"Aku sedang istirahat syuting di cafe Batavia," jelas Hilda. "Ke sini saja, kutunggu."Ganendra tak berpikir dua kali untuk segera menginjak pedal gasnya menuju kawasan yang dimaksud. Baginya, setiap detik sangatlah berharga. Entah mengapa, pria itu merasa ada sesuatu yang salah dan mengganjal saat menyadari bahwa Jingga menghilang, dan kemungkinan besar berada dalam bahaya.Sepuluh menit kemudian, Ganendra sudah tiba di halaman parkir cafe. Hilda sudah menunggunya di pintu masuk dengan wajah semringah."Hei, apa kabar? Sudah berapa hari kita nggak ketemu? Aku kangen sekali," sapa Hilda manja. Jemarinya usil bermain di dagu Ganendra."Bisa kita bicara berdua saja? Jangan di sini," pinta Ganendra dengan nada datar dan dingin. Sigap dirinya mencekal tangan Hilda, karena tak ingin wanita cantik itu menyentuh wajahnya lebih jauh lagi. "Terserah kamu. Kita ngobrol di hotel juga boleh," timpal Hilda setengah menggoda."Kita bicara di mobil." Ganendra memberikan isyarat pada Hilda agar men
Seluruh asisten rumah tangga tak ada yang berani membantah. Mereka patuh terhadap perintah Ganendra dan keluar dari ruang kerja dengan tertib. Tinggallah Darni yang tampak ketakutan. Sejak tadi, wanita itu menundukkan kepala. Dia tak berani membalas tatapan tajam Ganendra yang terus terarah kepadanya. "Maaf, Tuan," ucap Darni kikuk. Ganendra paham benar, wanita di hadapannya itu tengah menyembunyikan sesuatu yang besar. Tinggal sedikit ancaman saja, dia yakin bahwa Darni pasti akan mengungkapkan semuanya. "Anda tahu siapa saya dan Papa kan, Bu? Bayangkan akibatnya jika anda berani berbohong kepada saya," ujar Ganendra penuh penekanan. "Saya tidak bermaksud untuk berbohong, Tuan." Raut wajah Darni memelas sambil menangkupkan kedua tangan ke dada. "Tidak bermaksud? Jadi, memang anda berbohong?" pancing Ganendra. "Saya ...." "Siapa yang menyuruh anda, Bu Darni?" desak Ganendra. Bukannya menjawab, Darni malah menangis dan bersimpuh di hadapan Ganendra. "Saya tidak punya pilihan, Tu
Wajah Ganendra merah padam. Ada perasaan aneh yang tak dapat dia jelaskan saat mendengar bahwa Jingga telah mati. Separuh akal sehatnya seolah melayang. "Apa maksudmu mati, Hil?" sentaknya seraya mencengkeram kedua lengan Hilda kuat-kuat. Ganendra tak peduli tatkala asisten Hilda dan para kru film memandangnya dengan sorot bertanya-tanya. "Lepas, Ga. Sakit," rintih Hilda. Namun, Ganendra malah semakin mengeratkan cengkeramannya. "Tidak ada lagi alasan bagiku untuk tidak menyeretmu ke penjara sekarang juga," desis Ganendra. "Ayo!" Kesabarannya sudah hilang. Dia menarik tangan Hilda agar bersedia ikut dengannya. "Tunggu, Ga! Jangan!" Hilda mengelak. Sekuat tenaga dirinya berusaha melepaskan diri dari pria bertubuh tinggi dan tegap itu. "Apa perlu kuumumkan di sini sekalian, kalau kamu sudah menculik dan membunuh Jingga?" ancam Ganendra. "Ssst, diam, Ga!" Hilda berusaha untuk menutupi mulut Ganendra, tapi pria rupawan itu menghindar.
"Jingga ... bangun," ucap Ganendra lirih seraya menepuk pelan pipi Jingga. Namun, kelopak mata gadis itu masih tertutup rapat. "Coba mulutnya ditetesi air, Pak," saran si manajer resort. "Boleh, coba bawakan air," timpal Ganendra. "Ini sudah saya siapkan." Pria berseragam batik itu menyodorkan segelas air. Ganendra menoleh dan memperhatikan pin papan nama yang tersemat di dada kanan, bertuliskan nama 'Rudi'. "Maaf, aku baru memperhatikan namamu. Jadi, kamu yang bernama Rudi?" tanya Ganendra. "Benar, Pak. Dulu Pak Atmawirya yang memercayakan resort ini pada saya," jelas pria bernama Rudi itu sopan. "Baiklah. Terima kasih, Rud. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya tanpa bantuanmu," ucap Ganendra tulus. "Yang penting istri anda selamat, Pak," balas Rudi. "Ah, iya." Perhatian Ganendra beralih sepenuhnya pada Jingga. Kulit mulus gadis cantik itu tergores di sana-sini. Tampak bekas lumpur yang mengering, mengotori muka
"Siapa bilang kamu orang ketiga? Asal kamu tahu, ya. Aku bebas berhubungan dengan siapapun yang kumau. Kamu bukan orang pertama yang masuk dalam kehidupan pernikahanku, dan pastinya bukan pula yang terakhir," ucap Ganendra."Kalau ada yang patut disalahkan dalam masalah ini, Hilda lah orangnya. Dia terlalu serakah, berharap agar aku bersedia patuh hanya kepadanya. Itulah kenapa aku menikahimu, sebagai tameng jika ada perempuan-perempuan lain macam Hilda yang berusaha mengikatku," papar Ganendra panjang lebar. "Apa kamu mengerti, Jingga?" Jingga mengangguk pelan. Sebulir air menetes dari sudut mata. Entah hubungan macam apa yang akan dia jalani bersama Ganendra ke depannya. Dia hanya bisa bertahan demi sebuah perjanjian."Bagus, sekarang berhenti menangis!" Ganendra langsung mengusap pelipis Jingga yang basah. "Mulai sekarang, lakukan peranmu sebaik-baiknya dan jangan pernah melibatkan perasaan di antara kita," tegasnya.Hati Jingga semakin perih mendengar kalimat itu. Betapa bodohnya
"Tidak bisa begitu, Ga!" sentak Hilda tak terima."Semua terserah kamu. Itu satu-satunya syarat agar kamu terlepas dari jerat hukum," ujar Ganendra enteng."Ga, dengarkan aku ....""Kuberi waktu satu hari untuk berpikir. Besok pagi-pagi, aku kembali ke Jakarta. Semoga saat itu kamu sudah mengambil keputusan." Selesai berbicara demikian, Ganendra langsung mematikan teleponnya.Rasanya sudah terlalu lama dia meninggalkan Jingga. Ganendra tak tenang, sehingga dia buru-buru kembali ke kamar.Tampak seorang pegawai resort tengah meletakkan semangkuk bubur di nakas samping ranjang. Sementara petugas puskesmas sibuk membereskan peralatannya."Bagaimana keadaan istriku?" tanya Ganendra pada Rudi yang turut membantu para petugas kesehatan itu."Baik, Pak," sahut salah seorang petugas, sebelum Rudi sempat membuka mulut. "Tekanan darah normal, seluruh tanda-tanda vital juga normal. Kami juga sudah melepas infusnya," lanjut si petugas."Syukurlah," Ganendra mengempaskan napas lega. "Jadi, aku bisa
Ganendra merasa bersalah telah membuat Jingga kelelahan. Dia bahkan harus membantu gadis malang itu keluar dari bath up dan membopongnya sampai ke ranjang. "Aku capek sekali, Pak," keluh Jingga. "Pakai baju dulu, biar tidak masuk angin," sergah Ganendra, padahal dia sendiri juga hanya memakai handuk yang terlilit di bawah pinggang.Ganendra lalu meraih kaos yang tadi dipakai oleh Jingga. "Sementara ini dulu. Nanti kusuruh Rudi mencarikan baju ganti," ujarnya. "Terserah bapak, deh," Jingga mengulurkan tangan, seolah menyuruh Ganendra memakaikan kaos untuknya. Anehnya, Ganendra malah menurut. Dengan telaten, dia memakaikan kaos beserta celananya, sedangkan Jingga sudah tak kuasa menahan kantuknya. Begitu mudahnya gadis itu terpejam dan mendengkur pelan. "Ya, ampun," gumam Ganendra. "Selelah itukah kamu, Ngga? Maaf, ya," ucapnya meskipun tahu bahwa sang istri tak akan bisa mendengar. Melihat Jingga pulas tertidur, Ganendra buru-buru mengenakan kemeja dan celana, kemudian meraih ponse
Hilda begitu terkejut mendengar penjelasan Ganendra. "Ga, kamu ...." "Aku tidak ingin perasaan cinta, sayang atau apapun itu tumbuh dalam hatiku. Aku tidak akan membiarkan hal itu. Aku tidak ingin lagi terluka," tegas Ganendra. "A-aku bisa membuktikan kalau aku mampu mengubahmu. Beri aku waktu." Hilda masih tak berputus asa. "Aku tidak ingin kamu, atau siapapun mengubahku. Terutama kamu ...." Ganendra mengarahkan telunjuknya tepat ke arah Hilda. "Kamu sudah hampir membunuh Jingga," desisnya. Hilda kembali tertegun. Sorot matanya tak lepas dari wajah tampan yang terlihat dingin itu. "Apakah dia yang sudah berhasil menaklukkanmu?" terka Hilda. Ganendra terkesiap untuk sesaat sebelum berhasil menguasai diri. Dia memaksakan senyum, lalu berbalik meninggalkan Hilda. "Ingat, besok siapkan pengacaramu untuk membuat perjanjian pasca perceraian kita!" ujarnya tanpa menoleh. Dia terus berjalan tanpa memedulikan Hilda yang sebentar lagi akan menjadi mantan istri sirinya. Sementara Hilda ter
"Sejak aku pindah kemari, aku berangan-angan untuk melangsungkan pernikahan di resort yang kubangun dengan tangan sendiri. Sepertinya, cita-cita itu akan segera terwujud. Aku sudah mendapatkan pasangan sehidup sematiku." Ganendra mengecup punggung tangan Jingga yang sedari tadi dia genggam. "Jadi, apakah aku sudah boleh mengabari Bu Gita dan Pak Haidar?" tanya Jingga ragu. "Aku yakin Armas sudah menghubungi orang tuanya lebih dulu," cetus Ganendra. "Orang tuanya juga merupakan orang tua anda, Pak. Kalian bersaudara kandung," tutur Jingga. "Aku belum mengenalnya sama sekali. Mungkin besok aku akan mengajaknya ngobrol dari hati ke hati," ucap Ganendra. "Sekaligus mengatur pernikahan kita?" pinta Jingga penuh harap. "Itu pasti. Aku akan mengatur semuanya. Tak akan kubiarkan kamu menghilang lagi," tegas Ganendra. "Anda yang menghilang," balas Jingga."Gara-gara kamu!" Ganendra tak mau kalah. "Siapa yang tidak patah hati mendengar kabar kalau kamu menikah dengan Dewandaru?""Harusny
"Aku pertama kali merasakan jatuh cinta hanya denganmu. Kamu begitu berbeda dibandingkan wanita-wanita yang pernah dekat denganku. Perpisahan kita meninggalkan ruang kosong di sini." Ganendra menyentuh dadanya dengan ujung telunjuk. "Tak ada satupun yang bisa menggantikan posisimu, sampai detik ini," ungkap Ganendra tanpa malu. Dia mengesampingkan ego dan gengsinya demi membuat Jingga mengerti apa yang dia rasakan selama dua tahun terakhir. "Aku masih menyimpan cincin kawin kita," imbuh Ganendra. "Berlian merah," sahut Jingga sembari tersenyum. "Aku juga masih menyimpannya dan kubawa ke mana-mana." "Oh, ya?" "Iya!" Jingga mengangguk yakin. Dia lalu berdiri meraih tas selempang yang teronggok di sudut kamar dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Jingga membuka kotak cincin itu kemudian menunjukkan isinya pada Ganendra. "Kenapa tidak kamu pakai?" tanya Ganendra dengan nada protes. Jingga menggeleng lemah. "Setiap kali aku memakainya, aku selalu teringat pada anda," jawabnya l
Ganendra melajukan SUV-nya dalam kecepatan sedang. Dia berkali-kali melirik ke arah Sophia yang nyaman tertidur dalam pangkuan Jingga di kursi tengah. Ganendra menyesal karena tak memiliki kursi khusus bayi dan balita. Sebenarnya, dia juga tak mengira akan bertemu dengan Jingga pada saat seperti ini. "Turunkan aku di South Street saja, supaya tidak perlu berbelok terlalu jauh," ujar Maude. "Tidak apa-apa. Ini sudah larut malam. Tidak baik wanita berjalan sendirian," sahut Ganendra. Jingga buru-buru memejamkan mata agar tak perlu mendengarkan percakapan itu. Namun, sepertinya semua sia-sia. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Dadanya terasa sesak dan panas. Jika tidak memiliki rasa malu, mungkin Jingga akan menangis meraung-raung saat itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, Ganendra menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah dua lantai. "Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," ucap Ganendra sambil membantu Maude turun dari kendaraan. "Iya, Tuan Pemaksa. Aku belum pikun," gurau Maude
Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri Jingga. Wanita itu berwajah Asia dan menanyakan sesuatu dalam bahasa yang tidak Jingga mengerti. "Maaf, saya tidak paham bahasa Mandarin," tolak Jingga sopan. Namun, wanita itu bersikukuh. Dia malah mengeluarkan peta dan menunjukkannya pada Jingga. Wanita tersebut menunjukkan beberapa titik pada peta. Jingga terpaksa memperhatikan, sehingga tak menyadari Sophia yang beringsut turun dari sofa. Balita cantik itu tertarik pada bola warna-warni yang menggelinding dari salah satu barang bawaan pengunjung bandara. Kaki Sophia yang mungil berlari pelan mengikuti arah gerak bola sampai berhenti di depan pintu kaca yang terus bergerak, bergeser membuka dan menutup. Sophia ragu hendak melewati pintu itu, sampai sepasang tangan mencegahnya. "Sophia! Hampir saja mama kehilanganmu," tegur Jingga. Dia membungkuk, hendak menggendong Sophia ketika tatapannya terpaku pada sepasang kaki berbalut celana bahan yang berdiri di depannya dan t
"Anda tidak sedang bercanda, kan?" Suara Jingga bergetar menahan emosi yang meletup-letup di dalam dada. Perutnya terasa mulas sekaligus geli. "Selama ini, akulah yang menghalangi pencarian Bu Gita. Padahal sudah beberapa bulan terakhir ini aku menemukan keberadaan Ganendra, tapi aku menyembunyikannya dengan segala cara dari kalian," ungkap Dewandaru. "Di mana dia?" Air mata haru mengalir deras di pipi Jingga. "Di Belanda. Ganendra membangun resort di pesisir Utara. Kamu bisa mencarinya di mesin pencarian internet. Akan tetapi, nama yang tercantum sebagai pemilik resort itu adalah Markus Meinn. Sepertinya Ganendra memang berniat menyembunyikan identitas diri. Entah untuk apa," jelas Dewandaru."Kamu tahu, Ngga? Dia menamai resortnya 'Oranje Licht'. Bahasa Belanda yang bermakna Cahaya Jingga," sambung pria tampan itu."Tidak." Jingga menggeleng lemah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ganendra juga sempat kemari, dua tahun yang lalu," timpal Lukman tiba-tiba. "Dia menanya
"Hei, ada tamu rupanya," sapa Armas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Jingga. Armas yang awalnya berada di dalam kamar sambil menjaga dua bocah yang tengah tertidur, bergegas mengikuti Jingga ke ruang tamu.Dewandaru tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat sosok adik kandung Ganendra itu. Wajahnya begitu mirip dengan sosok pria yang dia benci. "Siapa dia, Ngga?" desis Dewandaru."Armas," sahut pria bertubuh tegap tersebut seraya maju menghampiri Dewandaru. Dia mengulurkan tangan sambil menyunggingkan senyuman hangat.Dewandaru tak segera menyambut uluran tangan itu. Dia masih sibuk memindai paras tampan yang terus menatapnya penasaran. "Armas?" ulang Dewandaru beberapa saat kemudian."Gita Wulandari dan Haedar Dhanurendra adalah nama orang tuaku." Senyuman Armas semakin lebar tatkala memperhatikan raut bingung Dewandaru. "Apa mereka tidak pernah bercerita tentangku?"Dewandaru menggeleng. "Mereka selalu tertutup selain untuk urusan pekerjaan," jawabnya pelan."Ah
Semalam sudah Jingga menginap di rumah sendiri. Kini, dia dapat bernapas lega karena tak perlu sekamar lagi dengan Armas. Pria tampan itu menempati kamar tamu bersama Elio.Keesokan harinya, Jingga mengajak Armas bertemu dengan Echa dan Marini di rumah mereka. Tak terkira betapa senangnya Marini melihat kedatangan Jingga."Ya, ampun. Kamu makin cantik saja, Ngga!" sanjung Echa takjub."Ini Sophia, ya? Akhirnya kita bisa bertemu secara langsung. Biasanya cuma lewat panggilan video!" ujar Marini antusias seraya menggendong balita cantik itu."Dan ini Elio. Anak tampan yang selalu mengganggu panggilan video kalian." Jingga mendorong lembut tubuh Elio agar semakin mendekat pada Echa."Akhirnya, aku bisa mencubit pipimu, ya!" seru Echa sembari mengusap gemas pipi Elio, lalu mencubitnya pelan."Ini Papa. Dia juga sering lewat di sebelah Tante Jingga setiap kali Tante sedang menelepon. Papa suka penasaran dan sering cemburu," celoteh Elio yang begitu lancar berbicara bahasa Indonesia. Dia ta
Armas termangu menatap paras cantik yang kini sudah terlelap itu. Meninggalkan dirinya terjaga sendirian dalam kegalauan. Diperhatikannya wajah Jingga yang tampak begitu damai. Matanya terpejam rapat, sedangkan bibirnya yang penuh dan ranum itu sedikit terbuka, membuat naluri kelelakian Armas bangkit sempurna.Beruntung, suara rengekan Sophia menyadarkannya. "Mama, cucu," pinta Sophia sambil menangis.Lagi-lagi Armas harus bersyukur. Sophia kini sudah disapih. Dia tidak lagi minum ASI sang ibu. Sophia kini beralih pada susu botol. Bisa gawat seandainya balita lucu itu masih harus menyusu pada Jingga. Bisa-bisa Armas akan terkena serangan jantung mendadak, karena melihat apa yang seharusnya tak dia lihat."Kamu haus, Sayang? Biar aku yang membuatkan susu untukmu, karena sepertinya ibumu sedang pingsan." Armas tertawa geli melihat Jingga yang tak jua bangun. Pria rupawan itu bangkit perlahan. Disingkirkannya tangan mungil Elio yang melingkar di lengan Armas.Dia lalu turun dari ranjang
Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan sekaligus menegangkan bagi Jingga. Untuk pertama kalinya, dia melakukan perjalanan jauh bersama balita kecil yang tak jua berhenti merengek di pangkuannya."Cici pusing," keluh Sophia. Dia selalu menyebut namanya dengan sebutan 'Cici'. "Tidak apa-apa, Cici. Nanti kalau pesawat ini sudah berada di atas awan, kamu tidak akan pusing lagi!" seru Elio yang duduk bersama sang ayah, agak jauh dari Jingga.Beruntung mereka memesan penerbangan kelas satu dengan kursi tambahan sehingga anak-anak dapat bergerak dengan nyaman."Cici takut." Kini balita cantik yang genap berusia dua tahun itu merengek."Jangan takut. Ada mama, Sayang," hibur Jingga seraya memeluk putrinya erat-erat. "Kita terbang untuk bertemu dengan Papa Cici. Dia ada di Indonesia," bujuknya sedikit berbohong."Papa?" Mata bulat itu terbelalak dan tampak menggemaskan. Setelah mendengar kata 'Papa', barulah Sophia merasa tenang. Perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih 22 jam, b