omongannya udah mulai tanpa filter 😹😹😹🤭🤭 menyala pak Kelvin, banjir-banjir dah tuh 🤌🏻
Kelvin menunduk, menatap sayu mata Amaya saat tangan yang semula membelenggu pergelangan kecilnya di atas kepala itu berpindah untuk menyentuh dagunya. Ia usap dengan lembut, ia sisihkan rambut panjang Amaya ke belakang telinga dan senyumnya terlihat merekah saat ia membisikkan,”Amaya-ku ... Amaya milikku yang sangat cantik. ‘Perasaan apa ini?’ tanya Amaya dalam hati, gugup tak terperi. ‘Jantungku rasanya sakit.’ Manisnya cara Kelvin menyebut namanya membuat darahnya berdesir, ribuan kupu-kupu memenuhi perutnya saat telapak tangan pria itu mengusap bagian dalam pahanya setelah menyelinap masuk melalui bagian bawah dress tidur yang ia kenakan. Matanya sesaat terpejam saat ia mendapati prianya itu telah memulai 'pemanasan.' Seluruh indera seolah meneriakkan nama ‘Kelvin’ kala Amaya perlahan kehilangan satu demi satu pakaiannya. Di atasnya, Kelvin menegakkan punggungnya sejenak sembari menanggalkan piyama yang dikenakannya. Bayangannya jatuh menimpa wajah Amaya yang tak mendapati ca
Beberapa kegiatan harus tertunda karena Kelvin tak ingin mengambil resiko dengan membiarkan tangan Amaya yang ujung-ujungnya terlihat merah itu semakin parah nantinya. Sehingga mereka lebih memilih melakukan sesuatu di dalam rumah seperti menonton film atau membuat makanan untuk mereka berdua, yang ujungnya kebanyakan Kelvin yang akan menyelesaikannya. Mungkin besok atau lusa, baru mereka akan pergi ke luar lagi, menjelajahi sebagian Kanada, atau sekadar mengunjungi restoran yang pernah dikatakan oleh Amaya pada Kelvin, letaknya ada di Quebec. Keadaan di luar masih gelap, tapi Amaya sudah bangun lebih awal pagi ini. Ia menatap Kelvin yang masih berbaring di sebelahnya dengan keadaan tertelungkup. Kepalanya menoleh ke arahnya, sebagian punggungnya yang tak mengenakan atasan tampak tak terlihat karena tertutup oleh selimut. Terlihat sangat damai dan tenang dalam tidurnya. Amaya suka memandanginya seperti ini Wajahnya yang dewasa terlihat sangat polos saat ia tidur. Seolah garis d
Amaya satu langkah mundur, menyembunyikan dirinya di belakang Kelvin yang hanya tersenyum melihatnya. "Nggak apa-apa," kata Kelvin seraya mengikuti pandang ke mana Amaya pergi. Lengan kekarnya melingkar di pinggang Amaya, membawanya kembali ke samping ia berdiri, sejajar dengannya dan berhadapan dengan lima orang yang baru datang yang tengah menyaksikan adegan romantis di dekat pintu rumah. "Malu," jawab Amaya lirih, wajahnya terasa sangat panas, rasanya ia ingin menghilang dari bumi, menggali lubang dan mengubur dirinya sendiri. "Kenapa malu? Nggak ada yang salah dengan yang kita lakuin," sambut Kelvin seraya mengusap puncak kepalanya. Amaya memandang mereka yang masih tersenyum, terutama Riana yang terlihat sangat senang dengan interaksi manis anak lelakinya dan Amaya. "Aunty May," panggil Arsen seraya berlari ke arahnya. Bocah kecil itu memeluk Amaya sehingga ia membalasnya. "Arsen, kangen banget sama kamu." "Tapi kayaknya Aunty May nggak begitu mikirin Arsen deh," protesn
Tidak! Untungnya Kelvin dengan cepat menahan celana milik Gafi sehingga celana gombrong itu tak sempat jatuh atau pun merosot. Semua orang yang tadinya tegang kini bisa mendorong napasnya dengan lega. "Kak Gafi apaan banget sih!" celetuk Amaya saat Gafi dengan cepat turut menahan celananya. "Apaan apanya?" tanya Gafi balik. "Udah aki-aki juga masih pakai celana nggak sekalian ikat pinggangnya," jawab Amaya, sekilas menoleh pada Serena seolah itu adalah permintaan izin agar ia mengomeli abangnya itu. "Bener apa yang dibilang Arsen, celanamu segede kurungan gajah. Nanti di rumahnya Tante Liana minta deh tuh tali rafia atau tali jemuran, buat ngikat celanamu biar nggak berkibar-kibar begitu. Kak Gafi tiang reklame? Makanya pakai celana selebar spanduk begitu?" "Durhaka!" seru Gafi seraya menunjuk Amaya yang sudah memalingkan wajah dan melangkah lebih dulu bersama dengan Arsen yang menirukan apa yang dikatakan olehnya. "Spanduk?" ulangnya. "Spanduk itu apa, Aunty May?" "Yang dipasa
Amaya urung mendekat. Ia benar-benar hanya berdiri di samping meja dengan keadaan tubuh yang rasanya kebas. Pandangannya tertuju pada Kelvin yang menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Wajahnya tertunduk, ibu jarinya bergerak cepat. Sepertinya untuk memblokir nomor Calista untuk kali ke dua atau ... entahlah! Amaya tak tahu. Ia merasa hubungan manisnya dengan Kelvin itu selalu memiliki gangguan. Apakah memang seperti ini rumah tangga? Apa orang-orang di luar sana juga mengalami masalah hati seperti yang diterimanya ini? Dadanya berat, ada desakan yang membuat Amaya seolah tak bisa bernapas dengan bebas. Rasa panas menjalar, lambat laun ia sadari bahwa ini adalah cemburu. Ia cemburu pada Calista! Ia tak suka pada perempuan itu. Meski Amaya adalah istri sahnya Kelvin, tapi mengingat Calista membuatnya merasa ... kecil. Ini bukan yang pertama Amaya tahu Calista mendekati Kelvin. Dari sana saja ia tahu segigih apa Calista. Dia adalah wanita dewasa yang cantik dan menarik. Ti
Amaya tertawa saat ia menjatuhkan kepalanya di bahu bidang sebelah kanan milik Kelvin seraya mengulangi kalimat prianya itu. "Biji-bijian ...." "Sayang—" panggil Kelvin, melingkarkan kedua tangannya di pinggang Amaya yang masih tertawa dengan hal kecil yang baru saja ia katakan. "Kenapa kamu ketawa begitu? Padahal aku cuma bilang biji-bijian loh ...." "Apa itu nggak lucu?" tanya Amaya balik. "Yang bikin aku heran tuh, Mas Vin selalu nemu kalimat yang orang lain aja kadang perlu mikir seribu kali buat ngomong. Tapi kalau lewat bibirnya Kelvin Indra semuanya jadi gampang. Mas Vin sebelas dua belas sama Arsen." Amaya menarik kepalanya dari bahu Kelvin. Menatap matanya yang berbinar. "Tadi pas kamu ngobrol sama Tante Liana Mama juga bilang kalau Arsen itu persis aku." "Mulutnya tajem kayak pisau begitukah?" tanya Amaya memastikan. "Iya." "Tapi Mama nggak salah kok. Coba hitung aja berapa kali Mas Vin bikin kalimat yang bikin shock. Kalau di aku mungkin jatuhnya lucu karena kita p
Amaya bilang akan memikirkan itu. Dan memang resepsi itu bukan ide yang buruk. Hanya saja ... apakah itu bisa diterima oleh orang lain semisal mereka secara terang-terangan meresmikan hubungan? Mereka sepertinya juga perlu memberitahu ini pada keluarga dulu .... Menjelang petang ini, Amaya yang hendak mandi lebih dulu memilih untuk menjawab panggilan dari Riana. Ibu mertuanya itu bisa saja khawatir sejak ia dan Kelvin tak terlihat baik selama di rumah Liana dan Danuarta tadi. "Kamu baik-baik aja sama Kelvin, Sayang?" tanyanya. "Kalian nggak berantem atau marahan, 'kan?" Meski tak berhadapan, Amaya seakan bisa melihat seperti apa ekspresi Riana sekarang ini. Alis berkerut cemas dan tatapan matanya yang lembut pasti ada di wajahnya yang cantik. "Nggak kok, Mam," jawab Amaya. "Aku baik-baik aja sama Mas Vin. Tadi itu cuma ... ada kesalahpahaman sedikit aja." "Syukurlah kalau begitu. Mama nggak punya keinginan lain selain kamu sama Kelvin bisa terus akur," ucap Riana dengan masih
Benar-benar merinding sekujur badan mendengar apa yang dikatakan oleh Kelvin dari belakangnya. ‘Kelvin dan Amaya junior dia bilang?’ ulang Amaya dalam hati. Kedua tangannya yang tadinya sudah ada di sekat kaca yang mengembun di hadapannya dengan gegas ia tarik. Ia menoleh ke belakang, bukan hanya kepalanya saja melainkan juga tubuhnya. Pada Kelvin yang kedua sudut bibirnya menunjukkan lengkung senyuman, manis dengan bonus lesung pipi seperti biasa. Menunggu Amaya memberinya jawaban. “T-tapi ....” Amaya menelan ludahnya, pupilnya bergerak ragu menatap Kelvin yang menunduk agar suara Amaya bisa sampai di indera pendengarnya. “Tapi mana bisa?” tanyanya. “A-aku 'kan minum obat?” “Aku cuma bercanda, Sayang,” kata Kelvin. Tangannya mengarah ke depan, menyentuh dagu Amaya yang sepasang matanya tampak berbinar, cahaya lampu kamar mandi yang terang itu membias di dalam irisnya yang bening. “Aku cuma godain kamu yang barusan itu,” lanjut Kelvin memperjelasnya. “T-tunggu—“ Kelvin menatap A
Amaya membiarkan tiga sahabatnya itu memeluknya secara bersamaan. Isak tangis Alin dan Naira sebab rindu terdengar sementara Randy tak bersuara. Tapi saat mereka saling melepaskan, Amaya bisa melihat sepasang matanya yang memerah. “Kangen banget,” kata Alin menyusul ucapan dari Naira yang menyebutkan bahwa ini sudah bulan ke enam mereka tak saling berjumpa. “Aku tanya ke Pak Gafi di kantor apa beliau nggak akan datang ke sini,” kata Randy. “Kalau mau pergi, aku bilang saya sama dua teman saya mau barengan. Dan ternyata beliau malah minta kami cuti biar hari ini bisa datang.” “Serius?” tanya Amaya, menoleh ada Gafi yang tersenyum sementara ketiga temannya itu mengangguk membenarkannya. Perlu diketahui, Alin dan Naira bekerja di Rajs Holdings—perusahaan milik keluarganya Kelvin. Keduanya menjadi tax accountant, dengan Alin yang belakangan ia dengar sedang dipromosikan untuk naik jabatan sementara Naira menjadi ketua tim. Randy ada di Hariz Corp, posisinya sudah lumayan tinggi. Ota
Amaya hendak melangkah menjauh setelah mengatakan itu, tapi ia tak bisa pergi begitu saja sebab Kelvin merengkuh pinggangnya agar mereka berdiri seperti sebelumnya. Prianya itu menunduk, dan berbisik, "Aku mencintaimu, Amaya." Kecupan sekali lagi jatuh di bibirnya. Senyum merekah saat mereka kemudian menoleh pada Amora yang menangis dan memanggil, "Mama ...." Bocah kecil itu tengah terduduk di atas rerumputan, tengah dibantu oleh si Abang agar bangun. "Nggak apa-apa, Adek ... ayo bangun," kata Keegan lalu mengusap lutut Amora sebelum merdeka menoleh pada Amaya yang bertanya, "Kenapa, Sayang-sayangnya, Mama?" "Amora jatuh, Mama," jawab Keegan. "Nggak apa-apa, 'kan? Udah ditolong Kakak?" Amora mengangguk meski bibirnya masih tertekuk dan pucuk hidungnya yang memerah. "Kalau begitu bisa berhenti sebentar lari-lariannya?" pinta Amaya yang disambut anggukan oleh si kembar. "Bisa." Maka setelah itu Amaya melihat Keegan dan Amora yang berjalan bergandengan tangan, di atas jogging tr
Vancouver, Canada. Tiga tahun kemudian. .... Amaya menggandeng tangan kecil masing-masing di sebelah kiri dan kanannya saat berjalan keluar dari mobil yang ia berhentikan di tepi jalan. Mereka tengah menunggu seseorang keluar dari pintu gerbang itu untuk berjumpa dengannya. "PAPA!" seru suara manis bocah kecil di sebelah kanan dan kiri Amaya secara bersamaan. Mereka melambaikan tangannya pada pria dengan coat panjang warna hitam yang berlari keluar dari pintu gerbang. Kelvin. Pria itu adalah Kelvin. "TWINS!" balas Kelvin tak mau kalah antusiasnya. Ia berlutut seraya merentangkan kedua tangannya, sehingga Amaya melepas 'twins' yang baru saja dikatakan oleh Kelvin itu dan mereka memeluknya. Dua bocah kecil itu adalah Keegan dan Amora, anak kembarnya yang telah lahir dan tumbuh menjadi kembar sepasang yang tampan dan cantik. Keegan Yezekail dan Amora Amarilly, tentu dengan nama keluarga Amaya dan Kelvin di belakangnya, Hariz-Asgartama. Janin kembar yang hari itu
Meski disembunyikan, atau sebesar apa usaha Amaya dan Kelvin menutupi tentang resepsi pernikahan mereka, tapi tetap saja fotonya bocor! Tak hanya resepsi pada pagi hari saja, tapi juga resepsi yang diselenggarakan pada malam hari. Semesta seperti ingin berbagi kebahagiaan itu pada semua orang. Foto-foto mereka yang manis menghiasi forum mahasiswa selama beberapa hari, dari Sabtu, Minggu hingga Senin pagi hari ini. Seseorang menghela dalam napasnya kala ia menggulir layar ponselnya, foto Kelvin yang tampak meneteskan air mata seperti baru saja membuatnya memberikan sebuah pengakuan bahwa pria itu mencintai Amaya sangat besar. Ziel, pemuda itu adalah Ziel, yang duduk di bangku taman yang tak jauh dari lapangan futsal di kampus. Seorang diri, sebelum sebuah suara datang dari samping kanannya dan ikut duduk di sana. "Bang Ziel," sapanya. Wajahnya muncul dan membuat Ziel sekilas melambaikan tangan padanya. "Ya, Randy. Aku pikir nggak masuk kamu tadi," balasnya. "Ngapain nggak masu
Amaya merasa hatinya sedang tak karuan sekarang melihat Kelvin yang menjatuhkan air mata. Saat manik mereka bertemu, Amaya melihat betapa pria itu sangat tulus meletakkan seluruh perasaannya dan seolah menunggu agar hari ini tiba. Gafi tersenyum saat memandang keduanya bergantian sebelum ia memindah tangan Amaya pada Kelvin. Pembawa acara meminta agar Gafi kemudian memberikan ruang dan tempat untuk kedua pengantin yang tengah berbahagia. Amaya tak bisa memalingkan wajahnya, ia terpesona, terperangkap pada Kelvin saat pria itu terus menatapnya dengan teduh. Gerakan bibirnya yang tanpa suara sedang mengatakan, ‘Cantik sekali.’ Dan tentu saja itu diketahui oleh semua orang yang hadir di sana dan itu membuat tubuh Amaya meremang. Apalagi saat pembawa acara mengatakan, “Bapak-Ibu tamu undangan sekalian, sepertinya kedua mempelai kita ini sudah tidak sabar untuk mengatakan apa yang mereka rasakan selama ini,” ujarnya. “Mari kita dengarkan terlebih dahulu sepatah dua patah kata dari m
Kelvin menghela dalam napasnya saat ia menunduk, memastikan bahwa groom boutonniere yang tersemat di dadanya benar dalam keadaan yang rapi.“Vin?” panggil sebuah suara yang tak asing di telinganya sehingga ia mengangkat kepalanya dengan cepat.Ia menjumpai Gafi yang muncul di dekat pintu berdaun dua di dalam kamar hotelnya entah sejak kapan.Kelvin yang melamun, atau memang kedatangannya yang memang tanpa suara?Entahlah ... yang jelas ia memang ada di sini bersamanya, dan mungkin memang sengaja menemuinya.“Kak Gaf?” balasnya seraya menunjukkan senyuman.“Gugup?”“Banget,” jawabnya. Tak menemukan kata lain untuk menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang ini selain gugup.Gugup untuk bertemu Amaya, gugup untuk melihatnya dalam balutan gaun pengantinnya yang cantik.Gugup, karena ia bisa saja tak bisa menahan diri nanti dan mencium Amaya secara tiba-tiba.“Setelah ini, aku akan membawa Amaya buat ketemu sama kamu, Vin,” ucap Gafi mula-mula. “Aku sudah pernah bilang ini ke kamu. Tapi
“Apa ini, May?” tanya Randy sembari mengambil salah satu kotak susu yang ada di hadapan Amaya. Karena Amaya terlambat mencegahnya, dan karena memang gerakan Randy sangat cepat, Amaya akhirnya membiarkannya saja. “Kok ... susu ibu hamil?” tanya Alin dengan nada bicara yang lirih. Yang barangkali hanya mereka saja yang bisa mendengarnya. “Kita mau dapat keponakan?” sahut Naira yang disambut anggukan dari Amaya. “Alasan kenapa resepsinya dimajuin tuh karena itu,” aku Amaya dengan jujur. Randy hampir melompat kesenangan jika Alin tak mencegahnya. Ia juga hampir berteriak jika Naira tak mengisyaratkan agar ia sebaiknya diam dan tetap menjaga mulutnya itu terkunci rapat. "Demi apa, demi apa kita bakalan punya keponakan?" Heboh, seperti biasanya dan Amaya dibuat terharu dengan mereka yang turut senang dengan kabar yang ia berikan ini. "Maaay! Kamu bakalan jadi hot mommy dong?" Naira sepertinya sudah membayangkan terlalu jauh. Mereka saling pandang untuk menyetujui ungkapan itu sebe
Mengetahui bahwa sorakan itu ditujukan untuknya, Amaya dengan cepat menurunkan ponselnya. Ia menggigit bibirnya, malu karena Kelvin benar-benar tak sungkan lagi menunjukkan hubungan mereka yang telah menjadi rahasia umum bahwa mereka memang menikah. Antusias itu rupanya menjadi bahan bakar bagi semua mahasiswa untuk mengikuti bincang santai tersebut. Pembicara yang dimaksudkan Kelvin lalu datang, beliau adalah seorang pengusaha yang mengatakan perjalanan bisnisnya lebih dari dua puluh tahun untuk bisa berjaya hingga hari ini yang salah satu landasannya adalah stabilitas sistem keuangan. Barangkali bukan hanya pembicaranya saja yang memang sudah berpengalaman, tapi bagaimana cara hostnya memancing agar beliau menyampaikan informasi, sepak terjangnya dalam dunia bisnis. Aah ... atau ini hanya perasaan Amaya saja yang sangat senang bisa melihat Kelvin seperti itu? Mungkin tahun ini adalah gilirannya menjadi host karena tahun sebelumnya Lucy lah yang bertugas. Dan mendengar dari
Amaya mengangguk saat pipinya terasa panas. "Padahal mau kasih kejutan nanti pas kita bahas soal resepsi yang mau dibikin maju," jawab Amaya. "Tapi si bocil Arsen ini malah tahu duluan." Amaya memandang pada Arsen yang ada di pangkuan Kelvin dan tersenyum menunjukkan barisan giginya. "Dari mana kamu tahu kalau Aunty May mau punya baby, Sen?" Kali ini Kelvin yang bertanya. "Cuma asal ngomong aja, Uncle Vin," jawabnya. "Soalnya tadi Arsen lihat Aunty May ngusap perut, persis kayak mamanya teman Arsen yang juga lagi hamil." Ia sekali lagi meringis sementara kabar gembira itu tentu saja disambut dengan senang hati oleh Gafi dan Serena. "Selamat ya ...." kata Serena. Amaya memandang Gafi yang hanya terdiam. Mata mereka bertemu, di kedua sudut netra kakak lelakinya itu, Amaya bisa melihat butiran bening yang barangkali sedang sekuat tenaga coba ia tahan agar tak jatuh. Melihatnya seperti itu membuat Amaya kembali terenyuh. Matanya bicara lebih banyak bahwa ia bahagia, dengan tak bi