Perlahan Ezra membuka mata. Ia baru tersadar dari pingsannya. Pikiran tentang Shaila yang tiba-tiba meninggalkannya masih mengusik ketenangan jiwa lelaki yang terkulai lemah itu. Ketenangannya hanya ada pada kehadiran Shaila di sisinya. Lantas, ia duduk dan mengambil kotak cincin dari saku celananya. Ia menatap cincin itu, cincin pernikahan yang ia berikan pada Shaila. Dan kini cincin itu kembali berada di genggamannya.
"Kenapa kamu lakukan ini padaku, Shaila?" Air matanya tak terasa mengalir. Dadanya terasa sangat sesak seperti ingin mati saat ini juga.
Tiba-tiba Jian Li datang. Dia merasa dirinya menang dari Shaila. Dia sudah kembali normal dan bisa berjalan seperti orang biasa setelah melakukan operasi pemasangan kaki robot di Jepang.
Harapan Jian Li terhadap Ezra melambung kembali setelah ia memiliki kaki robot itu. Tentu saja Direktur Han melakukan sem
"Pergilah! Aku ingin sendiri." Sorot mata Ezramenunjukkan kekesalan. Sekuat mungkin menahan nada suara, meredam amarah yang mulai membara."Pergilah...! Pergi!!!" Teriak Ezra tak mampu mengendalikan emosi karena Jian Li masih berdiri disamping ranjangnya. Jian Li tersentak. Kaki kirinya mulai goyah menahan keseimbangan kaki kanan yang tiba-tiba terasa sakit efek bekas operasi kaki robotnya. Seharusnya dia beristirahat dalam beberapa bulan. Namun ambisinya untuk memiliki Ezra membutakan segala hal, hingga kesehatan sendiri tak berarti.Gun menarik tangan Jian Li dan menyeretnya keluar. Berusaha meredamkan suasana dengan meninggalkan Ezra dalam kesendirian. Ia paham betul watak sahabatnya yang mudah terpancing emosi ketika dirunduk masalah. Emosinya akan membeludak, dan berakhir pada episode dimana air mata akan mengalir penuh ke
Shaila duduk terdiam di sudut kamar memeluk kedua lututnya ditemani rasa sesak yang menjalar dalam dada.Kata "Pernikahan yang berbuah sial" terus terngiang ditelinganya. Mulai dari kematian Sang Papa yang misterius, runtuhnya bisnis Ezra. Pun ia harus mundur dari pernikahan yang baru saja dibina bersama Ezra, Sang Dewa yang telah menyelamatkannya dari ambang keputusasaan. Semua berbaur dalam satu memori. Mau tak mau Shaila harus mencari jawaban atas teka-tekipuzzleyang telah menjebak skenario kehidupannya.Bayangan tentang kejahatan Raka, kekejaman Papa Dirga, keusilan Direktur Han membuat kepala Shaila pening. Untung saja dia masih mampu menjaga keseimbangan otak dan hatinya yang sudah dibentengi dengan banyak berdzikir serta membaca ayat suci al-qur'an sejak mengenal Ezra. Hingga kekuatan mengendalikan diri semakin mengokoh dalam hati Shaila. Kalau saja dia tidak punya kekuatan, mu
Tentang Raka dan Alyne."Puas kamu, puas melihatku membusuk disini?" Teriak Raka histeris ketika Alyne menemuinya dipenjara.Mukanya merah membara meluapkan kekesalan pada keluarga Hardi. Meremas rambut yang mulai gimbal tak terurus.Alyne menangis menyaksikan sikap Raka. Tak pernah ia duga akan berakhir seperti ini.Sejak awal diangkat menjadi anak Papa Hardi, Raka merasa dianggap seperti hewan peliharaan di keluarganya. Betapapun ia mengerahkan seluruh tenaganya demi keluarga Hardi. Tapi tetap, Hardi tidak memberikan Shaila kepadanya.Hingga bertemu Alyne yang berdandan mirip Shaila. Entah mata dan hatinya sudah terkunci ol
Shaila mengejar Ezra yang tengah mendekati Raka dan Alyne."Apa tujuanmu datang kesini?" tanya Shaila dengan suara gemetar. Iaberusaha menyeimbangkan langkahnya dengan Ezra yang hampir sampai di depan kamar tahanan Raka."Menurutmu, apa saya akan membiarkan orang yang telah jahat pada kita lolos begitu saja?"Setelah sampai, Ezra terdiam beberapa detik, lalu melanjutkan pembicaraannya,"Ah...bukan, maksudku jahat padaku." Ezra menjawab dengan memalingkan muka kearah lorong tahanan yang sepi.Mereka tak menyadari kehadiran Raka dan Alyne yang diam-diam memperhatikan."Hmmh,,,Kamu puas membohongi semua orang dengan kedok k
"Aku bilang, aku aborsi." Shaila mengulang perkataan yang sama, sambil berusaha menahan getaran tubuhnya. Ketahanannya hampir runtuh. Ia nyaris terkulai, sebab terpaksa mengeluarkan perktaan itu. Perkataan yang bertolak belakanh dengan kenyataan dan hati nurani.Perkataan Shaila membuat Ezra benar-benar murka. "Shaila!" teriak Ezra kencang. Ini kali pertama Ezra benar-benar marah hingga darahnya mendidih, bahkan ia mengangkat tangan kanannya ke atas.Spontan Shaila menutup mata. Dengan ikhlas dia akan menerima tamparan Ezra. Ia pantas mendapatkan tamparan itu atas mulutnya yang tak bisa di jaga.Tangan Ezra melayang sejajar dengan kepala Shaila, bukan menampar wajah. Dia memukul tembok yang menjadi sandaran Shaila. Perih di dada. Namun kebenci semakin menggunung. Rasa iba pun kembali hancur seketika. Anak yang menjadi harapannya, darah daging yang akan menjadi saksi kesuci
Tak mau ketinggalan sosok wanita yang pernah hadir, bahkan masih hadir dalam relung hatinya, Fauzan segera berjalan cepat dan berusaha menahan kakinya yang sedikit sakit. Lelaki yang bertubuh kekar dengan membawa tongkat kecil itu segera masuk ke dalam mobil dan menyalakannya. Tangan kanannya memutar kunci lalu melaju dengan kecepatan tinggi.Bayangan seorang wanita yang ia lihat mengenakan pakaian seperti jubah, dengan jilbab yang sangat besar. Ditambah lagi seluruh wajahnya tertutup, hanya terlihat kedua matanya yang berkedip-kedip. Kehadiran sosok wanita itu kembali, membuat otaknya mulai memikirkan bagaimana proses perubahan Shaila. Shaila yang ia kenal memiliki paras cantik dengan rambut terurai, kini wanita itu benar-benar telah berubah. Seluruh tubuhnya tertutup dengan pakaian syar'i."Ah, kamu sudah berubah, Shaila. Penampilanmu sangatlah kuno, sudah pasti ini pengaruh Ezra."&nbs
Pria itu menatap tajam wanita yang baru saja masuk ruangan. Wajah imut dengan tubuh mungil itu kembali berdiri di hadapannya. Ezra merasa sia-sia membuang semua pikiran tentang wanita itu. Nyatanya Shaila selalu saja datang di hadapannya tanpa di rencana.Bukan itu yang membuatnya sedikit ingin marah. Meski sudah ia talak, tapi bukan berarti bisa dekat dengan laki-laki lain di hadapannya. Bukankah menjaga perasaan orang lain itu lebih penting daripada menjaga hatinya sendiri? Ezra mengepalkan tangannya yang tersembunyi di bawah meja.Shaila mematung di ambang pintu, menyaksikan Ezra yang tengah duduk terpaku di meja utama meeting. Matanya beradu, salung pandang dengan hati nurani masing-masing. Ezra dengan sorot kemarahannya. Sedangkan Shaila dengan penuh rasa sesal, dia langsung mengalihkan pandangan pada lantai. Dia benar-benar tak mampu memandang pria nya lama-lama. Ia pun tak mampu mendekat. Hanya terus terdiam.
"Sayang bertahanlah!" ucap Shaila dalam hati, dia tahu bayi yang di dalam kandungannya tidak rela jika ibunya membentak ayahnya. Atau dia tidak mau melihat pertengkaran orang tuanya."Kenapa kamu menjauh? Apa kamu takut aku sentuh?" tanya Ezra semakin mendekati Shaila."Hentikan, aku akan keluar!" Shaila kembali menegakkan kakinya untuk berdiri. Dia menarik napas dalam-dalam berusaha menahan rasa mualnya. Jangan sampai Ezra tahu tentang kehamilannya. Usahanya tetap saja sia-sia, wanita hamil tidak bisa menahan rasa pusing dan mual itu. Hingga matanya kunang-kunang, dia masih tetap memaksa untuk berjalan regak ke luar pintu.Ezra segera memgang bahu Shaila ketika dia sudah berada di ambang pintu."Duduklah, aku tahu kamu kelelahan! Akan kuambilkan air putih!" Ezra segera menarik Shaila, dan mendudukkannya di sofa. Shaila tidak bisa menahan kepalanya yang terasa sangat pusing.