Belasan pesan serta miscall sudah Jihan lakukan, tapi, sang suami tak kunjung merespons panggilan maupun pesannya. Ada kekhawatiran di hati Jihan, tidak biasanya Danu—suaminya tak kunjung memberikan kabar.
Jika tugas keluar kota, Danu biasanya satu jam sekali selalu menghubungi Jihan, tapi sekarang? Sudah satu hari ini tidak ada kabar.“Mas, kamu ke mana, sih, kok, aku hubungi enggak kamu respons terus,” cemas Jihan seraya terus berusaha menghubungi Danu.Jihan lakukan secara terus menerus yang awalnya balasan berubah jadi puluhan pesan dan miscall. Jihan lelah dan memutuskan untuk menghubungi Danu lagi nanti.Jihan bekerja sebagai Manajer di satu perusahaan terkenal di Jakarta. Meski suaminya memiliki kekayaan banyak, tapi Jihan ingin berkarir memanfaatkan ilmu yang Jihan peroleh semasa kuliah dulu.Pikiran Jihan tidak konsentrasi, ia terlalu memikirkan Danu yang tak kunjung merespons pesan maupun panggilannya. Pikiran buruk terbayang, ia memikirkan jika seandainya Danu sedang bersenang-senang dengan wanita lain. Atau menghabiskan uangnya untuk membayar wanita panggilan.Pemikiran yang klasik dan tak berdasar. Jihan memikirkan sesuatu yang kebenarannya saja belum tentu iya.“Ah, aku bisa-bisa gila kalau begini terus,” keluh Jihan frustrasi.Di waktu istirahat, Jihan mengecek kembali handphone berharap ada satu nama merespons pesan atau panggilannya. Hasilnya tetap sama, tidak ada. Di tengah kegelisahan dirinya, Tiba-tiba Dewi datang. Dewi adalah bawahannya Jihan yang paling dekat dengan Jihan.Bagi Dewi, Jihan adalah sosok wanita sempurna sekaligus sosok yang ia jadikan panutan. Apa yang ada pada diri Jihan Dewi menyukainya.“Mbak Jihan kita ke kantin, yuk!” ajak Dewi pada Jihan yang saat ini tengah frustasi memikirkan sang suami.Jihan tersenyum, tak ada salahnya mengikuti ajakan Dewi, pikirnya. Siapa tahu bisa melupakan semerawut pikiran tentang sang suami.“Baiklah, aku juga udah lapar. Dari tadi perut Mbak bunyi terus.”“Ayo, Mbak!”Jihan pun beranjak dan mengambil handphone serta dompet kecil miliknya. Sepanjang perjalanan menuju kantin Dewi tak hentinya berbicara. Menceritakan maslah dirinya dengan pacarnya hingga membahas aib-aib rekan kerjanya yang Dewi ketahui.“Mbak, Mbak tahu Amel?” tanya Dewi saat mereka baru saja sampai di Kafetaria dan duduk disalah satu kursi kosong.“Amel Devisa Marketing?” tebak Jihan ragu.Dewi menjentikkan jarinya. “ Tepat sekali.”“Ada berita heboh, lho Mbak tentang dia,” lanjut Dewi begitu antusias.Jihan sebenarnya tidak ingin menanggapi perkataan Dewi. Tapi, berhubung Dewi bawahannya yang paling setia dan orang yang paling memuja dirinya, mau tidak mau harus mau mendengar cerita Dewi. Meski dirinya tidak ingin.“Wi, jadinya kita ke sini mau makan atau mau nge-ghibah?”“Ih, Mbak Jihan ini bukan ghibah, ini fakta NYATA,” ucap Dewi dengan menekankan kata nyata.“Wi, yang namanya ghibah memang ngomongin orang yang memang kebenarannya autentik. Kalau ngomongin orang enggak sesuai kenyataan itu fitnah!”“Tapi Mbak ini beritanya amazing banget.”“Sebentar, kita pesen dulu makan. Soalnya akan butuh banyak tenaga buat ceritain kisah Amel. Mbak Jihan pesan yang biasa ‘kan?”Jihan mengangguk. Ia terlalu malas untuk banyak bicara sebab pikirannya kembali pada suaminya, Danu.Beberapa menit kemudian, Dewi datang dengan membawa sebuah nampan yang berisi seporsi mie ayam, seporsi salad sayuran serta dua jus jeruk. Dewi menyajikan pesannya serta pesanan Jihan yang ia pesankan.“Nih, Mbak makan dulu!” Menyerahkan seporsi salad sayur pada Jihan dan langsung di makan.Mereka makan dalam diam, karena hidup Jihan sangat perfeksionis urusan makan pun di atur di larang berbicara. Dan memang seperti itu adab makan yang baik dan benar.Buru-buru Dewi menghabiskan mie ayamnya itu. Mulutnya sudah gatal ingin segera menceritakan kisah Amel sang Devisi Marketing. Berbeda halnya dengan Jihan makannya begitu santai dan makan pun begitu terlihat elegan dan berkelas.“Mbak, Dewi langsung saja cerita, ya. Dewi yakin Mbak pasti akan kaget dengarnya.”“Wi, aku kira kamu akan lupa. Ternyata masih ingat aja. Kamu gitu, giliran ghibahin orang semangat, bahkan dari awal sampai akhir ingat dan paham sama ceritanya. Giliran kerja? Aku enggak bisa jawab, kamu sendiri pasti tahu jawabannya.”Dewi cengengesan. “Mbak gitu.”“Ya udah cepat kalau mau cerita. Aku masih banyak kerjaan, Wi,” ujar Jihan setelah ia menghabiskan satu suapan lagi salad sayur.“Dengar baik-baik, ya, Mbak. Tahu enggak Mbak.”“Aku enggak tahu.”“Ish, Mbak ini.”“Kenapa? Emang Aku salah? Tapi ‘kan Aku memang enggak tahu apa-apa.”“Iya, Dewi ngerti, Mbak. Maksudnya Dewi itu....”“Apa?”“Intinya dengerin aja aku cerita, oke, Mbak!”Dewi membuat bulatan di tangannya sebagai tanda oke.“Amel kan dulu tubuhnya langsing, wajah glowing, persisi kaya wajah Mbak. Sekarang lihat! Amel jadi sedikit berisi, wajahnya enggak glowing lagi selepas melahirkan. Dengar-dengar rumah tangganya lagi ada masalah. Mbak tahu enggak karena apa?”Jihan menggeleng.“Suaminya selingkuh, alasannya karena Amel sudah enggak menarik lagi. Gila enggak Mbak. Masa iya karena masalah penampilan suaminya selingkuh. Laki kurang ajar itu namanya.”Jihan terdiam mencerna kata demi kata yang di sampaikan oleh Dewi. Mendengar kata selingkuh membuat suasana serta perasaan Jihan jadi horor. Ada rasa ketakutan melanda hati Jihan. Bagaimana jika suaminya seperti itu? Meninggalkan dirinya saat ia sudah tak menarik lagi.‘Enggak boleh terjadi. Pokoknya Mas Danu enggak boleh berpaling. aku akan melakukan apa pun demi Mas Danu,’ batin Jihan.“Terus, nih, ya. Sekarang Amel depresi berat. Ngeri pokoknya, Mbak.”“Apa?! depresi?”“Iya, Amel depresi. Padahal, ya, Mbak menurut aku satu hubungan itu harus saling melengkapi, bukan menyuruh terlihat sempurna di mata orang. Enggak masuk akal, masa hanya gara-gara penampilan suami berpaling? Iya, enggak Mbak?”Jihan terdiam, Danu memang tidak pernah menuntut apa-apa dalam hal penampilan. Namun, dirinya sendiri yang berinisiatif memperbaiki tubuhnya dengan perawatan. Tujuan Jihan satu, ingin tetap terlihat cantik di hadapan suami sehingga suami terus memuja dirinya. Bukan hanya masalah penampilan, demi Danu juga ia rela mengubah dirinya jadi feminim. Padahal dulu Jihan adalah cewek tomboi.Tepukan di bahu Jihan menyadarkannya dari lamunan.“Eh, Mbak, kenapa malah bengong, sih?”“Enggak, kok saya enggak bengong,” kilah Jihan berpura-pura menutupi kenyataan jika dirinya sedang merasa takut, takut jika dirinya bernasib sama seperti Amel.“Sekarang mereka sedang proses cerai. Parah!Deg..‘Cerai?’Jihan menggelengkan kepala mencoba membuang jauh pikiran-pikiran negatif.“Wi, udah, yuk, ngomongin orangnya. Kita ke ruangan lagi, sepertinya waktu istirahat akan segera usai.”Dewi melirik pada jamnya.“Kau benar, Mbak. Baiklah sekarang sudahi dulu cerita Amel-nya. Nanti kalau Dewi punya berita terupdate akan Dewi ceritakan.”Jihan dan Dewi pun kembali ke ruangan mereka. Dengan berbagai ketakutan pada pikiran Jihan setelah mendengar kisah tentang Amel.[Maaf, Mas baru respons pesanmu. Mas tadi sibuk]Satu pesan masuk ke nomor Jihan. Dari sekian banyak pesan dan Miscall hanya dijawab dengan satu pesan yang singkat.Jihan mendesah, lalu ia mencoba untuk menelepon Danu. Jihan ingin menanyakan kabar serta kapan Danu akan pulang.Tut...tutHandphone tersambung tapi tak kunjung Danu angkat. Akhirnya Jihan hanya bisa membalas pesan masuk dari Danu.[Ke mana aja, Mas? Kenapa jarang menghubungiku? Kapan, sih, kamu pulang?]Rentetan pertanyaan Jihan kirim ke nomor Danu. Berharap Danu langsung membalas pesanya, kenyataannya tidak sama sekali.Jihan melempar handphone ke atas kasur. Merasa kesal atas sikap Danu.Jihan pun beranjak, ia hendak melihat anak-anaknya sebelum dirinya tidur. Pertama ia masuk ke kamar Raisa membelai rambutnya dan memberikan kecupan selamat tidur. Lalu Jihan menuju kamar Rafli melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada Raisa.Setelah melihat anak-anaknya, Jihan kembali ke dalam kamarnya. Baru saja Jihan akan m
Usai kerja, Jihan tidak langsung pulang ke rumah. Dia membelokkan mobilnya ke arah salon langganannya. Terlihat cantik dipandang suami menjadi aktivitas wajib untuk Jihan.Padahal, dirinya begitu sangat cantik bak bidadari. Dengan kulit putih dan tubuhnya yang ramping semampai. Namun, bagi Jihan semua itu tidaklah cukup.Sekitar satu jam memanjakan dirinya, Jihan pulang. Apalagi ada satu notif pesan dari Danu yang mengatakan dirinya sedang dalam perjalanan pulang. Secepatnya Jihan beranjak meninggalkan salon langganan dirinya.Sepanjang perjalanan tak hentinya ia bersenandung ria. Hatinya begitu bahagia, bagaikan angin segar yang berembus sangat sejuk menerpa tubuh.Di tengah perjalanan, Jihan mendapati satu panggilan masuk. Tapi, tidak sempat Jihan angkat telepon itu sudah mati. Beberapa detik kemudian, terdengar suara notip pesan masuk. Jihan memelankan laju mobilnya dan dengan perlahan Jihan membaca isi pesan tersebut.[Mbak, kata Mbak Mas Danu sedang ke luar Kota. Tapi Amel baru s
Dia... dia istri keduaku.”“Apa?!Jihan tercengang mendengar penuturan dari mulut Danu. Seketika tubuh Jihan serasa lemas, ia mundur sedikit demi sedikit dengan terus bergumam jika yang Danu katakan hanyalah sebuah kebohongan.“Kau bohong kan, Mas? Coba katakan apa yang tidak kau bilang itu kebohongan! Katakan Mas!” Suara Jihan sudah meninggi bahkan air matanya sudah mulai luruh begitu derasnya.Danu terdiam, dia memang salah oleh sebab itu dia hanya diam dan tak berani untuk menatap wajah Jihan. Kepalanya tertunduk dengan telinga yang mendengar maki-makian dari Jihan.“Mas, kenapa kamu diam saja? Katakanlah semua itu bohong!” seru Jihan.Jihan mendekati Danu, lalu kembali menanyakan dengan pertanyaan sama seperti tadi. Tepat di depan wajah Danu, Jihan kembali bertanya dengan air mata yang semakin deras.“Lihat aku, Mas! Tolong lihat aku!” Jihan mendorong bahu Danu hingga bahunya sedikit berubah posisinya.Danu menarik napas dalam lalu membuangnya secara perlahan. Danu mengumpulkan ke
Waktu berlalu begitu cepat, matahari kini sudah bersinar di ufuk. Sinarnya begitu menghangatkan dan menyehatkan. Waktu pagi, semua disibukkan dengan berbagai aktivitas. Mulai memasak sarapan, mencuci, membereskan rumah, bersiap berangkat kerja ataupun bersiap sekolah dan kuliah.Pagi ini untuk pertama kalinya, Jihan tidak melakukan aktivasi apa pun. Ia sudah terlihat rapi, tapi ia hanya berdiam diri di kamar dengan pandangan mata kosong. Setelah sekian lama berdiam diri, Jihan beranjak lalu keluar kamarnya.Sekilas ia melirik ke arah pintu kamar kedua anaknya, seperdetik kemudian ia langsung memutuskan pandangannya. Jihan lansung berlalu tanpa niat membangunkan kedua anaknya.Saat Jihan hendak keluar, ia melihat Danu sedang tertidur di atas sofa. Tengah meringkuk sebab tinggi tubuhnya tidak muat di sofa yang berukuran kecil. Dengan wajah sinis dan penuh amarah Jihan pun melewati Danu tanpa membangunkan.Jihan membuka pintu lalu membantingnya dengan keras membuat Danu terperanjat dan h
Waktu operasional kerja sudah di mulai. Suasana hati Jihan masih saja buruk. Ia bingung harus melakukan apa ke depannya. Rumah tangga yang sudah tujuh tahun dibina, bahkan demi Danu ia rela melakukan apa saja agar tetap selalu bersama Danu.Mendengar penuturan Danu semalam yang mengatakan jikalau dirinya sudah menikah lagi tanpa sepengetahuan dirinya menghancurkan dan memporak-porandakan hatinya, sakit dan kecewa yang kini melebur menjadi satu.Dalam bekerja, Jihan terus saja tidak fokus berulang kali ia salah dalam membuat laporan. Dan entah harus berapa kali Jihan mengulangi membenarkan angka-angka yang keliru itu. Jihan mengeram kesal.“Dewi! kemarilah!” Jihan melambaikan tangan menyuruh Amel untuk mendekati dirinya.Dewi tanpa membantah berjalan menuju meja Jihan. Ia langsung duduk berhadapan dengan Jihan.“Ada apa Mbak?” ujar Dewi.Jihan yang sedang memfokuskan mata pada komputer dan tangan yang tak berhenti bermain di atas keyboard. Seketika langsung menatap tajam pada Dewi. Dew
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi, Jihan tidak kunjung pulang. Bahkan Raisa dan Rafli terus menanyakan sang Bunda. Mona yang saat ini belum pulang karena kedua anak Jihan terus rewel ingin bertemu Bundanya.Mona keluar dari kamar Rafli, ia baru saja menidurkannya. Ada perasaan ingin tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi antara Tuan dan Nyonya-nya.“Tuan,” panggil Mona.Danu yang tengah menunggu Jihan di ruang tamu langsung membalikan tubuhnya hingga menghadap Mona.“Anak-anak sudah tidur, Mona?” tanya Danu begitu lemas lalu kembali membelakangi Mona“Sudah, Tuan. Meski harus mengalami drama terlebih dahulu,” lapor Mona.“Aku minta tolong, untuk sementara kamu tinggallah di sini, temani anak-anak,” pinta Danu tanpa sedikit pun melihat ke arah Mona.“Mmm, Maaf, Tuan, jika saya lancang. Sebenarnya ada apa dengan Nyonya?” tanya Mona dengan Hati-hati.“Kami sedang bertengkar. Jadi aku mohon untuk sementara di sini sampai keadaan membaik.”“Baik Tuan, InsyaAllah saya bisa
Dewi adalah gadis yang berusia 25 tahun. Ia belum menikah alasannya ingin mapan terlebih dahulu. Dewi awal mula kerja memang sudah dekat dengan Jihan. Sebab Jihan termasuk wanita yang mudah bergaul dan baik pada siapapun.Dewi dengan hati-hati menutup pintu kamar Jihan. Sebelum ia menutup pintu, Dewi menatap Jihan yang tertidur begitu lelapnya. Seulas senyum tersungging di bibir Dewi lalu menutup kembali pintu kamar Jihan.Sementara itu, di ruang tamu terlihat Danu yang tengah duduk dengan kepala yang ia tundukan serta tangan yang ia simpan di atas kepala.Perlahan Dewi mendekat ke arah Danu. Setelah berada tepat di depan Danu, Dewi berusaha bicara baik-baik mungkin ia bisa membantu masalah yang sedang di hadapi Jihan dan Danu. Begitu pikir Dewi.“Tuan Danu, bolehkah saya bicara sebentar saja?”Danu mengangkat kepala lalu menatap Dewi sebentar.“Silakan,” jawab Danu begitu singkat dan jauh dari kata semangat.Dewi pun duduk berseberangan dengan Danu. Meskipun Dewi merasa canggung haru
Setelah mendengar cerita Nesa pada Ketiga karyawati lainnya. Jihan yang merasa jarang diperlakukan romantis oleh Danu, merasa sedih. Hingga muncul pertanyaan-pertanyaan jika Danu memang tidaklah mencintai dirinya. Jihan sadar betul bagaimana keadaannya dulu, sebelum mengenal Danu lalu diperistri olehnya.Pesanan Jihan sudah diantar dan tersaji di depannya. Ia tidak langsung memakannya. Jihan malah membawa sarapannya ke meja di mana Nesa dan ketiga karyawati duduk.“Boleh gabung?” tanya Jihan memastikan.Nesa dan ketiga karyawati menoleh ke sumber suara.“Eh, Bu, Jihan. Boleh, Bu, silakan,” titah Nesa begitu hormat karena status pekerjaan mereka memang berada di bawah Jihan.“Terima kasih, ya,” balas Jihan lalu duduk di satu meja yang sama dengan Nesa.Semua karyawan dan karyawati di mana Jihan kerja, hampir mengenali sosok Jihan. Ia sangat humble, murah senyum sehingga banyak yang menyukainya. Menyukai kepribadiannya, serta bangga akan prestasi yang diraih olehnya. Membuat semua dibua
Keesokan paginya, Mario begitu ingin bertemu dengan Jihan. Ia ingin membuat Jihan tidak untuk memikirkan kejadian tersebut. Apa lagi sekarang sudah dipastikan Danu tidak akan pernah bisa mengganggu Jihan. Danu sudah mendapatkan balasannya. Adam berhasil menjebloskan Danu ke penjara. Bukan di penjara di Ciamis atau di Jakarta. Tapi di Bogor, sengaja agar jaraknya benar-benar jauh. Ceklek.... Suara pintu terbuka... Mario melihat Jihan berdiri di dekat jendela, dengan tubuhnya ia senderkan pada sisi jendela. Melihat pemandangan seperti itu membuat Mario menghela napas panjang . Secara perlahan Mario pun masuk dan berdiri tepat di belakang tubuh Jihan. "Bagaimana keadaanmu sekarang? Aku harap jauh lebih baik." Ujar Mario. Mendengar suara seseorang, Jihan pun menoleh lalu kembali melihat ke arah jendela. "Tidak baik-baik saja," Jawab Jihan singkat. "Apa yang membuat kamu merasakan hal demikian? Padahal, sekarang sudah tidak ada lagi yang akan mengganggumu. Orang itu sudah dipenj
Firna begitu sedih melihat keadaan Jihan yang kacau. Ia turut merasakan apa yang Jihan rasakan. Tanpa terasa pula air matanya menetes. Sungguh membayangkan berada diposisi Jihan rasanya ia tak sanggup.Firna semakin tidak suka dengan Danu. Ia tidak menyangka ada sosok pria di dunia ini seperti Danu. "Mas Danu, kamu sudah keterlaluan! Kamu bertindak diluar batas kewajaran! Sebenarnya apa lagi mau kamu? Dulu kau membuang mbak Jihan dan sekarang apa coba yang kamu lakukan. Sungguh semakin ke sini kau tidak layak disebut manusia." Gumam Firna. Tak lama Raisya da Reno tiba-tiba datang. Padahal ia yakin kedua bocah ini sudah terlelap tidur. Cepat-cepat Firna mendorong pelan tubuh mereka untuk sedikit menjauh. Mereka tidak boleh tahu keadaan Umma-nya."Mama, Umma sudah pulang? Aku mau ketemu Umma," ujar Raisya pada Firna. Lalu disusul oleh Reno yang sama-sama merengek ingin bertemu Jihan."Besok, ya. Sekarang Umma harus istirahat. Dia kecapean. Kalian sayang kan sama Umma? Kalau iya, Mama
Orang yang Adam hubungi adalah polisi, ia meminta untuk berjaga-jaga apabila nantinya Danu memberontak. Sementara itu Mario dan Adam bersembunyi. Dua orang berpakaian koko terkejut saat melihat polisi datang. Namun Adam meminta mereka tenang. Bahkan meminta mereka untuk kembali pulang. Mario yang sudah tidak sabar segera berlari ke lantai atas. Ia membuka satu-satu ruangan yang ada di sana. Hingga tinggal satu ruangan yang belum ia lihat.Sebelumnya, Mario ingin memastikan apakah Jihan benar ada di kamar itu atau tidak.Mario menempelkan telinganya ke daun pintu dan ia benar-benar mendengar sesuatu yang membuat amarahnya semakin diubun-ubun. Ia melihat Jihan menangis sambil berancau agar dilepaskan. Tanpa berpikir lama Mario langsung membuka pintu kamar yang ternyata tidak terkunci itu.Brak..."Jihan!" Teriak Mario.Jihan dan Danu langsung menoleh. Mario berjalan cepat ke arah Danu yang ternyata tengah melecehkan Jihan. Ia tidak menerima Jihan diperlukan seperti itu.."kurang ajar
Mario dan Adam sudah berada di depan sebuah villa megah berlantai dua. Adam tahu siapa pemiliknya, sebab pemiliknya termasuk orang berpengaruh di sana. "Adam apa kau yakin di sini tempatnya?" Tanya Mario seraya menatap ke sekeliling rumah tersebut."Aku yakin." Ucap Adam.Kemudian terlihat sebuah mobil hitam melaju menuju villa. Buru-buru Mario dan Adam langsung bersembunyi. Mereka berdua bersembunyi di balik pohon besar yang ada di samping villa tersebut. Terlihat dua orang yang berpakaian seperti ustaz dan satunya berpakaian biasa yang tak lain adalah Danu. Mario semakin kuat dugaannya jika Jihan memang ada di sini di vila berlantai dua itu. "Kenapa perasaanku mendadak tidak enak seperti ini? Dam, ayo kita masuk saja, kita selamatkan kekasihku." tutur Mario pada Adam."Jangan gegabah, kita tidak tahu ada acara apa. sebaiknya kita cari tahu dulu. Sekarang ikut aku."Adam berjalan ke bagian belaang vila, berharap ada sesatu yang mereka ketahui. sementara itu Danu yang membawa dua
Firna melihat Mario berlari, padahal beberapa menit lalu Mario mengatakan jika dirinya ingin beristirahat. Lalu sekarang kenapa malah berlari dengan raut wajah seulas senyuman."Mario kamu mau ke mana? Bukankah kau bilang mau beristirahat? Lalu kenapa malah ke luar?" Tanya Firna pada Mario.Dengan tidak hentinya melukiskan senyuman, Mario menceritakan apa yang baru saja ia dapat. Firna mendengar dengan seksama hingga Firna pun ikut tersenyum senang. Berharap ini adalah jalan untuk menemukan keberadaan Jihan."Tapi, apa kamu yakin itu Jihan? Bukan Danu yang sengaja menjebakmu?" Terka Firna dan sukses membuat senyum di bibir Mario kembali sirna.Apa yang dikatakan Firna benar, kenapa dirinya tidak berpikir sampai sana? Bisa saja orang yang menghubungi Nayla adalah Danu. Tapi, jika dipikir ulang meskipun ini adalah jebakan Danu. Setidaknya ia akan tahu di mana keberadaan Nayla. Ya, itu benar. "Aku tidak peduli jika pun ini adalah jebakan Danu. Jika jebakan ini malah akan mempertemukan a
Satu hari Mario tidak pulang ke rumah Jihan, anak-anak ia titipkan pada Firna. Sungguh selama dua hari itu ia berusaha untuk mencari keberadaan Jihan. Meskipun hasilnya tidak ada.Sekitar pukul enam pagi, Mario tiba di rumah Jihan. Dengan lemah Mario mengucapkan salam, kedatangan Mario disambut oleh Raisya dan Reno. Mereka berdua langsung berlari ke arah Mario dengan pertanyaan seputar Umma-nya.Bukan hanya Mario yang merasa hidupnya hilang separuh. Tapi, Raisya dan Reno juga merasakan hal yang sama. "Om, Umma udah ketemu? Di mana sekarang? Raisya sama Reno udah kangen," cerocos Raisya si sulung.Raisya tahu, belum ada kabar tentang umma-nya. Ini terlihat jelas dari raut wajah Mario yang terlihat muram, tak ada sedikit pun senyum walau seulas.Mario kemudian tersenyum, sebisanya ia berusaha untuk tidak memperlihatkan wajah sedihnya. Jika seperti itu, maka siapa yang akan menguatkan anak-anak Jihan? Begitu pikir Mario.Mario mengusap kepala Raisya, kemudian kepala Reno. "Sepertinya Al
Mario berusaha ke sana ke mari untuk menemukan jejak Danu yang membawa Jihan pergi. Termasuk ke rumah sakit jiwa, ia ingin bertemu Viona. Dia tahu Viona kemungkinan tidak akan bisa menjawab setiap pertanyaan yang ia tanyakan. Tapi barang kali malah akan dapat petunjuk dari Viona.Dan di sinilah sekarang Mario, di depan pintu kamar rumah sakit jiwa milik Viona. Sebelum masuk, Mario melihat terlebih dahulu dari balik kaca pintu. Sungguh keadaan Viona begitu sangat kacau, ia hanya diam dengan tatapan kosong bak mayat hidup, dia hidup tapi diam layaknya mayat.Dengan keyakinan, Mario membuka pintu kamar tersebut lalu masuk. Ia berjalan perlahan sangat perlahan.Dia ingat pesan dokter, jika ingin menemui Viona jangan terlalu gaduh, karena ia tidak menyukai kegaduhan, jika seperti itu maka ia akan mengamuk."Halo Viona selamat siang." Sapa Mario lalu ia duduk di kursi kayu yang ada di sana. Posisi Viona tengah duduk melamun."Apakah kau ingat padaku? Aku Mario calon suami Jihan." Ujar Mari
Mario frustrasi, ia tidak tahu harus cari ke mana lagi Nayla. Raisya dan Reno mereka terus saja menanyakan di mana Umma, di mana Umma. Bagaimana ia mau menjawab, dirinya saja tidak tahu di mana keberadaan Jihan. "Firna barang kali kamu tahu tempat tinggal Danu selain di perumahan graha, karena aku yakin Danu membawanya ke sana." Ucap Mario pada Firna."Mas Danu tidak pernah memberi tahu apa pun selain rumah itu." Jelas Firna.Mario benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Mau lapor polisi pun percuma karena hilangnya Jihan belum ada dua puluh empat jam. Ia pun tidak tahu sebenarnya apa motif Danu membawa kabur Jihan. Yang Mario tahu Danu sudah menikah lagi lalu apa hubungannya dengan membawa Jihan? Lalu seketika ia teringat pada sosok istri Danu, Mario yakin dia pasti mengetahui sesuatu."Firna aku mau tanya, apa kamu tahu di mana rumah istri Danu?" Tanya Mario."Iya, aku tahu. Kenapa?""Kita harus ke sana. Aku yakin dia pasti tahu sesuatu.""Kau benar. Kalau begitu ayo biar aku ant
Rombongan mempelai pria sudah datang, Mario terlihat pangling dengan stelan baju pengantin serba putih. Kedatangan Mario disambut oleh Raisya dan Reno. Mereka berdiri disisi kanan dan kiri memegangi tangan Mario.Terlihat dengan jelas, raut kebahagiaan di wajah-wajah mereka. Bahkan Mario dan kedua anak Jihan terus saja saling menebar senyum kebahagian. Saat Mario dituntun untuk duduk di kursi pelaminan, kedua anak Jihan membisikkan sesuatu di telinga Mario. Sesuatu yang membuat Mario menganggukkan dan mengelus kepala mereka bergantian."Om, pasti akan jadi suami terbaik untuk Umma kalian. Dan om akan menyayangi kalian. Pegang janji om, ya, kalau om langgar om siap mendapatkan hukuman dari kalian." Tutur Mario sukses membuat Raisya dan Reno tersenyum.Acara akad pun akan segera dilaksanakan. Pengantin wanita sengaja tidak dipertemukan terlebih dahulu dengan pengantin pria, sebelum kata sah terucap. Dengan suasana khidmat dan khusu Mario siap untuk mengucapkan ijab Kabul sebagai tanda