jihan terduduk di teras belakang rumahnya seorang sendiri. tangannya terlihat tengan memegang sebuh figura. Tangan satunya lagi sibuk mengelus foto yang ada di figura. Tiba-tiba dia menitikan air mata. Ia rindu, rindu pada ibunya yang lima tahun lalu sudah menghadap ilahi. Ia ingat bagaimana baiknya sosok Ibu tercinta. Bahkan di saat dirinya ada di posisi terpuruk, saat tahu Danu menikah lagi. Sungguh ibunya menjadi obat, ia selalu menguatkan dirinya. Kebanyakan orang tua jika anaknya disakiti maka dia akan ikut campur, lalu meminta untuk bercerai. Tapi ibunya? Sama sekali tidak meminta dirinya untuk bercerai. Ibunya hanya berpesan pilihlah yang menurutmu terbaik. Karena kamu sendiri yang akan menjalaninya bukan ibu.Sungguh dia begitu butuh dorongan seperti itu. Dia butuh sosok yang bisa mensuport dirinya untuk tetap bisa berbahagia, menghidupi kedua ankanya. meksipun tanpa soosk danu di hidupnya."Bu, andai makam ibu dekat. Mungkin aku saat ini tengah menangis di atas pusara ibu
Raisya menutup kedua mata Jihan, lalu langkahnya ia tuntutan menuju suatu tempat yang tidak Jihan ketahui.Jihan terus saja memohon pada Raisya untuk memberi tahu dirinya. Akan dibawa ke mana dirinya hingga kedua matanya harus ditutup."Raisya, Reno, sebenarnya umma mau dibawa ke mana? Jangan bikin umma takut!" Ujar Jihan kepada kedua anaknya."Kejutan Umma, Raisya kalau bilang ke Umma bukan kejutan dong," ujar Raisya ia sampai cekikikan bareng Reno."Umma sabar aja, ya, pokoknya ini kejutan" Sambung Reno dan lagi-lagi kedua adik kakak itu cekikikan."Oh gitu, ya, main rahasia - rahasiaan sama Umma. Awas, ya." Tak lama Raisya dan Reno berhenti di sebuah taman komplek yang sengaja mereka sewa, hingga langkah Jihan pun ikut terhenti. "Udah sampai? Berarti udah bisa dibuka tutup matanya, ya? Mata Umma udah mulai sakit, lo," keluh Jihan dan memang akhir-akhir ini matanya selalu sakit. Mungkin efek kurang tidur dan terus saja berjam-jam di depan komputer. "Belum Umma. Sekarang Umma ikut
Usai Acara perayaan hari jadi Jihan, semua kembali keaktivitas masing-masing. Tentunya aktivitas untuk mempersiapkan pernikahan Jihan dan Mario. Bukan pernikahan sederhana melainkan sebuah pernikahan besar. Awalnya Jihan menang ingin melangsungkan pernikahan sederhana. Sebab ia tahu diri, ia hanyalah seorang janda bagaimana nanti anggapan orang-orang tentangnya?Namun, Bu Widia kekeh jika pernikahan cucunya akan meriah. Bahkan Bu Widia terus mengatakan pada Jihan untuk tidak merasa dirinya rendah. Menyandang predikat janda bukanlah sesuatu yang buruk. Terlebih Bu Widia tahu sepak terjal kehidupan Jihan.Terkadang kita pun perlu bersikap masa bodoh! Bodo amat atau apa pun itu terhadap komentar orang. Mereka belum tentu benar, suci dari dosa. Yang terpenting kita pasrahkan semua pada pemilik kehidupan.Mario sengaja tidak pulang, ia masih ingin bersama Jihan. Sebab Sudah lima hari mereka tidak saling bertemu, rindu yang Mario miliki sudah menumpuk penuh."Mas, sebaiknya pulang saja. Is
Rombongan mempelai pria sudah datang, Mario terlihat pangling dengan stelan baju pengantin serba putih. Kedatangan Mario disambut oleh Raisya dan Reno. Mereka berdiri disisi kanan dan kiri memegangi tangan Mario.Terlihat dengan jelas, raut kebahagiaan di wajah-wajah mereka. Bahkan Mario dan kedua anak Jihan terus saja saling menebar senyum kebahagian. Saat Mario dituntun untuk duduk di kursi pelaminan, kedua anak Jihan membisikkan sesuatu di telinga Mario. Sesuatu yang membuat Mario menganggukkan dan mengelus kepala mereka bergantian."Om, pasti akan jadi suami terbaik untuk Umma kalian. Dan om akan menyayangi kalian. Pegang janji om, ya, kalau om langgar om siap mendapatkan hukuman dari kalian." Tutur Mario sukses membuat Raisya dan Reno tersenyum.Acara akad pun akan segera dilaksanakan. Pengantin wanita sengaja tidak dipertemukan terlebih dahulu dengan pengantin pria, sebelum kata sah terucap. Dengan suasana khidmat dan khusu Mario siap untuk mengucapkan ijab Kabul sebagai tanda
Mario frustrasi, ia tidak tahu harus cari ke mana lagi Nayla. Raisya dan Reno mereka terus saja menanyakan di mana Umma, di mana Umma. Bagaimana ia mau menjawab, dirinya saja tidak tahu di mana keberadaan Jihan. "Firna barang kali kamu tahu tempat tinggal Danu selain di perumahan graha, karena aku yakin Danu membawanya ke sana." Ucap Mario pada Firna."Mas Danu tidak pernah memberi tahu apa pun selain rumah itu." Jelas Firna.Mario benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Mau lapor polisi pun percuma karena hilangnya Jihan belum ada dua puluh empat jam. Ia pun tidak tahu sebenarnya apa motif Danu membawa kabur Jihan. Yang Mario tahu Danu sudah menikah lagi lalu apa hubungannya dengan membawa Jihan? Lalu seketika ia teringat pada sosok istri Danu, Mario yakin dia pasti mengetahui sesuatu."Firna aku mau tanya, apa kamu tahu di mana rumah istri Danu?" Tanya Mario."Iya, aku tahu. Kenapa?""Kita harus ke sana. Aku yakin dia pasti tahu sesuatu.""Kau benar. Kalau begitu ayo biar aku ant
Mario berusaha ke sana ke mari untuk menemukan jejak Danu yang membawa Jihan pergi. Termasuk ke rumah sakit jiwa, ia ingin bertemu Viona. Dia tahu Viona kemungkinan tidak akan bisa menjawab setiap pertanyaan yang ia tanyakan. Tapi barang kali malah akan dapat petunjuk dari Viona.Dan di sinilah sekarang Mario, di depan pintu kamar rumah sakit jiwa milik Viona. Sebelum masuk, Mario melihat terlebih dahulu dari balik kaca pintu. Sungguh keadaan Viona begitu sangat kacau, ia hanya diam dengan tatapan kosong bak mayat hidup, dia hidup tapi diam layaknya mayat.Dengan keyakinan, Mario membuka pintu kamar tersebut lalu masuk. Ia berjalan perlahan sangat perlahan.Dia ingat pesan dokter, jika ingin menemui Viona jangan terlalu gaduh, karena ia tidak menyukai kegaduhan, jika seperti itu maka ia akan mengamuk."Halo Viona selamat siang." Sapa Mario lalu ia duduk di kursi kayu yang ada di sana. Posisi Viona tengah duduk melamun."Apakah kau ingat padaku? Aku Mario calon suami Jihan." Ujar Mari
Satu hari Mario tidak pulang ke rumah Jihan, anak-anak ia titipkan pada Firna. Sungguh selama dua hari itu ia berusaha untuk mencari keberadaan Jihan. Meskipun hasilnya tidak ada.Sekitar pukul enam pagi, Mario tiba di rumah Jihan. Dengan lemah Mario mengucapkan salam, kedatangan Mario disambut oleh Raisya dan Reno. Mereka berdua langsung berlari ke arah Mario dengan pertanyaan seputar Umma-nya.Bukan hanya Mario yang merasa hidupnya hilang separuh. Tapi, Raisya dan Reno juga merasakan hal yang sama. "Om, Umma udah ketemu? Di mana sekarang? Raisya sama Reno udah kangen," cerocos Raisya si sulung.Raisya tahu, belum ada kabar tentang umma-nya. Ini terlihat jelas dari raut wajah Mario yang terlihat muram, tak ada sedikit pun senyum walau seulas.Mario kemudian tersenyum, sebisanya ia berusaha untuk tidak memperlihatkan wajah sedihnya. Jika seperti itu, maka siapa yang akan menguatkan anak-anak Jihan? Begitu pikir Mario.Mario mengusap kepala Raisya, kemudian kepala Reno. "Sepertinya Al
Firna melihat Mario berlari, padahal beberapa menit lalu Mario mengatakan jika dirinya ingin beristirahat. Lalu sekarang kenapa malah berlari dengan raut wajah seulas senyuman."Mario kamu mau ke mana? Bukankah kau bilang mau beristirahat? Lalu kenapa malah ke luar?" Tanya Firna pada Mario.Dengan tidak hentinya melukiskan senyuman, Mario menceritakan apa yang baru saja ia dapat. Firna mendengar dengan seksama hingga Firna pun ikut tersenyum senang. Berharap ini adalah jalan untuk menemukan keberadaan Jihan."Tapi, apa kamu yakin itu Jihan? Bukan Danu yang sengaja menjebakmu?" Terka Firna dan sukses membuat senyum di bibir Mario kembali sirna.Apa yang dikatakan Firna benar, kenapa dirinya tidak berpikir sampai sana? Bisa saja orang yang menghubungi Nayla adalah Danu. Tapi, jika dipikir ulang meskipun ini adalah jebakan Danu. Setidaknya ia akan tahu di mana keberadaan Nayla. Ya, itu benar. "Aku tidak peduli jika pun ini adalah jebakan Danu. Jika jebakan ini malah akan mempertemukan a