Malam itu ketika Bulan baru saja menunjukkan bukti tentang apa yang dituduhkan Zahra padanya sama sekali bukan kebenaran. Alfan menyeret Zahra pulang ke rumah. Amarahnya benar-benar sudah di ubun-ubun. Apa yang dipikirkan Zahra hingga memfitnah Bulan dengan tuduhan kejam seperti itu.
Rasa-rasanya Alfan tidak mengenali sikap Zahra lagi. Dia telah berubah terlalu banyak semenjak kedatangannya ke Jakarta.
Brak!
Bantingan di pintu membuat Zahra yang mengikuti di belakang terlonjak kaget.
“Mas Alfan, kenapa sekasar ini?!” pekik Zahra dengan mata yang semakin berkaca-kaca.
Alfan menyentak tangan Zahra lumayan keras hingga membuat tangis wanita itu seketika pecah.
“Kamu masih tanya kenapa. Astaga Zahra! Seharusnya kamu sadar kesalahan apa yang kamu lakukan. Kamu menuduh bahkan memfitnah Bulan dengan sesuatu yang sama sekali tidak dilaku
Rumah mewah milik mertuanya benar-benar membuat Bulan betah tinggal di sini. Suasananya begitu tenang dengan pemandangan hijau yang menyejukkan mata. Sudah dua malam mereka menginap di sini. Seharusnya hari ini adalah jadwal Alfan bertemu dengan Zahra namun lelaki itu sama sekali tidak berniat untuk pulang. Bulan mendekati Alfan yang saat ini sedang sibuk menandatangani beberapa berkas. Semenjak diangkat menjadi penerus HM Group, jadwal Alfan begitu padat. “Mau aku buatkan kopi, Mas?” tawar Bulan yang melihat beberapa kali Alfan menguap dengan mata yang sayu. Alfan menggeleng. Di kantor, ia telah menghabiskan beberapa cangkir kopi dan ia tidak mau tekanan darahnya naik karena kebanyakan minum kopi. “Mas Alfan kalau ngantuk, lebih baik dilanjutkan besok.” “Sebentar lagi. Aku harus melihat dokumen kerjasama penting ini. Kamu kenapa belum tidur? Ini sudah
“Mas Alfan, tadi Zahra menghubungiku. Menanyakan tentang Mas yang tidak mengabarinya sama sekali.” “Biarkan saja,” sahut Alfan terlihat malas. “Mas Alfan jangan begitu. Zahra juga istrimu. Kamu sudah berjanji untuk adil pada kami berdua.” “Aku hanya membiarkan dia intropeksi diri akan kesalahannya.” “Zahra sudah minta maaf, Mas.” “Sudahlah, aku tidak mau membahasnya.” Alfan menghindari Bulan dengan berjalan menuju balkon kamar. Bulan menghela napas pelan. Semenjak kapan Alfan menjadi keras kepala. Atau memang sebenarnya Alfan memang seperti ini? Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Bulan memilih turun ke lantai bawah, mungkin di sana masih ada Mama Silvi yang biasanya akan duduk di ruang keluarga. Tebakan Bulan tentu saja benar. Ada Mama Silvi dan Papa Andre
“Sebenarnya ka—” “Sebenarnya kami bersahabat sejak SMP dulu,” potong Bulan menghentikan ucapan Marvin. Bulan menatap tajam ke arah Marvin yang malah menyeringai ke arahnya. Kemudian mengedipkan mata dengan menggoda. “Wah, tidak menyangka. Ternyata Tuan Marvin ini sahabat istri saya,” ujar Alfan sembari ikut duduk di samping Marvin. “Saya juga tidak menyangka ternyata istri yang menjadi buah bibir para pengusaha itu ternyata Bulan. Dia memang sangat cerdas,” cetus Marvin membuat Alfan mengerutkan kening. “Ada apa memangnya?” “Anda ini pura-pura tidak tahu atau bagaimana. Semua rekan bisnis kita memuji kecerdasan Nyonya Muda Herlambang. Maaf saya tidak bisa hadir di acara Anda.” Akhirnya Bulan paham arah pembicaraan Marvin. “Mas Alfan mau minum? Pekerjaanku belum selesai,” tawar Bulan yang la
Bulan dan Alfan langsung bergegas menuju ke rumah Zahra setelah mendapatkan panggilan mendadak tersebut. Adik ipar Alfan mengatakan bahwa Zahra jatuh tidak sadarkan diri di toilet. Setelah sampai di sana, mereka langsung melarikan Zahra ke salah satu rumah sakit yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Zahra langsung dibawa masuk ke dalam IGD dan mereka menunggu di ruang tunggu. “Kok bisa Mbak Zahra tidak sadarkan diri di toilet?” tanya Alfan. “Mbak Zahra sepertinya masuk angin, Mas. Beberapa hari mual-mual dan tidak mau makan,” sahut Zea—adik perempuan Zahra. Di telinga Bulan maksud kata mual-mual terdengar lain. Dia pasti hamil, batin Bulan dengan hati yang kembali patah. Bulan mengepalkan tangan untuk menahan segala hal yang ingin dikatakan. Tak berapa lama dokter keluar da
Bulan memilih pergi dari area taman dan kembali masuk ke dalam rumah sakit ketika hawa dingin menyerang tubuhnya bahkan sampai membuatnya menggigil.Marvin sempat menawarkan jasnya untuk dikenakan Bulan, tapi wanita itu menolak dengan halus. Diketahui Bulan, Marvin berada di sana karena omanya mengalami gagal jantung dan sudah beberapa hari dirawat. Sebelum pergi, Bulan menyampaikan rasa terima kasih karena Marvin sedikit menghiburnya juga mengucapkan agar keluarganya cepat diberikan kesehatan.“Lain kali jika berkenan, kunjungi beliau. Mereka pasti senang melihatmu.” Begitu ucapan Marvin terakhir kalinya.Waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Seharusnya ia masih bergulung di bawah selimut yang hangat sambil bermimpi indah.Kakinya berjalan dengan pelan kembali ke ruang rawat Zahra. Tubuhnya seolah tidak memiliki tenaga untuk sekadar menopang dirinya.Semakin
Dua hari Alfan telah absen datang ke kantor. Tentunya perilaku itu membuat Maya—asisten sekaligus sekretaris kepercayaan Papa Andre melaporkannya kepada sang bos besar.Alfan juga tidak mengatakan apa pun kepada Bulan hingga saat Papa Andre menghubunginya dan bertanya, sudah pasti Bulan menjawab bahwa Alfan selalu berangkat kerja.Bulan pikir, Alfan hanya menemani Zahra setelah pulang kantor. Tidak tahunya ternyata lelaki itu mengabaikan pekerjaannya.Terakhir kali Alfan menghubunginya saat memberikan kabar bahwa Zahra sudah diperbolehkan pulang. Alfan juga mengatakan akan tinggal di sana sesuai kesepakatan awal. Tentu setelah mendengar penjelasan itu, ia tidak banyak bertanya lagi.Setelah dua hari lalu, Bulan begitu terlihat rapuh karena mendapati kenyataan yang membuatnya tertekan. Kini ia telah kembali berdiri tegak dengan kakinya sendiri. Senyumnya yang manis telah terlihat walau hanya sek
“Selamat pagi, Den Alfan.”Alfan mengangguk dengan senyum hangat.“Bulan masih di kamar, Mbak?”“Iya, Den. Sepertinya Non Bulan belum bangun. Apa mau dibangunin?”“Tidak usah, biar aku saja yang ke kamar,” sahut Alfan setelahnya pergi menuju lantai dua.Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Tidak biasanya Bulan masih di kamar. Biasanya pukul enam wanita itu akan turun dan duduk di taman ditemani kopi atau teh hangat sembari menghirup udara yang masih sejuk dengan tetesan embun yang masih basah.Perlahan Alfan membuka pintu kamar yang tidak terkunci. Langkah kakinya begitu pelan karena suasana dalam kamar tersebut benar-benar gelap tanpa cahaya lampu.Alfan berjalan ke arah pintu balkon dan membuka tirai yang menutupi kaca hingga sinar mentari bisa masuk dan menyinari kamar yang tad
“Jelaskan tentang ketidakhadiranmu ini, Alfan. Papa tahu kamu telah menjadi CEO sekaligus pewaris seluruh perusahaan Herlambang, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya seperti ini. Ini bisnis, bukan permainan, Alfan!” Papa Andre membentak Alfan dengan keras karena Alfan masih bungkam dan belum mengeluarkan sepatah kata.Walaupun Alfan telah mewarisi seluruh kekayaan milik keluarganya, tapi Papa Andre tentunya masih terlibat di dalam perusahaan untuk memantau kinerjanya.Papa Andre paham, bahkan sangat paham bahwa Alfan sudah mampu mengelolanya. Selama ini Alfan diminta bekerja di perusahaan mulai dari bawah itu agar dirinya banyak belajar dari hal yang paling ringan hingga sesuatu yang berat. Selama ini Alfan mampu melakukannya.Semakin tinggi jabatan yang dimiliki maka semakin besar pula tanggung jawabnya. Papa Andre harus mengingatkan jika Alfan mulai bertingkah, karena perusahaan bukan hanya menyangkut dia
“Ternyata suamiku ini memiliki banyak pengagum. Bahkan ada yang melamar meski sudah tahu jika sudah memilki istri. Apakah aku harus bersyukur atau justru takut, ya. Bagaimana menurutmu, Mas?” sindir Ayesha.“Aku benar-benar tidak mengenal mereka. Tiba-tiba datang dan melamar begitu saja.” Meski sama-sama bergelut dalam dunia bisnis, sepertinya Alfan tak begitu mengenal pasangan suami istri tersebut. Mungkin karena ia baru melebarkan sayapnya di kota ini atau bagaimana, yang pasti wajah mereka tak terlalu populer hingga Alfan dengan mudah mengenalinya.“Mereka bahkan menawarimu sebuah perusahaan dan akan memastikan seluruh bisnismu akan maju. Tawaran yang menggiurkan. Apa wanita itu cantik?” kata Ayesha. Ia mendengus jengkel meski kedua orang tamu tidak tahu diri itu sudah meninggalkan ruangan.“Putri mereka yang mana saja aku pun juga tidak tahu. Benar-benar aneh,” bantah Alfan.“Jika putrinya menyukaimu sejak pandangan pertama artinya pernah ada interaksi di antara kalian, Mas. Kamu
Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya berita tentangnya dan sang suami mereda dan tergantikan oleh berita panas lainnya.Butiknya telah kembali buka. Bahkan kini lebih banyak pengunjung yang datang dari kalangan pejabat dan beberapa istri-istri pengusaha.Tentu saja mereka bukan hanya datang karena sekadar tertarik dengan rancangan pakaiannya. Namun, beberapa dari mereka ada yang mencoba menjalin pertemanan.Entah itu benar-benar tulus atau menginginkan hal lain.Beberapa kali juga ia mendapatkan undangan untuk masuk ke dalam group sosialita.Ayesha hanya menanggapinya dengan senyum tipis seperti biasa.Setelah ujian selalu ada kebahagiaan. Tidak akan ada kehidupan yang akan berjalan lurus dan mulus. Selalu ada rintangan dan halangan.Begitulah kehidupan.Ayesha yang baru saja mengambil air dari dapur, tidak sengaja mendengar suara Dewi yang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Ia menajamkan pendengaran untuk mengetahui isi obrolan tersebut. Namun, saat berjalan mende
Keesokan paginya berita tentang kejadian semalam membuat namanya dan nama butiknya terseret dalam berita surat kabar.Saat membacanya Ayesha masih bisa bernapas lega karena apa yang terjadi padanya tidak sampai terekspos keluar. Bukan karena tidak ingin nama baiknya hancur, kini ia kembali menyandang nama Herlambang yang membuatnya harus menjaga nama baik suaminya juga.Alfan mengusap bahunya lembut dan mengatakan kalimat yang menenangkan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Mom, kudengar semalam mommy keluar. Ke mana?” tanya Arzen duduk di meja makan.Remaja itu sama sekali tidak tahu bahwa ada polisi yang menghampiri ke rumah mereka. Karena kebiasaan Arzen memang setelah masuk kamar, ia jarang keluar jika tidak perlu sesuatu.“Ya, mommy ada urusan.”“Are you okay, Mom?”“Sure, Son.” Melemparkan senyum tipis yang tulus.“Kamu tidak perlu cemas. Berita itu tidak akan keluar,” bisik Alfan pelan.“Aku ha
Hi, boleh absen dong yang masih setia baca cerita ini? Komen di setiap bab agar aku tahu bahwa kalian masih ada di sini. Makasih.♡♡♡“Maaf, Nyonya. Di bawah ada polisi yang ingin bertemu Anda.”Polisi, batinnya bertanya-tanya.“Ya, bilang saja suruh tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu,” kata Ayesha segera masuk kamar dan mengganti pakaian.Saat ia turun ke ruang tamu, benar ada dua polisi yang sudah menunggunya.“Selamat malam, Nyonya. Maaf jika kedatangan kami mengganggu Anda. Kami dari Polresta Denpasar mendapat surat perintah penggeledahan butik Anda untuk melengkapi bukti bahwa saudari Clara Adelin terlibat dalam kasus peredaran dan penjualan narkoba jenis sabu.”Deg!Jantung Ayesha berdebar dengan sangat keras. Ia terkejut sekaligus syok dengan apa yang baru saja didengar.“Maaf, Pak polisi. Izinkan saya bertanya lebih dulu.”Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pe
Sebelum berangkat ia telah menghubungi suaminya dan meminta alamat kantor yang sampai saat ini belum diketahui.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, diiringi suara musik dari penyanyi favoritnya.Tidak sampai tiga puluh menit mobil yang dikendarai tiba di sebuah gedung tinggi bertuliskan HM Group. Ayesha segera memarkirkan mobilnya di basement dan menuju resepsionis.“Ruangan Tuan Alfan Fatih Herlambang di mana, ya?” tanya Ayesha sopan.“Maaf, apa Anda sudah membuat janji?” tanya wanita itu dengan ramah.“Apa seorang istri perlu membuat janji untuk bertemu suaminya?” Ayesha tersenyum, tetapi kata-katanya menegaskan bahwa ia adalah istrinya.“Ah, maaf. Anda Nyonya Ayesha.” Wanita itu menunduk dan meminta maaf berkali-kali.“Mari saya antar ke ruangan beliau,” ucapnya kemudian mengarahkannya menuju lift khusus.Suara denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai yang dituju. Lantai sepuluh, gedung teratas
Langit gelap telah berganti terang. Matahari mulai tampak malu-malu menunjukkan sinarnya.Cuaca yang masih terasa dingin membuat dua sosok lelaki di ruangan yang berbeda kembali menggulung dirinya di dalam selimut tebal yang menghangatkan.Setelah urusan dapur usai, Ayesha bergegas naik ke lantai dua dan membangunkan sang anak. Beberapa kali remaja itu menggeliat dan bergumam, tetapi tak juga membuka mata.Ayesha yang kesal langsung menarik selimutnya dengan kasar dan membuka tirai. Membiarkan cahaya pagi menembus jendela dan mengusik si pemilik kamar.“Zen! Bangun! Mommy akan menyirammu dengan air jika kamu tidak segera bangun,” ancam Ayesha dengan suara rendah.“Oh, Mommy!” keluhnya dengan suara serak. Manik cokelat itu akhirnya mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya sebelum akhirnya terbuka.“Sudah. Aku bangun,” lanjutnya, ia masih duduk di tepi ranjang. Menyahut segelas air di atas nakas dan meneguknya hingga tandas. Matanya menoleh ke arah jam dinding dan terkejut saat menyad
Empat hari kemudian, mereka resmi pindah ke rumah Alfan. Lelaki itu hanya meminta anak dan istrinya membawa pakaian dan surat-surat penting lainnya.Nena juga ikut serta bersama mereka. Sebab, Ayesha sudah menganggap wanita itu seperti saudarinya.Setelah hampir dua jam merapikan kamar, Ayesha memilih merebahkan tubuhnya di ranjang. Pindahan memang membutuhkan tenaga ekstra.Alfan yang baru masuk kamar bertanya, “Sudah selesai?”“Belum. Ruang ganti masih berantakan, aku lelah sekali.”Ayesha memang tidak mau dibantu asisten untuk merapikan kamar dan ruang ganti. Ia ingin merapikannya sendiri agar tahu di mana letak ia menyimpan barang-barangnya.Alfan berjalan ke ruang ganti dan melihatnya. Memang masih sangat berantakan, beberapa koper masih teronggok dengan isi yang sudah carut marut.“Istirahat saja. Masih ada waktu besok lagi, jangan memaksakan diri.”Ayesha mengangguk. “Aku tahu. Kamar Arzen sudah selesai?”“Sudah. Nena sedang merapikannya.”Beberapa hari yang lalu Alfan sudah ke
Seminggu telah berlalu dengan cepat. Hari ini menjadi perpisahan antara Ayesha dan kedua orang tuanya.Mereka mengantar keduanya sampai di bandara. Bahkan Arzen turut libur sekolah karena ingin mengantarkan oma dan grandpa kesayangannya.Isak tangis Ayesha sudah terdengar sejak mereka dalam perjalanan. Kini, semakin keras suara tangis itu saat kedua orang tuanya semakin tak terlihat lagi dalam pandangan.Alfan merengkuh tubuh sang istri dan mencoba menenangkannya. Setelah keadaannya berangsur tenang mereka meninggalkan bandara.“Mau mampir ke suatu tempat dulu?” tanya Alfan.“Langsung pulang saja,” balas Ayesha pelan, tak bersemangat.“Zen?” Menatap sang putra melalui kaca mobil. Remaja itu juga tampak tak bersemangat.“Ya, Dad.” Tatapannya kembali mengarah ke luar.Setelah sampai di rumah. Ibu dan anak itu mengurung diri di kamar sampai melewatkan makan malam.Alfan yang ada di meja makan sendirian menjadi tidak tenang. Ia meminta Nena menyiapkan makanan untuk dibawa ke kamar anak da
Masuk ke kamar sepasang suami istri itu kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda. Kembali menyelami nikmatnya surga dunia. Mencapai nirwana tertinggi di iringi deru napas yang memburu.Dingin di luar sana sama sekali tak mendinginkan keduanya. Justru semakin memanas, bagaikan kobaran api yang baru saja disiram bensin.Membara.Peluh menetes, menjadi saksi betapa bersemangatnya mereka. Kerinduan, kasih sayang, gairah, semuanya melebur menjadi satu.Entah sudah berapa lama mereka melakukannya, Ayesha bahkan sampai tak bisa bernapas dengan lega karena terus-menerus dihabisi oleh sang suami.“Sudah, Mas. Aku lelah,” ucap Ayesha dengan suara lemah.Umur yang hampir menyentuh kepala empat sama sekali tak membuat Alfan melunak sedikit pun.Ingatan tentang saat pertama kali lelaki itu menjamah dirinya terlintas. Betapa buas dan sama sekali tak menahan diri.“Tahan sebentar lagi, Sayang,” bisik Alfan, mengecup lembut pelipis sang istri.Suara erangan panjang menjadi penutup kegiatan malam it