"Untuk apa?" tanya Jingga polos."Masih juga bertanya untuk apa?" Ganendra berdecak pelan. "Ingat, kita akan segera melangsungkan pesta pernikahan. Nanti, aku juga akan meminta tolong Sandra untuk mengatur semuanya.""Oh." Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Jingga. "Sebentar lagi akan ada yang mengantarkan sarapan. Ingat, makan yang banyak, biar cepat sembuh," titah Ganendra dengan mengangkat satu telunjuk."Aku mengerti, Pak." Jingga memaksakan senyum."Bagus, aku pergi dulu." Ganendra mengangguk, lalu berbalik meninggalkan kamar. Sikapnya saat itu jauh berbeda dengan sikapnya semalam, ketika mencium kening Jingga. Namun, dia sudah bertekad untuk tidak menunjukkan perhatian yang berlebihan pada Jingga, agar gadis itu tak salah sangka. Tepat pada saat Ganendra menuruni tangga teras menuju halaman depan, dia berpapasan dengan Anggada yang hendak meniti anak tangga. "Selamat pagi, Pak," sapa Anggada sopan. "Pagi. Kenapa kemari?" tanya Ganendra penuh selidik. "Pak Atmawirya m
Sandra masuk bersamaan dengan Ganendra mengakhiri panggilannya. Wanita cantik itu tersenyum penuh arti sembari melemparkan pandangan menggoda. "Kenapa?" tanya Ganendra ketus. "Mau membeli gadis perawan yang mana lagi, Ga? Kenapa tidak memakai aku saja? Sudah lama kamu tidak menghiraukanku," rayu Sandra dengan bahasa tubuh yang dapat membuat lelaki manapun berkeringat dingin. "Malas. Kamu cerewet sekarang. Apalagi kamu juga sudah pintar menuntut macam-macam," timpal Ganendra datar. "Ya, ampun. Jahat sekali mulutmu, Ga. Bagaimana kalau nanti Jingga tahu kamu menyewa perempuan lain?" pancing Sandra. "Ini, nih. Salah satu contoh kecerewetanmu!" Ganendra berdecak pelan. "Sudahlah, mana berkas-berkas laporannya? Biar kuperiksa sekarang," lanjutnya. Sandra meletakkan tumpukan map di tangannya ke meja kerja Ganendra sambil tertawa kecil. "Apa ada yang lain? Sebelum aku kembali ke mejaku," tawar Sandra. Ganendra segera menghentikan pekerjaan dan menatapnya untuk beberapa saat, membuat wa
Jingga merasa kesulitan berkonsentrasi. Sejak Sandra mengatakan bahwa Ganendra akan pergi berkencan, kepalanya seperti kosong. Jingga tak mampu berpikir. Padahal di depannya ada beberapa orang perwakilan dari wedding organizer yang telah disewa oleh Ganendra. Sandra sampai harus menyenggol lengan Jingga berkali-kali. "Bagaimana, Bu Jingga?" tanya Sandra lembut. "Ah, ehm, saya ...." Jingga kembali termangu. Dia sama sekali tak memahami maksud pembicaraan pegawai wedding organizer tersebut. Yang Jingga pahami hanyalah pilihan adat pernikahan. "Saya terserah bagaimana baiknya saja," ucapnya malu-malu. Sandra dan para pegawai wedding organizer saling pandang sebelum kembali memusatkan perhatian pada Jingga. "Bu, mereka menawarkan dua konsep, modern atau tradisional?" tanya Sandra, berusaha menjelaskan pada Jingga dengan bahasa sesederhana mungkin. "Kalau Pak Ganendra suka yang seperti apa?" Jingga balas bertanya. "Kalau dia sih, suka yang simpel," jawab Sandra yakin. "Dalam hal ini, k
Ganendra menunduk. Dia mengamati punggung tangan milik si gadis belia yang berada di perutnya. Diusapnya permukaan kulit kuning langsat yang terasa halus itu. "Siapa namamu?" tanyanya basa-basi."Kan tadi aku sudah mengenalkan diri, Om. Namaku Indah," jawab si gadis sambil tetap membenamkan wajahnya di punggung lebar Ganendra."Jadi, kamu baru berusia 17?" Ganendra dapat merasakan kepala Indah bergerak. Gadis itu mengangguk. "Aku sudah kelas 3 SMA, Om. Sebentar lagi lulus," jawab Indah, masih dengan nada manja."Kenapa kamu mau melakukan ini?" tanya Ganendra lagi.Indah terdiam, tak segera menjawab. "Teman-temanku bilang, rugi aku punya wajah cantik, tapi tidak menghasilkan," ujarnya kemudian.Ganendra mengernyit. Dia langsung membalikkan badan, menghadap ke arah si gadis dengan sorot bertanya-tanya. "Apa maksudnya?"Indah mengangkat kedua bahunya. "Semua temanku punya hp bagus, jam tangan mahal, pakaian mahal. Aku juga ingin begitu," jawabnya enteng. "Teman-temanku sudah tidak ada ya
"Ck, dasar Sandra!" Ganendra mengepalkan tangan, lalu memukulkannya ke permukaan ranjang. "Bukankah anda sudah puas?" Jingga memberanikan diri untuk bertanya lagi."Kamu mulai membangkang sekarang, ya." Ganendra menyeringai penuh arti. "Kalau aku memintamu untuk melayani, itu artinya aku belum puas.""A-aku ...." Keringat dingin membasahi dahi Jingga. Ingin rasanya dia menolak, tetapi kata-katanya seolah tertahan di kerongkongan. Jingga tak bisa membayangkan jika harus berbagi suami dengan perempuan lain. "Besok saja, Pak. Aku lelah." Akhirnya, dia nekat menolak. "Lelah? Kenapa bisa lelah? Apa yang kamu lakukan seharian?" cecar Ganendra. "Masa mengobrol dengan Anggada saja bisa lelah?" sindirnya.Sontak, Jingga membeku. Mata indahnya membulat sempurna. "Kok, a-anda tahu?""Jingga, ingat. Rumah ini berharga ratusan milyar. Tidak mungkin aku membiarkannya tanpa penjagaan ketat. Ada puluhan kamera pengawas dan sensor laser yang kupasang di berbagai titik di sudut rumah ini." Ganendra
Rasa marah, kecewa dan sakit hati yang teramat sangat kembali mendera. "Bodohnya aku," rutuk Jingga seraya memukuli dahinya pelan. Dia sangat menyesal karena tak pernah bisa melawan kehendak Ganendra. Dengan langkah gontai, Jingga melangkah masuk, lalu berdiri di bawah shower. Dia menyalakan shower itu dan mulai terisak pelan. Air matanya bercampur dengan aliran air hangat yang tercurah dari shower. Tak akan ada yang tahu jika dirinya menangis saat itu. Termasuk Ganendra yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. "Kenapa tidak membangunkan aku? Kan kita bisa mandi bersama," goda Ganendra sembari mengusap lembut lengan Jingga. Merasa tak mendapat tanggapan, Ganendra bergerak semakin mendekat, lalu mengecup pundak istrinya. "Mandikan aku," pintanya lirih. Usil, Ganendra menggigit pelan daun telinga Jingga. "Aw." Jingga memekik pelan. Dia sedikit menggeser tubuhnya menjauh dari Ganendra, lalu buru-buru menyelesaikan mandinya. "Maaf, Pak. Aku tiba-tiba tidak enak badan," elak Jingga.
"Kamu pikir aku tukang becak?" sungut Ganendra. "Kaos polo saja, lah," putusnya kemudian. "Di sebelah mana?" Jingga menoleh ke arah Ganendra. "Di sebelah lemari blazer," tunjuk pria yang hanya berbalut handuk itu. Jingga mengulum bibir, menahan tawa yang mendadak muncul. Dia membayangkan Ganendra seperti Tarzan yang suka sekali memamerkan tubuh atletisnya. "Yang ini?" Jingga mengambil sepotong polo shirt berwarna biru muda, serasi dengan dress yang dia pakai. "Boleh." Ganendra tersenyum penuh arti. "Outfit couple, ya," godanya. "Anda sendiri kan yang mengatakan kalau kita harus bersikap seperti suami istri sebenarnya di depan semua orang," dalih Jingga. "Betul." Senyum Ganendra semakin lebar. "Sekarang ambilkan pakaian dalam dan celana." "Astaga!" Jingga melotot tak percaya. "Cepat, aku sudah kedinginan," desak Ganendra. Dalam hati, Jingga meratapi nasib, tapi tetap tak bisa berbuat apa-apa untuk menolak keinginan Ganendra. Malu-malu, dia membuka laci besar yang menjadi temp
Ganendra tertawa mendengarkan ancaman Anggada. Dia menggeleng pelan sambil berkata, "Sepertinya kamu harus belajar hukum lebih dalam lagi. Menuduh tanpa bukti itu bisa dijerat dengan pasal pencemaran nama baik. Bisa-bisa, kamu yang kuseret ke penjara." Ganendra mengarahkan telunjuknya lurus kepada Anggada. Suasana menjadi tegang saat itu. Jingga dan Sandra saling pandang, tetapi sama-sama tak mengucapkan sepatah katapun. "Kalau begitu, bisakah anda ceritakan, darimana asal luka-luka yang diderita oleh Bu Jingga?" tanya Anggada datar. Ganendra mengetuk-ngetukkan jemarinya ke permukaan meja makan. Harapan agar bisa sarapan pagi dengan damai hanya bersama Jingga, musnah sudah. Kini, dia harus menghadapi segala keingintahuan Anggada. Awalnya, Ganendra berencana untuk menyembunyikan drama penculikan Jingga oleh Hilda. Dia ingin menggunakan kejadian itu sebagai senjata jika suatu saat Hilda berbalik menyerangnya. Namun, apa dikata, desakan Anggada membuat dirinya tak bisa berdiam diri.
"Sejak aku pindah kemari, aku berangan-angan untuk melangsungkan pernikahan di resort yang kubangun dengan tangan sendiri. Sepertinya, cita-cita itu akan segera terwujud. Aku sudah mendapatkan pasangan sehidup sematiku." Ganendra mengecup punggung tangan Jingga yang sedari tadi dia genggam. "Jadi, apakah aku sudah boleh mengabari Bu Gita dan Pak Haidar?" tanya Jingga ragu. "Aku yakin Armas sudah menghubungi orang tuanya lebih dulu," cetus Ganendra. "Orang tuanya juga merupakan orang tua anda, Pak. Kalian bersaudara kandung," tutur Jingga. "Aku belum mengenalnya sama sekali. Mungkin besok aku akan mengajaknya ngobrol dari hati ke hati," ucap Ganendra. "Sekaligus mengatur pernikahan kita?" pinta Jingga penuh harap. "Itu pasti. Aku akan mengatur semuanya. Tak akan kubiarkan kamu menghilang lagi," tegas Ganendra. "Anda yang menghilang," balas Jingga."Gara-gara kamu!" Ganendra tak mau kalah. "Siapa yang tidak patah hati mendengar kabar kalau kamu menikah dengan Dewandaru?""Harusny
"Aku pertama kali merasakan jatuh cinta hanya denganmu. Kamu begitu berbeda dibandingkan wanita-wanita yang pernah dekat denganku. Perpisahan kita meninggalkan ruang kosong di sini." Ganendra menyentuh dadanya dengan ujung telunjuk. "Tak ada satupun yang bisa menggantikan posisimu, sampai detik ini," ungkap Ganendra tanpa malu. Dia mengesampingkan ego dan gengsinya demi membuat Jingga mengerti apa yang dia rasakan selama dua tahun terakhir. "Aku masih menyimpan cincin kawin kita," imbuh Ganendra. "Berlian merah," sahut Jingga sembari tersenyum. "Aku juga masih menyimpannya dan kubawa ke mana-mana." "Oh, ya?" "Iya!" Jingga mengangguk yakin. Dia lalu berdiri meraih tas selempang yang teronggok di sudut kamar dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Jingga membuka kotak cincin itu kemudian menunjukkan isinya pada Ganendra. "Kenapa tidak kamu pakai?" tanya Ganendra dengan nada protes. Jingga menggeleng lemah. "Setiap kali aku memakainya, aku selalu teringat pada anda," jawabnya l
Ganendra melajukan SUV-nya dalam kecepatan sedang. Dia berkali-kali melirik ke arah Sophia yang nyaman tertidur dalam pangkuan Jingga di kursi tengah. Ganendra menyesal karena tak memiliki kursi khusus bayi dan balita. Sebenarnya, dia juga tak mengira akan bertemu dengan Jingga pada saat seperti ini. "Turunkan aku di South Street saja, supaya tidak perlu berbelok terlalu jauh," ujar Maude. "Tidak apa-apa. Ini sudah larut malam. Tidak baik wanita berjalan sendirian," sahut Ganendra. Jingga buru-buru memejamkan mata agar tak perlu mendengarkan percakapan itu. Namun, sepertinya semua sia-sia. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Dadanya terasa sesak dan panas. Jika tidak memiliki rasa malu, mungkin Jingga akan menangis meraung-raung saat itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, Ganendra menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah dua lantai. "Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," ucap Ganendra sambil membantu Maude turun dari kendaraan. "Iya, Tuan Pemaksa. Aku belum pikun," gurau Maude
Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri Jingga. Wanita itu berwajah Asia dan menanyakan sesuatu dalam bahasa yang tidak Jingga mengerti. "Maaf, saya tidak paham bahasa Mandarin," tolak Jingga sopan. Namun, wanita itu bersikukuh. Dia malah mengeluarkan peta dan menunjukkannya pada Jingga. Wanita tersebut menunjukkan beberapa titik pada peta. Jingga terpaksa memperhatikan, sehingga tak menyadari Sophia yang beringsut turun dari sofa. Balita cantik itu tertarik pada bola warna-warni yang menggelinding dari salah satu barang bawaan pengunjung bandara. Kaki Sophia yang mungil berlari pelan mengikuti arah gerak bola sampai berhenti di depan pintu kaca yang terus bergerak, bergeser membuka dan menutup. Sophia ragu hendak melewati pintu itu, sampai sepasang tangan mencegahnya. "Sophia! Hampir saja mama kehilanganmu," tegur Jingga. Dia membungkuk, hendak menggendong Sophia ketika tatapannya terpaku pada sepasang kaki berbalut celana bahan yang berdiri di depannya dan t
"Anda tidak sedang bercanda, kan?" Suara Jingga bergetar menahan emosi yang meletup-letup di dalam dada. Perutnya terasa mulas sekaligus geli. "Selama ini, akulah yang menghalangi pencarian Bu Gita. Padahal sudah beberapa bulan terakhir ini aku menemukan keberadaan Ganendra, tapi aku menyembunyikannya dengan segala cara dari kalian," ungkap Dewandaru. "Di mana dia?" Air mata haru mengalir deras di pipi Jingga. "Di Belanda. Ganendra membangun resort di pesisir Utara. Kamu bisa mencarinya di mesin pencarian internet. Akan tetapi, nama yang tercantum sebagai pemilik resort itu adalah Markus Meinn. Sepertinya Ganendra memang berniat menyembunyikan identitas diri. Entah untuk apa," jelas Dewandaru."Kamu tahu, Ngga? Dia menamai resortnya 'Oranje Licht'. Bahasa Belanda yang bermakna Cahaya Jingga," sambung pria tampan itu."Tidak." Jingga menggeleng lemah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ganendra juga sempat kemari, dua tahun yang lalu," timpal Lukman tiba-tiba. "Dia menanya
"Hei, ada tamu rupanya," sapa Armas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Jingga. Armas yang awalnya berada di dalam kamar sambil menjaga dua bocah yang tengah tertidur, bergegas mengikuti Jingga ke ruang tamu.Dewandaru tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat sosok adik kandung Ganendra itu. Wajahnya begitu mirip dengan sosok pria yang dia benci. "Siapa dia, Ngga?" desis Dewandaru."Armas," sahut pria bertubuh tegap tersebut seraya maju menghampiri Dewandaru. Dia mengulurkan tangan sambil menyunggingkan senyuman hangat.Dewandaru tak segera menyambut uluran tangan itu. Dia masih sibuk memindai paras tampan yang terus menatapnya penasaran. "Armas?" ulang Dewandaru beberapa saat kemudian."Gita Wulandari dan Haedar Dhanurendra adalah nama orang tuaku." Senyuman Armas semakin lebar tatkala memperhatikan raut bingung Dewandaru. "Apa mereka tidak pernah bercerita tentangku?"Dewandaru menggeleng. "Mereka selalu tertutup selain untuk urusan pekerjaan," jawabnya pelan."Ah
Semalam sudah Jingga menginap di rumah sendiri. Kini, dia dapat bernapas lega karena tak perlu sekamar lagi dengan Armas. Pria tampan itu menempati kamar tamu bersama Elio.Keesokan harinya, Jingga mengajak Armas bertemu dengan Echa dan Marini di rumah mereka. Tak terkira betapa senangnya Marini melihat kedatangan Jingga."Ya, ampun. Kamu makin cantik saja, Ngga!" sanjung Echa takjub."Ini Sophia, ya? Akhirnya kita bisa bertemu secara langsung. Biasanya cuma lewat panggilan video!" ujar Marini antusias seraya menggendong balita cantik itu."Dan ini Elio. Anak tampan yang selalu mengganggu panggilan video kalian." Jingga mendorong lembut tubuh Elio agar semakin mendekat pada Echa."Akhirnya, aku bisa mencubit pipimu, ya!" seru Echa sembari mengusap gemas pipi Elio, lalu mencubitnya pelan."Ini Papa. Dia juga sering lewat di sebelah Tante Jingga setiap kali Tante sedang menelepon. Papa suka penasaran dan sering cemburu," celoteh Elio yang begitu lancar berbicara bahasa Indonesia. Dia ta
Armas termangu menatap paras cantik yang kini sudah terlelap itu. Meninggalkan dirinya terjaga sendirian dalam kegalauan. Diperhatikannya wajah Jingga yang tampak begitu damai. Matanya terpejam rapat, sedangkan bibirnya yang penuh dan ranum itu sedikit terbuka, membuat naluri kelelakian Armas bangkit sempurna.Beruntung, suara rengekan Sophia menyadarkannya. "Mama, cucu," pinta Sophia sambil menangis.Lagi-lagi Armas harus bersyukur. Sophia kini sudah disapih. Dia tidak lagi minum ASI sang ibu. Sophia kini beralih pada susu botol. Bisa gawat seandainya balita lucu itu masih harus menyusu pada Jingga. Bisa-bisa Armas akan terkena serangan jantung mendadak, karena melihat apa yang seharusnya tak dia lihat."Kamu haus, Sayang? Biar aku yang membuatkan susu untukmu, karena sepertinya ibumu sedang pingsan." Armas tertawa geli melihat Jingga yang tak jua bangun. Pria rupawan itu bangkit perlahan. Disingkirkannya tangan mungil Elio yang melingkar di lengan Armas.Dia lalu turun dari ranjang
Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan sekaligus menegangkan bagi Jingga. Untuk pertama kalinya, dia melakukan perjalanan jauh bersama balita kecil yang tak jua berhenti merengek di pangkuannya."Cici pusing," keluh Sophia. Dia selalu menyebut namanya dengan sebutan 'Cici'. "Tidak apa-apa, Cici. Nanti kalau pesawat ini sudah berada di atas awan, kamu tidak akan pusing lagi!" seru Elio yang duduk bersama sang ayah, agak jauh dari Jingga.Beruntung mereka memesan penerbangan kelas satu dengan kursi tambahan sehingga anak-anak dapat bergerak dengan nyaman."Cici takut." Kini balita cantik yang genap berusia dua tahun itu merengek."Jangan takut. Ada mama, Sayang," hibur Jingga seraya memeluk putrinya erat-erat. "Kita terbang untuk bertemu dengan Papa Cici. Dia ada di Indonesia," bujuknya sedikit berbohong."Papa?" Mata bulat itu terbelalak dan tampak menggemaskan. Setelah mendengar kata 'Papa', barulah Sophia merasa tenang. Perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih 22 jam, b