Pagi itu, Fifth Avenue, Midtown Manhattan. Itu adalah tempat pusat perkantoran di kota New York. Beberapa hari menjelang hari libur natal. Sepanjang jalan di sana sudah tampak pernak-pernik natal yang dipajang.
Grey berhenti di pinggir jalan saat lampu lalu lintas menyala merah. Ia menatap iklan LED display luar ruangan. Sebuah wajah tertampang di sana. Wajah dari gadis yang ia kenal.Brianna Westbrook, putri seorang pengangguran dan pecandu alkohol. Ibunya bunuh diri dengan terjun ke laut karena tak kuat dengan perilaku Eddy Westbrook, ayah Brianna. Gadis itu ternyata bisa menjalin hubungan dengan salah satu konglomerat di Amerika. Ia akan menikah sebentar lagi dengan Matthew Duncan MacMillan.Grey bergidik. Entah apa yang sudah Brianna lakukan hingga bisa menikah denga pria tak biasa macam Matthew.Ia menghisap rokoknya untuk terakhir kalinya dan membuang puntung rokok itu di bawah kaki"Kau sedang apa?" tanya Clint Wall pria berusia 48 tahun itu pada Shailene, istrinya yang sedang sibuk menonton acara televisi."Huh?" Shailene tersadar. Ia buru-buru mematikan televisinya."Matthew sepertinya baik-baik saja," batin Shailene."Apa yang kau tonton?"Shailene hanya menggeleng."Ayo, bergegaslah. Kita harus segera pergi menemui Celeste. Besok sudah natal. Kau tak ingin membuatnya menunggu, bukan?" tanya Clint pada istrinya. Celeste adalah putri mereka yang berusia 3 tahun.Mereka berjalan beriringan keluar dari rumah megah yang ia tinggali. Jika dilihat sekilas, Shailene bahkan lebih pantas memanggil Clint dengan sebutan ayah daripada sayang.Perbedaan usia 20 tahun di antara mereka sungguh jauh. Jika buka orang tua Shailene yang menyatukannya dengan Clint, mungkin ia tak akan menikah dengan pria tua itu
Laura mengacak-acak meja kerjanya. Ia tak peduli bagaimana petugas kebersihan akan membersihkan mejanya nanti."Nyonya, tenanglah," ucap pengacara yang Laura sewa untuk menangani kasus warisannya."Bagaimana aku bisa tenang? Anak itu akan menikah dengan seorang wanita yang tak jelas. Bukan itu masalahnya sebenarnya. Tapi Matthew akan benar-benar menikah. Sebentar lagi. Sehari setelah natal. Aku tak bisa tenang kalau aku memikirkan hal itu.""Kau bisa duduk di hadapanku, Nyonya Laura?"Laura Rose Summers atau yang sudah berganti nama menjadi Laura Rose MacMillan setelah berhasil menjadi istri simpanan George MacMillan itu menarik dan menghela napasnya. Berulang kali. Ia sedang menenangkan dirinya sendiri."Aku tetap tak bisa tenang. Kau tahu tanganku gemetar, bukan karena terlalu banyak meminum kafein. Tapi aku terlalu banyak pikiran.""Kau b
Grey terkesima dengan apa yang baru saja Matthew bicarakan. Pria itu masih saja mengingat perkataan Grey saat di telepon."Kau mengingatnya?" tanya Grey. "Oh, ayolah, Tuan. Saat itu aku sedang mabuk. Semua pria tak sadar apa yang sedang ia katakan saat sedang mabuk.""Kau mengenalnya, Grey?" tanya Zack sambil berbisik di telinga Grey."Tentu," jawab Grey dengan lantang. "Dia adalah kekasihku saat masa sekolah menengah atas. Brianna Westbrook.""Grey namamu? Sebaiknya kau mematikan nomor teleponmu saat sedang minum. Karena dengan mulutmu itu, kau bisa saja menghancurkan hubungan seseorang," ucap Matthew memperingatkan."By the way, Bri. Tadi pagi aku meneleponmu dan calon suamimu yang mengangkatnya."Perkataan Grey membuat Matthew salah tingkah.Tentu saja ia tak memberi tahu Brianna tentang hal itu. Bahkan Matthew s
Eddy Westbrook memicingkan matanya. Mengamati mobil mewah yang baru saja berhenti di depan rumahnya. Ia meletakkan sekop pembersih saljunya yang ia gunakan untuk menyingkirkan salju yang ada di tangga depan rumahnya."Kau di sini?" tanya Eddy pada Brianna yang baru saja keluar dari sana. Anak perempuannya itu membawa sebotol anggur di tangannya."Untuk apa kau berlelah membersihkan salju di depan rumah? Tak akan ada yang mengunjungimu untuk merayakan natal," ucap Brianna sambil berjalan masuk ke dalam rumah. "Masuklah. Kau pasti sudah ingin mabuk sejak tadi."Eddy tak menjawab perkataan putrinya.Tampak Matthew mengikuti langkah Brianna masuk ke dalam rumahnya.Tentu saja Eddy harus bergabung dengan mereka yang sudah datang di malam natal ini.Brianna menuangkan anggurnya ke dalam masing-masing gelas."Dia ingin sekal
"Kau seperti anak kecil, Brianna," ucap Matthew saat pria itu keluar dari kamar mandi."Apa maksudmu?""Kemarin kau bilang bahwa kau tak ingin membicarakan ayahmu. Lalu kau tiba-tiba ingin menemuinya saat malam natal."Brianna melihat bagaimana Matthew seolah sedang mengoloknya."Kau keberatan karena aku ingin menemui ayahku, Matt?" tebak Brianna. "Kau bahkan tak mengizinkan ayahku untuk pergi ke pesta pernikahan kita."Matthew tak menggubris ucapan Brianna. Ia tak peduli. Ia punya alasan khusus untuk tak ikut mengundang ayah Brianna ke pesta pernikahan."Lagipula itu hanya pernikahan sandiwara, Bri. Pernikahan sandiwara. Kau ingin mengundang ayahmu di acara seperti itu? Ayolah, Bri. Aku tahu kau tak akan melakukan hal itu."Ucapan Matthew ada benarnya. Lusa adalah sebuah acara pernikahan sandiwara, bukan pernikahan s
"Aku akan pergi sekarang!" pekik Brianna sambil keluar dari rumah."Jangan lupa bawa uang yang banyak!" pekik Eddy dari ambang pintu. "Kau tahu, ayahmu harus minum alkohol, kan? Dan itu tak gratis, Nak."Brianna hampir menangis rasanya saat ayahnya membanting pintu rumah dengan sangat keras."Kalau sampai pintu itu rusak, jangan pernah minta aku untuk membayar perbaikannya. Okey?" umpat Brianna sambil sejenak mengacungkan jari tengahnya.Sial, batin Brianna."Kau berangkat kerja, Bri?" tanya si tua John, pria yang tinggal sendiri di ujung jalan. "Kudengar ini pertunjukan terakhirmu, ya? Huh? Kau dipecat?"Gosip itu lagi. Sudah lama ada gosip beredar bahwa ia akan dipecat.Gadis itu menoleh pada John yang melangkah melewati dirinya. Brianna memang hampir membeku sejak masih berada di dalam rumah. Pemanasnya mati dan ia tak bisa memperbaikinya karena tak punya cukup uang.Ia menguatkan dirinya. Brianna tak boleh berhenti sekarang atau ia harus melihat ayahnya mengamuk dan membanting sel
"Kau tahu siapa aku?" tanya Brianna pada pria yang ada di hadapannya."Brianna Westbrook. Aku tahu namamu. Aku sudah mengawasi dirimu sejak pementasan putri salju untuk pertama kalinya. Sekitar seminggu yang lalu, Nona," ucap pria itu dengan yakin.Cukup tampan. Ah, tidak. Bagi Brianna, pria ini sangat tampan. Sepertinya bukan tipe laki-laki biasa saja."Aku bahkan tak tahu siapa namamu." Brianna bergidik."Matthew. Matthew Duncan Macmillan," jawab pria itu."Dengar, Tuan MacMillan. Hei, tunggu. Katamu siapa namamu tadi?"Sebuah nama yang akhir-akhir ini sering muncul di televisi. Pria ini memang bukanlah pria yang sembarangan. Ia akan menerima warisan sebesar USD 20 milliar jika ia menikahi seorang wanita sebelum akhir tahun ini. Lalu, yang ia katakan baru saja? Tentang pernikahan? Pria ini berniat melamar Brianna?"Ya, benar. Aku pria itu. Pria yang harus menikah sebelum akhir tahun ini. Kau bisa ikut denganku? Sekarang?""Kau membuatku takut, Tuan."Brianna baru saja akan menolak p
Brianna sedang menerka apa yang terjadi sekarang. Ia sedang membutuhkan uang untuk melunasi hutang ayahnya pada rentenir. Tapi haruskah ia melakukan ini?Matthew Duncan MacMillan membuat gadis itu melepas baju atasnya dan bersembunyi di bawah selimut.Pria itu mendekat ke arah ranjang. Tak lupa melepas kemejanya. Pria itu seolah tak takut kedinginan. Suhu ruangan kamar itu cukup hangat untuk melepas pakaiannya dan tidur di bawah selimut macam ini."Ini kamar ibumu?" tebak Brianna. Tak salah jika ia berpikiran begini. Kamar ini tampak terlalu feminin dengan warna merah mudanya.Matthew tersenyum mendengar tebakan Brianna."Kau berpikir begitu?"Brianna menatap wajah pria yang ada di sampingnya itu. Gugup."Apa yang akan kita lakukan setelah ini?" tanya Brianna."Menurutmu?" tanya Matthew sambil membetulkan selimut ke tubuhnya. Ia seolah ingin menyelimuti tubuh bagian bawahnya dengan sempurna.Brianna membuang mukanya. Ia tak ingin tampak terlalu antusias melakukan ini dengan calon suam
"Kau seperti anak kecil, Brianna," ucap Matthew saat pria itu keluar dari kamar mandi."Apa maksudmu?""Kemarin kau bilang bahwa kau tak ingin membicarakan ayahmu. Lalu kau tiba-tiba ingin menemuinya saat malam natal."Brianna melihat bagaimana Matthew seolah sedang mengoloknya."Kau keberatan karena aku ingin menemui ayahku, Matt?" tebak Brianna. "Kau bahkan tak mengizinkan ayahku untuk pergi ke pesta pernikahan kita."Matthew tak menggubris ucapan Brianna. Ia tak peduli. Ia punya alasan khusus untuk tak ikut mengundang ayah Brianna ke pesta pernikahan."Lagipula itu hanya pernikahan sandiwara, Bri. Pernikahan sandiwara. Kau ingin mengundang ayahmu di acara seperti itu? Ayolah, Bri. Aku tahu kau tak akan melakukan hal itu."Ucapan Matthew ada benarnya. Lusa adalah sebuah acara pernikahan sandiwara, bukan pernikahan s
Eddy Westbrook memicingkan matanya. Mengamati mobil mewah yang baru saja berhenti di depan rumahnya. Ia meletakkan sekop pembersih saljunya yang ia gunakan untuk menyingkirkan salju yang ada di tangga depan rumahnya."Kau di sini?" tanya Eddy pada Brianna yang baru saja keluar dari sana. Anak perempuannya itu membawa sebotol anggur di tangannya."Untuk apa kau berlelah membersihkan salju di depan rumah? Tak akan ada yang mengunjungimu untuk merayakan natal," ucap Brianna sambil berjalan masuk ke dalam rumah. "Masuklah. Kau pasti sudah ingin mabuk sejak tadi."Eddy tak menjawab perkataan putrinya.Tampak Matthew mengikuti langkah Brianna masuk ke dalam rumahnya.Tentu saja Eddy harus bergabung dengan mereka yang sudah datang di malam natal ini.Brianna menuangkan anggurnya ke dalam masing-masing gelas."Dia ingin sekal
Grey terkesima dengan apa yang baru saja Matthew bicarakan. Pria itu masih saja mengingat perkataan Grey saat di telepon."Kau mengingatnya?" tanya Grey. "Oh, ayolah, Tuan. Saat itu aku sedang mabuk. Semua pria tak sadar apa yang sedang ia katakan saat sedang mabuk.""Kau mengenalnya, Grey?" tanya Zack sambil berbisik di telinga Grey."Tentu," jawab Grey dengan lantang. "Dia adalah kekasihku saat masa sekolah menengah atas. Brianna Westbrook.""Grey namamu? Sebaiknya kau mematikan nomor teleponmu saat sedang minum. Karena dengan mulutmu itu, kau bisa saja menghancurkan hubungan seseorang," ucap Matthew memperingatkan."By the way, Bri. Tadi pagi aku meneleponmu dan calon suamimu yang mengangkatnya."Perkataan Grey membuat Matthew salah tingkah.Tentu saja ia tak memberi tahu Brianna tentang hal itu. Bahkan Matthew s
Laura mengacak-acak meja kerjanya. Ia tak peduli bagaimana petugas kebersihan akan membersihkan mejanya nanti."Nyonya, tenanglah," ucap pengacara yang Laura sewa untuk menangani kasus warisannya."Bagaimana aku bisa tenang? Anak itu akan menikah dengan seorang wanita yang tak jelas. Bukan itu masalahnya sebenarnya. Tapi Matthew akan benar-benar menikah. Sebentar lagi. Sehari setelah natal. Aku tak bisa tenang kalau aku memikirkan hal itu.""Kau bisa duduk di hadapanku, Nyonya Laura?"Laura Rose Summers atau yang sudah berganti nama menjadi Laura Rose MacMillan setelah berhasil menjadi istri simpanan George MacMillan itu menarik dan menghela napasnya. Berulang kali. Ia sedang menenangkan dirinya sendiri."Aku tetap tak bisa tenang. Kau tahu tanganku gemetar, bukan karena terlalu banyak meminum kafein. Tapi aku terlalu banyak pikiran.""Kau b
"Kau sedang apa?" tanya Clint Wall pria berusia 48 tahun itu pada Shailene, istrinya yang sedang sibuk menonton acara televisi."Huh?" Shailene tersadar. Ia buru-buru mematikan televisinya."Matthew sepertinya baik-baik saja," batin Shailene."Apa yang kau tonton?"Shailene hanya menggeleng."Ayo, bergegaslah. Kita harus segera pergi menemui Celeste. Besok sudah natal. Kau tak ingin membuatnya menunggu, bukan?" tanya Clint pada istrinya. Celeste adalah putri mereka yang berusia 3 tahun.Mereka berjalan beriringan keluar dari rumah megah yang ia tinggali. Jika dilihat sekilas, Shailene bahkan lebih pantas memanggil Clint dengan sebutan ayah daripada sayang.Perbedaan usia 20 tahun di antara mereka sungguh jauh. Jika buka orang tua Shailene yang menyatukannya dengan Clint, mungkin ia tak akan menikah dengan pria tua itu
Pagi itu, Fifth Avenue, Midtown Manhattan. Itu adalah tempat pusat perkantoran di kota New York. Beberapa hari menjelang hari libur natal. Sepanjang jalan di sana sudah tampak pernak-pernik natal yang dipajang.Grey berhenti di pinggir jalan saat lampu lalu lintas menyala merah. Ia menatap iklan LED display luar ruangan. Sebuah wajah tertampang di sana. Wajah dari gadis yang ia kenal.Brianna Westbrook, putri seorang pengangguran dan pecandu alkohol. Ibunya bunuh diri dengan terjun ke laut karena tak kuat dengan perilaku Eddy Westbrook, ayah Brianna. Gadis itu ternyata bisa menjalin hubungan dengan salah satu konglomerat di Amerika. Ia akan menikah sebentar lagi dengan Matthew Duncan MacMillan.Grey bergidik. Entah apa yang sudah Brianna lakukan hingga bisa menikah denga pria tak biasa macam Matthew.Ia menghisap rokoknya untuk terakhir kalinya dan membuang puntung rokok itu di bawah kaki
"Bangunlah. Cepat." Suara serak di pagi hari.Wanita setengah telanjang itu berbisik di telinga Grey Jordan yang masih tertidur tengkurap."Kau sudah bangun?" tanya wanita itu lagi.Grey mengerjapkan matanya. Akhir-akhir ini ia sering sekali mabuk dan pulang pagi."Apa yang kau lakukan? Kau mau pergi?" tanya Grey pada wanita yang baru saja ia kenal semalam. Grey bahkan tak tahu siapa nama wanita yang umurnya jauh lebih tua itu."Ya, aku harus pergi."Sambil berlari, wanita itu pergi ke kamar mandi hanya dengan memakai pakaian dalam.'Kau mau pergi sekarang? Secepat itu?""Suamiku meneleponku semalaman dan aku tak mengangkat teleponnya. Dia pasti marah padaku. Maaf aku harus pergi sekarang," pekik wanita itu dari kamar mandi.Ia membersihkan badannya seadanya. Hanya mencu
"Kita berdua tidur satu ranjang?"Matthew menganggukkan kepalanya."Kenapa? Kau keberatan? Bukankah itu tertulis di surat kontrak? Kau tak membacanya?" Matthew melepas dua kancing kemejanya. "Kau sudah membersihkan tubuhmu, bukan? Pakailah pakaian tidur yang pelayan siapkan untukmu dan naiklah ke ranjang."Pria itu kemudian berjalan ke kamar mandi dan berniat membersihkan dirinya.Tak butuh waktu lama untuk menggosok gigi. Cukup dua menit. Ia kemudian membersihkan wajah yang sudah rupawan itu. Hanya sebulir sabun cuci muka dan beberapa kali cipratan air di wajahnya.Bayangan wanita berambut pirang sekilas melintas di pikiran Matthew. Pria itu berusaha menepisnya. Wanita yang pernah ada di kehidupannya itu kini sudah menikah. Tak ada yang perlu dipikirkan sekarang. Ia harus berpikir tentang pernikahan sandiwaranya dan juga calon istri pura-puranya, Brianna."
Brianna menunggu steak-nya dipotongkan oleh Matthew. Entah berapa pasang mata yang menyaksikan perhatian Matt pada Bri."Silakan," ucap Matthew dengan mesra pada Brianna.Gadis itu tak habis pikir dengan apa yang tengah terjadi pada dirinya.Harusnya yang bermain peran kan dirinya. Bukan Matthew.Laura MacMillan, ibu tiri Matthew yang sedang menyuap steak yang masih berdarah itu hampir tersedak dengan perlakuan anak tirinya itu pada calon istrinya."Kau ingin minum, Bu?" tanya Aaron pada ibunya.Laura menggeleng. Ia menolak untuk minum air putih. Matanya yang kecil dan tajam itu memperhatikan gerak-gerik Matthew dan Brianna."Sudah berapa lama kalian saling kenal?" tanya Laura memulai pembicaraan setelah ia mengusap mulutnya dengan kain lap."Cukup lama," ucap Matthew. "Namun, benih-benih cinta