“Seharusnya kamu yang mati malam itu, Viona.”Suara serak Padma bergema dalam ruangan, menebar ketakutan yang merayap di tubuh Viona. Dengan tangan terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih, dia menatap sosok tinggi yang berdiri di hadapannya, tangan terlipat di dada, mata penuh amarah.Padma, kakak ipar yang telah menikahi Yuanita selama enam tahun—satu-satunya saudara dan keluarga yang dimiliki Viona.“Maafkan aku, Mas,” bisik Viona, suaranya pecah. Ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada, tubuhnya bergetar. “Aku benar-benar minta maaf.”Empat puluh hari yang lalu, Yuanita yang tengah hamil tua mengalami pendarahan hebat. Viona, satu-satunya orang yang menemani saat itu, tak punya pilihan lain selain bertindak cepat.Padma sedang dalam perjanjian pulang dari luar kota, mustahil menunggunya untuk mengantar Yuanita ke rumah sakit.Dengan segenap keberanian yang tersisa, Viona membawa sang kakak ke rumah sakit terdekat, mengabaikan rasa takutnya demi memastikan nyawa Yuanita
Sepeninggal Padma, tubuh Viona seolah kehilangan tenaga. Ia menyeret kakinya yang berat, setiap langkah seakan memikul seluruh beban kenangan yang membekas di sanubari.Setibanya di kamar mandi, ia berdiri di bawah pancuran dengan air yang dingin mengalir deras di atas kepalanya, menyamarkan air matanya yang tanpa henti berderai.Setiap tetes air yang jatuh tak mampu menyapu ingatan pahit yang masih mengambang di dalam pikirannya, seperti noda yang enggan lenyap walau Viona menyikat kulitnya dengan keras hingga memerah.Dengan tangan gemetar, ia terus menyikat, berharap segala yang tersisa dari Padma akan luntur bersama air yang mengalir deras ke bawah, namun sia-sia.Ketika akhirnya kelelahan, Viona terduduk di lantai kamar mandi, tubuhnya menggigil dalam dingin yang tak hanya datang dari pancuran, melainkan dari dalam hatinya sendiri.Dengan lutut yang ia tarik ke dada, Viona memeluk dirinya seolah berharap dapat menutupi luka yang kini menganga lebar.Dalam hening, isak tangis yang
Tirta menatapnya, raut wajahnya dipenuhi kegetiran yang tak mampu ia sembunyikan. Viona tahu ia tidak bisa berbohong di hadapan Tirta, lelaki yang sangat baik dan tulus mencintainya.Hubungan yang mereka jalin selama empat tahun ini penuh dengan kehangatan dan ketulusan, begitu pula dengan keluarga Tirta yang menerimanya sepenuh hati.Karena itu, Viona memilih untuk jujur, tak ingin membohongi Tirta atau menyeretnya ke dalam kebohongan yang mengerikan."Maksud kamu apa?” tanya Tirta, suaranya tetap lembut meski terlihat jelas ada ketegangan di sana.Viona yang gelisah hanya menatap kosong, enggan melanjutkan, namun Tirta menatapnya dengan penuh perhatian, "Aku janji nggak akan menghakimi kamu. Tolong, cerita apa yang bikin kamu kayak gini."Dengan napas berat dan tubuh yang bergetar, Viona mulai bercerita. Perlahan namun pasti, seluruh kejadian subuh itu keluar dari bibirnya.Tentang bagaimana Padma, mabuk dan kasar, datang ke rumahnya dan merenggut kehormatannya tanpa belas kasihan.
Viona baru saja akan menutup pintu setelah mengantar Tirta hingga ke depan rumah ketika tiba-tiba daun pintu tertahan oleh tangan seseorang.Dengan kasar, pintu didorong hingga terbuka kembali, membuat Viona terhuyung, nyaris jatuh.Jantungnya berdetak kencang saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu—Padma Adikara, dengan seringai dingin di wajah tampannya.Rahang tegas, bibir penuh, hidung tinggi, dan sepasang mata hitam pekat yang dulu tampak cerdas dan teduh, kini memancarkan kebengisan. Dulu, Viona mengingat betapa Yuanita, kakaknya, selalu memuji Padma sebagai pria ideal. Bahkan menyebutnya pangeran berkuda putihnya.Tapi itu dulu, sebelum kecelakaan tragis itu merenggut nyawa Yuanita dan membuat Padma menjadi bayangan hitam yang menakutkan, dingin, dan kejam.“Mau apa Mas Padma ke sini?” Viona akhirnya menemukan suaranya, meski terdengar bergetar.Ia mundur beberapa langkah, sampai punggungnya membentur meja ruang tamu. Tangannya dengan cepat meraih pisau buah yang tadi
Viona tak pernah merasa semarah ini dalam hidupnya. Dalam detik-detik mencekam seperti ini, ia biasanya mempraktikkan teknik pernapasan yang diajarkan Yuanita: menarik napas dalam selama empat hitungan, menahannya tujuh detik, lalu mengembuskannya perlahan selama delapan detik.Namun kali ini, amarah dalam dirinya begitu pekat, tak teredam bahkan oleh napas teratur yang biasa.Bergemuruhlah setiap langkahnya ketika ia membelah halaman rumah megah itu, tekad membara di balik setiap jejak yang ia tinggalkan di jalan setapak yang berhiaskan pepohonan rimbun.Ia tak memedulikan dinginnya malam atau keheningan yang merayap, hanya satu yang ada dalam pikirannya: mencari Padma dan menuntut penjelasan atas kelakuan biadab yang hampir merenggut nyawa Tirta.Baru beberapa jam lalu, pihak rumah sakit menelepon, mengabarkan bahwa Tirta menjadi korban tabrak lari—tabrakan yang hampir merenggut nyawa lelaki itu.Seorang sopir taksi telah membawanya ke rumah sakit, dan Viona langsung berlari menuju
Viona merasakan tubuhnya merinding, seolah seluruh udara di ruangan itu tertarik keluar, meninggalkannya berhadapan dengan sosok yang lebih menyerupai bayangan gelap daripada manusia. Tanpa sadar, ia mundur beberapa langkah, jiwanya terhimpit di bawah intensitas lelaki yang berdiri di hadapannya.Padma tampak seperti seseorang yang tak pernah ia kenal, jauh dari sosok kakak ipar yang selama ini ia anggap sebagai keluarga. "Siapa sebenarnya yang berdiri di hadapanku?" pikir Viona dalam hati.Apakah kehilangan seseorang yang dicintai bisa mengubah orang menjadi begitu dingin, kejam, dan tanpa hati? Apakah Padma adalah iblis yang menyaru sebagai pria yang selama enam tahun terakhir menjadi saudara iparnya?"Tapi... Tirta tidak bersalah," suara Viona terdengar lemah dan getir, nyaris patah.Kengerian dan keputusasaan tercermin dari suaranya, matanya tak mampu menghindari tatapan pria itu yang dingin seperti malam yang tak berbulan.Padma mengangkat bahu, bibirnya terangkat dalam seringai.
Viona pikir ada yang salah ada dengan pendengarannya. Tetapi ketika Padma mengulang perkataannya, perempuan itu berubah pikiran. Ada yang salah dengan otak Padma. Itu sudah pasti.Lelaki itu bukan hanya tidak waras, tetapi juga menderita halusinasi"Apa Mas Padma pikir aku akan menikah dengan orang yang memperkosaku?" desis Viona tajam. "Aku tidak segila itu. Pikiranku masih cukup waras untuk tidak menerima orang yang sudah menghancurkan hidupku."Sebelum amarahnya membuncah, Viona menyerahkan kembali Sabda ke dalam pengasuhnya, yang segera pergi karena menyadari aura tidak bersahabat dari pembicaraan mereka berdua.Senyum miring Padma terbit.Dia sama sekali tidak terpengaruh dengan kalimat tajam yang terlontar dari mulut adik iparnya. Dia tahu persis Viona tidak seberani itu. Gadis itu hanya memasang topeng untuk menutupi jiwanya yang rapuh."Keberanianmu untuk menolakku boleh juga, Adik Ipar. Sayangnya kamu lupa aku bisa melakukan apa pun untuk membuatmu menerima penawaranku. Ah, a
Satu minggu berlalu tanpa ada insiden apa pun.Padma sengaja membiarkan Viona hidup tenang untuk beberapa saat sebelum kembali menghujani perempuan itu dengan berbagai ide jahat yang mengemuka dalam benaknya.Viona tidak perlu tahu apa yang sedang dia rencanakan saat ini agar perempuan itu mengira dia sudah menyerah dengan obsesinya untuk menuntut pembalasan."Orang tua Tirta hanya petani biasa yang memiliki sepetak tanah di sebuah desa di Klaten. Jika tidak menanam padi, biasanya mereka menanam jagung atau kacang tanah."Padma manggut-manggut sambil memandangi beberapa lembar foto yang menunjukkan sepasang orang tua yang tengah tertawa di sela-sela kegiatan mereka menyemprot padi yang tumbuh subur.Dia memang meminta orang suruhannya untuk menyelidiki latar belakang keluarga Tirta berikut hubungannya dengan Viona.Makin banyak yang Padma ketahui tentang Tirta dan hubungannya dengan Viona, maka makin mudah pula langkahnya untuk membalaskan dendam pada adik iparnya itu."Di kota ini Ti
Alfie tidak mejawab. Dia hanya menggusah napas kasar. Terlihat jelas bahwa lelaki itu sedang berusaha mengendalikan diri.Jangan lakukan hal yang aneh katanya? Alfie bahkan ingin segera melesat menuju rumah Arya dan menghajarnya sampai mati. Lelaki itu benar-benar bebal dan tidak bisa diberitahu dengan kata-kata.Mungkin nanti, ketika Viona sudah pulih. Untuk sekarang dia harus fokus untuk menemukan Khadafi lebih dulu. Selama adik tiri Padma itu belum ditemukan, dia bisa berulah lagi.Sejenak kemudian ekspresi Alfie mulai melunak. Dia kembali menatap Viona dengan tatapan melembut. "Kamu tidak melihat ada mobil lain yang mengikutimu?""Tidak. Aku begitu fokus ke jalan karena sebenarnya aku masih takut untuk kembali menyetir. Itu sebabnya aku tidak memerhatikan samping dan belakangku.""Itu artinya kamu tidak sempat melihat siapa yang menembakmu dari samping?"Kening Viona berkerut.Dia memang sempat menduga dirinya tertembak saat rasa nyeri tiba-tiba menerjang bahu disusul dengan darah
Mereka semua terdiam dengan kerutan di dahi. Dalam hati, mereka semua merapal doa untuk keselamatan Viona di ruang operasi.Setelah terdiam cukup lama, Mindi mendadak teringat apa tujuan dia datang ke sini selain untuk mengabari para ART di rumah Alfie tentang Viona.Dia bangkit, lalu berjalan ke ruang tamu untuk menemui seorang gadis yang sejak tadi menunggu di sana. Gadis itu tampak menunduk sambil meremas jemarinya.Mindi menepuk pelan bahu gadis itu hingga dia menoleh. "Ayo kita masuk. Saya perkenalkan kamu pada orang-orang yang bekerja di rumah ini."Gadis itu mengangguk, lalu bangkit dan mengikuti Mindi yang kembali ke ruang tengah. Kepalanya terus menunduk dan tidak berani memandangi rumah mewah yang dia masuki ini.Bik Sari dan Bu Retno tampak mengenyit saat melihat Mindi kembali dengan seorang gadis belia yang memakai rok SMA dengan kaus hitam yang terlihat lusuh."Bu Retno, Bik Sari, ini adalah Rosma." Mindi memperkenalkan gadis yang berdiri dengan kepala tertunduk di sampin
"Ini masih dugaan saya. Itu sebabnya saya menelepon Tante karena ada yang ingin saya tanyakan. Apa Khadafi pernah ikut klub menembak atau punya senjata?"Ada jeda sejenak sebelum Devita menjawab pertanyaan Alfie. "Dia ikut klub menembak sejak SMP karena suka sekali melihat film action. Tapi saya tidak tahu apakah dia punya senjata atau tidak."Jawaban Devita nyaris melengkapi kepingan puzzle yang ada di benak Alfie. Bisa dipastikan pelaku yang menembak Viona dari jarak sedang bukanlah pembunuh yang disewa Arya, melainkan Khadafi."Ada apa, Alfie? Apa Khadafi melakukan sesuatu pada kamu atau keluarga kamu?""Saya akan mengabari Tante jika hasilnya memang sudah dipastikan," sahut Alfie cepat. "Tetapi boleh saya minta tolong?""Tentu.""Jika Khadafi menghubungi, tolong beri tahu dia bahwa Alfie mencarinya." Setelah mengatakan itu, Alfie mengakhiri panggilan lalu mengembuskan napas kuat-kuat.Dia lalu menoleh ke arah ruang operasi yang masih tertutup rapat. Alfie tidak tahu sudah berapa j
"Berita apa yang kamu bawa?" tanya Alfie sambil mengancingkan kemejanya.Beberapa waktu lalu Mindi datang dengan membawa baju ganti dan beberapa berkas yang harus dia tandatangani. Perempuan itu tampak cemas dengan kondisi Viona yang masih ada di ruang operasi.Mindi bahkan menawarkan diri untuk menemani, setidaknya sampai ada kabar dari dokter yang menangani operasi Viona.Namun Alfie menolak dan memintanya memberitahu Bu Retno dan Bik Sari agar mereka tidak khawatir karena nanti malma Viona pasti tidak akan pulang.Lalu tak lama kemudian anak buahnya datang untuk melaporkan perkembangan kasus kecelakaan Viona, yang kini sudah ditangani oleh pihak yang berwajib."Begitu saya sampai di sana, polisi sudah memenuhi lokasi itu, Tuan. Mereka menemukan senapan laras panjang dan satu selongsong peluru tak jauh dari mobil Nona Viona.""Senapan laras panjang?" Alfie mengerutkan kening."Ya, Tuan. Jenis Ak-47. Dan jika melihat kaca jendela yang tertembus peluru, dugaan sementara adalah Nona Vi
"Saya menemukannya sudah seperti ini. Tapi saya sudah memanggil ambulans dan polisi. Apa Anda mengenal perempuan itu?""Dia calon istri saya," jawab Alfie tergesa. Dengan cepat dia membuka pintu mobil dan perlahan-lahan mengeluarkan Viona dari sana sambil memanggil namanya berulang kali."Viona," panggil Alfie pelan sambil menepuk pipi Viona yang terkulai di atas pangkuannya. "Viona, bangun!"Viona sama sekali tak merespons. Tetapi Alfie masih bisa bernapas lega setelah mengecek perempuan itu masih bernapas dan denyut nadinya masih terasa meski amat lemah."Viona!" panggil Alfie lagi, masih dengan tangan menepuk pelan pipi Viona. "Bangun!"Perlahan Alfie mencium aroma anyir darah. Dengan panik dia mengecek seluruh tubuh Viona. Dan saat itulah dia melihat tangannya yang memegang bahu Viona berlumuran darah.Dengan cepat Alfie membuka blazer Viona dan terkesiap saat melihat kemeja kuning gading Viona sudah basah oleh darah.Satu titik di kemeja Viona yang bolong membuat Alfie yakin sese
Benar juga. Alfie memang sangat panik hingga lupa Viona ada dalam genggamannya. Dia mengaktifkan layar ponsel, lalu membuka sebuah aplikasi yang terhubung ke jam tangan Viona.Setelah mengotak-atik selama beberapa menit karena ini adalah pertama kalinya Alfie menggunakan aplikasi itu, akhirnya dia bisa melihat posisi Viona saat ini."Kenapa dia bergerak menuju rumah si Tua Bangka itu?" gumam Alfie.Ada yang aneh di sini. Bukankah dia sudah melarang Viona bertemu Arya tanpa sepengetahuannya?**"Get me closer!" desis lelaki yang dipanggil 'Bos' itu. Jaraknya masih terlalu jauh dengan sedan yang dikemudikan Viona.Si pengemudi berusaha memangkas jarak mobilnya dengan sedan Viona. Tidak mudah karena ini adalah jalan kecil dan mobil dari arah berlawanan bisa saja tiba-tiba muncul."Cepat! Waktuku tidak banyak!""Saya sedang berusaha, Bos." Tangan si pengemudi mulai bekeringat karena mendadak dia gugup sekaligus khawatir akan ada mobil lain yang melintas.Sementara Viona yang terlalu fokus
Alfie bisa merasa tengkuknya mulai dingin. Semalam dia bermimpi buruk tentang Viona dan rasanya itu bukan mimpi belaka. "Mandala, apa dia mengatakan akan di mana?"Mandala mengumpat pelan menyadari dia tidak bertanya lebih detail pada Viona. "No, Al. Aku sedang sibuk saat dia minta izin dan-Alfie tidak menunggu Mandala menyelesaikan kalimatnya. Dia mematikan panggilan lalu kembali menelepon pengawal yang seharusnya mengawal Viona ke mana pun juga. Masih nihil.Alfie mengumpat keras-keras hingga semua orang yang ada di mobil, termasuk Mindi, mengerut ketakutan. Dia kembali menelepon anak buahnya yang lain untuk mencari keberadaan Viona."Aku akan menembak kepalamu kalau Viona tidak bisa ditemukan. Mengerti!" ancam Alfie sebelum mematikan panggilan.Sopir yang duduk di samping Alfie tampak menegang mendengar suara Alfie yang sarat dengan kemarahan. Setelah menelan ludahnya gugup, dia bertanya dengan takut-takut. "Tuan, apa kita jadi ke kantor?"Alfie tidak langsung menjawab. Keningnya
Arya terkekeh girang. "Ah, tidak salah jika Padma memintamu merawat Sabda karena dari suaranya saja kamu bisa tahu. Padahal dia hanya mengoceh seperti bayi yang lain."Ya, yang kamu dengar adalah suara Sabda. Dia ada di rumahku sekarang bersama pengasuhnya. Sebuah kejutan, bukan?"Rasanya tulang-tulang Viona seperti dilolosi begitu tahu Sabda ada di rumah Arya. Lelaki itu memang kakek Sabda. Tetapi sejak kelahirannya, Sabda belum pernah digendong apalagi diajak ke rumah Arya.Viona tahu orang tua Padma tidak pernah menyetujui pernikahannya, apalagi menganggap Yuanita sebagai menantu. Itu artinya, Sabda juga tidak diakui sebagai cucu.Mereka berdua hanya sekali datang ke rumah sakit setelah Sabda lahir dan Yuanita dinyatakan meninggal.Itu pun mereka datang bersama wartawan yang meliput bagaimana sedihnya Arya dan Ghina yang ditinggal pergi menantu untuk selama-lamanya.Dengan wajah berurai air mata-yang tentu saja palsu-Ghina menggendong Sabda yang masih merah dengan begitu kaku di de
“Mindi, hadiah apa yang biasanya diberikan untuk perempuan yang akan ulang tahun?"Mindi yang kala itu sedang menata makan malam di ruang makan yang ada di kamar hotel sontak menoleh dengan alis bertaut. Sejak dua hari terakhir, bosnya itu sering menanyakan hal-hal seperti ini."Kalau boleh tahu, berapa usia perempuannya, Pak?" tanya Mindi sopan."22 tahun. Dia akan berusia 23 tahun minggu depan." Thanks to Padma, yang sempat mengecek CV Viona sebelum berangkat ke Medan."Perempuannya seperti apa? Maksud saya, apa kesukaannya? Tas, sepatu, baju? Atau apakah dia perempuan yang tomboy, anggun, suka berpetualang, hobi jalan-jalan? Hadiahnya harus disesuaikan dengan kepribadiannya."Alfie menggaruk kepalanya yang tak gatal setelah berpikir untuk beberapa saat. Dia baru sadar dia tidak tahu apa-apa tentang Viona."I have no idea," jawabnya sambil mengangkat bahu. "Bukankah itu tugasmu untuk mencari tahu?"Giliran Mindi yang bingung. Setelah konferensi pers beberapa waktu lalu, dia baru men