masing. Debaran jantung mereka saling berpacu, terbawa suasana hati yang sangat tak bisa dikendalikan. Terukir senyuman bahagia dari wajah mereka. Entah kenapa Naima tiba-tiba mengatakan hal itu. Dia sudah berpikir lama tentang perasaannya. Awalnya Naima tak mau lagi memikirkan kehidupan percintaan. Gagal satu kali sudah cukup, dia tak akan mengulanginya lagi. Namun, seiring berjalannya waktu. Perhatian yang Alfian tunjukkan semakin membuatnya berpikir, kenapa dia tidak mencobanya saja. Perasaan sukanya pada Alfian adalah nyata. Jika Naima menolak, bukannya aka
***Tiga bulan kemudian ….Keadaan pun semakin membaik. Setelah semua hari yang buruk, saat bahagia pun akan datang. Tak selamanya manusia akan tenggelam dalam keterpurukan. Satu waktu ada saatnya dia untuk bangkit dan menjalani hari yang baru. Kehidupan akan terus berjalan dan berputar. Ada kalanya seseorang berada di atas, dan ada kalanya berada di bawah. Biarbagaimanapun tidak ada yang akan baik-baik saja tentang sebuah perpisahan, itu adalah perasaan sedihnya. Yang terpenting bagaimana kita memulai dari awal dan kemudian mengakhirinya ditempat yang sama.Naima, telah melewati banyak hal dalam beberapa bulan ini. Beruntung dia sangat kuat dan tegar. Beruntung dia mempunyai keluarga yang sangat menyayangi dirinya. Beruntung dia mempunyai dua buah hati yang menjadi sumber kekuatannya. Dan dia juga sangat beruntung memiliki orang yang sangat mencintainya. Saat ini ….Di kediaman Sanjaya. Sedang berlangsung perhelatan besar. Di depan rumah terpasang tenda tinggi dari pagar hingga ke
***Dini hari itu, setelah Sherra ditemukan di pinggiran sungai, kehebohan tiba-tiba terjadi di rumah sakit. Wanita itu dibawa tanpa identitas, pihak rumah sakit tak tau harus menghubungi keluarganya kemana. Warga yang membawa wanita itu pun tak tau apa-apa. Rumah sakit pun memutuskan untuk melaporkan ke kantor polisi. Karena mereka menduga pasien itu merupakan korban sebuah tindakan kejahatan.Pihak kepolisian segera turun tangan dan mengusut kasus ini. Wanita itu terbaring lemah di ranjang dengan selang infus, oksigen serta alat pendeteksi detak jantung yang menempel di tubuhnya. Hingga pagi harinya, Bawahan Bara datang dan mengatakan bahwa dia adalah orang yang mereka cari. Sehingga berita itu langsung mereka sampaikan ke atasan mereka. Banyak sekali bekas luka di pergelangan tangan Sherra, sekujur tubuhnya juga dipenuhi luka. Hal itu pun menjadi perbincangan para perawat. Meraka sangat prihatin melihat kondisi wanita itu. "Maya … kira-kira kenapa tubuh pasien wanita di kamar itu
***Pukul 01.00 dini hari, di area gudang tempat Sherra disekap. Tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras, seperti ada benda menabrak sesuatu yang keras. Sherra yang berada di dalam kamar, terbangun karena terkejut. Entah keributan apa yang terjadi di luar sana. Tiba-tiba ada seseorang yang menerobos masuk. Sherra berteriak, seorang pria dengan pakaian serba hitam berdiri di hadapannya.Pria itu berdiri tanpa melakukan apa pun. Dia terus menatap pada Sherra yang telah ketakutan. Mata wanita itu melihat pada pintu yang terbuka lebar. Dia pun mengambil kesempatan untuk kabur. Namun, ketika dia berada tepat di depan pintu, satu orang pria lain, menyergap dirinya. Mulut Sherra dibekap dengan tangan kekar pria itu. "Ermmm … ermmm …." Sherra terbelalak, meronta minta dilepaskan. Sesaat kemudian, tubuhnya tiba-tiba diangkat, dia terus berteriak dan meronta. Sherra dibawa pergi dari pintu belakang. Menuju ke sebuah mobil yang telah menunggu mereka. Kemudian dia dilemparkan masuk kedalam